Anda di halaman 1dari 3

BAB III

PEMBAHASAN

Pada skenario didapatkan bahwa Eyang Yoso satu bulan ini tidak mau
makan, minumnya hanya sedikit, tidak mau bicara dan batuk-batuk selama 1
bulan. Umur pasien adalah 90 tahun, hal ini menunjukkan bahwa pasien termasuk
dalam golongan lanjut usia dimana sudah terjadi banyak perubahan dan
penurunan kesehatannya. Tidak mau makan adalah gejala yang sering dialami
oleh lansia. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal termasuk diantaranya adalah
penurunan indra penciuman dan perasa serta ketidakseimbangan neurotransmitter.
Tidak mau makan juga dapat disebabkan oleh perubahan fisiologis pada organ
pencernaan yang menyebabkan menurunnya fungsi pencernaan. Dampak dari
tidak mau makan adalah terjadinya malnutrisi. Batuk berdahak dapat disebabkan
oleh beberapa hal, salah satunya adalah infeksi pada paru dan saluran pernapasan.
Pada lansia yang imobilisasi dalam jangka waktu yang lama terjadi penurunan
kemampuan compliance paru dan melemahnya kemampuan otot diafragma untuk
mengeluarkan benda asing maupun sputum dalam paru-paru. Adaknya infeksi
pada paru akan mengaktifkan mediator inflamasi yang akan meningkatkan
permeabilitas kapiler paru. Hal ini menyebabkan terjadinya perpindahan eksudat
plasma dari kapiler ke dalam ruang interstisial. Eksudat atau dahak ini akan
merangsang saluran nafas untuk mengeluarkannya melalui mekanisme batuk.
Dari hasil pemeriksaan didapatkan kesadaran: apatis, TD 120/ 70 mmHg,
RR 30x/ menit, T 36C, HR 108x/ menit. Kesadaran apatis dalam Glasgow
Coma Scale (GCS) bernilai antara 12-13 dan secara kualitatif dinilai sebagai
keadaan acuh tak acuh terhadap keadaan sekitarnya. Tekanan darah 120/ 70
mmHg dalam batas normal. Respiration rate terdapat peningkatan (normal 1625x/ menit) merupakan salah satu tanda pneumonia, temperatur dalam batas
normal (suhu oral rata-rata usia lanjut 36C). Tidak adanya demam sering terjadi
pada kasus infeksi yang dialami oleh lansia. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal
diantaranya adalah karena terjadi penurunan produksi endogen pirogen dan
berkurangnya sensitifitas reseptor endogen pirogen di hipotalamus, menurunnya

fungsi thermoregulasi, dan menurunnya basal metabolism rate. Heart rate


terdapat peningkatan (normal 60-100x/ menit).
Pada pemeriksaan paru sebelah kanan didapatkan ronkhi basah kasar,
suara dasar bronkhial, dan fremitus raba meningkat. Suara ronkhi basah kasar
dapat terjadi pada abnormalitas jaringan paru (contoh: pneumonia) maupun
karena abnormalitas jalan nafas (contoh: bronkhitis). Ronkhi basah kasar
merupakan petunjuk adanya peningkatan sekresi di saluran nafas besar dengan
intensitas suara lebih keras, nada rendah, dan durasi lebih lama. Fremitus raba
meningkat pada konsolidasi paru (contoh: penumonia). Ketiga hasil pemeriksaan
paru tersebut merupakan kelainan fisik yang lazim pada penumonia yaitu tanda
konsolidasi paru meliputi perkusi redup/ pekak pada daerah paru dengan kelainan,
ronkhi basah kasar, dan suara nafas bronkhial. Selain itu bisa didapatkan juga
peningkatan frekuensi nafas 24x/menit dan dapat disertai syok septik dengan
gejala kelelahan, inanisi, dan penurunan kesadaran.
Skor Norton 9. Pemeriksaan ini menandakan telah terjadi ulkus dekubitus
pada pasien. Punggung bawah merupakan salah satu predileksi ulkus dekubitus
karena pada daerah tersebut sering tertekan. Penilaian derajat dilakukan dengan
melihat reaksi peradangan apakah mencapai epidermis (derajat I), dermis/
subkutan (derajat II), jaringan lunak dan fascia dalam (derajat III), dan sudah
terlihat otot dan tulang (derajat IV). Skor Norton merupakan alat untuk menilai
risiko ulkus dekubitus pada pasien imobilisasi. Skor 12 menunjukkan bahwa
terjadi resiko tinggi untuk terjadi ulkus dekubitus dengan peningkatan risiko 50x
lebih besar. Hasil lab: leukosit 7.500 didapatkan hasil dalam batas normal (400011.000/ mm3). Pneumonia pada lansia sebagian besar didapatkan leukosit yang
normal atau sedikit meninggi, kadang-kadang didapatkan leukositosis. Infeksi
pada lansia kadang tidak terdapat leukositosis karena sistem imun tubuh dan
sistem hematopoietik lansia telah menurun.
Terapi kuratif diberikan pada pasien untuk mengatasi gejala yang timbul.
Pada pasien telah dilakukan terapi oksigenasi, pemberian antibiotik dan terapi
cairan. Terapi oksigenasi diberikan untuk menjaga asupan oksigen pada pasien
sehingga tidak timbul hipoksia, terapi cairan diberikan untuk mencegah
dehidrasi dan hipoglikemi, serta untuk indikasi adanya peningkatan frekuensi

pernafasan, dimana pemberian oksigenasi ini diberikan jika frekuensi pernafasan


> 24 kali/ menit. Sedangkan pemberian antibiotik dilakukan untuk mengobati
infeksi bakterial yang terjadi pada pasien. Pada tahap awal sebaiknya diberikan
antibiotik empirik bersprektum luas yang sesuai dengan lokasi infeksi, lokasi
penderita dan lokasi terjadinya infeksi (di masyarakat atu dirumah sakit) sambil
menunggu hasil kultur dari dahak. Dalam pemberian dosis dan pemilihan jenis
antibiotika perlu diperhatikan adanya perubahan fungsi organ sebagai akibat
proses menua serta komorbid yang ada pada lansia yang seluruhnya akan
berakibat pada terjadinya perubahan distribusi obat, metabilisme obat, eksresi dan
interaksi obat. Untuk pasien pneumonia yang dirawat dirumah sakit dapat
diberikan klindamisin dan seftazidim.
Sementara itu, untuk mengatasi dekubitus yang terjadi pada pasien
disesuaikan derajatnya. Pemberian kasur dekubitus merupakan hal yang tepat,
selain pemberian kasur dekubitus diperlukan penatalaksanaan sesuai derajatnya
seperti yang tercantum pada tinjauan pustaka. Pasien dirujuk ke bagian
rehabilitasi medik untuk dilakukan terapi rehabilitasi. Tujuan terapi
rehabilitasi

medik

atas

indikasi

stroke

dan

imobilisasi

adalah

untuk

mempertahankan kekuatan otot serta menurunkan ketergantungan pasien terhadap


orang lain. Rehabilitasi medik dilakukan dengan latihan bertahap dan aman bagi
pasien. Rehabilitasi juga ditujukan bagi pasien pneumonia. (GA ADA
BAHANNYA REHAB MEDIK)

Anda mungkin juga menyukai