Anda di halaman 1dari 60

HUBUNGAN PEMBERIAN PENDIDIKAN SEKS SEJAK DINI

DENGAN PERILAKU SEKSUAL PADA REMAJA di SMA NEGERI 05


DEPOK TAHUN 2014

Proposal Skripsi
Untuk Memenuhi Tugas Metode Penelitian
Nama Dosen : Rina Wijayanti AmKeb, SKM, Mkes

DISUSUN OLEH :

TRINA WELASSARI

PROGRAM STUDI D IV KEBIDANAN


STIKES BHAKTI PERTIWI INDONESIA
2014
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sering kali dengan gampang orang mendefinisikan remaja sebagai
periode transisi antara masa anak-anak ke masa dewasa, masa usia belasan
tahun, atau seseorang yang menunjukan tingkah laku tertentu seperti susah
diatur, mudah terangsang perasaannya, dan sebagainya. Masalahnya sekarang,
kita tidak pernah berhenti dengan hanya menyatakan bahwa mendefinisikan
remaja itu sulit. Sulit atau mudah, masalah-masalah yang menyangkut
kelompok remaja kian hari kian bertambah. Berbagai tulisan, ceramah,
maupun seminar yang mengupas berbagai segi kehidupan remaja, termasuk
kenakalan remaja, perilaku seksual remaja, dan hubungan remaja dengan
orang tuanya, menunjukkan betapa seriusnya masalah ini dirasakan oleh
masyarakat (Sarwono, 2007).
Sarwono (2007) menyatakan bahwa perubahan-perubahan fisik yang
terjadi pada perkembangan jiwa remaja yang terbesar pengaruhnya adalah
pertumbuhan tubuh (badan menjadi semakin panjang dan tinggi). Selanjutnya,
mulai berfungsinya alat-alat reproduksi (ditandai dengan haid pada wanita dan
mimpi basah pada laki-laki) dan tanda-tanda seksual sekunder yang tumbuh
sehingga menyebabkan mudahnya aktivitas seksual (terutama dikalangan
remaja) dilanjutkan dengan hubungan seks (Sarwono 2007 dan Pasti, 2008).
Hasil penelitian di sejumlah kota besar di Indonesia menunjukkan sekitar
20% sampai 30% remaja mengaku pernah melakukan hubungan seks (DUTA,
Edisi No. 230/ Th.XVIII/ September 2006). Maka jangan heran kehamilan
pranikah semakin sering terjadi. Disinyalir jumlah angka (persentase) yang
sesungguhnya jauh lebih besar daripada data yang tercatat (Pasti, 2008).
Berdasarkan sumber dari Hanifah (2000), bahwa beberapa hasil
penelitian di Indonesia menunjukan adanya penurunan batas usia hubungan
2

seks pertama kali. Menurut Iskandar (1998) sebanyak 18% responden di


Jakarta berhubungan seks pertama di bawah usia 18 tahun dan usia termuda 13
tahun. Sedangkan menurut Utomo (1998), menyatakan bahwa remaja Manado
yang sudah aktif secara seksual, melakukan hubungan seks pertama pada usia
di bawah 16 tahun sebanyak 56,8% pada remaja pria dan 33,3% pada remaja
putri (Sarwono, 2007).
Dr. Boyke Dian Nugraha, pakar seks dan spesialis Obstetri dan
Ginekologi,

menyatakan

bahwa

penyebabnya

antara

lain

maraknya

pengedaran gambar dan VCD porno, kurangnya pemahaman akan nilai-nilai


agama, keliru dalam memaknai cinta, minimnya pengetahuan remaja tentang
seksualitas serta belum adanya pendidikan seks secara reguler hingga formal
di sekolah-sekolah. Itulah sebabnya informasi tentang makna hakiki cinta dan
adanya kurikulum kesehatan reproduksi di sekolah mutlak di perlukan (Pasti,
2008).
Harus diakui, sampai saat ini di kalangan masyarakat tertentu, bebicara
soal seks masih dianggap masalah yang tabu. Seks belum menjadi wacana
publik. Pro kontra masih saja ada. Oleh karena itu, jarang sekali di jumpai
pembicaraan perihal seks secara terbuka. Namun disisi lain (fakta yang tidak
terbantahkan), masalah seks juga berjalan terus. Untuk itu, sosialisasi
pemahaman tentang makna hakiki cinta dan perlunya kurikulum kesehatan
reproduksi di sekolah sangat perlu sebagai salah satu alternatif yang dapat
ditempuh untuk memfilter perilaku destruktif seksual remaja (Pasti, 2008).
Rasa ingin tahu terhadap masalah seksual pada remaja sangat penting
dalam pembentukan hubungan baru yang lebih matang dengan lawan jenis.
Pada masa remaja, informasi tentang masalah seksual sudah seharusnya mulai
diberikan supaya remaja tidak mendapatkan informasi yang salah dari sumbersumber yang tidak jelas. Pemberian informasi masalah seksual menjadi
penting terlebih lagi mengingat remaja berada dalam potensi seksual yang
aktif, karena berkaitan dengan dorongan seksual yang dipengaruhi hormon
3

dan tidak cukupnya informasi mengenai aktifitas seksual mereka sendiri.


Tentu saja hal tersebut akan sangat berbahaya bagi perkembangan jiwa remaja
bila tidak didukung dengan pengetahuan dan informasi yang tepat (Glevinno,
2008).
Pengetahuan remaja tentang seks masih sangat kurang. Faktor ini
ditambah dengan informasi keliru yang diperoleh dari sumber yang salah,
seperti mitos seputar seks, VCD porno, situr porno di internet, dan lainnya
akan membuat pemahaman dan persepsi anak tentang seks menjadi salah.
Pendidikan seks sebenarnya berarti pendidikan seksualitas yaitu suatu
pendidikan seksual dalam arti luas yang meliputi berbagai aspek yang
berkaitan dengan seks, diantaranya aspek biologis, orientasi, nilai sosiokultur
dan moral serta perilaku.
Terlepas dari pro dan kontra pemblokiran situs porno yang sempat marak
diberitakan di berbagai media. Di era globalisasi sekarang ini pengenalan seks
sejak dini dirasa cukup penting, mengingat anak-anak dengan mudah
mendapat informasi dari berbagai media seperti majalah, buku, TV, VCD dan
Internet. Sebagai orang tua, tentunya tidak menginginkan anak-anaknya
mencari pengetahuan tentang seks dengan caranya sendiri seperti mengakses
situs-situs porno atau menonton VCD porno dan lain-lain.
Berdasarkan latar belakang dan fenomena di atas, maka selanjutnya penulis
tertarik untuk meneliti permasalahan tersebut dengan judul Hubungan
Pemberian Pendidikan Seks Sejak Dini Dengan Perilaku Seksual Pada
Remaja Di SMA Negeri 05 Depok Tahun 2014.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis merumuskan masalah
dalam penelitian ini adalah Bagaimana Hubungan Pemberian Pendidikan Seks
4

Sejak Dini Dengan Perilaku Seksual Pada Remaja di SMA Negeri 05 Depok
Tahun 2014?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum pada penelitian ini adalah untuk Mengetahui Hubungan
Pemberian Pendidikan Seks Sejak Dini Dengan Perilaku Seksual Pada
Remaja Di SMA Negeri 05 Depok Tahun 2014.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui gambaran tentang pemberian pendidikan seks sejak
dini pada remaja di SMA Negeri 05 Depok tahun 2014.
b. Untuk mengetahui gambaran tentang perilaku seksual pada remaja di
SMA Negeri 05 Depok tahun 2014.
c. Untuk mengetahui hubungan antara pemberian pendidikan seks sejak
dini dengan perilaku seksual pada remaja di SMA Negeri 05 Depok
tahun 2014.
D. Manfaat Penelitian
1. Institusi STIKes
a. Memberikan masukan dan informasi tentang pentingnya pengetahuan
pendidikan seks bagi remaja.
b. Menambah studi kepustakaan tentang pendidikan seks sehingga dapat
dijadikan masukkan dalam penelitian selanjutnya.

2. SMA Negeri 05 Depok


a. Memberikan informasi tentang pendidikan seks sehingga tidak
menimbulkan penyimpangan perilaku seksual pada remaja.
b. Sebagai bahan pengkajian dan pengembangan kurikulum terutama
penilaian tentang pendidikan seks khususnya pada remaja.
3. Peneliti
Untuk peningkatan pengalaman dan wawasan bagi peneliti sendiri dalam
menganalisa hubungan pemberian pendidikan seks sejak dini dengan
perilaku seksual pada remaja, serta sebagai bahan referensi untuk peneliti
selanjutnya.
E. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini dibatasi untuk mengetahui Hubungan Pemberian
Pendidikan Seks Sejak Dini Dengan Perilaku Seksual Pada Remaja Di SMA
Negeri 05 Depok Tahun 2014. Penelitian ini terdiri dari dua variabel yaitu
variabel bebas dan terikat. Variabel bebas yaitu Pemberian Pendidikan Seks
Sejak Dini, sedangkan variabel terikatnya yaitu Pengetahuan Sexual.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pemberian
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, bahwa yang
dimaksud dengan pemberian adalah sesuatu yang diberikan atau sesuatu yang
didapat dari orang lain karena diberi (Diknas, 2005).
6

B. Pendidikan
1. Konsep Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan adalah suatu penerapan konsep pendidikan di
dalam bidang kesehatan. Dilihat dari segi pendidikan, pendidikan
kesehatan adalah suatu pedagogik praktis atau praktek pendidikan. Oleh
sebab itu, konsep pendidikan kesehatan adalah konsep pendidikan yang di
aplikasikan pada bidang kesehatan. Konsep dasar pendidikan adalah suatu
proses belajar yang berarti didalam pendidikan itu terjadi proses
pertumbuhan, perkembangan atau perubahan kearah yang lebih dewasa,
lebih baik dan lebih matang pada diri individu, kelompok atau masyarakat.
Konsep ini berangkat dari suatu asumsi bahwa manusia sebagai
makhluk sosial dalam kehidupannya untuk mencapai nilai-nilai hidup
didalam masyarakat selalu memerlukan bantuan orang lain yang
mempunyai kelebihan (lebih dewasa, lebih pandai, lebih mampu, lebih
tahu dan sebagainya). Dalam mencapai tujuan tersebut, seorang individu,
kelompok

atau

masyarakat

tidak

terlepas

dari

kegiatan

belajar

(Notoatmodjo, 2003).
2. Ruang Lingkup Pendidikan Kesehatan
Ruang lingkup pendidikan kesehatan dapat dilihat dari berbagai
dimensi, antara lain dimensi sasaran pendidikan, dimensi tempat
pelaksanaan atau aplikasinya dan dimensi tingkat pelayanan kesehatan.
Dari dimensi sasarannya, pendidikan kesehatan dapat dikelompokkan
menjadi 3 diantaranya:
a. Pendidikan kesehatan individual dengan sasaran individu.
7

b. Pendidikan kesehatan kelompok dengan sasaran kelompok.


c. Pendidikan kesehatan masyarakat dengan sasaran masyarakat luas.
Dimensi

tempat

pelaksanaannya,

pendidikan

kesehatan

dapat

berlangsung di berbagai tempat, dengan sendirinya sasarannya berbeda


pula, misalnya:
a. Pendidikan kesehatan disekolah, dilakukan disekolah dengan sasaran
murid.
b. Pendidikan kesehatan di rumah sakit, dilakukan di rumah sakit-rumah
sakit dengan sasaran pasien atau keluarga pasien, di Puskesmas dan
sebagainya.
c. Pendidikan kesehatan ditempat-tempat kerja dengan sasaran buruh atau
karyawan yang bersangkutan.
Dimensi tingkat pelayanan kesehatan, pendidikan kesehatan dapat
dilakukan berdasarkan lima tingkat pencegahan (five levels of prevention)
dari Leavel dan Clark, sebagai berikut:
a. Promosi Kesehatan (Health Promotion)
Dalam tingkat ini pendidikan kesehatan diperlukan misalnya dalam
peningkatan gizi, kebiasaan hidup, perbaikan sanitasi lingkungan
hygiene perorangan dan sebagainya.
b. Perlindungan Khusus (Specifik Protection)
Dalam program imunisasi sebagai bentuk pelayanan perlindungan
khusus ini pendidikan kesehatan sangat diperlukan terutama dinegaranegara berkembang. Hal ini karena kesadaran masyarakat tentang

pentingnya imunisai sebagai perlindungan terhadap penyakit pada


dirinya maupun pada anak-anaknya masih rendah.
c. Diagnosis Dini dan Pengobatan Segera (Early Diagnosis and
Prompt Treatment)
Dikarenakan rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat
terhadap kesehatan dan penyakit, maka sering sulit mendeteksi
penyakit-penyakit yang terjadi didalam masyarakat, bahkan kadangkadang masyarakat sulit atau tidak mau diperiksa dan diobati
penyakitnya. Hal ini menyebabkan masyarakat tidak memperoleh
pelayanan kesehatan yang layak. Oleh sebab itu, pendidikan kesehatan
sangat diperlukan pada tahap ini.
d. Pembatasan Cacat (Disability Limitation)
Oleh karena kurangnya pengertian dan kesadaran masyarakat tentang
kesehatan dan penyakit, maka sering masyarakat tidak melanjutkan
pengobatannya sampai tuntas. Dengan kata lain mereka tidak
melakukan pemeriksaan dan pengobatan yang komplit terhadap
penyakitnya. Pengobatan yang tidak layak dan sempurna dapat
mengakibatkan orang yang bersangkutan cacat atau ketidakmampuan.
e. Rehabilitasi (Rehabilitation)
Setelah sembuh dari suatu penyakit tertentu, kadang-kadang orang
menjadi cacat. Untuk memulihkan cacatnya tersebut kadang-kadang
diperlukan latihan-latihan tertentu. Oleh karena kurangnya pengertian
dan kesadaran orang tersebut, ia tidak atau segan melakukan latihanlatihan yang dianjurkan. Disamping itu orang yang cacat setelah
sembuh dari penyakit, kadang-kadang malu untuk kembali ke
masyarakat (Notoatmodjo, 2003).

3. Peranan Pendidikan Kesehatan


Semua ahli kesehatan masyarakat dalam membicarakan status kesehatan
mengacu kepada H. L. Blum. Dari hasil penelitiannya di Amerika Serikat
sebagai salah satu negara yang sudah maju Blum menyimpulkan bahwa
lingkungan mempunyai andil yang paling besar terhadap status kesehatan.
Kemudian berturut-turut disusul oleh perilaku mempunyai andil nomor
dua, pelayanan kesehatan dan keturunan mempunyai andil yang paling
kecil terhadap status kesehatan (Notoatmodjo, 2003).

C. Usia Dini
Istilah pembelajar usia dini dapat ditafsirkan beragam. Istilah usia dini
dapat merujuk pada usia anak-anak. Namun istilah ini dapat pula merujuk
pada bagian dari usia anak-anak. Untuk mendapatkan kesamaan sudut
pandang dalam bahasan pada makalah ini, istilah usia dini perlu diberi
batasan terlebih dahulu.
Salah satu bentuk kepedulian Pemerintah dan lembaga kenegaraan lain
terhadap anak-anak sebagai generasi penerus bangsa tercermin pada upaya
dengan telah diterbikannya piranti legal formal yang mengatur pengertian
anak dan usia dini. Pada Undang Undang Pelindungan Anak UU PA Bab I
pasal 1 ayat 1 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan. Sedangkan menurut UU no 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional dalam Bab 1 pasal 1 ayat 14, yang dimaksud anak
usia dini adalah mereka yang berusia antara 0-6 tahun. Batasan tersebut di atas
jelas menegaskan bahwa anak usia dini adalah bagian dari usia anak.
Para ahli di Tufts University merinci 4 kategori, yaitu bayi (0-2), usia dini
(2-6), kanak-kanak (6-13), dan remaja (13-16). Dua kelompok pertama pada
10

katagori ini mencakup pengertian pembelajar usia dini seperti yang digariskan
dalam UU No 20 tahun 2003. Semetara itu, Scott dan Ytreberg (1990:1)
menyebut batasan usia 5 hingga 11 tahun sebagai pembelajar muda (young
learners). Slattery dan Willis (2001:17) mengajukan 2 kelompok kategorisasi:
pembelajar sangat muda (< 7) dan pembelajar muda (> 7 tahun). Meskipun
tidak menyebut secara eksplisit, kategorisasi terakhir ini mencakup pembelajar
kanak-kanak

namun

mengesampingkan

pembelajar

remaja.

Apabila

interpretasi ini benar, maka pembelajar muda dalam kategori ini meliputi
mereka yang memiliki usia antara 7-13 tahun. Batasan ini mendekati batasan
yang disebut oleh Scott dan Ytreberg (1990:1).
Dalam diskusi ini yang dimaksud usia dini adalah mereka yang berusia
lebih dari 2 tahun. Bayi, yaitu mereka yang berusia 0-2 tahun, tidak
dimasukkan dalam batasan ini. Dari segi pemerolehan bahasa, penanganan
keterbatasan perkembangan bahasa bayi lebih banyak merupakan ranah ahliahli lain selain praktisi guru, misalnya dokter anak, speech therapist, atau ahli
lainnya. Juga, untuk kepraktisan jangkauan pembahasan dan keteraplikasian
pembahasaan dalam tulisan ini, pengertian pembelajar usia dini secara luwes
dapat juga ditafsirkan pembelajar yang termasuk memiliki usia antara 7-13
tahun.
Dengan batasan ini, yang dimaksud pembelajar usia dini adalah mereka
yang berusia > 2 namun berusia < 13 tahun. Batasan ini sesuai dengan batasan
yang dikemukakan oleh Brumfit, Moon dan Tongue (1991:v). Dalam jenjang
pendidikan batas terendah usia dini dalam pengertian ini dalah mereka yang
memulai atau duduk di taman kanak-kanak atau kelompok bermain,
sedangkan jenjang pendidikan tertingginya adalah kira-kira mereka yang
duduk di jenjang sekolah dasar kelas enam.
Pendidikan anak usia dini adalah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa
bagi mereka yang berusia antara 0-6 tahun, yaitu upaya pembinaan yang
dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu
11

pertumbuhan dan perkembangan jasmani rohani agar anak memiliki kesiapan


dalam memasuki pendidikan lanjut (UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, Bab 1 pasal 1 ayat 14). Bentuk penyelenggaraan
pendidikan anak usia dini dapat dilakukan melalui berbagai cara. Menurut
Pasal 28, pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan sebelum jenjang
pendidikan dasar baik melalui jalur pendidikan formal, yang dapat berbentuk
Taman Kanak-Kanak (TK), Raudhatul Athfal, atau yang sederajat; non formal,
yang dapat berbentuk Kelompok Bermain (KB) atau Taman Penitipan Anak
(TPA) dan jalur pendidikan informal yang berbentuk pendidikan keluarga atau
pendidikan yang diselenggarakan masyarakat.
Dalam pembahasan pada skripsi ini, pembelajaran bilingual pada
pendidikan anak usia dini dapat dilakukan dengan memanfaatkan berbagai
modus pendidikan seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 28 tersebut di atas.
Namun demikian, sesuai dengan batasan tentang pengertian usia dini yang
digunakan dalam tulisan ini seperti yang dikemukakan di bagian sebelumnya,
pendidikan setingkat sekolah dasar dapat juga digunakan sebagai modus
pembelajaran bilingual (Paud, 2008).

D. Seksual
1. Definisi Seksual
Menurut Zawid (1994) seksualitas sulit untuk di definisikan karena
seksualitas memiliki aspek kehidupan kita dan diekspresikan melalui
beragam perilaku. Seksualitas bukan semata-mata bagian intrinsik dari
seseorang tetapi juga meluas sampai berhubungan dengan orang lain.
Keintiman dan kebersamaan fisik merupakan kebutuhan sosial dan
biologis sepanjang kehidupan. Kesehatan seksual telah didefinisikan
sebagai pengintegrasian aspek somatik, emosional, intelektual dan sosial
dari kehidupan seksual, dengan cara yang positif memperkaya dan
12

meningkatkan kepribadian, komunikasi dan cinta. Seks juga digunakan


untuk memberi label jender, baik seseorang itu pria atau wanita .
Pendapat Denney dan Quadagno (1992) dan Zawid (1994) seksualitas
dilain pihak adalah istilah yang lebih luas. Seksualitas berhubungan
dengan bagaimana seseorang mengkomunikasikan perasaan tersebut
kepada orang lain melalui tindakan yang di lakukannya, seperti sentuhan,
ciuman, pelukan, senggama seksual dan melalui perilaku yang lebih halus
seperti isyarat gerak tubuh, etiket, berpelukan dan perbendaraan kata.
2. Bentuk Perilaku Seksual
Transeksual adalah orang yang identitas seksual atau jendernya
berlawanan dengan seks biologinya. Seorang pria mungkin berfikir tentang
dirinya sebagai seorang wanita dalam tubuh wanita. Perasaan terperangkap
seperti ini disebut disforia jender. Para peneliti tidak memahami dengan
jelas sifat atau penyebab dari saling-silang. Penjelasannya mencakup teori
biologis dan pembelajaran sosial. Para penganut transeksual tidak melihat
identitas seksual mereka sebagai suatu pilihan. Identifikasi mereka tentang
diri mereka sebagai wanita dan pria, seksual dan sosial adalah jelas dan
persisten dan seiring sejak masa kanak-kanak dini.
Menurut Seidel (1991), transvestit adalah pria heteroseksual yang
secara periode berpakaian seperti wanita untuk pemuasan psikologis dan
seksual. Transvestit umumnya melakukan hal ini dalam lingkup pribadi
dan perilaku mereka kadang bersifat rahasia bahkan dari orang yang
sangat dekat dengan mereka sekalipun.
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Seksual
Kolodny, Master dan Johnson (1979) menyatakan bahwa keinginan
seksual beragam diantaranya individu, sebagian orang menginginkan dan
menikmati seks setiap hari. Sementara yang lainnya menginginkan seks
13

hanya sekali satu bulan dan yang lainnya lagi tidak memiliki keinginan
seks sama sekali dan cukup merasa nyaman dengan fakta tersebut.
Keinginan seksual menjadi masalah jika klien semata-mata menginginkan
untuk melakukannya pada beberapa norma kultur atau jika perbedaan
dalam keinginan seksual dari pasangan menyebabkan konflik.
a. Faktor Fisik
Klien dapat mengalami penurunan keinginan seksual karena
alasan fisik. Aktivitas seksual dapat menyebabkan nyeri dan
ketidaknyamanan. Bahkan hanya membayangkan bahwa seks dapat
menyakitkan sudah menurunkan keinginan seks. Penyakit minor dan
keletihan adalah alasan seseorang untuk tidak merasakan seksual. Citra
tubuh yang buruk, terutama jika diperburuk oleh perasaan penolakan
atau pembedahan yang mengubah bentuk tubuh, dapat menyebabkan
klien kehilangan perasaannya secara seksual.
b. Faktor Hubungan
Masalah dalam berhubungan dengan mengalihkan perhatian
seseorang dari keinginan seks. Setelah kemesraan hubungan telah
mundur, pasangan mungkin mendapati bahwa mereka dihadapkan pada
perbedaan yang sangat besar dalam nilai atau gaya hidup mereka.
Keterampilan seperti ini memainkan peran yang sangat penting ketika
menghadapi keinginan seksual dalam berhubungan. Penurunan minat
dalam aktifitas seksual dapat mengakibatkan ansietas hanya karena
harus mengatakan kepada pasangan perilaku seksual apa-apa yang
diterima atau menyenangkan.

c. Faktor Gaya Hidup

14

Faktor gaya hidup, seperti penggunaan atau penyalahgunaan


alkohol dapat mempengaruhi keinginan seksual. Namun demikian,
banyak bukti sekarang ini menunjukkan bahwa efek negatif alkohol
terhadap seksual jauh melebihi euforia (perasaan yang berlebihan)
yang mungkin dihasilnya. Pada awalanya menemukan waktu yang
tepat untuk aktivitas seksual adalah faktor gaya hidup. Klien seperti ini
sering mengungkapkan bahwa mereka perlu waktu untuk menyendiri,
berfikir dan istirahat sebagai hal yang lebih penting dari seks.
d. Faktor Harga Diri
Tingkat harga diri juga dapat menyebabkan konflik yang
melibatkan seksualitas. Jika harga diri seksual tidak pernah
diperlihatkan dengan mengembangkan perasaan yang kuat tentang
seksual diri dan dengan mempelajari keterampilan seksual, seksual
mungkin menyebabkan perasaan negatif atau menyebabkan tekanan
perasaan seksual. Harga diri seksual dapat menurun didalam banyak
cara, yaitu perkosaan, inses dan penganiayaan fisik atau emosi
meninggalkan luka yang dalam (Herdiana, 2007).

E. Pendidikan Seks Sejak Dini Dengan Perilaku Seksual Pada Remaja


1. Pendidikan Seks
a. Pengertian
Pendidikan seks dapat diartikan sebagai penerangan tentang
anatomi fisiologi seks manusia, bahaya penyakit kelamin. Pendidikan
seks adalah membimbing serta mengasuh seseorang agar mengerti
tentang arti, fungsi dan tujuan seks, sehingga ia dapat menyalurkan
secara baik, benar dan legal. Pendidikan seks dapat dibedakan antara
15

sex instruction dan education in sexuality. Sex instruction ialah


penerangan mengenai anatomi, seperti pertumbuhan rambut pada
ketiak, dan mengenai biologi dari reproduksi, yaitu proses berkembang
biak melalui hubungan untuk mempertahankan jenisnya. Termasuk
didalamnya pembinaan keluarga dan metode kontrasepsi dalam
mencegah terjadinya kehamilan. Education in sexuality meliputi
bidang-bidang etika, moral, fisiologi, ekonomi dan pengetahuan
lainnya yang di butuhkan agar seseorang dapat memahami dirinya
sendiri sebagai individual seksual, serta mengadakan hubungan
interpersonal yang baik.
Pendidikan seks adalah salah satu cara untuk mengurangi atau
mencegah penyalahgunaan seks, khususnya untuk mencegah dampakdampak negatif yang tidak di harapkan, seperti kehamilan yang tidak
di rencanakan, penyakit menular seksual, depresi dan perasaan berdosa
(Sarwono, 2007).
b. Pendidikan Seks Sejak Dini
Secara garis besar, Boyke membagi pendidikan seks bagi anak
berdasarkan usia ke dalam empat tahap yakni usia 1-4 tahun, usia 5-7
tahun, 8-10 tahun dan usia 10-12 tahun.
Pada usia 1 sampai 4 tahun, orangtua disarankan mulai
memperkenalkan anatomi tubuh, termasuk alat genital. Perlu juga
ditekankan pada anak bahwa setiap orang adalah ciptaan Tuhan yang
unik dan berbeda satu sama lain. Kenalkan, ini mata, ini kaki, ini
vagina. Itu tidak apa-apa. Terangkan bahwa anak laki-laki dan
perempuan

diciptakan Tuhan

keunikannya sendiri.

16

berbeda,

masing-masing

dengan

Sedangkan pada usia 5 sampai 7 tahun, rasa ingin tahu anak


tentang aspek seksual biasanya meningkat. Mereka akan menanyakan
kenapa temannya memiliki organ-organ yang berbeda dengan dirinya
sendiri. Rasa ingin tahu itu merupakan hal yang wajar. Karena itu,
orang tua diharapkan bersikap sabar dan komunikatif, menjelaskan halhal yang ingin diketahui anak. Terangkan, bedanya anak laki-laki dan
perempuan. Orang tua harus dengan sabar memberikan penjelasan
pada anak.
Selanjutnya, pada usia 8 sampai 10 tahun, anak sudah mampu
membedakan dan mengenali hubungan sebab akibat. Pada fase ini,
orang tua sudah bisa menerangkan secara sederhana proses reproduksi,
misalnya tentang sel telur dan sperma yang jika bertemu akan
membentuk bayi.
Pada usia 11 sampai 13 tahun, anak sudah mulai memasuki
pubertas. Ia mulai mengalami perubahan fisik, dan mulai tertarik pada
lawan jenisnya. Ia juga sedang giat mengeksplorasi diri. Anak
perempuan, misalnya, akan mulai mencoba-coba alat make up ibunya.
Pada tahap inilah, menurut Boyke, peran orang tua amat sangat
penting. Orang tua harus menerima perubahan diri anaknya sebagai
bagian yang wajar dari pertumbuhan seorang anak-anak menuju tahap
dewasa dan tidak memandangnya sebagai ketidakpantasan atau hal
yang perlu disangkal.
c. Perlunya Pendidikan Seks
Perbedaan pandangan tentang perlunya pendidikan seks bagi
remaja nyata dari penelitian WHO (Word Health, 1979) di enam belas
negara Eropa, yang hasilnya ialah sebagai berikut:
1) 5 negara mewajibkannya di setiap sekolah,
17

2) 6 negara menerima dan mensahkannya dengan undang-undang


tetapi tidak mengharuskannya di setiap sekolah,
3) 2 negara secara umum menerima pendidikan seks, tetapi tidak
mengukuhkannya dengan undang-undang, dan
4) 3 negara tidak melarang, tetapi juga tidak mengembangkannya.
Pandangan yang mendukung pendidikan seks antara lain di
ajukan oleh Zelnik dan Kim (1982) yang menyatakan bahwa remaja
yang telah mendapat pendidikan seks tidak cenderung lebih sering
melakukan hubungan seks, tetapi mereka yang belum pernah
mendapat pendidikan seks cenderung lebih banyak mengalami
kehamilan yang tidak di kehendaki. (Sarwono, 2007).
Peneliti

berpendapat

bahwa

pendidikan

seks

bukanlah

penerangan tentang seks semata-mata. Pendidikan seks, sebagaimana


pendidikan lain pada umumnya seperti pendidikan agama, atau
pendidikan Moral Pancasila, yang mengandung pengalihan nilai-nilai
dari pendidik ke subjek-didik. Dengan demikian, informasi tentang
seks diberikan secara kontekstual, yaitu dalam kaitannya dengan
norma-norma yang berlaku dalam masyarakat (Sarwono, 2007).
Pendidikan seks yang kontekstual ini jadinya mempunyai ruang
lingkup yang luas.

Tidak terbatas pada perilaku hubungan seks

semata tetapi menyangkut pula hal-hal lain, seperti peran pria dan
wanita dalam anak-anak dan keluarga, dan sebagainya (Sarwono,
2007).

2. Perilaku

18

a. Pengertian Perilaku
Perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang
dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak
luar. Skiner seorang ahli psikologi mengemukakan bahwa perilaku
merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau
rangsangan dari luar. Perilaku ini terjadi melalui proses adanya
stimulus terhadap organisme dan kemudian organisme tersebut
merespon. Skiner membedakan adanya dua respons, diantaranya
adalah:
1) Respondent Respons, merupakan respons yang ditimbulkan oleh
rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini
disebut elicting stimulation karena menimbulkan respons-respons
yang relatif tetap.
2) Operant

Respons,

merupakan

respons

yang

timbul

dan

berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang


tertentu. Perangsang ini disebut reinforcing stimulation atau
reinforcer, karena memperkuat respons.
Seperti telah dijelaskan diatas, sebagian besar perilaku manusia
adalah operant response. Oleh sebab itu, untuk membentuk jenis
respon atau perilaku perlu diciptakan adanya suatu kondisi tertentu
yang disebut operant conditioning. Prosedur pembentukan perilaku
dalam operant conditioning menurut Skiner adalah sebagai berikut:
1) Melakukan identifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat
atau reinforcer berupa hadiah-hadiah atau rewards bagi perilaku
yang akan dibentuk.
2) Melakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen-komponen
kecil yang membentuk perilaku yang di kehendaki. Kemudian
19

komponen-komponen tersebut disusun dalam urutan yang tepat


untuk menuju kepada terbentuknya perilaku yang dimaksud.
3) Menggunakan secara urut komponen-komponen itu sebagai tujuantujuan sementara, mengidentifikasi reinforcer atau hadiah untuk
masing-masing komponen tersebut.
4) Melakukan pembentukan perilaku dengan menggunakan urutan
komponen yang telah tersusun (Notoatmodjo, 2003).
Menurut teori Lawrence Green, mengemukakan bahwa perilaku
manusia dari tingkat kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi
oleh 2 faktor pokok, yaitu faktor perilaku (behavior causes) dan faktor
di luar perilaku (non-behavior causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri
ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor, diantaranya:
1) Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud
dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan
lain-lain.
2) Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam
lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas
atau sarana-sarana kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obatan,
alat-alat kontrasepsi, jamban dan lain-lain.
3) Faktor-faktor pendorong (renforcing factor), yang terwujud dalam
sikap dan perilaku petugas kesehatan, atau petugas yang lain, yang
merupakan

kelompok

referensi

(Notoatmodjo, 2003).
b. Perilaku Seksual

20

dari

perilaku

masyarakat.

Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang di dorong oleh


hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama
jenis. Bentuk-bentuk perilaku ini bisa bermacam-macam, mulai dari
perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu dan
bersenggama. (Sarwono, 2007).
1) Perilaku Seksual Normal
Maramis (1999), menyatakan bahwa perilaku seksual normal
ini dapat menyesuaikan diri, bukan saja dengan tuntutan
masyarakat, tetapi juga dengan kebutuhan individu mengenai
kebahagiaan,

perwujudan

diri

sendiri,

atau

peningkatan

kemampuan individu untuk mengembangkan kepribadiannya


menjadi lebih baik.
Pendapat Kartini Kartono (1989), yang dimaksud dengan
perilaku seksual yang normal mengandung pengertian sebagai
berikut:
a) Hubungan

seksual

yang

tidak

menimbulkan

efek-efek

merugikan, baik bagi diri maupun bagi partnernya.


b) Tidak menimbulkan konflik psikis, tidak bersifat paksaan atau
perkosaan.
2) Perilaku Seksual Normal Dan Bertanggung Jawab.
Perilaku seksual yang bertanggung jawab mengandung pengertian
bahwa kedua belah pihak menyadari akan konsekuensinya dan
berani memikul tanggung jawabnya, serta mewajibkan manusia
melakukan seks melalui ikatan perkawinan yang sah.
3) Perilaku Seksual Abnormal
21

Menurut Kartini Kartono (1989), bentuk relasi seks yang abnormal


dan perverse (buruk, jahat) adalah relasi seks yang tidak
bertanggung jawab, yang di dorong oleh kompulsi-kompulsi dan
dorongan-dorongan yang abnormal. Pendapat Maramis (1999),
menyatakan

bahwa

perilaku

seksual

normal

ini

dapat

menyesuaikan diri, bukan saja dengan tuntutan masyarakat, tetapi


juga

dengan

kebutuhan

individu

mengenai

kebahagiaan,

perwujudan diri sendiri, atau peningkatan kemampuan individu


untuk mengembangkan kepribadiannya menjadi lebih baik.
(Sunaryo, 2004).
c. Perilaku Menyimpang Pada Remaja
1) Onani
Kelainan perilaku seks biasanya dilakukan oleh laki-laki yang
merasa ingin memenuhi kebutuhan seksnya, dilakukan dengan cara
mengeluarkan air mani oleh tangan. Biasanya dilakukannya dengan
sembunyi-sembunyi

atau

pada

waktu

tidur.

Onani

bisa

mengakibatkan lemah syahwat bahkan melemahkan sperma


sehingga tidak sanggup membuahi sel telur wanita. Efek samping
lain dari onani ini adalah efek psikologisnya dimana si pelaku
sering merasa berdosa sehingga menimbulkan psikoneurosa atau
gangguan kejiwaan.
2) Homoseksual (Homosexuality)
Kelainan perilaku seks yang dilakukan oleh dua individu yang
berjenis kelamin sama dinamakan homoseksual. Laki-laki dengan
laki-laki

dinamakan male sexuality atau lebih umum disebut

homoseksual saja. Wanita dengan wanita disebut lesbians.

22

Menurut Dr. Rono Sulistyo (1977), ada tiga macam homoseksual,


diantaranya adalah sebagai berikut:
a) Aktif, bertindak sebagai pria dan tidak bertanggung jawab
kepada teman seksnya.
b) Pasif, yaitu bertindak sebagai wanita.
c) Campuran, yaitu kadang-kadang sebagai pria dan kadangkadang sebagai wanita.
Sebab-sebab terjadinya perbuatan homoseks itu ialah:
a) Faktor hereditas (dibawa sejak lahir), ini jarang sekali terjadi.
b) Adanya ketidakseimbangan hormon seks (sex hormonal
imbalance).
c) Pengaruh lingkungan, seperti: Terpisah dari lawan jenis dalam
jangka waktu yang lama, misalnya di penjara dan di asrama;
Pengalaman hubungan seks dengan sesama jenis pada waktu
kecil (masa kanak-kanak), dengan istilah sodomi; Kesalahan
perlakuan, yakni anak laki-laki yang hidup di rumah tangga
dimana

semua

saudaranya

perempuan.

Jika

anak

ini

diperlakukan sebagai anak perempuan setiap harinya misalnya


dibedaki, diberi pakaian wanita, dan lain-lain. Maka akan
tumbuh sifat-sifat kewanitaan pada dirinya (merasa diri sebagai
jenis kelamin wanita); Hubungan seks yang tidak memuaskan
di dalam kehidupan suami istri.
Untuk menyembuhkan penderita seperti yang terpenting ialah
adanya

kesadaran

diri

23

dari

penderita

tersebut

untuk

memperbaiki diri. Disamping itu, pengobatan/ terapi akan


berhasil bila lingkungannya di ubah sedemikian rupa.
3) Pelacuran
Pengertian pelacuran ialah perilaku seks bebas yang dilakukan
secara tidak sah menurut hukum dan agama, yang terjadi di dalam
masyarakat. Biasanya wanita yang melakukan di sebut wanita
pelacur, dan laki-laki dinamakan pria hidung belang. Wanita
pelacur ini berkeliaran di waktu malam di taman-taman, di pinggir
jalan dan tempat-tempat tertentu lainnya untuk menanti laki-laki
yang akan menjemputnya. Tingkatan pelacur ini dinamakan
pelacuran tingkat rendah. Di samping itu ada lagi pelacur tingkat
tinggi yaitu mempunyai rumah sendiri, atau dihotel-hotel kelas
wahid.

Usaha mengatasi pelacuran dengan jalan menampung kegiatan


mereka di tempat-tempat yang disediakan secara khusus, belumlah
pasti akan dapat menyelesaikan masalahnya. Bahkan bukan tidak
mungkin dengan cara lokalisasi itu pelacuran akan lebih pesat
perkembangannya. Yang terpenting dalam usaha menanggulangi
pelacuran itu ialah dengan jalan mengetahui sebab-sebab
terjadinya, meningkatkan sanksi/ hukum bagi si pelakunya dan
menyalurkan wanita-wanita pelacur itu kepada kegiatan-kegiatan
yang bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat. Pada umumnya
sebab-sebab terjadinya pelacuran adalah sebagai berikut:
a) Rendahnya taraf kehidupan ekonomi rakyat.
b) Banyaknya

pengaruh

barang-barang

mendorong orang untuk memilikinya.


24

mewah

sehingga

c) Kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis baik di bidang


pergaulan,

ekonomi

atau

hubungan

seks

yang

tidak

memuaskan.
d) Meningkatkan film-film dan VCD porno, gambar-gambar cabul
di masyarakat dimana penggemarnya sebagian besar adalah
remaja sekolah.
Dengan mengetahui sebab-sebab terjadinya akan lebih mudah bagi
kita untuk mengatasinya daripada hanya dengan cara yang
berdasarkan selera orang-orang atau kelompok tertentu yang sudah
terpengaruh oleh cara-cara negara Barat yang tidak Pancasilais.
4) Pornografi dan Pornoaksi
Hal-hal yang berusaha untuk merangsang dorongan seks
dengan tulisan atau gambar. Pengaruhnya cepat meluas terutama
dikalangan remaja yang sedang berada pada masa pubertas. Hal ini
bisa berakibat menimbulkan krisis moral dikalangan remaja itu,
terutama apabila dasar-dasar agama kurang sekali dilatihkan sejak
kecil. Usaha pornografi dapat juga melemahkan potensi bangsa
sebab akibatnya dapat merusak sendi-sendi falsafah Pancasila.

5) Bestiality
Mengadakan hubungan seks dengan binatang. Ini sering kejadian
di daerah-daerah pertanian dimana jumlah wanita agak kurang.
Kadang-kadang dianggap bahwa hal ini dapat disamakan dengan
onani atau masturbasi.
6) Gerontoseksual
25

Kecenderungan untuk melakukan hubungan kelamin dengan


wanita-wanita yang lebih tua atau yang lanjut usianya. Hal ini
mungkin disebabkan pertimbangan-pertimbangan ekonomi atau
karena keinginan wanita-wanita itu untuk memperoleh kepuasan
seks dari yang lebih muda dari suaminya.
7) Incest
Hubungan kelamin terjadi antar dua orang di luar nikah
sedangkan mereka adalah berkerabat dekat sekali. Hal ini sering
terjadi pada masyarakat yang taraf kehidupannya amat rendah, dan
juga keluarga yang pecah (broken home). Hal ini disebabkan
karena pada keluarga ini kurang ditemukan disiplin dan kaburnya
norma-norma kehidupan sebagai pegangan dalam kehidupan
berkeluarga.
3. Remaja
a. Pengertian Remaja
Remaja, yang bahasa aslinya disebut adolescene, berasal dari
bahasa latin adolescere, yang artinya tumbuh atau tumbuh untuk
mencapai kematangan. Bangsa primitif dan orang orang purbakala
memandang masa puber dan masa remaja tidak berbeda dengan
periode lain dalam rentang kehidupan, anak dianggap sudah dewasa
apabila sudah mampu mengadakan reproduksi (Ali dan Asrori, 2009).
Perkembangan lebih lanjut, istilah adolescene sesungguhnya
memiliki arti yang luas, mencakup kematangan mental, emosional,
sosial,dan fisik (Hurlock,1991). Pandangan ini didukung oleh Piaget
(Hurlock,1991) yang menyatakan bahwa secara psikologis, remaja
adalah suatu usia dimana individu menjadi terintegrasi ke dalam
masyarakat dewasa, suatu usia dimana anak tidak merasa bahwa
26

dirinya berada dibawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa
sama, atau paling tidak sejajar. Memasuki masyarakat dewasa ini
mengandung banyak aspek efektif, lebih atau kurang dari usia pubertas
(Ali dan Asrori, 2009).
Masa remaja menurut Mappiare (1982), berlangsung antara umur
12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai
dengan 22 tahun bagi pria. rentang usia remaja ini dapat di bagi
menjadi dua bagian, yaitu usia 12/13 tahun sampai dengan 21/22 tahun
adalah remaja akhir. Menurut hukum di Amerika Serikat saat ini,
individu di anggap telah dewasa apabila telah mencapai usia 18 tahun,
dan bukan usia 21 tahun seperti ketentuan sebelumnya (Hurlock,
1991). Pada usia ini, umumnya anak sedang duduk di bangku sekolah
menengah (Ali dan Asrori, 2009).
Masa remaja adalah masa transisi yang ditandai oleh adanya
perubahan fisik, emosi dan psikis. Masa remaja yakni antara usia 1019 tahun yang merupakan suatu periode masa pematangan organ
reproduksi manusia dan sering disebut masa pubertas. Masa remaja
adalah masa periode peralihan dari masa anak ke masa dewasa.
(Widyastuti dkk, 2009).
Pada remaja tersebut terjadilah suatu perubahan organ-organ fisik
(organobiologik) secara cepat dan perubahan tersebut tidak seimbang
dengan

perubahan

kejiwaan

(mental

emosional).

Terjadinya

kematangan seksual atau alat-alat reproduksi yang berkaitan dengan


sistem reproduksi, merupakan suatu bagian penting dalam kehidupan
remaja sehingga diperlukan perhatian khusus, karena bila timbul
dorongan-dorongan seksual yang tidak sehat akan menimbulkan
perilaku seksual yang tidak bertanggung jawab (Wisyastuti dkk, 2009).

27

Pendapat Shaw dan Costanzo (1985), bahwa remaja juga sedang


mengalami perkembangan pesat dalam aspek intelektual. Transformasi
intelektual dari cara berpikir remaja ini memungkinkan mereka tidak
hanya mampu mengintegrasikan dirinya kedalam masyarakat dewasa,
tapi juga merupakan karakteristik yang paling menonjol dari semua
periode perkembangan (Ali dan Asrori, 2009).
Remaja sebetulnya tidak mempunyai tempat yang jelas. Mereka
sudah tidak termasuk golongan anak-anak, tetapi belum juga diterima
secara penuh untuk masuk ke golongan orang dewasa. Remaja ada di
antara anak dan orang dewasa. Oleh karena itu, remaja sering kali
dikenal

dengan fase mencari jati diri atau fase topan dan badai.

Remaja masih belum mampu menguasai dan memfungsikan secara


maksimal fungsi fisik maupun psikisnya (Monks dkk, 1989). Namun,
yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa fase remaja merupakan
fase perkembangan yang tengah berada pada masa amat potensial, baik
di lihat dari aspek koginitif, emosi maupun fisik (Ali dan Asrori,
2009).
Menurut Sahw dan Costanzo (1985), perkembangan intelektual
yang terus menerus menyebabkan remaja mencapai tahap berpikir
operasional formal. Tahap ini memungkinkan remaja mampu berpikir
secara lebih abstrak, menguji hipotesis dan mempertimbangkan apa
saja peluang yang ada padanya daripada sekedar melihat apa adanya.
Kemampuan intelektual seperti ini yang membedakan dari fase-fase
sebelumnya (Ali dan Asrori, 2009).
b. Perkembangan Remaja dan Ciri-Cirinya
Berkaitan dengan kesehatan reproduksi remaja kita sangat perlu untuk
mengenal perkembangan remaja serta ciri-cirinya. Berdasarkan sifat

28

atau ciri perkembangannya, masa (rentang waktu) remaja ada tiga


tahap (Widyastuti dkk, 2009).
1) Masa Remaja Awal (10-12 tahun)
a) Tampak dan memang merasa lebih dekat dengan teman sebaya.
b) Tampak dan merasa ingin bebas.
c) Tampak dan memang lebih banyak memperhatikan keadaan
tubuhnya dan mulai berpikir yang khayal (abstrak).
2) Masa Remaja Tengah (13-15 tahun)
a) Tampak dan ingin mencari identitas diri.
b) Ada keinginan untuk berkencan atau ketertarikan pada lawan
jenis.
c) Timbul perasaan cinta yang mendalam.
3) Masa Remaja Akhir (16-19 tahun)
a) Menampakkan pengungkapan kebebasan diri.
b) Dalam mencari teman sebaya lebih selektif.
c) Memiliki citra (gambaran, keadaan, peranan) terhadap dirinya.
d) Dapat mewujudkan perasaan cinta.
e) Memiliki kemampuan berpikir khayal atau abstrak.
(Widyastuti dkk, 2009).
c. Tugas-Tugas Perkembangan Masa Remaja
29

Terdapat perkembangan masa remaja difokuskan pada upaya


meninggalkan sikap dan perilaku kekanak-kanakan untuk mencapai
kemampuan bersikap dan berperilaku dewasa. Adapun tugas-tugas
perkembangan masa remaja menurut Hurlock (1991) adalah sebagai
berikut:
1) Mampu menerima keadaan fisiknya.
2) Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa.
3) Mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang
berlainan jenis.
4) Mencapai kemandirian emosional.
5) Mencapai kemandirian ekonomi.
6) Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang sangat
diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat.
7) Memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang dewasa dan
orang tua.
8) Mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan
untuk memasuki dunia dewasa.
9) Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan.
10) Memahami

dan

mempersiapkan

berbagai

tanggung

jawab

kehidupan keluarga.
Tugas-tugas perkembangan fase remaja ini amat berkaitan dengan
perkembangan

kognitifnya,

yaitu

fase

operasional

formal.

Kematangan pencapaian fase kognitif akan sangat membantu


30

kemampuan dalam melaksanakan tugas-tugas perkembangannya itu


dengan baik. Agar dapat memenuhi dan melaksanakan tugas-tugas
perkembangan, diperlukan kemampuan kreatif remaja. Kemampuan
kreatif ini banyak diwarnai oleh perkembangan kognitifnya (Ali dan
Asrori, 2009).
d. Perubahan Fisik Pada Masa Remaja
1) Tanda-Tanda Seks Primer
Yang dimaksud dengan tanda-tanda seks primer adalah organ seks
pada laki-laki gonad atau testis. Organ tersebut terletak didalam
skrotum. Pada usia 14 tahun baru sekitar 10% dari ukuran matang.
Setelah itu terjadilah pertumbuhan yang pesat selama satu atau dua
tahun, kemudian pertumbuhan menurun. Testis berkembang penuh
pada usia 20 atau 21 tahun. Sebagai tanda bahwa fungsi organorgan reproduksi pria matang lazimnya terjadi mimpi basah,
artinya ia bermimpi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
seksual, sehingga mengeluarkan sperma.
Semua organ reproduksi wanita tumbuh selama masa puber.
Namun tingkat ketepatan antara organ satu dengan lainnya
berbeda. Berat uterus pada anak usia 11 atau 12 tahun kira-kira 5,3
gram, pada usia 16 tahun rata-rata beratnya 43 gram.
Sebagai tanda kematangan organ reproduksi pada perempuan
adalah datangnya haid. Ini adalah permulaan dari seragkaian
pengeluaran darah, lendir dan jaringan sel yang hancur dari uterus
secara berkala, yang akan terjadi kira-kira setiap 28 hari. Hal ini
berlangsung terus sampai menjelang masa menopause. Menopause
bisa terjadi pada usia sekitar 5 bulan (Widyastuti dkk, 2009).
2) Tanda-Tanda Seks Sekunder
31

a) Pada Laki-Laki
Rambut yang mencolok tumbuh pada masa remaja adalah
rambut kemaluan, terjadi sekitar satu tahun setelah testis dan
penis mulai membesar. Ketika rambut kemaluan hampir selesai
tumbuh, maka menyusul rambut ketiak dan rambut di wajah,
seperti halnya kumis dan cambang. Kulit menjadi lebih kasar,
tidak jernih, pori-pori membesar. Kelenjar lemak dibawah kulit
menjadi lebih aktif. Seringkali menyebabkan jerawat karena
produksi minyak yang meningkat. Aktivitas kelenjar keringat
juga bertambah, terutama bagian ketiak. Otot-otot pada tubuh
remaja makin bertambah besar dan kuat. Lebih-lebih bila
dilakukan latihan otot, maka akan tampak memberi bentuk
pada lengan, bahu dan tungkai kaki. Seirama dengan
tumbuhnya rambut pada kemaluan, maka terjadi perubahan
suara. Mula-mula agak serak, kemudian volumenya juga
meningkat. Pada usia remaja sekitar 12-14 tahun muncul
benjolan kecil-kecil di sekitar kelenjar susu. Setelah beberapa
minggu besar dan jumlahnya menurun.
b) Pada Wanita
Rambut kemaluan pada wanita juga tumbuh seperti halnya
remaja laki-laki. Tumbuhnya rambut kemaluan ini terjadi
setelah pinggul dan payudara mulai berkembang. Bulu ketiak
dan bulu pada kulit wajah mulai tampak setelah haid. Semua
rambut kecuali rambut wajah, mula-mula lurus dan terang
warnanya, kemudian menjadi lebih subur, lebih kasar, lebih
gelap dan agak keriting. Pinggul pun menjadi berkembang,
membesar dan membulat. Hal ini sebagai akibat membesarnya
tulang pinggul dan berkembangnya lemak dibawah kulit.
Seiring pinggul membesar, maka payudara juga membesar dan
32

puting susu menonjol. Hal ini terjadi karena harmonis sesuai


pula dengan berkembang dan makin besarnya kelenjar susu
sehingga payudara menjadi lebih besar dan lebih bulat. Seperti
halnya laki-laki juga menjadi lebih besar, lebih tebal, pori-pori
membesar. Akan tetapi berbeda dengan laki-laki, kulit pada
wanita tetap lebih lembut. Kelenjar lemak dan kelenjar keringat
menjadi

lebih

aktif.

Sumbatan

kelenjar

lemak

dapat

menyebabkan jerawat. Kelenjar keringat dan baunya menusuk


sebelum dan selama masa haid. Menjelang akhir masa puber,
otot semakin membesar dan semakin kuat. Akibatnya akan
membentuk bahu, lengan dan tungkai kaki. Suara berubah
semakin merdu. Suara serak jarang terjadi pada wanita.
(Widyastuti dkk, 2009).

F. Kesehatan Reproduksi
1. Definisi Kesehatan Reproduksi
Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangungan/
ICPD (International Conference

on Population and Development), di

Kairo Mesir tahun 1994 diikuti 180 negara menyepakati perubahan


paradigma dalam pengelolaan masalah kependudukan dan pembangunan
dari pendekatan pengendalian populasi dan penurunan fertilitas/ keluarga
berencana menjadi pendekatan yang terfokus pada kesehatan reproduksi
serta hak reproduksi.
Tahun 1995 Konferensi sedunia IV tentang wanita dilaksanakan di Beijing,
Cina, di Haquue 1999, di New York tahun 2000 menyepakati bahwa
definisi kesehatan reproduksi merupakan suatu keadaah sejahtera fisik,
mental dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau
33

kecacatan dalam semua hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi, serta
fungsi dan prosesnya (Widyastuti dkk, 2009).
Kesehatan reproduksi diartikan sebagai suatu kondisi yang menjamin
bahwa fungsi reproduksi, khususnya proses reproduksi, dapat berlangsung
dalam sejahtera fisik, mental maupun sosial dan bukan sekedar terbebas
dari penyakit atau gangguan fungsi alat reproduksi. Berkaitan dengan itu,
WHO (2007) menyebutkan kesehatan reproduksi menyangkut proses,
fungsi dan sistem reproduksi pada seluruh tahap kehidupan. Dengan
demikian kesehatan reproduksi merupakan unsur yang penting dalam
kesehatan umum, baik perempuan maupun laki-laki. Kesehatan reproduksi
juga dapat mempengaruhi kesehatan bayi dan anak-anak remaja dan orang
yang berusia di luar masa reproduksi (menopause).
Pemahaman tentang kemungkinan pengaruh kesehatan reproduksi
terhadap kesehatan secara luas sering belum di pahami, hal ini dapat
terjadi oleh karena kurangnya informasi yang benar mengenai kesehatan
reproduksi. Kekurangan ini tidak saja terjadi pada kaum remaja tetapi juga
pada kalangan dewasa dan orang tua.
Biasanya orang awam mengartikan kesehatan reproduksi hanya sebagai
hal-hal yang berhubungan dengan organ reproduksi. Ketidaktahuan
masyarakat mengenai kesehatan reproduksi melahirkan masalah-masalah
baru yang diakibatkan perilaku yang tidak aman, misalnya saja muncul
penyakit menular seksual (PMS) dan HIV/ AIDS (Emilia, 2008).
2. Ruang Lingkup Kesehatan Reproduksi
Secara luas, ruang lingkup kesehatan reproduksi dalam siklus kehidupan
meluputi:
a. Kesehatan ibu dan bayi baru lahir.

34

b. Pencegahan dan penanggulangan Infeksi Saluran Reproduksi (ISR)


termasuk Penyakit Menular Seksual (PMS) HIV/ AIDS.
c. Pencegahan dan penanganan komplikasi aborsi.
d. Kesehatan reproduksi remaja.
e. Pencegahan dan penanganan infertilitas.
f. Kanker pada usia lanjut dan osteoporosis.
g. Berbagai aspek kesehatan reproduksi lain, misalnya kanker serviks,
mutasi genital, fistula, dan lain-lain.
(Widyastuti dkk, 2009)
3. Hak-Hak Reproduksi
Hak-hak reproduksi menurut kesepakatan dalam Konferensi International
Kependudukan dan Pembangunan bertujuan untuk mewujudkan kesehatan
bagi individu secara utuh, baik kesehatan jasmani, maupun rohani,
meliputi:
a. Hak mendapatkan informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi.
b. Hak mendapatkan pelayanan dan perlindungan kesehatan reproduksi.
c. Hak kebebasan berfikir tentang pelayanan kesehatan reproduksi.
d. Hak untuk dilindungi dari kematian karena kehamilan.
e. Hak untuk menentukan jumlah dan jarak kelahiran anak.
f. Hak atas kebebasan dan keamanan berkaitan dengan kehidupan
reproduksinya.
35

g. Hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk termasuk


perlindungan dari perkosaan, kekerasan, penyiksaan dan pelecehan
seksual.
h. Hak mendapatkan manfaat kemajuan ilmu pengetahuan yang berkaitan
dengan kesehatan reproduksi.
i. Hak atas pelayanan dan kehidupan reproduksinya.
j. Hak untuk membangun dan merencanakan keluarga.
k. Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam kehidupan
berkeluarga dan kehidupan reproduksi.
l. Hak atas kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik yang
berkaitan dengan kesehatan reproduksi.
(Widyastuti dkk, 2009)

G. Penyakit Menular Seksual (PMS)


1. Pengertian Penyakit Menular Seksual (PMS)
Penyakit Menular Seksual (PMS) adalah infeksi apapun yang terutama
didapat melalui kontak seksual. Penyakit Menular Seksual (PMS)
merupakan istilah umum dan organisme penyebabnya, yang tinggal dalam
darah atau cairan tubuh, meliputi virus, mikoplasma, bakteri, jamur,
36

spirokaeta dan parasit-parasit kecil. Sebagian organisme yang terlibat


hanya ditemukan di saluran genital (reproduksi) saja tetapi yang lainnya
juga ditemukan dalam organ tubuh lain. Sering kali Penyakit Menular
Seksual (PMS) timbul secara bersama-sama dan jika salah satu ditemukan,
adanya Penyakit Menular Seksual (PMS) harus dicurigai. Terdapat rentang
keintiman kontak tubuh yang dapat menularkan Penyakit Menular Seksual
(PMS) termasuk berciuman, hubungan seksual, hubungan seksual melalui
anus, kunilingus, anilingus, felasio dan kontak mulut atau genital dengan
payudara (Benson, 2009).
2. Penyakit Menular Seksual Yang Disebabkan Oleh Organisme dan
Bakteri
a. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Human Immunideficiency Virus (HIV) pertama kali dilaporkan
menyebabkan penyakit pada tahun 1981. Di Amerika Serikat AIDS
merupakan penyebab utama kematian nomor lima pada wanita usia
subur.

Salah

satu

kesulitan

mengenali

infeksi

Human

Immunideficiency Virus (HIV) adalah masa laten tanpa gejala yang


lama, antara 2 bulan hingga 5 tahun. Umur rata-rata saat diagnosis
infeksi Human Immunideficiency Virus (HIV) ditegakkan adalah 35
tahun (Benson, 2008).
b. Gonorrhea
Neisseria gonorrhoeae adalah diplokokus gram negatif yang biasanya
berdiam dalam uretra, serviks, faring atau saluran anus wanita. Infeksi
terutama mengenai epitel kolumner atau transisionel saluran kemih dan
kelamin. Organisme ini sangat sulit untuk dikultur dan peka terhadap
suasana kering, cahaya matahari, pemanasan dan sebagian besar
desinfektan. Diperlukan media khusus untuk mencapai hasil yang
37

optimal. Biakan saluran genital bawah biasanya didapat dengan


memutar lidi kapas selama 15-20 detik jauh didalam saluran
endoserviks. Jika dibuat usapan rektum, insiden keberhasilan
meningkat dari 85% menjadi > 90% (Benson, 2009).
c. Infeksi Chlamidia
Chlamydia trachomatis adalah mikroorganisme intraseluler obligat
dengan dinding sel yang menyerupai bakteri gram negatif. Meskipun
dikelompokkan sebagai bakteri, namun chlamydia mengandung DNA
dan RNA, dan melakukan pembelahan biner, hanya tumbuh intra
seluler seperti virus. Karena kebanyakan serotipe Chlamydia
trachomatis hanya menyerang sel epitel kolumner (kecuali serotipe L
yang agresif), tanda-tanda dan gejala yang terjadi cenderung
terlokalisit di tempat yang terinfeksi misalnya mata atau saluran genital
tanpa adanya invasi ke jaringan dalam (Benson, 2009).
Infeksi clhamydia biasanya berlangsung pada hubungan seks lewat
vagina dan anus. Chlamydia trachomatis dapat pula mengenai mata
bila mata terkena tangan yang sudah menyentuh kelamin dari orang
yang terinfeksi. Chlamydia trachomatis juga dapat menyerang
kerongkongan, sehingga pasangan dianjurkan untuk tidak melakukan
seks oral bila salah satu sudah terkena. Bayi dapat terinfeksi chlamydia
pada matanya sewaktu melewati cervix ibu yang menderita infeksi
(Hutapea, 2003).
d. Siffilis
Siffilis merupakan penyakit yang disebabkan oleh spirokaeta
Treponema pallidum yang ditularkan melalui kontak langsung dengan
lesi basah yang infeksius. Organisme ini dapat menembus membran
mukosa yang intake atau kulit yang terkelupas atau didapat melalui
38

transplasenta. Satu kali kontak seksual dengan mitra seksual yang


terinfeksi memberikan kemungkinan 10% menderita siffilis (Benson,
2009).
e. Vaginitis
Vaginitis adalah istilah yang dipakai untuk menunjukkan adanya
infeksi atau peradangan vagina. Vaginitis biasanya ditandai dengan
adanya cairan berbau kurang enak yang keluar dari vagina. Gejala lain
adalah gatal atau iritasi di daerah kemaluan dan perih sewaktu kencing.
Beberapa kasus vaginitis disebabkan oleh reaksi alergi atau kepekaan
terhadap bahan kimia. Umumnya disebabkan oleh kuman yang
ditularkan secara seksual atau yang tadinya menetap di vagina dan
menjadi ganas karena gangguan keseimbangan di dalam vagina
(Hutapea, 2003).
f. Candidiasis
Candidialis juga dikenal dengan nama moniliasis, thrush atau infeksi
yeast yang disebabkan oleh jamur Candida albicans. Candidialis
biasanya menimbulkan gejala peradangan, gatal dan perih di daerah
kemaluan. Juga terdapat keluarnya cairan vagina yang menyerupai
bubur. Walaupun fungus selalu terdapat sampai taraf tertentu, biasanya
tidak menimbulkan gejala selama lingkungan vagina terjaga normal.
Candidialis dapat ditularkan secara seksual seperti bola pingpong antar
pasangan seks, sehingga dua pasangan harus diobati secara simultan.
Candidialis pada pria biasanya berbentuk Non Gonococcal Urethritis
(NGU), penis memerah, atau lecet dikemaluan yang rasanya
membakar dan nyeri sewaktu kencing. Candidialis juga dapat menular
secara non seksual, bila wanita memakai handuk atau lap yang sama.
Penularan juga terjadi melalui seks oral atau anal (Hutapea, 2003).
39

g. Chancroid
Crancoid (chancre lunak) disebabkan oleh kuman batang gram negatif
Haemophilus ducreyi dan jarang ditemui di Amerika Serikat. Infeksi
pada wanita dimulai dengan lesi papula atau vesikopustuler pada
perineum, serviks atau vagina 3-5 hari setelah terpapar. Lesi
berkembang selama 48-72 jam menjadi ulkus dengan tepi tidak rata
berbentuk piring cawan yang sangat lunak. Beberapa ulkus dapat
berkembang menjadi satu kelompok. Discharge kental yang dihasilkan
ulkus berbau busuk atau infeksius (Benson, 2009).
h. Granuloma Inguinale
Granuloma

inguinale

disebabkan

oleh

Calymmatobacterium

granulomatis. Penemuan yang khas dalam lesi adalah badan Donovan


(bakteri yang terbungkus dalam lekosit mononuklear). Hampir tidak
pernah di jumpai di Amerika Serikat (kira-kira 100 kasus/ tahun) tetapi
umum terjadi di India, Brazil dan Hindia Barat. Masa inkubasi 1-12
minggu. Granuloma inguinale dapat menyebar melalui kontak seksual
maupun non seksual yang berulang (Benson, 2009).
i. Infeksi Panggul
Infeksi dapat terjadi pada bagian manapun atau semua bagian saluran
genital atas yaitu endometrium (endometritis), dinding uterus
(miositis), tuba uterina (salpingitis), ovarium (ooforitis), ligamentum
latum dan serosa uterina (parametritis) dan peritoneum pelvis
(peritonitis).
Organisme dapat menyebar ke dan di seluruh pelvis dengan salah satu
dari lima cara, diantaranya:
1) Intralumen
40

Penyakit radang panggul akut non purpuralis hampir selalu (kirakira 99%) terjadi akibat masuknya kuman patogen melalui serviks
ke dalam kavum uteri. Infeksi kemudian menyebar ke tuba uterina,
akhirnya pus dari ostium masuk ke ruang peritoneum. Organisme
yang diketahui menyebar dengan mekanisme tersebut adalah N.
gonnorhoeae,

C.

Trachomatis,

Streptococcus

agalactiae,

sitomegalovirus dan virus herpes simpleks. Tiga per empat wanita


dengan PRP akut juga menderita endometritis, kira-kira 40%-nya
disertai servistis mukopurulen dan 50% kasus dengan biakan
endoserviks positif untuk C. Trachomatis atau N. Gonnorhoeae
juga mengalami endometritis. Fase endometritis biasanya tidak
bergejala, seringkali singkat dan terjadi pada akhir menstruasi.
2) Limfatik
Infeksi purpuralis (termasuk setelah abortus) dan infeksi yang
berhubungan dengan IUD menyebar melalui sistem limfatik seperti
infeksi Mycoplasma non purpuralis.
3) Hematogen
Penyebaran hematogen penyakit panggul terbatas pada penyakit
tertentu misalnya tuberkulosis (TBC) dan jarang terjadi di Amerika
Serikat (Benson, 2009).
3. Penyakit Menular Seksual Yang Disebabkan Oleh Virus
a. Herpes
Virus herpes simpleks menimbulkan berbagai jenis herpes. Yang paling
sering, virus herpes simpleks tipe 1 (HSV-1) mengakibatkan herpes
mulut, berupa lecet dan bentolan disertai salesma dan demam di daerah

41

mulut dan bibir. HSV-1 juga dapat ditularkan ke daerah kemaluan


dengan sentuhan atau seks oral.
Herpes genitalis disebabkan oleh herpes simpleks tipe 2 (HSV-2) yang
mengakibatkan lepuh yang nyeri dan luka di daerah kemaluan. Herpes
ini juga dapat berpindah ke mulut melalui seks oral.
Herpes dapat ditularkan melalui seks per vagina, anal atau oral, atau
dengan menyentuh luka herpes. Sentuhan yang kemudian mengenai
mata dapat menimbulkan infeksi mata serius. Virus ini dapat hidup
beberapa jam pada benda-benda seperti toilet duduk, dan dapat
berpindah melalui benda tersebut. Herpes oral dapat dipindahkan
dengan berciuman, memakai gelas atau haduk bersama penderita
herpes dan sudah tentu melalui hubungan seksual (Hutapea, 2003).
b. Viral Hepatitis
Terdapat sejumlah jenis radang hati atau hepatitis. Penyebabnya adalah
virus dan sering ditularkan secara seksual. Jenis yang terutama adalah
hepatitis A, B, C dan D. Infeksi hepatitis A biasanya bersifat sementara
dan ditandai dengan gejala kuning (jaundice), yaitu suatu kondisi
dimana kulit, urine dan bola mata menguning karena kadar pigmen
empedu yang meninggi di dalam darah. Gejala lain adalah nyeri perut,
lemah dan mual, hilangnya nafsu makan dan tinja yang berwarna
pucat. Hepatitis B lebih parah dan lama serangannya. Hepatitis C
gejalanya ringan, jarang disertai gejala kuning, tetapi dapat berlanjut
menjadi penyakit hati menahun atau kanker hati. Hepatitis D terjadi
hanya bersamaan dengan hepatitis B. Gejalanya mirip dengan hepatitis
B tetapi lebih mengancam nyawa penderita.
Hepatitis A dan B dapat ditularkan secara seksual, terutama melalui
kegiatan seks anal. Hepatitis A ditularkan terutama karena melalui
42

kontak dengan tinja yang terinfeksi, yang dapat mengenai air atau
makanan. Transmisi seksual dari hepatitis A biasanya melalui kegiatan
oral dan anal seks. Transmisi seksual dari hepatitis B dapat juga lewat
transfusi darah yang tercemar, jarum suntik yang dipakai bersamasama (biasanya pada kelompok pengguna obat terlarang), dan lewat
mani, ludah, cairan mens dan lendir hidung penderita. Hepatitis C juga
dapat ditularkan secara seksual. Sedangkan hepatitis D ditularkan
melalui kegiatan seksual atau kontak dengan darah yang tercemar.
Hepatitis biasanya didiagnosis melalui tes darah untuk memeriksa
kelainan dalam fungsi hati. Tidak terdapat obat untuk hepatitis, tetapi
istirahat ditempat tidur dengan banyak minum cairan biasanya
dianjurkan. Vaksin telah tersedia untuk perlindungan terhadap hepatitis
B dab D, karena hepatitis D tidak mungkin ada tanpa hepatitis B. Tidak
ada vaksin terhadap hepatitis C (Hutapea, 2003).
c. Genital Warts
Genital Warts atau disebut juga venerel warts disebabkan oleh Human
Papiloma Virus (HPV). Penyakit ini menyerang pria dan wanita
berusia 20 hingga 24 tahun. Lesi kelihatan didaerah kemaluan dan
anus beberapa bulan setelah infeksi. Wanita lebih rentan daripada pria
karena ada suatu bagian pada leher rahim di mana sel-selnya
melakukan pembuahan diri lebih cepat dibanding yang lainnya, dan
Human Papiloma Virus (HPV) membonceng pada sel-sel tersebut
untuk berkembang biak.
Genital Warts agak mirip dengan warts (kutil) yang biasa ada ditelapak
kaki dan terdiri dari benjolan gatal dari berbagai bentuk dan ukuran.
Bejolan ini teraba agak keras dengan warna kuning-keabuan pada
permukaan kulit yang kering, sedangkan di daerah basah seperti
vagina, bentuknya seperti bunga kol berwarna merah muda dan teraba
43

lembek. Kutil ini dapat pula terlihat didaerah penis, kulup, skrotum
dan didalam saluran kencing pada pria. Pada wanita dapat pula muncul
di labia mayora dan minora dinding vagina dan cervix. Pria dan wanita
sering juga menemukannya di luar daerah kemaluan seperti di mulut,
bibir, alis, puting susu, sekitar anus atau bahkan didalam rektum.
Genital Warts yang berada didalam uretra akan mengeluarkan cairan
atau darah dan terasa perih. Human Papiloma Virus (HPV) dapat pula
menimbulkan kanker pada organ-organ reproduksi seperti pada penis
atau cervix.
Human Papiloma Virus (HPV) dapat ditularkan melalui kontak seks
atau jenis lainnya, seperti melalui pakaian dan handuk. Genital Warts
sebaiknya

diangkat

dengan

menggunakan

teknik

pembekuan

(cryotherapy) dengan nitrogen cair kutil ini dapat juga dicuci dengan
larutan

podophylin

yang

bertujuan

untuk

mengeringkan

dan

membuang jaringannya. Dapat pula dibuang dengan cara membakar


dengan elektrode atau pembedahan baik dengan pisau atau sinar laser.
Walaupun tidakan-tindakan tersebut bertujuan membuang wartsnya,
akan tetapi Human Papiloma Virus (HPV)-nya sendiri tidak lenyap
dari dalam tubuh kita. Genital Warts sewaktu-waktu dapat kambuh lagi
(Hutapea, 2003).

4. Penyakit Menular Seksual Yang Disebabkan Oleh Parasit


a. Trichomoniasis

44

Trichomoniasis atau trich adalah suatu infeksi vagina yang disebabkan


oleh suatu parasit atau suatu protozoa (hewan bersel tunggal) yang
disebut trichomonas vaginalis. Gejalanya meliputi perasaan gatal dan
terbakar di daerah kemaluan, disertai dengan keluarnya cairan
berwarna putih seperti busa atau juga kuning kehijauan yang berbau
busuk. Sewaktu bersetubuh atau kencing sering terasa agak nyeri di
vagina. Namun sekitar 50% dari wanita yang mengidapnya tidak
menunjukkan gejala apa-apa.
Trichomoniasis hampir semuanya ditularkan secara seksual. Hal ini
dapat mengakibatkan radang saluran kencing pada pria, yang tidak
menunjukkan gejala atau berupa adanya sedikit cairan yang keluar dari
penis biasanya pada waktu kencing pertama sekali di pagi hari. Dapat
juga terasa gatal, geli atau iritasi di uretra. Karena pria dapat mengidap
trich tanpa menyadarinya, mereka pun dapat menularkannya kepada
pasangan-pasangan seksnya. Kuman ini dapat pula ditularkan melalui
kontak dengan mani atau ada pada lap, handuk atau seprei. Walaupun
secara teoritis kontak melalui tempat duduk di toilet kecil sekali, tetapi
bila terjadi kontak langsung pada bagian kemaluan, hal ini dapat saja
terjadi (Hutapea, 2003).
b. Pediculosis
Pediculosis adalah terdapatnya kutu pada bulu-bulu di daerah
kemaluan. Kutu pubis ini diberi julukan crabs karena bentuknya yang
mirip kepiting seperti di bawah mikroskop. Parasit ini juga dapat
dilihat dengan mata telanjang. Kutu pubis termasuk kelompok
serangga kutu penggigit seperti halnya kutu kepala dan kutu badan.
Kutu kepala bergayut pada akar rambut di kepala dan sering terdapat
pada anak-anak sekolah. Kutu pubis sering ditularkan secara seksual,
tetapi juga melalui kontak lewat handuk, seprei dan tempat duduk di
toilet. Kutu pubis hanya dapat hidup dalam satu hari apabila diluar
45

tubuh manusia. Telur yang terdapat pada kain seprei atau handuk dapat
menetas sesudah satu minggu. Semua alat tidur, handuk dan pakaian
yang pernah digunakan orang pengidap kutu ini harus dicuci dengan
air panas atau dry clean untuk membuang dan memusnahkan telur.
Parasit ini menempel pada rambut dan dapat hidup dengan cara
mengisap darah, sehingga menimbulkan gatal-gatal. Masa hidupnya
singkat, hanya sekitar satu bulan. Tetapi kutu ini dapat tumbuh subur
dan bertelur berkali-kali sebelum mati (Hutapea, 2003).
5. Ancaman Penyakit Menular Seksual Pada Remaja
Karena sifatnya yang lethal (mematikan), AIDS telah menjadi pusat berita
selama kurang lebih satu dekade. Akan tetapi Penyakit Menular Seksual
(PMS) lainnya memberi ancaman maut seperti AIDS. Beberapa jenis
Penyakit Menular Seksual (PMS) akan merusak organ reproduksi dalam
jika dibiarkan tidak diobati sekalipun tanpa menimbulkan gejala seperti
nyeri, gatal atau keluarnya cairan. Walaupun menghadapi bahaya yang di
timbulkan oleh Penyakit Menular Seksual (PMS), banyak orang yang
merasa segan dan ragu-ragu membicarakan hal tersebut dengan pasangan
seksnya (Hutapea, 2003).

46

BAB III
KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Konsep
Berdasarkan teori yang telah dijelaskan pada tinjauan pustaka dan uraian latar
belakang, dikemukakan bahwa faktor yang memegang peranan dalam perilaku
seks adalah pemberian pendidikan seks sejak dini.
Dari uraian di atas hubungan variabel-variabel tersebut dapat di visualisasikan
dalam skema kerangka konsep sebagai berikut:

Vaiabel Independent

Variabel Dependent

Pemberian Pendidikan
Seks Sejak Dini

Perilaku seksual

47

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Pada Hubungan Pemberian Pendidikan Seks


Sejak Dini Pada Remaja Dengan Perilaku Seks

B. Definisi Konseptual
1. Pendidikan Seks
Salah satu cara untuk mengurangi atau mencegah perilaku seks yang
menyimpang, khususnya untuk mencegah dampak-dampak negatif yang
tidak di harapkan (Sarwono, 2007).

2. Perilaku Seksual
Perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat
diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar
(Notoatmodjo, 2003).

C. Definisi Operasional
Tabel. 3.1

48

Definisi Operasional

No

Variabel

Definisi Operasional

Perilaku
seks

Semua kegiatan atau


aktivitas manusia,
baik yang dapat
diamati langsung,
maupun yang tidak
dapat diamati oleh
pihak luar.

Salah satu cara untuk


mengurangi atau
mencegah perilaku
seks yang
menyimpang,
khususnya untuk
mencegah dampakdampak negatif yang
tidak di harapkan.

Pemberian
pedidikan
seks

Cara
Ukur

Alat Ukur

Hasil Ukur

Skala

Dengan
bertanya
kepada
siswa dan
siswi
tentang
perilaku
seks

Kuisioner

Positif: apabila
T 50

Ordinal

Dengan
bertanya
kepada
siswa dan
siswi
tentang
pendidikan
seks

Kuisioner

Negatif: apabila
T < 50

Baik: Bila
didapat 76100%

Ordinal

Cukup: Bila
didapat 56-75%
Kurang: Bila
didapat < 55%

D. Hipotesa
Hipotesa sebagai jawaban sementara penelitian, patokan dugaan atau dalil
sementara yang kebenarannya akan dibuktikan dalam penelitian tersebut
(Notoatmodjo, 2005). Berdasarkan masalah yang telah di paparkan maka
hipotesa dalam penelitian ini adalah:
Ho : Tidak ada hubungan antara pemberian pendidikan seks sejak dini
dengan perilaku seksual pada remaja di SMA Negeri 05 Depok
Tahun 2014.
49

Ha : Ada hubungan antara pemberian pendidikan seks sejak dini dengan


perilaku seksual pada remaja di SMA Negeri 05 Depok Tahun 2014.

BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara dua
variabel. Variabel terikat (Dependent) dalam penelitian ini adalah perilaku
seksual dan variabel bebas (Independent) dalam penelitian ini adalah
pemberian pendidikan seks sejak dini.
Penelitian ini bersifat kuantitatif dengan menggunakan studi Cross
Sectional, yaitu suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara
faktor-faktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau
pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (Point Time Approach). Artinya,
tiap objek penelitian hanya di observasi sekali saja dan pengukuran terhadap
status karakter atau variabel subjek pada saat pemeriksaan. Hal ini tidak

50

berarti bahwa semua subjek penelitian diamati pada waktu yang sama
(Notoatmodjo, 2005).

B. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini telah dilaksanakan di SMA Negeri 05 Depok pada tanggal 14
Agustus 18 Agustus tahun 2014.

C. Variabel Penelitian
1. Variabel Dependent
Variabel Dependent adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas
atau Idependent (Notoatmodjo, 2005). Variabel Dependent dalam
penelitian ini adalah perilaku seksual.
2. Variabel Independent
Variabel Independent adalah variabel yang mempengaruhi variabel
Dependent (Notoatmodjo, 2005). Variabel Independent dalam penelitian
ini adalah pemberian pendidikan seks sejak dini.

D. Populasi dan Sampel


1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti
(Notoatmodjo, 2005). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa
dan siswi di SMA Negeri 05 Depok.
51

2. Sampel
Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti
mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2005). Pengambilan sampel
diambil secara Proporsive Sampling yaitu pengambilan sampel didasarkan
pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri
berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya.

Rumus menentukan besarnya sampel menurut Ariawan (1998) adalah


sebagai berikut:

N1
+Z

d2
Z 21/2 P ( 1P ) N
n=

Keterangan:

Jumlah sampel

Z 1 /2=

Standar deviasi normal, ditentukan pada 1.96

Ketetapan, yaitu 0,5

52

Penyimpangan terhadap populasi atau derajat ketetapan yang

diinginkan sebesar 0,1

Jumlah Populasi

E. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan instrumen berupa kuisioner untuk tingkatkan pengetahuan siswa
dan siswi tentang pendidikan seks dan rating scale untuk perilaku seks.

1. Kuisioner
Bentuk kuisioner berupa pertanyaan tertutup berskala ordinal dengan
jumlah jawaban sebanyak 3 alternatif pilihan, artinya semua jawaban
sudah di sediakan dan responden hanya memilih salah satu jawaban yang
tersedia. Jumlah kuisioner untuk pemberian pendidikan seks sejak dini
sebanyak 20 pertanyaan.
2. Wawancara
Wawancara adalah mengajukan pertanyaan kepada responden tentang
pendidikan seks yang di dapat sejak dini apakah sesuai dengan yang
pendidikan seks yang didapatkan.

53

3. Rating Scale
Rating Scale adalah bentuk pengumpulan data untuk mengetahui perilaku
seksual dengan menggunakan satu skala. Jenis skala perilaku seks yang di
pakai dalam penelitian ini adalah skala likert, dimana masing-masing
pertanyaan ada empat kemungkinan jawaban yaitu Sangat Tidak Setuju
(STS), Tidak Setuju (ST), Setuju (S), dan Sangat Setuju (SS), jumlah
pertanyaan rating scale berjumlah 20 pertanyaan.

F. Pengolahan Data
1. Editing
Merupakan kegiatan untuk melakukan pengecekan isian formulir atau
kuisioner apakah jawaban yang ada di kuisioner sudah lengkap, jelas,
relevan dan konsisten.
2. Coding
Pada tahapan ini dilakukan pemberian kode pada jawaban pertanyaan
dalam kuisioner. Kegunaan koding adalah untuk mempermudah pada saat
analisis data dan juga mempercepat pada saat entry data.
3. Processing
Setelah semua kuisioner terisi penuh dan benar, serta sudah melewati
pengkodean, maka langkah selanjutnya adalah memproses data agar data
yang sudah di entry dapat di analisis. Pengolahan data dilakukan dengan
cara mengentry dari data kuisioner ke paket program komputer.
4. Cleaning

54

Cleaning (pembersihan data) merupakan kegiatan pengecekan kembali


data yang sudah di entry apakah ada kesalahan atau tidak. Kesalahan
tersebut di mungkinkan terjadi pada saat mengentry ke komputer.
(Hastono, 2007).

G. Teknik Analisa Data


1. Analisa Univariat
Analisa ini dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian. Pada
umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi dan persentase
dari tiap variabel. Variabel dalam penelitian ini adalah pemberian
pendidikan seks sejak dini. Analisis data yang digunakan untuk pemberian
pendidikan seks sejak dini adalah dengan menggunakan skor dikotomi (10), yaitu apabila jawaban benar diberi nilai 1 dan jawaban yang salah di
beri nilai 0. Sedangkan untuk variabel perilaku seks dengan menggunakan
skala likert yang terdiri dari lima alternatif jawaban dan masing-masing
diberi nilai. Untuk pernyataan positif: Sangat Tidak Setuju (STS) = 1,
Tidak Setuju (TS) = 2, Setuju (S) = 3, Sangat Setuju (SS) = 4. Sedangkan
untuk pernyataan negatif: Sangat Tidak Setuju (STS) = 4, Tidak Setuju
(TS) = 3, Setuju (S) = 2, Sangat Setuju (SS) = 1. Dilanjutkan dengan
menjumlahkan nilai atau skor yang diperoleh responden dari tiap
pertanyaan untuk variabel pendidikan seks.
2. Anailisa Bivariat
Analisa bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang di duga
berhubungan, dengan tujuan untuk melihat hubungan antara variabel
Independent dengan variabel Dependent. Untuk membuktikan adanya
hubungan antara dua variabel tersebut dengan menggunakan uji statistik
Chisquare dengan batas kemaknaan alpha = 0,05 apabila nilai P < maka
55

hasil perhitungan statistik bermakna (Notoatmodjo, 2005). Rumus


Chisquare (X2) yang digunakan adalah:

(OE)
X =
E
2

Keterangan:

X =

Nilai Chisquare

Frekuensi observasi

Frekuensi harapan

(Hastono, 2007)

56

DAFTAR PUSTAKA

Ali, M. Dkk. 2009. Psikologi Remaja: Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT.
Bumi Aksara.
57

Benson, R. C. Dkk. 2008. Buku Saku Obstetri dan Ginekologi, Edisi 9. Jakarta:
EGC.
Emilia, O. 2008. Promosi Kesehatan Dalam Lingkup Kesehatan Reproduksi.
Pustaka Cendikia.
Glasier, A. Dkk. 2005. Keluarga Berencadan Dan Kesehatan Reproduksi. Jakarta:
EGC.
Glevinno, A. 2008. Remaja dan Seks. (http://public.kompasiana.com/).
Hastono, S. P. 2007. Analisis Data Kesehatan. Jakarta: Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia.
Hutapea, R. 2003. AIDS & PMS dan Pemerkosaan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka
Cipta.
Nursalam. 2008. Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Sarwono, S. W. 2007. Psikologi Remaja. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Soetjiningsih. 2004. Tumbuh Kembang Remaja Dan Permasalahannya. Jakarta:
Sagung Seto.
Sunaryo. 2004. Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC.
Tambayong, J. 2001. Anatomi dan Fisiologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC.
Widiyastuti, Y. Dkk. 2009. Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta: Fitramaya.
Willis, S. S. 2005. Remaja Dan Masalahnya. Bandung: Alfabeta.

58

59

Anda mungkin juga menyukai