Anda di halaman 1dari 8

PELUANG PEMANFAATAN JAMUR NEMATOFAGUS

UNTUK MENGENDALIKAN NEMATODA PARASIT


PADA TANAMAN DAN TERNAK
Ika Mustika1 dan Riza Zainuddin Ahmad2
1

Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Jalan Tentara Pelajar No. 3, Bogor 16111
2
Balai Penelitian Veteriner, Jalan R.E. Martadinata No. 30, Bogor 16114

ABSTRAK
Penyakit yang disebabkan oleh nematoda parasit pada tanaman dan ternak (ruminansia kecil) di Indonesia sangat
merugikan. Pengendalian dengan menggunakan pestisida kimia pada tanaman dan obat cacing pada ternak dapat
menimbulkan dampak negatif berupa resistensi obat dan residu dalam jaringan, bila pestisida atau obat cacing
tersebut diberikan secara rutin. Penggunaan agen hayati (jamur nematofagus) merupakan salah satu cara pengendalian
yang ramah lingkungan dan berpeluang untuk dikembangkan di Indonesia. Mekanisme jamur tersebut dalam
membunuh nematoda adalah dengan membentuk jerat, sebagai endoparasit, merusak larva dan telur nematoda,
serta membuat toksin. Penelitian pada tanaman lada, nilam, dan jahe serta ternak kambing dan domba telah
mendapatkan beberapa isolat jamur nematofagus seperti Arthrobotrys spp., Dactylaria spp., Dactylella spp.,
Catenaria spp., dan Monacrosporium spp. Uji efektivitas secara in vitro dan in vivo menunjukkan bahwa penggunaan
Arthrobotrys spp., Dactylaria spp. atau Dactylella spp. mampu menekan populasi nematoda Meloidogyne incognita
dan Radopholus similis pada tanaman lada. Pada tanaman jahe dan nilam, selain menekan populasi nematoda
(Meloidogyne spp. dan Pratylenchus brachyurus), jamur nematofagus juga meningkatkan pertumbuhan dan
produktivitas tanaman. Pada ternak ruminansia kecil, penggunaan jamur Arthrobotrys oligospora dapat menekan
populasi nematoda Haemonchus contortus. Hasil penelitian ini membuka peluang pemanfaatan jamur nematofagus
untuk mengendalikan nematoda parasit pada tanaman dan ternak di mana nematoda menjadi masalah.
Kata kunci: Jamur nematofagus, pengendalian nematoda, lada, jahe, nilam, domba, kambing

ABSTRACT
The opportunity of using nematophagous fungi to control parasitic nematodes on plants and livestock
Diseases caused by nematode infection on plant and livestock are very harmful in Indonesia. The use of chemical
pesticide (nematicide) in plant or anthelmintic in livestock routinely to control nematodes may cause a negative
impact such as plant and livestock resistance and residue in plant and livestock tissues. The use of nematophagous
fungi as biological agents is one of the eco-friendly control methods and potential to be developed in Indonesia.
The mechanism of the fungi in killing nematodes is by making traps, as endoparasites, destroying larvae or eggs by
hyphae, or producing toxins. The results of some experiments revealed that several nematophagous fungi namely
Arthrobotrys spp., Dactylaria spp., Dactylella spp., Catenaria spp., and Monacrosporium spp. were found in plant
(black pepper, ginger, and patchouli) and in small ruminants (goat and sheep). The application of Arthrobotrys
spp., Dactylaria spp., and Dactylella spp. on black pepper, ginger, and patchouli were able to reduce nematode
population (Meloidogyne incognita, Radopholus similis, and Pratylenchus brachyurus), and increase plant growth
and productivity. The use of Arthrobotrys oligospora in small ruminants was able to reduce nematode (Haemonchus
contortus) population. The results gave the opportunity to develop biological control of nematodes attacking
plants and livestock by using nematophagous fungi.
Keywords: Nematophagous fungi, nematode control, Piper nigrum, Zingiber officinale, Pogostemon cablin,
goats, sheep

ematoda merupakan salah satu


masalah baik pada tanaman maupun
ternak. Nematoda yang menyerang
tanaman sudah banyak dilaporkan
terdapat di Indonesia, di antaranya adalah

Jurnal Litbang Pertanian, 23(4), 2004

nematoda buncak akar (Meloidogyne


incognita, M. javanica, M. hapla, dan
M. arenaria), nematoda pelubang akar
(Radopholus similis), dan nematoda luka
akar (Pratylenchus brachyurus, P.

penetrans). Nematoda yang menginfeksi


ternak antara lain adalah Bunostomum
spp., Cooperia spp., Haemonchus spp.,
Mesistorcirrus spp., Oesophagosomum
spp., Strongiloides spp., dan Tricho115

strongyloides spp. (Suhardono et al. 1995;


Beriajaya dan Copeman 1996).
Di Indonesia, cara pengendalian
nematoda pada tanaman dan ternak
dengan menggunakan agen hayati (jamur
nematofagus) sudah banyak dilakukan,
bahkan sudah sampai pada tahap aplikasi,
karena cara tersebut cukup efektif dan
aman baik terhadap manusia maupun
ternak. Ditinjau dari segi keamanan
lingkungan, pengendalian nematoda
dengan menggunakan agen hayati (jamur
atau bakteri) merupakan alternatif pilihan
yang lebih baik dibandingkan dengan cara
konvensional yang menggunakan pestisida kimia. Beberapa jamur yang
potensial untuk digunakan sebagai agen
pengendali hayati, baik terhadap nematoda parasit tanaman maupun ternak,
adalah Arthrobotrys spp., Catenaria spp.,
Dactylella spp., dan Verticillium spp.
(Barron 1977; Nazarudin dan Mustika
1996; Nazarudin 1997; Ahmad 2001).
Tulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan peluang pemanfaatan jamur
nematofagus sebagai agen pengendali
hayati nematoda parasit pada tanaman
dan ternak, khususnya ruminansia kecil.
Diharapkan dengan memanfaatkan jamur
nematofagus tersebut, penggunaan insekstisida kimia pada tanaman dan obat
cacing pada ternak dapat dikurangi
sehingga bahaya keracunan bahan kimia
dapat dihindarkan.

MASALAH NEMATODA
PARASIT PADA TANAMAN
DAN TERNAK
Nematoda Parasit pada
Tanaman
Nematoda merupakan salah satu jenis
Organisme Pengganggu Tumbuhan
(OPT) penting yang menyerang berbagai
jenis tanaman utama di Indonesia dan
negara-negara tropis lainnya. Kehilangan
hasil akibat serangan nematoda pada
tanaman di seluruh dunia mencapai US$
80 miliar/tahun (Price 2000). Di Indonesia, nematoda parasit dilaporkan
terdapat pada berbagai jenis tanaman,
baik tanaman pangan, hortikultura
maupun perkebunan (Puskara 2000).
Serangan nematoda dapat menurunkan
produksi sayuran sebesar 27% pada
tomat, 15% pada kentang, dan 20% pada
buncis (Hadisoeganda 1991), dan pada
116

jahe sekitar 65% (Mustika 1995). Pada


tanaman lada, serangan nematoda dapat
menimbulkan kerusakan sekitar 32%
(Sitepu dan Mustika 2000) dan pada
tanaman nilam 45% (Mustika dan
Nazarudin 1999).
Nematoda parasit tanaman, selain
berperan langsung sebagai patogen
penyebab penyakit, juga sebagai organisme yang membuat tanaman lebih
mudah terserang (predispose) patogen
lainnya seperti cendawan, bakteri atau
virus. Gejala penyakit akibat serangan
nematoda pada tanaman dapat dilihat
pada akar, batang, umbi, dan daun. Kerusakan akar akibat serangan nematoda
dapat menurunkan efisiensi akar dalam
menyerap air dan unsur hara. Oleh karena
itu, gejala umum serangan nematoda
hampir sama dengan gejala kekurangan
hara seperti daun menguning, pertumbuhan terhambat, dan tanaman tidak
tahan terhadap cekaman lingkungan.
Beberapa jenis nematoda parasit
yang menyerang tanaman di Indonesia
disajikan pada Tabel 1. Di antara jenis
nematoda tersebut, Meloidogyne spp.
(M. graminicola, M. hapla, M. incognita,
dan M. javanica), Pratylenchus spp.
(P. brachyurus dan P. coffeae), R. similis,
dan Globodera rostochiensis merupakan
nematoda yang paling merusak. Saat
ini pengendalian nematoda parasit
masih dilakukan dengan menggunakan
pestisida (nematisida) kimia. Penggunaan bahan kimia secara terus-menerus
dalam pengendalian nematoda dapat
menyebabkan pencemaran lingkungan,
resurjensi dan resistensi nematoda,
serta terbunuhnya musuh alami yang
mempunyai peranan dalam menjaga
keseimbangan hayati. Meskipun demikian, karena pestisida kimia masih
dianggap sebagai cara yang paling
efektif dalam mengendalikan nematoda,
pemanfaatan jamur nematofagus di
lapangan masih sangat terbatas.

Nematoda Parasit pada Ternak


Cacingan (nematodiasis) pada ternak
ruminansia merupakan salah satu masalah cukup penting di Indonesia, karena
penyakit tersebut dapat menurunkan
pertumbuhan ternak bahkan pada
serangan yang berat dapat mematikan
(Beriajaya et al. 1995). Di Indonesia,
nematodiasis bersifat endemis, dengan
rata-rata prevalensi di Indramayu (Jawa
Barat) sebesar 67% (Kusumamihardja dan

Zalizar 1992). Pada tahun 19811988,


penyakit ini dilaporkan terdapat di daerah
Aceh Besar, Lampung, Jawa Timur
(Surabaya), Yogyakarta, Bogor, dan Bali
dengan prevalensi 4592% (Suweta
1989). Nematodiasis atau disebut juga
haemonchiasis menyebabkan penurunan bobot badan, diare dan kekurusan
(Soulsby 1986). Rachmat et al. (1998)
melaporkan bahwa kerugian ekonomi
akibat nematoda parasit pada kambing
diperkirakan mencapai Rp7 miliar/tahun.
Beberapa jenis nematoda parasit dapat
menyebabkan cacingan pada domba,
kambing, dan sapi (Suhardono et al. 1995;
Beriajaya dan Copeman 1996), seperti
disajikan pada Tabel 2.
Di antara nematoda parasit pada
ternak, Haemonchus contortus merupakan salah satu jenis nematoda terpenting
pada ruminansia kecil (domba dan
kambing). Nematoda ini hidup di dalam
abomasum domba dan kambing. Dalam
siklus hidupnya, larva stadium 3 merupakan larva infektif. Siklus hidup
nematoda tersebut terdiri atas prainfektif,
infektif, pradewasa, dan dewasa. Dimulai
dengan telur yang keluar bersama tinja
oleh inang. Pada suhu, kelembapan dan
curah hujan yang cocok, telur kemudian
menetas menjadi larva stadium 1 dan 2
yang merupakan larva prainfektif. Larva
tersebut kemudian berkembang menjadi
larva stadium 3 yang infektif, dan dapat
bergerak aktif dalam 46 hari, kemudian
naik ke rerumputan atau batang semak.
Bila rumput tersebut dimakan kambing
atau domba, maka larva ikut termakan
oleh ternak dan menjadi patogenik bila
dapat hidup di dalam inang. Di dalam
inang, larva stadium 3 yang infektif akan
berkembang dan tumbuh menjadi larva
stadium 4 (pradewasa), kemudian berkembang menjadi dewasa yang siap
bertelur pada hari ke-15 sampai ke-20
setelah infeksi (Urquhart et al. 1987).
Pengendalian penyakit cacing pada
ternak umumnya dilakukan dengan menggunakan obat cacing (antelmintik), di
antaranya adalah benzimidazol, levamisol,
dan ivermectin (Haryuningtyas dan
Beriajaya 2002). Penggunaan obat cacing
secara terus-menerus dalam jangka waktu
yang lama dapat menimbulkan resistensi,
sehingga nematoda jenis baru akan lebih
tahan terhadap pengobatan selanjutnya
(Hashmi dan Connan 1989), dan adanya
residu akibat akumulasi di dalam jaringan
tubuh inang (Gronvold et al. 1996). Oleh
karena itu, pengendalian nematoda pada
Jurnal Litbang Pertanian, 23(4), 2004

Tabel 1. Nematoda parasit yang terdapat di Indonesia dan tanaman yang


diserang serta lokasi ditemukannya.
Jenis nematoda
Ditylenchus angustus
D. dipsaci
Globodera rostochiensis
Helicotylenchus caudatus
H. dihystera
H. erythrinae
H. multicinctus
Heterodera glycine
Hirschmaniella oryzae
Meloidogyme graminicola
M. hapla
M. incognita

M. javanica

Pratylenchus brachyurus
P. coffeae

P. penetrans
Radopholus similis

Rotylenchulus reniformis

Tylenchulus semipenetrans

Tanaman
terserang
Padi
Bawang putih
Kentang
Padi
Cengkeh
Cengkeh
Lada
Pisang
Kedelai
Padi
Padi
Pyrethrum
Kentang
Lada
Nilam
Tomat
Tembakau
Tebu
Cengkeh
Kopi
Lada
Nilam
Tembakau
Temu lawak
Jahe
Kapulaga
Kenaf
Nilam
Kopi
Lada
Jahe
Kentang
Lada
Jahe
Nilam
Te h
Temu lawak
Lengkuas
Kopi
Cengkeh
Tomat
Kentang
Jeruk

JAMUR NEMATOFAGUS
Habitat
Jamur nematofagus adalah salah satu
kelompok jamur antagonis terhadap
Jurnal Litbang Pertanian, 23(4), 2004

Jenis nematoda

Ternak yang
diserang

Bunostomum
Cooperia spp.
Haemonchus spp.
Mecistocirrus spp.
Oesophagostomum spp.
Strongyloides spp.
Trichostronyloides spp.

Domba
Domba,
Domba,
Sapi
Domba,
Domba
Domba,

Lokasi ditemukan
Sumatera, Jawa, Kalimantan Selatan
Jawa Tengah, Jawa Timur
Jawa, Sumatera Utara
Sumatera, Jawa, Kalimantan Selatan
Sumatera Selatan, Sumatera Barat
Sumatera Selatan, Sumatera Barat
Sumatera Selatan
Sumatera Barat
Jawa, Lampung
Jawa, Sumatera, Kalimantan Selatan
Jawa Tengah
Jawa Barat
Jawa Barat
Jawa, Sumatera Selatan, Lampung
Jawa, Sumatera Barat
Jawa
Indonesia
Jawa Timur
Sumatera Selatan, Sumatera Barat
Jawa, Bali, Kalimantan Barat
Jawa, Sumatera Selatan, Kalimantan
Barat
Jawa
Indonesia
Jawa Barat
Jawa, Bengkulu, Sumatera Utara
Jawa Barat
Indonesia
Jawa Barat, Sumatera Barat, Aceh
Jawa, Bali, Kalimantan Barat
Babel
Jawa Barat
Sumatera, Jawa, Bali
Babel, Kalimantan Barat
Jawa Barat, Bengkulu, Sumatera Utara
Jawa Barat
Jawa Barat
Jawa Barat
Jawa Barat
Jawa, Bali, Kalimantan Barat
Babel, Sumatera Barat
Jawa
Sumatera, Jawa, Bali
Jawa, Bali

Sumber: Puskara (2000).

tanaman dan ternak dengan menggunakan


jamur nematofagus merupakan suatu
pilihan yang tepat dan perlu dilakukan.

Tabel 2. Nematoda parasit pada ternak ruminansia di Indonesia.

nematoda baik pada tanaman maupun


ternak. Jamur tersebut merupakan penghuni tanah yang umum terdapat pada
berbagai habitat dan jenis tanah, serta
dapat ditemukan pada daerah tropis dan
subtropis. Jamur nematofagus cukup
banyak jenisnya dan menurut Barron
(1977) terdapat lebih dari 150 spesies.
Secara umum jamur nematofagus
tumbuh pada suhu 2030o C, kelembapan
90%, pH sedikit asam bergantung pada

sapi
sapi
sapi
sapi

Sumber: Suhardono et al. (1995); Beriajaya


dan Copeman (1996).
.

spesies, memerlukan oksigen dan sedikit


mineral. Sebagai contoh, jamur jenis
pembuat perangkap Arthrobotrys oligospora mempunyai suhu pertumbuhan
optimal 25o C dan pH 56, kelembapan
90%, dan kadar oksigen murni 100%
atau normal 21% untuk dapat membentuk perangkap secara optimal (Barron
1977; Gronvold et al. 1987; 1989). Jamur
endoparasit umumnya tumbuh lambat,
sedangkan jamur pembuat perangkap
atau penjerat tumbuh lebih cepat (Waller
et al. 1994; Persmark 1997). Jamur jenis
ini mempunyai kemampuan mengendalikan pertumbuhan nematoda dengan
cara sebagai predator, endoparasit, dan
pembuat toksin. Jamur nematofagus
merupakan jamur tanah, tumbuh pada
iklim sedang, hidup sebagai saprofit,
banyak ditemukan pada daun-daunan,
sampah, kotoran ternak, tinja, dan kompos
pertanian (Gronvold et al. 1985; 1987;
Larsen et al. 1991).

Mekanisme Infeksi
Peranan jamur nematofagus dalam
mengendalikan nematoda adalah sebagai
predator larva dan telur, endoparasit
pada larva, dan penghasil toksin. Jamur
tersebut membunuh nematoda dengan
cara membuat perangkap larva infektif,
menjadi endoparasit pada larva, melakukan penetrasi pada larva betina dan telur,
serta membunuh larva dengan toksinnya. Mekanisme jamur nematofagus
dalam menginfeksi nematoda parasit
tanaman dan hewan disajikan pada Tabel
3 dan 4.
Jamur predator seperti A. oligospora membuat perangkap atau penjerat
pada saat larva bergerak mengenai hifa.
Jamur tersebut mengeluarkan sekresi
117

Tabel 3. Jamur nematofagus yang dapat menginfeksi nematoda pada tanaman.


Jenis jamur

Mekanisme infeksi

Stylopage hadra
Arthrobotrys oligospora
Dactylaria candida
Dactylaria brochopaga
Catenaria sp.
Ryzocytium humicola
Meristacrum asterospermum
Harposporium angilulae
Nematoctonus sp.
Fusarium oxysporum
Verticillium chamidosporium
Paecilomyces lilacinus
Nematophthora gynophila

Nematoda terperangkap oleh hifa tidak bersepta


Membentuk jaringan bergetah lekat (sticky network)
Membentuk cincin dan benjolan adesif, menjerat
larva
Membentuk cincin yang menjerat larva
Zoospora menyerang larva
Zoospora melekat pada larva
Konidia melekat pada kutikula larva
Konidia tertelan larva
Spora masuk ke dalam tubuh nematoda
Parasit telur Heterodera schachtii
Parasit telur Meloidogyne spp.
Parasit telur Meloidogyne spp.
Parasit kista Heterodera spp.

Sumber: Sayre (1980); Mc Kenry dan Roberts (1985).

perekat yang mengandung zat kemoatraktan dan enzim pengurai kutikula


sehingga larva nematoda melekat, selanjutnya terjadi penetrasi pada kutikula
(Gronvold et al. 1993). Pada saat itu
terbentuk gelembung di dalam tubuh
larva, yang selanjutnya jamur akan
tumbuh berkembang dalam larva hingga
akhirnya larva mati. Pada A. oligospora,
jaring perangkap terbentuk dalam keadaan sedikit makanan dan rangsangan oleh
faktor fisika, kimia atau biologi, seperti
larva nematoda (Gronvold et al. 1987).

Gambar 1.

118

Tabel 4. Jamur nematofagus yang dapat menginfeksi nematoda


pada hewan.

Perangkap yang dibuat dapat berupa


perangkap yang sederhana atau kompleks, berbentuk cincin (Gambar 1).
Jamur tiram Pleurotus ostreatus dan
Pleurotus pulmonaris membunuh larva
Trichostrongyles pada sapi dan larva
cacing tanah dengan cara mengeluarkan
nematotoksin (Larsen dan Nansen 1990).
Bila jamur tersentuh larva nematoda
yang sedang bergerak, maka cacing
tersebut akan mati seketika. Toksin
tersebut adalah trans-2-decenediocic
acid (Persmark 1997).

Nematoda parasit tanaman Meloidogyne incognita (kiri) dan nematoda


parasit ternak Haemonchus contortus (kanan) yang terperangkap oleh
hifa jamur Arthrobotrys sp.

Jenis jamur

Mekanisme infeksi

Arthrobotrys spp.
Catenaria spp.
Dactylella spp.
Drechmeria spp.
Duddingtonia spp.
Genicularia spp.
Harposporium spp.
Hohenbuehlia spp.
Monacrosporium spp.
Nematoctonus spp.
Pleurotus spp.
Tridentaria spp.
Verticillium spp.

Perangkap, toksin
Endoparasit
Perangkap
Knob
Perangkap, toksin
Knob
Endoparasit
Knob
Perangkap
Knob
Toksin
Perangkap
Merusak telur

Sumber: Barron (1977); Waller dan Faedo


(1993); Ahmad (2001).

Pada jamur yang termasuk endoparasit, benang hifa tidak terbentuk,


namun jamur akan membentuk semacam
tabung atau konidiospora yang menghasilkan spora (Gronvold et al. 1996).
Apabila tertelan oleh larva nematoda,,
jamur tersebut berkembang biak di dalam
tubuh sampai larva mati, contohnya
Harposporium anguillulae. Sementara
itu, Verticillium chlamydosporium
membunuh telur nematoda dengan cara
benang hifa vegetatif jamur masuk ke
dalam alat reproduksi nematoda betina
yang telah mati melalui dindingnya dan
membunuh telur-telur yang ada di
dalamnya. Jamur jenis ini menginfeksi
nematoda dengan spora yang mempunyai perekat. Spora yang tidak mempunyai perekat akan ditelan atau dicerna
oleh nematoda, sedangkan spora yang
mempunyai perekat akan melekat masuk
ke dalam esofagus. Spora yang mempunyai perekat juga dapat melekat pada
kutikula nematoda, selanjutnya terjadi
infeksi pada bagian tersebut. Hampir
seluruh siklus hidup jamur endoparasit
ini terjadi di dalam tubuh nematoda,
misalnya Drechmeria coniospora.
Infeksi pada nematoda betina dimulai dari interior akar atau secara tidak
langsung melalui invasi sel-sel. Contohnya, jamur zoospora Catenaria auxiliaris.
Sementara itu, infeksi pada telur dilakukan oleh parasit fakultatif seperti
Verticillium spp. Infeksi terjadi melalui
penetrasi hifa ke dalam kista dan telur
(Persmark 1997).
Jurnal Litbang Pertanian, 23(4), 2004

PERBANYAKAN JAMUR
NEMATOFAGUS DAN
PEMANFAATANNYA PADA
TANAMAN DAN TERNAK
Penelitian pemanfaatan jamur nematofagus di Indonesia dimulai pada tahun
1990an namun berkembang secara perlahan. Pada tanaman, penelitian dilakukan lebih awal (Mustika et al. 1993)
dibandingkan pada ternak (Beriajaya
dan Ahmad 1999; Ahmad et al. 2001;
Beriajaya et al. 2001; Ahmad 2002; Ahmad
dan Beriajaya 2002). Pada tanaman,
penelitian diarahkan pada penggunaan
jamur Arthrobotrys sp., Dactylella sp.,
dan Dactylaria sp. berdasarkan hasil
survei yang dilakukan di Bangka (Babel),
Cianjur (Jawa Barat), dan Curup (Bengkulu) pada tahun 1993 dan 1995, serta
potensinya untuk digunakan sebagai
agen pengendali nematoda khususnya
Meloidogyne spp. (Nazarudin 1997). Pada
ternak, penelitian diarahkan pada jamur
A. oligospora dan D. flagrans (Waller
dan Larsen 1996), meski pada awalnya
terdapat banyak pilihan jenis jamur
nematofagus. Namun, sesuai dengan
kebutuhan dan kondisi, maka terpilih
kedua jamur tersebut.
Sebelum jamur nematofagus diperbanyak, jamur tersebut harus diisolasi
dari tanah, akar atau kotoran ternak.
Isolasi jamur di laboratorium dapat menggunakan media selektif yang miskin
nutrisi agar jamur tumbuh sebagai biakan
tunggal (monokultur), selanjutnya larva
nematoda ditambahkan sebagai sumber
makanannya. Selain itu, untuk mencegah
pertumbuhan bakteri diperlukan penambahan antibiotik. Semua larva nematoda
yang terperangkap akan terbunuh dalam
beberapa jam (Nansen et al. 1988). Bila
dalam sampel tanah, tinja atau akar
terdapat jamur nematofagus, maka jamur
ini akan tumbuh dan menginfeksi larva
nematoda tersebut dalam media biakan.
Selanjutnya biakan jamur diperbanyak
dengan menggunakan berbagai media
selektif yang diperkaya dengan nutrisi.

Cara Perbanyakan Jamur


Nematofagus
Perbanyakan isolat jamur nematofagus
dapat menggunakan berbagai pilihan
media, di antaranya potato dextrose agar
(PDA), malt agar (MA), yeast malt
agar (YMA), Sabourauds glucose agar
Jurnal Litbang Pertanian, 23(4), 2004

(SGA) atau Sabourauds dextrose agar


(SDA), dan corn malt agar (CMA) (Waller
dan Faedo 1993; Waller et al. 1994).
Nazarudin (1997) memperbanyak jamur
nematofagus (jamur penjerat nematoda)
dengan menggunakan beberapa media
buatan dan bahan alami seperti PDA,
potato dextrose broth (PDB), EM4,
dedak, dan jagung. Menurut Ahmad
(2002), media lokal tepung beras memberikan hasil yang lebih baik untuk
memperbanyak jamur nematofagus D.
flagrans dan Dactylella spp. dibandingkan dengan media jagung, dedak,
dan CMA. Selain itu, media lokal harganya lebih murah dibanding media impor.
Sebelum diaplikasikan, jamur nematofagus diperbanyak dengan menggunakan media beras jagung yang
dikukus sampai masak, selanjutnya
dikemas dalam kantong plastik tahan
panas dan disterilkan dalam autoclave
pada suhu 1200 C. Setelah dingin, media
diinokulasi dengan potongan biakan agar
yang mengandung hifa Arthrobotrys,
Dactylaria, Dactylella atau jamur
nematofagus lainnya. Biakan diinkubasi
pada suhu kamar selama 23 minggu.
Biakan dapat diaplikasikan di lapang bila
seluruh media jagung dalam plastik telah
tertutup oleh hifa jamur (biakan berwarna
putih). Kelemahan cara ini antara lain
adalah tidak tahan disimpan lama (tidak
stabil), mudah rusak, dan tidak praktis.
Untuk mempermudah aplikasi di lapang,
dibuat formula antara lain dengan
menggunakan kaolin, vermikulit, dan
gom arab yang kemudian diproses lebih
lanjut menjadi bentuk pelet atau butiran
(Harni et al. 2000). Untuk membuat
pelet, diperlukan 72 g gom arab, 350 g
vermikulit, dan 1.000 g kaolin.

Aplikasi Jamur Nematofagus


pada Tanaman
Beberapa uji pemanfaatan jamur nematofagus untuk mengendalikan nematoda
pada tanaman telah dilakukan baik di
rumah kaca maupun di lapang. Hasil
pengujian menunjukkan bahwa aplikasi
jamur Arthrobotrys sp., Dactylaria sp.,
dan Dactylella sp. pada tanaman lada
dapat menekan populasi nematoda dan
mengurangi penyebaran penyakit kuning
yang disebabkan oleh nematoda tersebut.
Pada tanaman nilam dan jahe, penggunaan jamur nematofagus dapat menekan
populasi nematoda, sehingga produktivitas tanaman meningkat.

Pada tanaman lada yang ditanam


dalam pot berisi 50 kg tanah, kemudian
ditempatkan di lapang dan diinokulasi
dengan nematoda Meloidogyne 500 ekor
dan R. similis 500 ekor/pot, aplikasi jamur
Arthrobotrys, Dactylaria, dan Dactylella
dalam bentuk biakan jagung sebanyak
150 g/pot/6 bulan dapat meningkatkan
pertumbuhan tanaman (tinggi tanaman)
dan menekan populasi nematoda (Mustika et al. 1997). Penggunaan jamur
nematofagus formula butiran dapat
menekan populasi M. incognita dan R.
similis pada akar lada berturut-turut
sebesar 59,7475,79% dan 49,40 93,40%
(Harni et al. 1999).
Pada tanaman jahe, penggunaan
jamur Arthrobotrys, Dactylella, dan
Dactylaria dalam bentuk suspensi
biakan agar sebanyak 125 ml/pot dapat
mengurangi populasi nematoda (Meloidogyne spp.) pada akar dan rimpang jahe
berturut-turut sebesar 68,9070,30% dan
81,8484,90%. Akibat populasi nematoda
rendah, produksi rimpang meningkat
berturut-turut sebesar 15,97%, 17,79%,
dan 16,98% (Nazarudin dan Mustika 1996).
Pada tanaman nilam, penggunaan
jamur Arthrobotrys sebanyak 25 g biakan
jagung/tanaman/6 bulan dapat menekan
populasi nematoda Meloidogyne spp.
dan Pratylenchus brachyurus pada
akar nilam berturut-turut sebesar 86,84%
dan 19,64% serta meningkatkan produksi daun basah 31,32%. Dengan menggunakan nematisida kimia (karbofuran),
produksi daun basah meningkat 44,93%.
Dari penelitian ini terdapat indikasi
bahwa jamur Arthrobotrys dapat dimanfaatkan untuk mengurangi penggunaan karbofuran (Mustika et al. 2000).

Aplikasi Jamur Nematofagus


pada Kambing dan Domba
Survei terhadap keberadaan jamur nematofagus pada kambing dan domba telah
dilakukan pada tahun 19952000 di Bogor
(Jawa Barat), Purworejo, Semarang, dan
Kendal (Jawa Tengah), serta Sei Putih
(Sumatera Utara). Hasil survei menunjukkan bahwa pada tinja (kotoran) ternak dan
tanah ditemukan beberapa jenis jamur
nematofagus, di antaranya adalah A.
oligospora, Verticillium spp., Fusarium
spp., Gliocladium spp., Cephalosporium
spp., Paecilomyces spp., Trichoderma
spp., Monacrosporium spp., Dactylaria
spp., dan Dactylella spp. (Ahmad 1998;
119

Beriajaya et al. 2001). Beberapa isolat


jamur tersebut telah diuji secara in vitro
dan in vivo terhadap nematoda yang
menyerang kambing dan domba (H.
contortus). Hasil pengujian in vitro
beberapa isolat jamur tersebut di atas
terhadap H. contortus menunjukkan
bahwa Fusarium poae, Trichoderma spp.,
A. oligospora, dan Duddingtonia
flagrans berpotensi untuk digunakan
sebagai pengendali hayati (Ahmad 2001;
Dewi 2001; Ahmad dan Beriajaya 2002;
Beriajaya dan Ahmad 2002).
Penggunaan jamur A. oligospora di
lapang telah dilakukan pada ternak
ruminansia kecil untuk mengatasi
nematoda parasit H. contortus. Hasil uji
pada kambing di Kendal tahun 1999 dan
di Bogor pada tahun 2000 tidak memperlihatkan hasil yang nyata, namun
pada domba di Kendal tahun 1999 dan
pada kambing di Sei Putih tahun 2000
memperlihatkan hasil yang sangat nyata.
Hasil uji ternyata dipengaruhi oleh
berbagai faktor dan yang utama adalah
waktu dan dosis pemberian, bila tepat
akan terlihat sangat efektif (Beriajaya et
al. 2001).
Secara in vitro, pemberian A. oligospora lebih dari 1.000 konidia/g tinja
kambing yang terinfeksi H. contortus
memberi hasil yang baik, artinya jamur
dapat digunakan sebagai pengendali
hayati. Karena daya tahan hidup jamur di
dalam saluran pencernaan cukup rendah,
maka dosis yang digunakan harus 23
kali lipat.
Pada kambing, pemberian A. oligospora 1 juta konidia/ekor melalui oral

setiap hari selama 2 minggu dapat


menurunkan jumlah larva H. contortus
dalam tinja sebesar 37,76% dan 19,89%
masing-masing pada 14 dan 16 hari setelah
pemberian (Beriajaya et al. 2001). Pada
domba, pemberian A. oligospora 1 juta
spora/ekor dapat mengurangi populasi H.
contortus dalam tinja sebesar 51,80
63,95% pada 1012 hari setelah pemberian (Beriajaya et al. 2001).

kambing dan domba tetap dikandang,


diberi pakan yang dicampur dengan jamur nematofagus, kemudian kotorannya
diaplikasikan pada tanaman untuk
mengendalikan nematoda pada tanaman
tersebut.

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas, dalam upaya


meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani, pengelolaan tanaman dapat
dilakukan secara terpadu dengan ternak.
Sistem terpadu tanaman dan ternak ini
sangat sesuai untuk diterapkan pada
tanaman lada, nilam, jahe atau tanaman
lainnya. Melalui introduksi ternak ke
dalam sistem pertanaman, kotoran ternak
dapat dimanfaatkan secara maksimal
untuk meningkatkan kualitas produk
tanaman menuju pertanian organik.
Pada lada atau tanaman lainnya
dengan jarak tanam yang cukup lebar (2 m
x 2 m), ternak kambing atau domba terinfeksi H. contortus dapat digembalakan
secara dilepas, dan diberi makanan yang
dicampur dengan jamur nematofagus.
Kotoran ternak yang mengandung jamur
nematofagus dapat diaplikasikan di sekitar
tanaman lada untuk mengendalikan
nematoda di dalam tanah. Pada tanaman
nilam, jahe atau tanaman lainnya yang
berjarak tanam sempit (50 cm x 50 cm),

Nematoda parasit dapat menyerang


tanaman dan ternak sehingga menimbulkan kerugian. Penggunaan jamur
nematofagus dapat mengurangi populasi
nematoda baik pada tanaman (lada, jahe,
dan nilam) maupun ternak (kambing dan
domba). Jamur tersebut merupakan
penghuni tanah dan banyak terdapat di
berbagai daerah di Indonesia, serta mudah
diisolasi dan diperbanyak dengan media
buatan dan bahan-bahan alami.
Dalam upaya mengendalikan nematoda parasit pada tanaman (lada, jahe,
dan nilam) dan ternak (kambing dan
domba), pemanfaatan jamur nematofagus
sebagai pengendali hayati merupakan
salah satu alternatif yang sangat potensial untuk dikembangkan di Indonesia.
Aplikasinya pada tanaman dapat dilakukan dengan menggunakan biakan
jamur tersebut dalam media jagung, beras
atau dedak. Aplikasi pada domba dapat
dilakukan secara oral dengan mencampur jamur tersebut dengan pakan.
Pemanfaatan jamur nematofagus untuk
mengendalikan nematoda pada tanaman
dan ternak dapat dilakukan melalui
sistem pengelolaan terpadu tanaman dan
ternak.

Ahmad, R.Z. 2002. Media lokal untuk pertumbuhan kapang nematofagus sebagai
sebuah model. Prosiding Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner, CiawiBogor, 30 September1 Oktober 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 444449.

Beriajaya, S.E. Estuningsih, Darmono, M.R.


Knox, D.R. Stoltz, and A.J. Wilson. 1995.
The use of wormolas in controlling
gastrointestinal nematode infections in
sheep under traditional grazing management in Indonesia. Jurnal Ilmu Ternak dan
Veteriner 1(1): 4955.

Ahmad, R.Z. dan Beriajaya. 2002. Efek nematofagus kapang Fusarium poae isolat lokal
terhadap larva 3 Haemonchus contortus
secara in vitro. Jurnal Mikologi Kedokteran
Indonesia 3(12): 913.

Beriajaya and D.B. Copeman. 1996. Seasonal


differences in the effect of nematode
parasitism on weight gain of sheep and
goats in Cigudeg, West Java. Jurnal Ilmu
Ternak dan Veteriner (2): 6672.

Barron, G.I. 1977. The nematode destroying


fungi. In Tropics in Mycology No.1.
Canadian Biological Publication Ltd. Guelph,
Ontario, Canada.

Beriajaya dan R.Z. Ahmad. 1999. Kapang


Arthrobotrys oligospora untuk pengendalian
cacing Haemonchus contortus pada domba.
Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan

Pengelolaan Terpadu Tanaman


dan Ternak

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, R.Z. 1998. Penelitian Penanggulangan
Haemonchiasis pada Ternak Domba dengan
Kontrol Biologi. Laporan Penelitian APBN
tahun anggaran 1997/1998. Balai Penelitian
Veteriner, Bogor.
Ahmad, R.Z. 2001. Isolasi dan Seleksi Kapang
Nematofagus untuk Pengendalian Haemonchiasis pada Domba. Tesis Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Ahmad, R.Z., F. Satrija, J. Ridwan, dan M. Larsen.
2001. Isolasi dan identifikasi kandidat
kapang nematofagus Arthrobotrys spp.,
endoparasit, Monacrosporium spp. dari
beberapa lokasi di daerah Bogor. Jurnal
Mikologi Kedokteran Indonesia 140144.

120

Jurnal Litbang Pertanian, 23(4), 2004

Veteriner 1998, Jilid II hlm. 980985. Pusat


Penelitian dan Pengembangan Peternakan,
Bogor.
Beriajaya, R.Z. Ahmad, dan E. Kusumaningtyas.
2001. Efikasi kapang nematofagus pada
domba dan kambing di daerah Kendal, Jawa
Tengah. Prosiding Seminar Peternakan dan
Veteriner 2000. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm.
498503.
Beriajaya dan R.Z. Ahmad. 2002. Pengurangan
larva cacing Haemonchus contortus oleh
konidia kapang Trichoderma sp. secara in
vitro. Prosiding Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner, Ciawi-Bogor, 30
September1 Oktober 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan,
Bogor. hlm. 398401.
Dewi, I.P. 2001. Efek dari Gliocladium spp.
terhadap Larva 3 Haemonchus contortus
secara in vitro. Skripsi Sarjana Biologi,
Universitas Nasional, Jakarta.
Gronvold, J., H. Korshollm, J. Wolstrup, P.
Nansen, and S.A. Henriksen. 1985.
Laboratory experiments to evaluate the
ability of Arthrobotrys oligospora to destroy
infective larvae Cooperia spesies and to
investigate the effect of physical factors on
the growth of the fungus. J. Helminthol. (59):
119125.
Gronvold, J., J. Wolstrup, S.A. Henriksen, and P.
Nansen. 1987. Field experiments on the
ability of Arthrobotrys oligospora (Hyphomycetales) to reduce the number of larvae
of Cooperia oncophora (Trichostrongylidae) in cow pats and surrounding grass. J.
Helminthol. 61: 6571.
Gronvold, J., S.A. Henriksen, P. Nansen, J.
Wolstrup, and J. Thylin. 1989. Attemps to
control infection with Ostertagia ostertagi
(Trichostrongylidae) in grazing calves by
adding mycelium of the nematode-trapping
fungus Arthrobotrys oligospora (Hyphomycetales) to cow pats. J. Helminthol. 63: 115
126.
Gronvold, J., J. Wolstrup, P. Nansen, S.A.
Henriksen, M. Larsen, and J. Bresciani.
1993. Biological control of nematode
parasites in cattle with nematode trapping
fungi: a survey of Danish studies. Vet.
Parasitol. 48: 311325.
Gronvold, J., S.A. Henriksen, M. Larsen, P.
Nansen, and J. Wolstrup. 1996. Biological
control aspects of biological control-with
special reference to arthropods, protozoans
and helminthes of domesticated animals.
Vet. Parasitol. 64: 4764.
Hadisoeganda, A.W. 1991. Pancaran, identifikasi
dan prevalensi nematoda bengkok akar di
sentra daerah penanaman sayuran dataran
tinggi di Indonesia. Buletin Penelitian
Hortikultura XX(3): 6271.
Harni, R., I. Mustika, dan B.N. Susilo. 1999.
Kajian teknik informasi jamur pemangsa
nematoda untuk pengendalian nematoda
penyebab penyakit kuning lada. Laporan

Jurnal Litbang Pertanian, 23(4), 2004

Teknis Penelitian Balai Penelitian Tanaman


Rempah dan Obat, Bogor. hlm. 133140.
Harni, R., I. Mustika, dan S.B. Nazarudin. 2000.
Kajian teknik formulasi jamur pemangsa
nematoda untuk mengendalikan penyakit
kuning lada. Laporan Bagian Proyek Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Tahun
1999/2000. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. hlm. 133140.
Haryuningtyas, D. dan Beriajaya. 2002. Metode
deteksi resistensi terhadap antelmintik pada
domba dan kambing. Wartazoa 12(2): 72
79.
Hashmi, H.A. and R.M. Connan. 1989. Biological
control of ruminant Trichostrongylids by
Arthrobotrys oligospora, a predacious
fungus. Parasitol. Today 5(1): 2830.
Kusumamihardja, S. dan L. Zalizar. 1992
Pengaruh musim pada hipobiose Haemonchus contortus dan fluktuasi populasi
nematoda saluran pencernaan domba di
Indramayu, Jawa Barat. Prosiding Seminar
Nasional Hasil Penelitian Perguruan Tinggi.
hlm. 171192.
Larsen, M. and P. Nansen. 1990. Effect of oyster
mushroom Pleurotus pulmonarius on
preparasitic larvae of bovine Trichostronyles. Acta Veterinarian Scandinavia
312: 509510.
Larsen, M., J. Wolstrup, S.A. Henriksen, C.
Dackman, J. Gronvold, and P. Nansen. 1991.
In vitro stress selection of nematophagous
fungi for biocontrol of parasitic nematodes
in ruminants. J. Helminthol. 65: 193200.
Mc.Kenry, M.V. and P.A. Roberts. 1985.
Phytonematology Study Guide. Cooperation
Extension Univ. of California. 56 pp.
Mustika, I., A.S. Rachmat, and D. Sudradjat. 1993.
The influence of organic matters on the
growth of black pepper, nematode population and antagonistic microorganism. J.
Spice and Medical Crops 11(1): 1117.
Mustika, I. 1995. Serangan nematoda pada
tanaman rempah dan obat. Media Komunikasi Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Industri 15: 2833.
Mustika, I., B.N. Susilo, dan R. Harni. 1997.
kajian teknis aplikasi agensia hayati jamur
dan bakteri untuk mengendalikan nematoda
pada lada. Laporan Teknis Penelitian. Balai
Penelitian Tanaman Rempah dan Obat,
Bogor. hlm. 137143.
Mustika, I. dan S.B. Nazarudin. 1999. Nematoda
pada tanaman nilam. Monograf Tanaman
Nilam. Balai Penelitian Tanaman Rempah
dan Obat, Bogor. hlm. 8995.
Mustika, I., R.S. Djiwanti, dan R. Harni. 2000.
Pengaruh agensia hayati, bahan organik dan
pestisida nabati terhadap nematoda tanaman
nilam. Laporan Teknis Penelitian Bagian
Proyek Penelitian Tanaman Rempah dan
Obat Tahun 1999/2000. Buku III. hlm. 85
91. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan
Obat, Bogor.

Nansen, P., J. Gronvold, S.A. Henriksen, and J.


Wolstrup. 1988. Interactions between the
predacious fungus Arthrobotrys oligospora
and third-stage larvae of a eries of animalparasitic nematodes. Vet. Parasitol. 26: 329
337.
Nazarudin, S.B. dan I. Mustika. 1996. Penggunaan
jamur penjerat untuk pengendalian hayati
Meloidogyne spp. pada jahe. Proc. Seminar
on Integrated Control of Main Diseases of
Industrial Crops. Bogor, 1314 March 1996.
Research Institute for Spice and Medicinal
Crops and Japan International Cooperation
Agency. p. 193197.
Nazarudin, S.B. 1997. Jamur penjerat nematoda
dan pemanfaatannya sebagai agensia pengendali hayati nematoda parasit tanaman.
Prosiding Kongres Nasional XIV dan Seminar
Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia, Palembang 2729 Oktober 1997.
hlm. 202208.
Persmark, L. 1997. Disertation Ecology of
Nematophagous Fungi in Agricultural Soils.
Department of Ecology Microbia, Ecology
Lund University, Sweden.
Price, T.V. 2000. Plant-parasitic nematodes.
Prosiding Pelatihan Nematologi. Jakarta
1630 Juli 2000. Pusat Karantina Pertanian,
Jakarta. hlm. 2734.
Puskara. 2000. Daftar Organisme Pengganggu
Tumbuhan Potensial yang Dilaporkan Telah
Terdapat di Dalam Wilayah Republik
Indonesia. Puskara, Jakarta. 328 hlm.
Rachmat, R., Abd. Rauf, dan M.Z. Kanro. 1998.
Kontribusi getah pepaya dalam pengendalian
penyakit cacing pada kambing. Prosiding
Seminar Hortikultura. Kerja Sama Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas
Hasanuddin dengan Instalasi Penelitian dan
Pengkajian Pertanian Jeneponto, Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Kendari.
hlm. 432434.
Sayre, R.M. 1980. Promising organisms for
biocontrol of nematodes. Plant Dis. 64: 526
532.
Sitepu, D. and I. Mustika. 2000. Disease of black
pepper and their management in Indonesia.
In P.N. Ravindran (Ed.). Black Pepper.
Piper nigrum. Medicinal and Aromatic
PlantsIndustrial Profiles. Harwood Academic Publishers, Australia, Canada, France,
Germany, India, Japan, Luxembourg, Malaysia, The Netherland, Russia, Singapore,
Switzerland. p. 297308.
Soulsby, E.J.L. 1986. Helminths, Protozoa and
Arthropods of Domesticated Animal. 7th.
Edition. Bailliere Tindall, London.
Suweta, I.G.P. 1989. Review on important
helminthic diseases in animal in Indonesia.
Buletin Penelitian Kesehatan 17(2): 3443.
Suhardono, S. Partoutomo, dan M.R. Knox.
1995. Pengaruh infeksi cacing nematoda
pada sapi perah laktasi di Kabupaten Garut,
Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional
Teknologi Veteriner. Cisarua Maret 1994.

121

Balai Penelitian Veteriner, Bogor. hlm. 250


255.
Urquhart, G.M., J. Armour, J.L. Duncan, A.M.
Dunn, and F.W. Jennings. 1987. Veterinary
Parasitology. Dept. of Veterinary Parasitology, Faculty of Veterinary Medicine, The
University of Glasgow, Scotland, Longman
Scientific & Technical. Published in USA by
Churchill Livingstone Inc., New York.

122

Waller, P. and M. Faedo. 1993. The potential of


nematophagous fungi to control the freeliving stages of nematode parasites of sheep:
Screening studies. Vet. Parasitol. 49: 285
297.
Waller, P., M. Larsen, and D.R. Hennessy. 1994.
The potential of nematophagous fungi to
control the free-living stages of nematode

parasites of sheep: In vitro and in vivo studies.


Vet. Parasitol. 51: 289299.
Waller, P. and M. Larsen. 1996. Workshop
summary: Biological control of nematode
parasites of livestock. Vet. Parasitol. 64:
135137.

Jurnal Litbang Pertanian, 23(4), 2004

Anda mungkin juga menyukai