Anda di halaman 1dari 50

CASE REPORT

Congestive heart failure

DOKTER PEMBIMBING
dr. Nurul, Sp.Jp

DISUSUN OLEH
Agnes Yuarni
030.10.011

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH
PERIODE SEPTEMBER NOVEMBER 2014

LEMBAR PENGESAHAN

Case Report yang berjudul Spondilitis Tuberkulosa / Potts Disease


telah diterima dan disetujui pada tanggal 10 Juli 2014
sebagai salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah
periode 1 Juni 2014 9 Agustus 2014 di Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih

Jakarta, 10 Juni 2014

dr. Joserizal Jurnalis, Sp.OT

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan Case
Report dengan judul Spondilitis Tuberkulosa / Potts Disease. Case report ini
diajukan dalam rangka melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah Rumah
Sakit Umum Daerah Budhi Asih periode 1 Juni 2014 9 Agustus 2014 dan juga
bertujuan untuk menambah wawasan bagi penulis serta pembaca mengenai Sponditilis
Tuberkulosa. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
atas bantuan dan kerja sama yang telah diberikan selama penyusunan case report ini,
kepada dr. Joserizal Jurnalis, Sp.OT, selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu
Bedah Rumah Sakit Umum Darerah Budhi Asih.
Penulis menyadari case report ini masih jauh dari sempurna, sehingga penulis
mengharapkan saran dan kritik yang dapat membangun dari semua pihak agar case
report ini dapat menjadi lebih baik dan berguna bagi semua pihak yang membacanya.
Penulis memohon maaf sebesar-besarnya apabila masih banyak kesalahan maupun
kekurangan dalam case report ini.

Jakarta, Juli 2014

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
Spondilitis tuberkulosis (TB) atau dikenal dengan Potts disease adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang mengenai tulang
belakang. Spondilitis TB telah ditemukan pada mumi dari Spanyol dan Peru pada tahun
1779.1 Infeksi Mycobakcterium tuberculosis pada tulang belakang terbanyak
disebarkan melalui infeksi dari diskus. Mekanisme infeksi terutama oleh penyebaran
melalui hematogen.1 Secara epidemiologi tuberkulosis merupakan penyakit infeksi
pembunuh nomor satu di dunia, 95% kasus berada di negara berkembang. Organisasi
kesehatan dunia (WHO) pada tahun 2000 memperkirakan 2 juta penduduk terserang
dan 3 juta penduduk di seluruh dunia meninggal oleh karena TB.2,3 Insiden spondilitis
TB masih sulit ditetapkan, sekitar 10% dari kasus TB ekstrapulmonar merupakan
spondilitis TB dan 1,8% dari total kasus TB.2
Indonesia menempati peringkat ketiga setelah India dan China sebagai negara
dengan populasi penderita TB terbanyak.4 Setidaknya hingga 20 persen penderita TB
paru akan mengalami penyebaran TB ekstraparu.5 TB ekstraparu dapat berupa TB otak,
gastrointestinal, ginjal, genital, kulit, getah bening, osteoartikular, dan endometrial.
Sebelas persen dari TB ekstraparu adalah TB osteoartikular, dan kurang lebih setengah
penderita TB osteoartikular mengalami infeksi TB tulang belakang.6
Infeksi spinal oleh tuberkulosis, atau yang biasa disebut sebagai spondilitis
tuberkulosis (TB), sangat berpotensi menyebabkan morbiditas serius, termasuk defi sit
neurologis dan deformitas tulang belakang yang permanen, oleh karena itu diagnosis
dini sangatlah penting. Diagnosis dini spondilitis TB sulit ditegakkan dan sering
disalahartikan sebagai neoplasma spinal atau spondilitis piogenik lainnya. 1 Diagnosis
biasanya baru dapat ditegakkan pada stadium lanjut, saat sudah terjadi deformitas
tulang belakang yang berat dan defisit neurologis yang bermakna seperti paraplegia. 2,3
Tata laksana spondilitis TB secara umum adalah kemoterapi dengan Obat Anti
Tuberkulosis (OAT), imobilisasi, dan intervensi bedah ortopedi/ saraf.

TINJAUAN PUSTAKA

BAB II
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama

: Achmad Tarmidji Muchtar

Usia

: 49 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Status Pernikahan

: Menikah

Alamat

: Jalan Kayumanis I lama RT 10/08, kelurahan Palmeriam


kecamatan Matraman

Agama

: Islam

Nomor Rekam Medis : 762625

ANAMNESIS
Diperoleh dengan cara autoanamnesis (kepada pasien sendiri)
Keluhan Utama : Pasien datang dengan keluhan sulit BAB.
Keluhan Tambahan : Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien laki-laki usia 49 tahun datang ke poli bedah orthopedi RSUD Budhi Asih pada
tanggal 7 Mei 2013 dengan keluhan sulit BAB. Dan didiagnosis suspek LBP et causa
HNP.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien 3 tahun yang lalu datang ke RSUD Budhi Asih pada 9 Mei 2011 dengan
keluhan benjolan di pinggang kanan. Benjolan terasa nyeri, panas, dan merah. Pasien
5

sebelumnya mengalami batuk, batuk berdahak awalnya putih lama kelamaan berubah
menjadi kuning, pasien juga mengeluh lemas, keringat malam, meriang terutama di
malam hari, dan penurunan nafsu makan. Tidak ada mual dan muntah, tidak ada batuk
bercampur darah, BAK dan BAB lancar. Sekitar dua bulan setelah pasien mengalami
batuk-batuk, muncul benjolan di pinggang sebelah kanan. Pasien menyangkal adanya
riwayat trauma, tidak ada terjatuh, terpukul ataupun terluka di bagian benjolan
sebelumnya.
Pasien didiagnosis sebagai soft tissue tumor dan dirujuk kebagian bedah RSUD Budhi
Asih. Pada tanggal 12 Mei 2011 pasien datang ke bagian bedah RSUD Budhi Asih lalu
dilakukan drainase benjolan dan yang keluar adalah pus, pasien didiagnosis
paravertebral abses dan dirujuk ke bagian bedah orthopedi karena mengeluh nyeri
pinggang.
Pada tanggal 21 Mei 2011 pasien datang ke bagian bedah orthopedi RSUD Budhi Asih
dan didiagnosis suspek spondilitis TB vertebra L3-5, destruksi Vertebra L2, pasien
dianjurkan cek laboratorium dan mantoux tes. Pada tanggal 26 Mei 2011 didapatkan
hasil LED 120, Mantoux test (+), dan BB 41 kg. Pasien diberikan terapi OAT I dan
brace. Pada tanggal 19 Juli 2014 pasien diganti terapinya menjadi OAT II. Pasien
datang untuk kontrol 1-2 bulan sekali ke bagian orthopedi RSUD Budhi Asih. Pasien
mengalami perbaikan setelah diberi obat, BB pasien naik perlahan dan keluhan perlahan
menghilang. Pasien tetap mengkonsumsi OAT hingga bulan Mei 2013.
Riwayat alergi, riwayat asma, riwayat hipertensi, riwayat DM, riwayat koleterol tinggi,
riwayat asam urat tinggi, riwayat penyakit jantung, riwayat gangguan ginjal, riwayat
penyakit kuning, hepatitis, tumor disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Di keluarga pasien tidak ada yang mengalami penyakit darah tinggi, DM, penyakit
jantung, keganasan, maupun alergi.
Riwayat Pengobatan
Pasien sempat mengkonsumsi OAT.

Riwayat Kebiasaan
Riwayat merokok

(-)

Riwayat minum alkohol

(-)

PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan tanggal 12 Juni 2014 di ruang poli orthopedi RSUD Budhi Asih.
I.

II.

Keadaan Umum
a. Kesan Sakit : Tampak Sakit Sedang, tidak kooperatif
b. Kesadaran
: Compos Mentis
c. Status Gizi
: Gizi kurang
d. Tidak ada sesak
Tanda Vital dan Antropometri

PEMERIKSAAN

NILAI
NORMAL

HASIL PASIEN

Suhu

36,5o - 37,2o C

36,7oC

Nadi

60-100 x/mnt

80x/mnt, reguler, isi cukup

Tekanan darah

120/80 mmHg

110/70 mmHg

Nafas

14-18 x/mnt

20x/mnt

Berat badan

45kg

Tinggi badan

Sekitar 160 cm

BMI

18,5-22,9

underweight (BMI: 17,6)

A. Status Generalis
Kepala

: Ukuran normosefali, bentuk bulat oval, tidak tampak deformitas, pada


perabaan tidak ada nyeri, rambut berwarna hitam sedikit beruban,

Wajah

tipis, tidak kering, tidak mudah dicabut


: pipi tampak sedikit cekung, tidak tampak sesak, tidak kesakitan, tidak
pucat, tidak sianosis, ekspresi wajah simetris, dan tidak tampak facies
yang menandai suatu penyakit seperti facies hipocrates, tidak tampak
moon face

Mata

: Bentuk normal, konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil


bulat isokor, 3mm, reflek cahaya (+/+), kornea jernih

Telinga

: Normotia, kartilago sempurna, secret (-/-)

Hidung

: Bentuk normal, deviasi septum (-), sekret (-/-), nafas cuping hidung (/-)

Mulut

: labioschiziz (-),palatoschiziz (-), bibir sianosis (-), bibir kering (-),


trismus (-)

Leher

: Trakhea teraba ditengah, KGB serta kelenjar tiroid tidak teraba


membesar

Paru-paru:
Inspeksi

: bentuk simetris pada saat statis & dinamis, retraksi (-),

Palpasi

: tidak dilakukan

Perkusi

: Sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi

: Suara dasar nafas vesikuler, rhonki (-/-) wheezing (-/-)

Jantung :
Inspeksi

: pulsasi Ictus cordis tampak

Palpasi

: pulsasi ictus cordis teraba kuat setinggi ICS V axillaris anterior


kiri

Perkusi

: Batas jantung tidak dinilai

Auskultasi

: S1 S2 normal regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen:
Inspeksi
Auskultasi
Palpasi
Perkusi

: datar, insersi tali pusat di tengah tanpa tanda peradangan.


: Bising usus (+) normal
: Supel
: Timpani

Genitalia/ Anorektal

: tidak dinilai

Ekstremitas:
Ekstremitas
Deformitas
Akral dingin

Superior
-/-/8

Inferior
-/-/-

Akral sianosis
Ikterik
CRT
Tonus

-/-/< 2 detik
baik

-/-/< 2 detik
baik

Kulit
tidak ikterik ataupun sianotik

STATUS LOKALIS
Regio Thorakolumbal
Look

: Deformitas (+) Kifosis vertebra thorakal


Benjolan (+), Tanda radang (-), Sikatriks (+), Tanda Bekas Luka (+),

Fistel (-)
Feel

: Suhu teraba hangat seperti daerah sekitarnya, Nyeri (+)

Move

:-

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium tanggal 9 Mei 2014
Hematologi

Leukosit
: 68 ribu/ L
Eritrosit
: 5,3 juta / L
Hemoglobin : 14,5 g/Dl
Hematokrit : 45%
Trombosit
: 194.000 / L
LED
: 48 mm / jam*
MCV
: 86.3 Fl
MCH
: 27.7 pg
MCHC
: 32,1 g/Dl
RDW
: 15,4 %
Hitung Jenis (%)
Basofil
1
Eosinofil
3
Netrofil Batang 0*
9

Netrofil Segmen 67
Limfosit
24*
Monosit
5
Pemeriksaan Mantoux Test (+) pada 26 Mei 2011
Foto Rontgen Thorakolumbal (AP/Lateral)
Foto diambil pada tangga 19/05/2014

Tampak Kyphosis
Tampak destruksi dari corpus vertebra L1 serta penyempitan intervertebralis

space Th 12- L1 dan L1-2


Tampak bayangan seperti gibbus antara vertebra L1-2
Kesan : Spondilitis TB vertebra L1 serta Kyphosis

RESUME
Pasien datang pada tanggal 7 Mei 2013 dengan keluhan sulit BAB. Dan didiagnosis
suspek LBP et causa HNP. Pasien 3 tahun yang lalu datang dengan keluhan benjolan di
pinggang kanan. Benjolan terasa nyeri, panas, dan merah. Pasien sebelumnya
10

mengalami batuk, batuk berdahak awalnya putih lama kelamaan berubah menjadi
kuning, pasien juga mengeluh lemas, keringat malam, meriang terutama di malam hari,
dan penurunan nafsu makan. Tidak ada mual dan muntah, tidak ada batuk bercampur
darah, BAK dan BAB lancar. Sekitar dua bulan setelah pasien mengalami batuk-batuk,
muncul benjolan di pinggang sebelah kanan. Pasien menyangkal adanya riwayat
trauma, tidak ada terjatuh, terpukul ataupun terluka di bagian benjolan sebelumnya.
Pasien sebelumnya menderita Tb dan diberi terapi OAT.

DIAGNOSIS KERJA
Spondilitis TB Lumbal 1 dengan kyphosis
PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
o OAT I
- Rifampisin 1 x 600 mg
- INH 1 x 400 mg
- Etambutol 2 x 500 mg
- Pirazinamid 2 x 500 mg
o OAT II
- Rifampisin 1 x 450 mg
- Etambutol 2 x 500 mg
- INH 1 x 450 mg
o Ranitidine 2 x 1
o Asam Mefenamat 3 x 500 mg
o Ceftriaxone 2 x 500
o Vitamin B6 1 x 1
o Vitamin Bc 1 x 1
o Laxative 3 x 1
o Dulcolax 1 x 1
Non medikamentosa
o Bed Rest
o EXT Brace
PROGNOSIS
Ad Vitam

: dubia ad bonam

Ad Fungtionam

: dubia ad bonam

Ad Sanationam

: dubia ad bonam

11

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
TUBERKULOSIS

Definisi
Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi pada jaringan tubuh (paru dan ekstra
paru) yang bersifat kronik dan dapat menular yang disebabkan bakteri berbentuk batang
(basil) yang dikenal dengan nama Mycobacterium tuberkulosis.
Patologi TB paru
Tuberkulosis Primer
Droplet Mycobacterium tuberculosis masuk melalui saluran napas

akan

bersarang di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumonik dan akan
menimbulkan fokus infeksi di jaringan paru. Fokus infeksi ini disebut fokus primer
(fokus Ghon. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru,
12

berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan
saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh
pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Kompleks primer ini
akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut :
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik,
sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara Perkontinuitatum, secara bronkogen, hematogen dan limfogen
Gabungan dari fokus primer, limfangitis lokal dan limfadenitis regional disebut
sebagai kompleks primer. Jika sistem imun penderita tidak cukup kompeten infeksi
akan menyebar secara hematogen/limfogen dan bersarang di seluruh tubuh mulai dari
otak, gastrointestinal, ginjal, genital, kulit, getah bening, osteoartikular, hingga
endometrial.

Tuberkulosis sekunder
Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian tuberkulosis
post-primer/ tuberkulosis sekunder, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post
primer mempunyai nama yang bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa,
localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Mayoritas terinfeksi
mencapai 90%. Tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti
malnutrisi, alkohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS, gagal ginjal. Tuberkulosis
sekunder ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas paru (bagian apikal
lobus superior atau inferior). Invasinya adalah daerah parenkim paru-paru dan tidak ke
nodus parahiler paru.
Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonial kecil. Dalam 3-10
minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel
histiosit dan sel datia-langhans (sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh selsel limfosit dan berbagai jaringan ikat.
13

TB sekunder juga dapat berasal dari infeksi eksogen pada usia muda menjadi
TB usia tua (elderly tuberculosis). Tergantung dari jumlah kuman, virulensinya, dan
imunitas pasien, sarang dini ini dapat menjadi :
1. Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa jaringan cacat
2. Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan serbukan
jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan
perkapuran. Sarang dini yang meluas sebagai granuloma berkembang
menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan bagian tengah menjadi nekrosis,
menjadi lembek menimbulkaN jaringan keju. Bila jaringan keju dibatukan
keluar akan timbul kavitas. Kavitas ini mula-mula berdinding tipis, lama-lama
dindingnya menebal karena infiltrasi jaringan fibroblas dalam jumlah besar,
sehingga terjadi kavitas sklerotik (kronik). Terjadinya perkejuan dan kavitas
adalah karena hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh enzim yang
diproduksi oleh makrofag, dan proses yang diperantai sitokin dan TNF-nya.
Bentuk perkejuan lain yang jarang adalah cryptic disseminate TB yang terjadi
pada imunodefisiensi dan usia lanjut.
Di sini lesi sangat kecil, tetapi berisi bakteri sangat banyak. Kavitas dapat :
a. Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Bila isi kavitas ini
masuk dalam peredaran darah arteri, maka akan terjadi TB milier. Dapat juga
masuk ke paru sebelahnya atau tertelan masuk ke lambung dan selanjutnya ke
usus menjadi TB usus. Sarang ini selanjutnya mengikuti perjalanan seperti yang
disebutkan terdahulu. Bisa juga terjadi TB endobronkhial dan TB endotrakeal
atau empiema bila ruptur ke pleura.
b. Memadat dan membungkus diri sehingga menjadi tuberkuloma. Tuberkuloma
ini dapat mengapur dan menyembuh atau dapat aktif kembali menjadi cair dan
jadi kavitas lagi. Komplikasi kronik kavitas adalah kolonisasi oleh fungus
seperti Aspergillus dan kemudian menjadi mycetoma.
c. Bersih dan menyembuh, disebut open healed cavity dapat juga menyembuh
dengan membungkus diri menjadi kecil. Kadang-kadang membungkus diri,
menciut fan berbentuk bintang disebut stellate shaped.
Secara keseluruhan akan terdapat 3 macam sarang yakni :
1. Sarang yang sudah sembuh. Sarang ini tidak perlu pengobatan lagi

14

2. Sarang aktif eksudatif. Sarang bentuk ini dapat sembuh spontan, tetapi
mengingat kemungkinan terjadinya eksaserbasi kembali, sebaiknya diberi
pengobatan yang sempurna juga.
Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem kesehatan rakyat,
karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post-primer dimulai dengan
sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus
inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil.
Klasifikasi Tuberkulosis
1. Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak
termasuk pleura
Berdasarkan Pemeriksaan dahak, Tuberkulosis pari dibagi menjadi :
- Tuberkulosis Paru BTA (+)
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif,
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif, Hasil
-

pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif
Tuberkulosis Paru BTA (-)
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik
dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif, Hasil pemeriksaan

dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M. tuberculosis positif


WHO 1991 berdasarkan terapi membagi TB dalam 4 kategori yakni :
Kategori I, ditujukan kepada :
Kasus baru dengan sputum positif
Kasus baru dengan bentuk TB berat.
Kategori II, ditujukan kepada :
Kasus kambuh
Kasus gagal dengan sputum BTA positif
Kategori III, ditujukan kepada :
Kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas
Kategori TB ekstra paru selain dari yang disebut kategori I.
Kategori IV, ditujukan terhadap : TB kronik.
2. Tuberkulosis Ekstra Paru
Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain
selain paru, misalnya pleura, kelenjar getah bening, selaput otak, perikard, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain. Diagnosis
sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi.
Gejala klinik
15

1. Gejala respiratorik
- batuk >2 minggu
- batuk darah
- sesak napas
- nyeri dada
2. Gejala sistemik
- Demam
- Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun
3. Gejala tuberkulosis ekstra paru
Pemeriksaan Bakteriologik
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai
arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan
bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan
bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin,
faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)
Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral,
top-lordotik, oblik, CT-Scan. Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB
aktif :
Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah, Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh

bayangan opak berawan atau nodular


Bayangan bercak milier
Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif
Fibrotik
Kalsifikasi, schwarte atau penebalan pleura.8,9,10

16

Gambar 1. Alur Diagnosis TBC


( Dikutip dari pedoman diagnosis dan penatalaksanaa Tuberkulosis di Indonesia )

17

SPONDILITIS TUBERKULOSA (POTTS DISEASE)


Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga spondilitis
tuberkulosis merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat
kronik destruktif oleh Mikobakterium tuberkulosIS di tulang belakang.
Tuberkulosis tulang belakang selalu merupakan infeksi sekunder dari
fokus di tempat lain dari tubuh. Percivall Pott (1973) yang pertama
kali menulis tentang penyakit ini dan menyatakan tulang belakang
yang terjadi, sehingga penyakit ini disebut juga sebagai penyakit
pott. Spondilitis tuberkulosis paling sering ditemukan pada vertebra
T8-L3, paling jarang pada vertebra C1-C2. Spondilitis tuberkulosa
biasanya mengenai korpus vertebra, tetapi jarang mengenai arcus
vertebra.
Spondilitis corpus vertebra dibagi menjadi 3 bentuk. Pada
bentuk sentral, destruksi awal terletak di sentral korpus vertebra.
Bentuk ini sering ditemukan pada anak. Bentuk paradiskus terletak di
bagian

korpus

vertebra

yang

bersebelahan

dengan

diskus

intervertebra. Bentuk ini sering ditemukan pada orang dewasa.


Bentuk anterior dengan lokus awal pada korpus vertebra di bagian
anterior, merupakan penjalaran perkontinuitatum dari vertebra di
atasnya. Proses radang spesifik di tulang ini berlangsung seperti
dijelaskan pada tuberkulosis.
Nekrosis dengan perkejuan membentuk nanah yang menjadi abses
dingin. Destruksi tulang mengakibatkan patah tulang kompresi.
Epidemiologi
Pada tahun 2005, World Health Organization(WHO) memperkirakan bahwa
jumlah kasus TB baru terbesar terdapat di Asia Tenggara (34 persen insiden TB secara
global) termasuk Indonesia. Jumlah penderita diperkirakan akan terus meningkat seiring
dengan meningkatnya jumlah penderita acquired immunodefi ciency syndrome (AIDS)
oleh infeksi human immunodefi ciency virus(HIV). Satu hingga lima persen penderita
TB, mengalami TB osteoartikular. Separuh dari TB osteoartikular adalah spondilitis
TB.3,11,12,13

18

Indonesia adalah penyumbang terbesar ketiga setelah India dan China yaitu
dengan penemuan kasus baru 583.000 orang pertahun, kasus TB menular 262.000 orang
dan angka kematian 140.000 orang pertahun.3,5 Kejadian TB ekstrapulmonal sekitar
4000 kasus setiap tahun di Amerika, tempat yang paling sering terkena adalah tulang
belakang yaitu terjadi hampir setengah dari kejadian TB ekstrapulmonal yang mengenai
tulang dan sendi.3,

Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25%-30% anak

yang terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5%-10% anak yang terinfeksi, dan
paling banyak terjadi dalam 1 tahun, namun dapat juga 2-3 tahun kemudian.
KLASIFIKASI SPONDILITIS TB
Klasifi kasi Potts paraplegia disusun untuk mempermudah komunikasi antar
klinisi dan mempermudah deskripsi keparahan gejala klinis pasien spondilitis TB.
Klasifi kasi klinikoradiologis untuk memperkirakan durasi perjalan penyakit
berdasarkan temuan klinis dan temuan radiologis pasien.
Klasifi kasi menurut Gulhane Askeri TipAkademisi (GATA) baru-baru ini telah
disusun untuk menentukan terapi yang dianggap paling baik untuk pasien yang
bersangkutan. Sistem klasifi kasi ini dibuat berdasarkan kriteria klinis dan radiologis,
antara lain: formasi abses, degenerasi diskus, kolaps vertebra, kifosis, angulasi sagital,
instabilitas vertebra dan gejala neurologis; membagi spondilitis TB menjadi tiga tipe (I,
II, dan III).
Untuk menilai derajat keparahan, memantau perbaikan klinis, dan memprediksi
prognosis pasien spondilitis TB dengan cedera medula spinalis, dapat digunakan klasifi
kasi American Spinal Injury Association (ASIA) impairment scale. Sistem ini adalah
pembaruan dari sistem klasifi kasi Frankel dan telah diterima secara luas. ASIA
impairment scale membagi cedera medula spinalis menjadi 5 tipe (A, cedera medula
spinalis komplit, B D, cedera medula spinalis inkomplit, E, normal) (tabel 4).
Hasil penelitian tentang prognosis pasien dengan cedera medula spinalis
menyatakan bahwa pasien dengan cedera medula spinalis ASIA A, hanya memiliki
paling tinggi lima persen kemungkinan menjadi ASIA D, 20 50 persen pada ASIA B
untuk menjadi ASIA D dalam 1 tahun, 60 75 persen pada ASIA C untuk menjadi
ASIA D dalam 1 tahun.14,15

Tabel 1 Klasifikasi Potts paraplegia14


19

Stadium
I.

Gambaran klinis
Pasien tidak sadar akan gangguan neurologis,
klinisi menemukan adanya klonus pada
ekstensor plantaris dan pergelangan kaki.
Pasien menyadari adanya gangguan
neurologis, tetapi masih mampu berjalan
dengan bantuan.
Tidak dapat berpindah tempat (nonambulatorik) karena kelumpuhan (dalam
posisi ekstensi) dan defi sit sensorik di bawah
50 persen.
Stadium III + kelumpuhan dalam posisi fl
eksi, defi sit sensorik di atas 50 persen,dan
gangguan sfi ngter.

Tidak terdeteksi/terabaikan
(negligible)

II.

Ringan

III.

Moderate

IV. Berat

Tabel 2 Klasifikasi klinikoradiologis14


stadium
I. Pre-destruktif

II. Destruktif awal

III. Kifosis ringan


IV. Kifosis moderat
V. Kifosis berat

Gambaran klinikokardiologis
Kurvatura lurus, spasme otot
perivertebral, hiperemia
tampak pada skintigrafi , MRI
menunjukkan edema sumsum
tulang.
Penyempitan ruang diskus,
erosi paradiskal. MRI
memperlihatkan edema dan
kerusakan korteks vertebra, CT
scan menunjukkan erosi
marginal dan kavitasi.
23 vertebra terkena (angulasi
1030)
>3 vertebra terkena (angulasi
3060)
>3 vertebra (angulasi >60)

Durasi perjalanan penyakit


< 3 bulan

24 bulan

39 bulan
624 bulan
>2 tahun

Tabel 3 Klasifikasi Gulhane Askeri Tip Akademisi (GATA) untuk spondilitis TB.
Tipe
IA

lesi
Lesi vertebra dan
degenerasi
diskus 1 segmen,
tanpa kolaps,
abses, ataupun defi
sit neurologis.

penatalaksanaan
Biopsi perkutan dan
kemoterapi

20

contoh

IB

Adanya cold abscess, Drainase abses dan


degenerasi
debridemen anterior/
diskus 1 atau lebih,
posterior
tanpa kolaps
ataupun defi sit
neurologis.

II

Kolaps vertebra
Cold abscess
Kifosis
Deformitas stabil,
dengan/ tanpa
defi sit neurologis
Angulasi sagital <
20

III

1. debridemen dan
fusi
anterior
2. dekompresi jika
terdapat
defi sit neurologis
3. tandur strut
kortikal untuk
Fusi
Kolaps vertebra berat Penatalaksaan no II
Cold abscess
+ instrumentasi
Kifosis berat
anterior/
Deformitas tidak
posterior
stabil, dengan/
tanpa defi sit
neurologis
Angulasi sagital
20

Tabel 4 ASIA Impairment Scale15


stadium
A. Complete
B. Incomplete
C. Incomplete

D. Incomplete
E. Normal
Sindrom Klinis

Gambaran neurologis
Tidak ada fungsi motorik atau sensorik yang utuh pada segmen S4-5
Fungsi sensorik utuh, fungsi motorik tidak utuh di bawah segmen lesi
neurologis dan segmen S4-5
Fungsi motorik masih utuh di bawah segmen lesi neurologis, dan lebih
dari separuh otot kunci* di bawah
segmen lesi neurologis setidaknya memiliki kekuatan motorik di bawah 3
Sama seperti C, namun dengan kekuatan motorik di atas 3
Fungsi motorik dan sensorik normal
Sindrom Brown Sequard, Sindrom Kauda Ekuina, Sindrom Medula
anterior, Sindrom Medula Sentral,
Sindrom Konus Medularis.
21

*Otot-otot kunci yang dimaksud antara lain: fl eksi siku (C5), ekstensi tangan (C6),
ekstensi siku (C7), ekstensi jari tangan (C8), abduksi kelingking (T1), fl eksi tungkai
(L2), ekstensi lutut (L3), dorsofl eksi kaki (L4), ekstensi ibu jari kaki (L5), plantarfl
eksi kaki (S1). pemeriksaan segmen S4 5 adalah dengan menilai kontraksi sfi nger ani
volunter dan dan sensasi perianal.
PATOFISIOLOGI
Patologi spondilitis TB
Spondilitis TB dapat terjadi akibat penyebaran secara hematogen/limfogen
melalui nodus limfatikus para-aorta dari fokus tuberkulosis di luar tulang belakang yang
sebelumnya sudah ada. Pada anak, sumber infeksi biasanya berasal dari fokus primer di
paru, sedangkan pada orang dewasa berasal dari fokus ekstrapulmoner (usus, ginjal,
tonsil).16 Dari paru-paru, kuman dapat sampai ke tulang belakang melalui pleksus
venosus paravertebral Batson.13 Basil masuk ke korpus vertebra melalui 2 jalur utama ,
jalur arteri dan jalur vena serta jalur tambahan.
Jalur utama berlangsung secara sistemik, mengalir sepanjang arteri ke perifer masuk
kedalam korpus vertebra; berasal dari arteri segmental interkostal atau arteri segmental
lumbal yang memberikan darah ke separuh dari korpus yang berdekatan, dimana setiap
korpus diberi nutrisi oleh 4 buah arteri nutrisia. Didalam korpus arteri ini berakhir
sebagai end artery, sehingga perluasan infeksi korpus vertebra sering dimulai didaerah
paradiskal.
Jalur kedua adalah melalui pleksus Batson , suatu anyaman vena epidural dan
peridural. Vena dari korpus vertebra mengalir ke pleksus Batson pada daerah
perivertebral. Pleksus ini beranastomose dengan pleksus-pleksus pada dasar otak,
dinding dada, interkostal, lumbal dan pelvis ; sehingga darah dalam pleksus Batson
berasal dari daerah-daerah tersebut diatas. Jika terjadi aliran retrograd akibat perubahan
tekanan pada dinding dada dan abdomen maka basil dapat ikut menyebar dari infeksi
tuberkulosa yang berasal dari organ didaerah aliran vena-vena tersebut.
Jalur ketiga adalah penyebaran perkontinuitatum dari abses paravertebral yang telah
terbentuk, dan menyebar sepanjang ligamentum longitudial anterior dan postrior ke
korpus vertebra yang berdekatan.17
Penyakit ini umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi berawal dari
bagian sentral, bagian depan atau dari daerah epifisial korpus vertebra, bisa juga diaerah
paradiskus. Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis
dan perlunakan korpus sehingga tulang menjadi lunak dan gepeng terjadi akibat gaya
22

gravitasi dan tarikan otot torakolumbal.. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks
epifisis, diskus intervertebral dan ke korpus yang berada didekatnya.
Diskus intervertebralis relatif resisten terhadap infeksi tuberkulosis karena
avaskular. Bila diskus terkena infeksi maka diskus akan rusak karena jaringan granulasi
dan kehilangan cairan, celah sendi akan menyempit. Karena transmisi beban gravitasi
pada vertebra torakal lebih terletak pada setengah bagian anterior badan vertebra, maka
lesi kompresi lebih banyak ditemukan pada bagian anterior badan vertebra sehingga
badan vertebra bagian anterior menjadi lebih pipih daripada bagian posterior.13 Resultan
dari hal-hal tersebut mengakibatkan deformitas kifotik. Deformitas kifotik inilah yang
sering disebut sebagai gibbus (gambar 2), kemudian eksudat menyebar ke anterior
dibawah ligamentum longitudinale anterior. Eksudat ini dapat menembus ligamentum
longitudinale anterior dan berekspansi ke berbagai arah disepanjang garis ligamentum
yang lemah.18

Gambar 2 Gibbus. Tampak penonjolan bagian posterior


tulang belakang ke arah dorsal akibat angulasi kifotik
vertebra.48
Beratnya kifosis tergantung pada jumlah vertebra yang terlibat, banyaknya
ketinggian dari badan vertebra yang hilang, dan segmen tulang belakang yang terlibat.
Vertebra torakal lebih sering mengalami deformitas kifotik. 19 Pada vertebra servikal dan
lumbal, transmisi beban lebih terletak pada setengah bagian posterior badan vertebra
23

sehingga bila segmen ini terinfeksi, maka bentuk lordosis fisiologis dari vertebra
servikal dan lumbal perlahan-lahan akan menghilang dan mulai menjadi kifosis.20
Pada daerah servikal, eksudat terkumpul di belakang fascia paravertebralis dan
menyebar ke lateral di belakang muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat dapat
mengalami protusi ke depan dan menonjol ke dalam faring yang dikenal sebagai abses
faringeal. Abses ini dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat trakea, esophagus
atau kavum pleura.
Kuman membagi perjalanan penyakit ini dalam 5 stadium :
1. Stadium Implantasi, setelah bakteri berada dalam tulang, maka
bila daya tahan tubuh penderita menurun, bakteri akan
berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6-8
minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus,
yang sering ditemukan pada orang dewasa dan pada anak-anak
umumnya pada daerah sentral vertebra.
2. Stadium
destruksi
awal,
setelah
stadium

implantasi,

selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra serta penyempitan


yang ringan pada discus. Proses ini berlangsung selama 3-6
minggu.
3. Stadium destruksi lanjut. Pada stadium ini terjadi destruksi
yang masif, kolaps vertebra dan terbentuk massa kaseosa serta
pus yang berbentuk cold abses (abses dingin), yang terjadi 2-3
bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat
terbentuk tulang baju terutama di sebelah depan (wedging
anterior) akibat kerusakan korpus vertebra, yang menyebabkan
terjadinya kifosis atau gibus.
4. Stadium gangguan neurologis. Gangguan neurologis tidak
berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi, tetapi terutama
ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan ini
ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa.
Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih kecil
sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah
ini. bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu dicatat derajat
kerusakan paraplegia, yaitu :

24

Derajat I : kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi


setelah melakukan aktivitas atau setelah berjalan jauh. Pada
tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensorik.
Derajat II : terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah
tetapi penderita masih dapat melakukan pekerjaannya.
Derajat III : terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah
yang

membatasi

gerak

aktivitas

penderita

setelah

hiperestesia/anesthesia
Derajat IV : terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai
gangguan defekasi dan miksi.
Tuberkulosis paraplegia atau Potts paraplegia dapat terjadi
secara dini atau lambat tergantung dari penyakitnya. Pada
penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena
tekanan ekstradural dari abses paravertebral atau akibat
kerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh adanya
granulasi jaringan.
Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak aktif/sembuh terjadi
oleh karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau
oleh pembentukan jaringan granulasi tuberkulosa. Tuberkulosis
paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat terjadi destruksi
tulang disertai angulasi dan gangguan vaskuler vertebra.
Derajat I-III disebut sebagai paraparesis dan derajat IV disebut
sebagai paraplegia.
5. Stadium deformitas residual. Stadium ini terjadi kurang lebih 35 tahun setelah timbulnya stadium implantasi. Kifosis atau
gibus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra yang
massif disebelah depan.
Menurut penelitian di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, lesi vertebra
torakal terlapor pada 71 persen kasus spondilitis TB, diikuti dengan vertebra lumbal,
dan yang terakhir vertebra servikal. Lima hingga tujuh persen penderita mengalami lesi
di dua hingga empat badan vertebra dengan rata-rata 2.51. 24 Jika pada orang dewasa
spondilitis TB banyak terjadi pada vertebra torakal bagian bawahdan lumbal bagian
atas, khususnya torakal 12 dan lumbal 1, pada anak-anak spondilitis TB lebih banyak
terjadi pada vertebra torakal bagian atas.25

25

Cold abscess terbentuk jika infeksi spinal telah menyebar ke otot psoas (disebut
juga abses psoas) atau jaringan ikat sekitar. Cold abscess dibentuk dari akumulasi
produk likuefaksi dan eksudasi reaktif proses infeksi. Abses ini sebagian besar dibentuk
dari leukosit, materi kaseosa, debris tulang, dan tuberkel basil. 13 Abses di daerah
lumbar akan mencari daerah dengan tekanan terendah hingga kemudian membentuk
traktus sinus/fi stel di kulit hingga di bawah ligamentum inguinal atau regio gluteal.26
Adakalanya lesi tuberkulosis terdiri dari lebih dari satu fokus infeksi vertebra.
Hal ini disebut sebagai spondilitis TB non-contiguous, atau skipping lesion. Peristiwa
ini dianggap merupakan penyebaran dari lesi secara hematogen melalui pleksus venosus
Batson dari satu fokus infeksi vertebra. Insidens spondilitis TB non-contiguous
dijumpai pada 16 persen kasus spondilitis TB.27
Defisit neurologis oleh kompresi ekstradural medula spinalis dan radiks terjadi
akibat banyak proses, yaitu: 1) penyempitan kanalis spinalis oleh abses paravertebral, 2)
subluksasio sendi faset patologis, 3) jaringan granulasi, 4) vaskulitis, trombosis arteri/
vena spinalis, 5) kolaps vertebra, 6) abses epidural atau 7) invasi duramater secara
langsung. Selain itu, invasi medula spinalis dapat juga terjadi secara intradural melalui
meningitis dan tuberkulomata sebagai space occupyinglesio.28,29.
Bila dibandingkan antara pasien spondilitis TB dengan defi sit neurologis dan
tanpa defi sit neurologis, maka defi sit biasanya terjadi jika lesi TB pada vertebra
torakal. Defi sit neurologis dan deformitas kifotik lebih jarang ditemukan apabila lesi
terdapat pada vertebra lumbalis.30 Penjelasan yang mungkin mengenai hal ini antara
lain: 1) Arteri Adamkiewicz yang merupakan arteri utama yang mendarahi medula
spinalis segmen torakolumbal paling sering terdapat pada vertebra torakal 10 dari sisi
kiri. Obliterasi arteri ini akibat trombosis akan menyebabkan kerusakan saraf dan
paraplegia. 2) Diameter relatif antara medula spinalis dengan foramen vertebralisnya.
Intumesensia lumbalis mulai melebar kira-kira setinggi vertebra torakal 10, sedangkan
foramen vertebrale di daerah tersebut relatif kecil. Pada vertebra lumbalis, foramen
vertebralenya lebih besar dan lebih memberikan ruang gerak bila ada kompresi dari
bagian anterior.
BENTUK TUBERKULOSIS TULANG BELAKANG
Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra, dikenal 3 bentuk spondilitis11:
a. Bentuk paradiskus, merupakan bentuk yang paling sering ditemukan pada orang
dewasa, lebih dari separuh jumlah kasus.
26

b. Bentuk sentral, infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra.. Dapat
menyebabkan kolaps vertebra dan sering dijumpai pada anak.
c. Bentuk anterior, adalah merupakan perambatan perkontinuitatum dari vertebra
diatasnya atau dibawahnya.
BIOMOLEKULAR TUBERKULOSIS TULANG BELAKANG
Patogenesis dan Patologi Spondilitis Tuberkulosa17,18,32
Karakter infeksi tuberkulosis ialah adanya destruksi tulang (osteolysis) vertebra
yang progresifitasnya berjalan lambat. Destruksi timbul dibagian anterior korpus
vertebra disertai osteoporosis regional. Proses perkijuan yang menyebar akan
menghamabat timbulnya pembentukan tulang baru dan pada saat yang bersamaan akan
menimbulkan segmen-segmen yang avaskular membentuk sekuester, terutama pada
vertebra daerah torakal. Secara bertahap jaringan granulasi akan menembus koteks
korpus vertebra yang sudah tipis sehingga menimbulkan abses paravertebra yang
meliputi beberapa korpus vertebra. Selain itu proses infeksi dapat menyebar keatas dan
kebawah melalui ligamentum longitudinale anterior dan ligamentum longitudinale
posterior.
Diskus intervertebralis yang avaskular , awalnya relatif resisten terhadap infeksi
tuberkulosis. Tetapi kemudian karena dehidrasi, diskus akan meyempit dan akhirnya
akan timbul kerusakan akibat penjalaran jaringan granulasi. Destruksi progresif pada
bagian anterior menyebabkan korpus bagian anterior kolaps , mengakibatkan kifosis
yang progresif. Melalui mekanisme reaksi hipersensitif lambat, vertebra mengalami
destruksi dengan membentuk nekrosis perkijuan. Nekrosis perkijuan ini mencegah
pembentukan tulang baru dan menyebabkan tulang menjadi avaskular sehingga
terbentuk sekuester tuberkulosa yaitu serpihan tulang yang lepas dan nekrosis. Secara
bertahap jaringan granulasi menembus korteks vertebra membentuk abses paravertebra
yang dapat melewati beberapa segman vertebra, menyebar dibawah ligamentum
longitudinale anterior dan posterior mencari tempat paling rendah dengan tahanan yang
paling lemah.22

MANIFESTASI KLINIK 32,33


Gejala Umum

27

Penderita memperlihatkan gejala-gejala sakit kronik dan mudah lelah, demam


subfebris terutama pada malam hari, anoreksia, berat badan menurun, berkeringat pada
malam hari, takikardi dan anemia.
Gejala Lokal
Nyeri dan kaku punggung merupakan keluhan yang pertama kali muncul. Nyeri
dapat dirakan terlokalisir disekitar lesi atau berupa nyeri menjalar sesuai saraf yang
terangsang. Spasme otot-otot punggung terjadi sebagai suatu mekanisme pertahanan
menghindari pergerakan pada vertebra. Saat penderita tidur, spasme otot hilang dan
memungkinkan terjadinya pergerakan tetapi kemudian timbul nyeri lagi. Gejala ini
dikenal sebagai night cry, umumnya terdapat pada anak. Gejala lokal sesuai dengan
lokasi vertebra yang terkena penyakit.
Apabila sudah ditemukan deformitas berupa kifosis, maka patogenesis TB
umumnya spinal sudah berjalan selama kurang lebih tiga sampai empat bulan. Defisit
neurologis terjadi pada 12 50 persen penderita. Defisit yang mungkin antara lain:
paraplegia, paresis, hipestesia, nyeri radikular dan/ atau sindrom kauda equina. Nyeri
radikuler menandakan adanya gangguan pada radiks (radikulopati). Spondilitis TB
servikal jarang terjadi, gejala yang muncul antara lain kaku leher , nyeri vertebra yang
menjalar ke oksipital atau lengan, yang dirasakan lebih hebat bila kepala ditekan kearah
kaudal. namun manifestasinya berbahaya karena dapat menyebabkan disfagia dan
stridor, tortikollis, suara serak akibat gangguan n. laringeus. Jika n. frenikus terganggu,
pernapasan terganggu dan timbul sesak napas (disebut juga Millar asthma). gejala
Kemudian dapat terjadi deformitas, lordosis-normal akan berkurang dan anak
menopang kepalanya dengan lengan, abses retrofaringeal atau servikal, paralisa lengan
diikuti oleh paralisa tungkai. Gejala neurologik dapat terjadi karena, subluksasi antar
vertebra, penekanan medula spinalis atau radiks saraf serta diskus oleh tulang,
terbentuknya abses, reaksi terhadap infeksi lokal, terjadinya vaskulitis tuberkulosa.
Nyeri lokal dan nyeri radikular disertai gangguan motorik, sensorik dan sfingter
distal dari lesi vertebra akan memburuk jika penyakit tidak segera ditangani. Menurut
salah satu sumber, insiden paraplegia pada spondilitis TB (Potts paraplegia), sebagai
komplikasi yang paling berbahaya, hanya terjadi pada 4 38 persen penderita.9 Potts
paraplegia dibagi menjadi dua jenis: paraplegia onset cepat (early-onset) dan
paraplegia onset lambat (late-onset).13

28

Paraplegia onset cepat terjadi saat akut, biasanya dalam dua tahun pertama.
Paraplegia onset cepat disebabkan oleh kompresi medula spinalis oleh abses atau proses
infeksi. Sedangkan paraplegia onset lambat terjadi saat penyakit sedang tenang, tanpa
adanya tanda-tanda reaktifasi spondilitis, umumnya disebabkan oleh tekanan jaringan
fibrosa/parut atau tonjolan-tonjolan tulang akibat destruksi tulang sebelumnya.13,29
Gejala motorik biasanya yang lebih dahulu muncul karena patologi terjadi dari
anterior, sesuai dengan posisi motoneuron di kornu anterior medula spinalis, kecuali
jika ada keterlibatan bagian posterior medula spinalis, keluhan sensorik bisa lebih
dahulu muncul. Penelitian di Nigeria melaporkan bahwa paraplegia terjadi pada 54
persen pasien yang mengalami gangguan kekuatan motorik. Sedangkan deformitas
tulang belakang hanya terjadi pada 21 persen pasien-pasien tersebut. Tingginya angka
paraplegia mungkin disebabkan tingkat sosioekonomi dan pendidikan yang masih
rendah sehingga pasien baru datang ke layanan kesehatan jika penyakit sudah melanjut
dengan gejala yang berat.35
Pada vertebra servikal bawah dan torakal atas, ditemukan gejala lokal, misalnya
kekakuan kifosis angular sampai gibbus, nyeri sepanjang pleksus brakialis. Abses
retrofaringeal, supraklavikular dan mediastinal jarang menyebabkan gangguan saraf
spinal. Bila terjadi penekanan saraf simpatis, akan timbul sindrom Horner dan kaku
leher.
Pada daerah torakal dan lumbal dapat ditemukan kifosis angular sampai gibbus,
nyeri pada daerah tersebut dapat menyebar ke ekstrimitas bawah, khususnya daerah
lateral paha. Juga dapat ditemukan abses iliaka atau abses psoas. Pada daerah
lumbosakral dapat dijumpai gejala lokal misalnya deformitas, nyeri yang
menyebar ke ekstrimitas bawah, abses psoas, dan gangguan gerak pada
sendi panggul.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM22
1. Darah
Secara umum, sama dengan penderita penyakit kronik lainnya,sering ditemukan
anemia hipokrom. Hitung-jumlah lekosit dapat normal atau meningkat sedikit, pada
hitung jenis ditemukan monositosis. Laju endap darah meningkat tetapi tidak dapat
menjadi indikator aktivitas penyakit.
2. Tes Tuberkulin

29

Dengan cara Mantoux, disuntikkan PPD 5 TU (0.1 ml) intrakutan. Reaksi pada
tubuh dibaca setelah 48-72 jam. Jika indurasi < 5 mm dikatakan tes Mantoux negatif.
Indurasi > 10 mm , tes Mantoux positif; sedangkan indurasi 5 9 mm meragukan dan
perlu diulang.
3. Bakteriologi
Untuk pemeriksaan balteriologik dan histopatologik diperlukan pengambilan
bahan melalui biopsi atau operasi. Biopsi dapat dilakukan dengan cara fine needle
aspiration dengan tuntunan CT atau video assisted thoracoscopy. Pemeriksaan terhadap
bahan pemeriksaan yang diambil dengan biopsi dapat dilakukan dengan pemeriksaan
mikroskopik biasa, mikroskopik fluoresen atau biakan.
Pada pemeriksaan mikroskopik dapat dilakukan pewarnaan Ziehl Nielsen, Tan
Thiam Hok,Kinyoun-Gabbet atau dengan metoda fluorokrom yang memakai pewarnaan
auramine dan rhodamine. Pemeriksaan ini membutuhkan sedikitnya 5 x 103 kuman per
ml sputum.. Hasil pemeriksaan ini dipengaruhi oleh : jenis spesimen, ketebalan sediaan
apus yang dihasilkan, ketebalan pewarnaan, kemampuan dan keahlian pemeriksa.
Beberapa cara yang dilakukan untuk meningkatkan sensitifitas hasil pemeriksaan
sediaan apus secara mikroskopik, yaitu: cytocentrifugation dari bahan pemeriksaan
sputum, mencairkan sputum dengan sodium hypochloride diikuti dengan sedimentasi
selama satu malam.Jumlah basil tuberkulosis yang didapatkan pada spondilitis
tuberkulosa lebih rendah bila dibandingkan dengan tuberkulosis paru. Juga pada
pewarnaan biasa hanya sanggup mendiagnosa sekitar separuhnya.
4. Kultur
Semua spesimen yang mengandung mikobakteria harus di inokulasi melalui
media kultur, karena : kultur lebih sensitif dari pada pemeriksaan mikroskopis, dapat
mendeteksi hingga 10 bakteri per ml; kultur dapat melihat perkembangan organisme
yang diperlukan untuk identifikasi yang akurat dan dengan pembiakan kuman dapat
dilakukan resistensi tes terhadap obat-obat anti tuberkulosa.
5. Histopatologi
Secara histopatologik, hasil biopsi memberi gambaran granuloma epiteloid yang
khas dan sel datia Langhans, suatu giant cell multinukleotid yang khas.
6. PCR
Prinsip kerja PCR adalah 3 tahapan reaksi yang dilakukan pada suhu yang berbeda.
Yaitu: denaturasi, aneling primer, dan polimerase. Ini adalah suatu proses amplifikasi
DNA yang dilakukan berulangkali. Produk yang dihasilkan bertindak sebagai template
30

untuk siklus berikutnya sehingga setiap siklus menghasilkan produk secara


eksponensial. Dengan kemampuan ini PCR dapat mendeteksi basil tuberkulosa yang
jumlahnya tidak cukup untuk bisa diperiksa secara mikroskopis atau bakteriologis.
Jumlah kuman 10 1000 sudahdapat dideteksi dengan pemeriksaan ini. Target yang
paling sering digunakan pada pemeriksaan ini adalah IS6110. Deteksi dengan
menggunakan IS6110 ini dilakukan dari sputum (pada tuberkulosa paru) dan darah
(pada tuberkulosa diluar paru). Pemeriksaan PCR memberikan sensitifitas 94.7% ,
spesifisitas 83.3% dan akurasi 92% terhadap bahan pemeriksaan yang berasal dari
spondilitis tuberkulosa.
7. ICT Tuberkulosis
Tes immunokromatografi untuk mendeteksi mikobakterium tuberkulosa atau
ICT tuberkulosis adalah suatu pemeriksaan serodiagnostik dengan mengembangkan
antigen untuk mendetekdi antibodi yang dihasilkan oleh tubuh penderita. Pemeriksaan
ini menggunakan membran atau strip nitroselulose yang disensitisasi dengan antigen.
Teknik pemeriksaan dengan metode ini cepat dan mudah. Strip dapat dibaca secara
manual atau dibaca oleh densitometer. Antigen yang paling sering digunakan untuk
mendiagnosa tuberkulosis adalah antigen 38 kDa dengan sensitifitas 45% 85% dan
spesifisitas 98%.22
PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Radiologi hingga saat ini merupakan pemeriksaan yang paling menunjang untuk
diagnosis dini spondilitis TB karena memvisualisasi langsung kelainan fi sik pada
tulang belakang. Terdapat beberapa pemeriksaan radiologis yang dapat digunakan
seperti sinar-X, Computed Tomography Scan (CTscan), dan Magnetic Resonance
Imaging (MRI).
Pada infeksi TB spinal, klinisi dapat menemukan penyempitan jarak antar diskus
intervertebralis, erosi dan iregularitas dari badan vertebra, sekuestrasi, serta massa para
vertebra.26 Pada keadaan lanjut, vertebra akan kolaps ke arah anterior sehingga
menyerupai akordion (concertina), sehingga disebut juga concertina collapse (gambar
3).
1. Sinar-X

31

Sinar-X merupakan pemeriksaan radiologis awal yang paling sering dilakukan


dan berguna untuk penapisan awal. Proyeksi yang diambil sebaiknya dua jenis, proyeksi
AP dan lateral.
Pada fase awal, akan tampak lesi osteolitik pada bagian anterior badan vertebra
danosteoporosis regional. Penyempitan ruang diskus intervertebralis menandakan
terjadinya kerusakan diskus. Pembengkakan jaringan lunak sekitarnya memberikan
gambaran fusiformis.
Pada fase lanjut, kerusakan bagian anterior semakin memberat dan membentuk
angulasi kifotik (gibbus). Bayangan opak yang memanjang paravertebral dapat terlihat,
yang merupakan cold abscess.27 Namun, sayangnya sinar-X tidak dapat mencitrakan
cold abscess dengan baik (gambar 3). Dengan proyeksi lateral, klinisi dapat menilai
angulasi kifotik diukur dengan metode Konstam (gambar 5).3,36,38

Gambar 3 Pencitraan sinar-X proyeksi AP pasien spondilitis TB. Sinar-X


memperlihatkan iregularitas dan berkurangnya ketinggian dari badan vertebra T9 (tanda
bintang), serta juga dapat terlihat massa paravertebral yang samar, yang merupakan
cold abscess (panah putih).
Gambar 439

32

Gambar 5 Pengukuran angulasi kifotik metode Konstam.Pertama, tarik garis khayal


sejajar end-plate superior badan vertebra yang sehat di atas dan di bawah lesi. Kedua
garis tersebut diperpanjang ke anterior sehingga bersilangan. Sudut K pada gambar
adalah sudut Konstam, sedangkan Sudut A adalah angulasi aktual yang dihitung. Pada
contoh gambar ini, angulasi kifotik adalah sebesar 30.3,38

33

Gambar 6.
Frekuensi tuberkulosis tulang yang paling tinggi adalah pada tulang belakang, biasanya
di daerah torakal atau lumbal, jarang di daerah servikal. Lesi biasanya pada korpus
vertebra dan proses dapat bermula di 3 tempat, yaitu :

Dekat diskus intervertebra atas atau bawah, disebut tipe marginal.


Pada tipe marginal, lesi destruktif biasanya terdapat di bagian depan korpus
vertebra dan cepat merusak diskus. Proses dapat terjadi pada dua atau vertebrata
yang berdekatan . karena bagian depan korpus vertebra paling banyak
mengalami destruksi disertai adanya kolaps, maka korpus vertebra akan

berbentuk baji dan pada tempat tersebut timbul gibbus.


Di tengah korpus disebut tipe sentral
Pada tipe sentral, abses timbul pada bagian tengah korpus vertebra dan diskus
lambat terkena proses. Bila lesi meluas ke tepi tulang, maka proses selanjutnya
adalah seperti pada tipe marginal.

Dibagian anterior disebut tipe anterior atau subperiosteal.


Pada tipe anterior, proses berlangsung dibawah periost dan meluas di bawah
ligamen longitudinal anterior. Kerusakan pada diskus terjadi lambat.(gambar 6)
31

2. CT Scan
CT-scan dapat memperlihatkan dengan jelas sklerosis tulang, destruksi badan
vertebra, abses epidural, fragmentasi tulang, dan penyempitan kanalis spinalis (gambar
7).
CT myelography juga dapat menilai dengan akurat kompresi medula spinalis
apabila tidak tersedia pemeriksaan MRI. Pemeriksaan ini meliputi penyuntikan kontras
melalui punksi lumbal ke dalam rongga subdural, lalu dilanjutkan dengan CT scan.
34

Selain hal yang disebutkan di atas, CT scan dapat juga berguna untuk memandu
tindakan biopsi perkutan dan menentukan luas kerusakan jaringan tulang. 27 Penggunaan
CT scan sebaiknya diikuti dengan pencitraan MRI untuk visualisasi jaringan lunak.

Gambar 7 Pencitraan CT-scan pasien spondilitis TB potongan aksial setingkat T 12.


Pada CT-scan dapat terlihat destruksi pedikel kiri vertebra L3 (panah hitam), edema
jaringan perivertebra (kepala panah putih), penjepitan medula spinalis (panah kecil
putih), dan abses psoas (panah putih besar).
3. MRI
MRI merupakan pencitraan terbaik untuk menilai jaringan lunak. Kondisi badan
vertebra, diskus intervertebralis, perubahan sumsum tulang, termasuk abses paraspinal
dapat dinilai dengan baik dengan pemeriksaan ini. Untuk mengevaluasi spondilitis TB,
sebaiknya dilakukan pencitraan MRI aksial, dan sagital yang meliputi seluruh vertebra
untuk mencegah terlewatkannya lesi noncontiguous.13,27 MRI juga dapat digunakan
untuk mengevaluasi perbaikan jaringan. Peningkatan sinyal- T1 pada sumsum tulang
mengindikasikan pergantian jaringan radang granulomatosa oleh jaringan lemak dan
perubahan MRI ini berkorelasi dengan gejala klinis. Bagaimana membedakan
spondilitis TB dari spondilitis lainnya melalui MRI akan dijelaskan pada bagian
diagnosis diferensial setelah ini. 40,41

35

Gambar 8 Pencitraan MRI potongan sagital pasien spondilitis TB. Pada MRI dapat
dilihat destruksi dari badan vertebra L3-L4 yang menyebabkan kifosis berat (gibbus),
infiltrasi jaringan lemak (panah putih), penyempitan kanalis spinalis, dan penjepitan
medula pinalis. Gambaran ini khas menyerupai akordion yang sedang ditekuk.
4. Pencitraan lainnya
Ultrasonografi dapat digunakan untuk mencari massa pada daerah lumbar.
Dengan pemeriksaan ini dapat dievaluasi letakdan volume abses/massa iliopsoas yang
mencurigakan suatu lesi tuberkulosis.13
Bone scan pada awalnya sering digunakan, namun pemeriksaan ini hanya
bernilai positif pada awal perjalanan penyakit. Selain itu, bone scan sangat tidak spesifi
k dan ber-resolusi rendah. Berbagai jenis penyakit seperti degenerasi, infeksi,
keganasan dan trauma dapat memberikan hasil positif yang sama seperti pada
spondilitis TB. Pencitraan dengan 67Gadolinium diketahui berguna untuk mendeteksi
infeksi TB diseminata.3 Penggunaan pencitraan ini masih belum lazim pada spondilitis
TB.
DIAGNOSIS
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Nyeri punggung belakang adalah keluhan yang paling awal, sering tidak spesifik
dan membuat diagnosis yang dini menjadi sulit. Maka dari itu, setiap pasien TB paru
dengan keluhan nyeri punggung harus dicurigai mengidap spondilitis TB sebelum
36

terbukti sebaliknya. Selain itu, dari anamnesis bisa didapatkan adanya riwayat TB paru,
atau riwayat gejala-gejala klasik (demam lama, diaforesis nokturnal, batuk lama,
penurunan berat badan) jika TB paru belum ditegakkan sebelumnya. Demam lama
merupakan keluhan yang paling sering ditemukan namun cepat menghilang (satu
hingga empat hari) jika diobati secara adekuat.43
Paraparesis adalah gejala yang biasanya menjadi keluhan utama yang membawa pasien
datang mencari pengobatan. Gejala neurologis lainnya yang mungkin: rasa kebas, baal,
gangguan defekasi dan miksi.
Pemeriksaan fisik umum dapat menunjukkan adanya fokus infeksi TB di paru
atau di tempat lain, meskipun pernah dilaporkan banyak spondilitis TB yang tidak
menunjukkan tanda-tanda infeksi TB ekstraspinal.28
Pernapasan cepat dapat diakibatkan oleh hambatan pengembangan volume paru
oleh tulang belakang yang kifosis atau infeksi paru oleh kuman TB. Infiltrat paru akan
terdengar sebagai ronkhi, kavitas akan terdengar sebagai suara amforik atau bronkial
dengan predileksi di apeks paru. Kesegarisan (alignment) tulang belakang harus
diperiksa secara seksama.
Infeksi TB spinal dapat menyebar membentuk abses paravertebra yang dapat teraba,
bahkan terlihat dari luar punggung berupa pembengkakan. Permukaan kulit juga harus
diperiksa secara teliti untuk mencari muara sinus/fistel hingga regio gluteal dan di
bawah inguinal (trigonum femorale). Tidak tertutup kemungkinan abses terbentuk di
anterior rongga dada atau abdomen.40
Terjadinya gangguan neurologis menandakan bahwa penyakit telah lanjut, meski
masih dapat ditangani. Pemeriksaan fisik neurologis yang teliti sangat penting untuk
menunjang diagnosis dini spondilitis TB. Pada pemeriksaan neurologis bisa didapatkan
gangguan fungsi motorik, sensorik, dan autonom. Kelumpuhan berupa kelumpuhan
upper motor neuron (UMN), namun pada presentasi awal akan didapatkan paralisis
flaksid, baru setelahnya akan muncul spastisitas dan refleks patologis yang positif.
Kelumpuhan lower motor neuron (LMN) mononeuropati mungkin saja terjadi jika
radiks spinalis anterior ikut terkompresi. Jika kelumpuhan sudah lama, otot akan atrofi ,
yang biasanya bilateral. Sensibilitas dapat diperiksa pada tiap dermatom untuk
protopatis (raba, nyeri, suhu), dibandingkan ekstremitas atas dan bawah untuk
proprioseptif (gerak, arah, rasa getar, diskriminasi 2 titik). Evaluasi sekresi keringat
rutin dikerjakan untuk menilai fungsi saraf autonom.

37

Pada foto rontgen tampat penyempitan sela diskus dan


gambaran abses paravertebral. Reaksi tuberkulin biasanya positif.
Untuk melakukan pemeriksaan bakteriologis, dapat dilakukan pungsi
abses atau dari debris yang didapat melalui pembedahan. Untuk
melengkapi pemeriksaan, dibuatlah standar pemeriksaan TBC tulang
dan sendi, yaitu :
1.
2.
3.
4.
5.

Pemeriksaan klinis dan neurologis yang lengkap


Foto tulang belakang posisi AP dan lateral
Foto polos thorax posisi AP
Uji mantoux
Biakan sputum dan pus untuk menemukan basil tuberkulosa

DIAGNOSIS BANDING
Hal yang perlu digarisbawahi pada spondilitis TB adalah nyeri punggung nonspesifIk,
deformitas kifotik, kompresi medula spinalis yang sering menjadi alasan penderita
untuk datang berobat. Karena itu, pemikirian kemungkinan diagnosis banding harus
didasarkan pada hal ini. Sangat penting untuk membedakan spondilitis TB dari penyakit
lainnya, karena terapi dini yang tepat dan akurat dapat mengurangi angka disabilitas
dan morbiditas pasien.44
Spondilitis piogenik adalah salah satu penyakit dengan presentasi gejala yang serupa
dengan spondilitis TB dan tidak mudah untuk membedakan keduanya tanpa
pemeriksaan penunjang yang adekuat. Spondilitis piogenik umumnya disebabkan oleh
Staphylococcus aureus, Streptococcus, dan Pneumococcus.30 Secara epidemiologi,
spondilitis piogenik lebih sering menyerang usia produktif, sekitar usia 3050 tahun.
Hingga saat ini, prevalensi spondilitis piogenik dilaporkan meningkat diakibatkan
banyaknya penyalahgunaan antibiotik, tindakan invasif spinal, pembedahan spinal. Di
lain pihak, jumlah kasus baru spondilitis TB semakin berkurang dengan penggunaan
OAT. Spondilitis piogenik memiliki perjalanan yang lebih akut dengan gejala yang
hampir sama dengan spondilitis TB. Vertebra servikal dan lumbal lebih sering terlibat,
dibandingkan dengan spondilitis TB yang lebih sering menyerang vertebra
torakolumbal lebih dari satu vertebra.24 Dari segi hematologis, CRP, laju endap darah
(LED), jumlah leukosit, dan hitung jenis dapat membantu diagnosis. Pada spondilitis
piogenik, peningkatan CRP lebih bermakna dibandingkan peningkatan LED, meskipun
pada beberapa kasus dapat normal.24 Telah dilakukan studi untuk membedakan kedua
penyakit melalui MRI. Jung dkk34 menjabarkan beberapa perbedaan temuan MRI
38

secara rinci yang mengarahkan pada infeksi TB: 1) sinyal abnormal paraspinal berbatas
tegas. 2) dinding abses tipis dan halus. 3) adanya abses paraspinal dan intraoseus. 4)
penyebaran subligamen lebih dari 2 vertebra. 5) keterlibatan vertebra torakal. 6) lesi
multipel. Bila ada temuan radiologis selain yang disebutkan di atas, tampaknya
diagnosis infeksi piogenik lebih mungkin. Penelitian oleh Harada dkk menambahkan
bahwa adanya sinyal abnormal pada sendi faset merupakan karakteristik infeksi
piogenik.30 Kultur dan pewarnaan Gram spesimen tulang yang diambil melalui biopsi
perkutan/terbuka dapat memastikan diagnosis, namun tindakan ini termasuk tindakan
invasif.28
Tumor metastatik spinal mencakup 85 persen bagian dari semua tumor tulang
belakang yang mengakibatkan kompresi medula spinalis. Insiden tertinggi kasus tumor
metastasik spinal pada usia di atas 50 tahun. Urutan segmen yang sering terlibat yaitu
torakal, lumbar dan servikal. Neoplasma dengan kecenderungan bermetastasis ke
medula spinalis meliputi tumor payudara, prostat, paru, limfoma, sarkoma, dan
mieloma multipel. Metastasis keganasan saluran cerna dan rongga pelvis relatif
melibatkan vertebra lumbosakral, sedangkan keganasan paru dan mamae lebih sering
melibatkan vertebra torakal.
Keganasan primer pada pasien anak-anak yang cukup sering menyebabkan kompresi
medula spinalis meliputi neuroblastoma, Sarkoma Ewing, dan hemangioma. Formasi
abses dan adanya fragmen tulang adalah temuan MRI yang dapat membedakan
spondilitis TB dari neoplasma.3 Keluhan yang sering berupa nyeri punggung belakang
yang kronis progresif yang tidak spesifik, hal inilah yang menyebabkan neoplasma
spinal sulit dibedakan dengan spondilitis TB. Adanya riwayat keganasan di tempat lain
dapat membantu penegakkan diagnosis. Defi sit neurologis terjadi tergantung tingkat
lesi, muncul jika tumor sudah menekan epidural dan medula spinalis. Kolaps vertebra
dengan deformitas kifotik atau skoliotik terjadi akibat destruksi badan vertebra/ fraktur
oleh invasi tumor dengan diskus yang bebas dari kerusakan. MRI belum dapat secara
pasti menyingkirkan atau memastikan diagnosis tumor spinal. Semua temuan-temuan
MRI spondilitis TB bisa ditemukan pada tumor spinal.41
Fraktur kompresi badan vertebra berpotensi menyebabkan deformitas kifotik disertai
gangguan neurologis dengan derajat yang bervariasi. Trauma harus dengan kekuatan
yang besar untuk membuat badan vertebra yang bersangkutan retak, kecuali jika
didapatkan osteoporosis, usia tua atau penggunaan steroid jangka panjang. Contoh
klasik trauma yang menyebabkan fraktur kompresi seperti jatuh dari ketinggian dengan
39

bokong terlebih dahulu. Kecelakaan mobil juga dapat menyebabkan dampak serupa.
Mekanisme fl eksi-kompresi biasanya menyebabkan fraktur kompresi dengan bagian
anterior mengecil (wedge-shaped) dengan derajat kerusakan bagian tengah dan
posterior yang bervariasi. Medula spinalis segmen torakal lebih sering mengalami
cedera karena merupakan segmen yang paling panjang dibandingkan segmen lainnya
dan juga karena kanalis spinalisnya yang lebih sempit dengan vaskularisasi yang
tentatif. Diagnosis ditegakkan dengan temuan klinis dan adanya riwayat trauma yang
bermakna dikombinasikan dengan ada/ tidaknya faktor risiko seperti osteoporosis atau
usia tua.
spondilitis bruselosis merupakan diagnosis diferensial yang utama pada negara dengan
angka kejadian tinggu. Demam, keringat dingin dan nyeri sendi adalah gejala yang
lebih sering ditemukan pada spondilitis bruselosis, sementara gangguan neurologis dan
deformitas lebih banyak ditemukan pada spondilitis TB. Sakroiliitis dan diskitis lebih
sering didapatkan pada pasien spondilitis bruselosis.

PENATALAKSANAAN
penanganan spondilitis TB secara umum dibagi menjadi dua bagian yang
berjalan

dapat

secara

bersamaan,

medikamentosa

dan

pembedahan.

Terapi

medikamentosa lebih diutamakan, sedangkan terapi pembedahan melengkapi terapi


medikamentosa dan disesuaikan dengan keadaan individual tiap pasien. Pasien
spondilitis TB pada umumnya bisa diobati secara rawat jalan, kecuali diperlukan
tindakan bedah dan tergantung pada stabilitas keadaan pasien. Tujuan penatalaksanaan
spondilitis TB adalah untuk mengeradikasi kuman TB, mencegah dan mengobati defi
sit neurologis, serta memperbaiki kifosis.28 Parthasarathy dkk melakukan penelitian
pada 235 pasien spondilitis TB tanpa paraplegia dengan tujuan membandingkan
efektivitas kemoterapi OAT dan intervensi bedah. Penelitian tersebut menyimpulkan
bahwa pada fase awal, terapi medikamentosa memberikan hasil yang lebih memuaskan
dibandingkan terapi bedah. Namun, ketika deformitas kifosis telah melanjut, terapi
medikamentosa justru tidak begitu berguna. Terapi OAT selama 9 bulan memberikan
angka remisi yang lebih baik (hingga 99 persen) dibandingkan terapi OAT selama 6
bulan.47
MEDIKAMENTOSA
40

Regimen 4 macam obat biasanya termasuk INH, rifampisin, dan pirazinamid


dan etambutol. Lama pengobatan masih kontroversial. Meskipun beberapa penelitian
mengatakan memerlukan pengobatan hanya 6-9 bulan, pengobatan rutin yang dilakukan
adalah selama 9 bulan sampai 1 tahun. Lama pengobatan biasanya berdasarkan dari
perbaikan gejala klinis atau stabilitas klinik pasien.48
WHO memeberikan panduan penggunaan OAT berdasarkan berat ringannya penyakit
1. Kategori I adalah tuberkulosis yang berat, termasuk tuberkulosis paru yang
luas, tuberkulosis milier, tuberkulosis disseminata, tuberkulosis disertai diabetes
mellitus dan tuberkulosis ekstrapulmonal termasuk spondilitis tuberkulosa.
2. Kategori II adalah tuberkulosis paru yang kambuh atau gagal dalam
pengobatan.
3. Kategori III adalah tuberkulosis paru tersangka aktif.
Paduan OAT untuk spondilitis tuberkulosa sesuai dengan Kategori I seperti
dalam Tabel 5.
INH diberikan sampai 12 bulan. Streptomycin hanya sebagai kombinasi terakhir
atau tambahan pada regimen yang ada. Disamping itu ada OAT tambahan tetapi
kemampuannya lemah misalnya Kanamycin, PAS, Thiazetazone, ethionamide,
dan quinolone.

41

World Health Organization (WHO) menyarankan kemoterapi diberikan


setidaknya selama 6 bulan.43 British Medical Research Council menyarankan bahwa
spondilitis TB torakolumbal harus diberikan kemoterapi OAT selama 6 9 bulan.2
Untuk pasien dengan lesi vertebra multipel, tingkat servikal, dan dengan defi sit
neurologis belum dapat dievaluasi, namun beberapa ahli menyarankan durasi
kemoterapi selama 912 bulan.2 The Medical Research Council Committee for
Research for Tuberculosis in the Tropics menyatakan bahwa isoniazid dan rifampisin
harus selalu diberikan selama masa pengobatan.28 Selama dua bulan pertama (fase
inisial), obat-obat tersebut dapat dikombinasikan dengan pirazinamid, etambutol dan
streptomisin sebagai obat lini pertama. Hal ini senada dengan penelitian
Karaeminogullari dkk yang mengobati pasien spondilitis TB lumbal dengan rifampisin
dan insoniazid saja selama 9 bulan, dengan hasil yang memuaskan.
Immobilisasi
Pemasangan gips bergantung pada level lesi, pada daerah servikal dapat
dilakukan immobilisasi dengan jaket minerva , pada daerah torakal, torakolumbal dan
42

lumbal atas immobilisasi dengan body jacket atau gips korset disertai fiksasi pada salah
satu panggul. Immobilisasi pada umumnya berlangsung 6 bulan, dimulai sejak
penderita diizinkan berobat jalan.
Selama pengobatan penderita menjalani kontrol berkala dan dilakukan
pemeriksaan klinis, radiologis dan laboratoris. Bila dalam pengamatan tidak tampak
kemajuan, maka perlu difikirkan kemungkinan resistensi obat, adanya jaringan
kaseonekrotik dan sekuester, nutrisi yang kurang baik, makan obat tidak berdisiplin.
Indikasi dan Kontraindikasi Pembedahan
dilakukan. Indikasi pembedahan antara lain27,30
A. Indikasi absolut
Paraplegi dengan onset yang terjadi selama pengobatan konservatif, paraplegia
memburuk atau menetap setelah dilakukan pengobatan konservatif, kehilangan
kekuatan motorik yang bersifat komplit selama 1 bulan setelah dilakukan
pengobatan konservatif, paraplegia yang disertai spastisitas yang tidak terkontrol
oleh karena suatu keganasan dan imobilisasi tidak mungkin dilakukan atau adanya
risiko terjadi nekrosis akibat tekanan pada kulit, paraplegia yang berat dengan onset
yang cepat, dapat menunjukkan tekanan berat oleh karena kecelakaan mekanis atau
abses dapat juga merupakan hasil dari trombosis vaskular tetapi hal ini tidak dapat
didiagnosis, paraplegia berat lainnya, paraplegia flaksid, paraplegia dalam keadaan
fleksi, kehilangan sensoris yang komplit atau gangguan kekuatan motoris selama
lebih dari 6 bulan.
B. Indikasi relatif
Paraplegia berulang yang sering disertai paralisis sehingga serangan awal sering
tidak disadari, paraplegia pada usia tua, paraplegia yang disertai nyeri yang
diakibatkan oleh adanya spasme atau kompresi akar saraf serta adanya komplikasi
seperti batu atau terjadi infeksi saluran kencing.
Prosedur pembedahan yang dilakukan untuk spondilitis TB yang mengalami paraplegi
adalah costrotransversectomi, dekompresi anterolateral dan laminektomi. Prosedur tata
laksana pasien dengan komplikasi neurologi dapat dilihat seperti Gambar 1.
Sementara itu, satu-satunya kontraindikasi pembedahan pada pasien spondilitis TB
adalaha kegagalan jantung dan paru. Pada keadaan ini kegagalan jantung dan paru harus
ditangani terlebih dahulu untuk menyelamatkan jiwa pasien.3

43

Tabel 6. Algoritma dan tatalaksana Tb

44

Tabel 7. Penatalaksanaan total Tb spine22

45

Tirah baring, Imobilisasi, dan Fisioterapi


Terapi pada penderita spondilitis TB dapat pula berupa tirah baring disertai
dengan pemberian kemoterapi, dengan atau tanpa imobilisasi. Tindakan ini biasanya
dilakukan pada penyakit yang telah lanjut atau bila tidak tersedia keterampilan dan
fasilitas yang cukup untuk melakukan operasi tulang belakang, atau bila terdapat
permasalahan teknik operasi yang dianggap terlalu berbahaya. Jenis imobilisasi yang
dilakukan sama dengan imobilisasi pasca-operasi yang telah dijelaskan sebelumnya.
Imobilisasi dilakukan setidaknya selama enam bulan. 16 Tirah baring diikuti dengan
pemakaian gips untuk melindungi tulang belakang pada posisi ekstensi, terutama pada
keadaan akut atau fase aktif. Pemasangan gips ini ditujukan untuk imobilisasi spinal,
mengurangi kompresi medula spinalis dan progresi deformitas lebih lanjut. Istirahat di
tempat tidur dapat berlangsung hingga empat minggu. Alwali dkk melaporkan bahwa
imobilisasi dengan custom-made spinal jacket bersamaan dengan kemoterapi dapat
menjadi alternatif jika tindakan bedah tidak bisa dilakukan.38
Fisioterapi diperlukan sepanjang ditemukan adanya gangguan fungsional.
Dalam hal ini gangguan fungsional dikaitkan dengan cedera medula spinalis yang
menimbulkan kelumpuhan motorik, sensorik, dan autonom. Intervensi fi sioterapi yang
diberikan

disesuaikan

dengan

modalitas

yang

terganggu.

Paraplegia

yang

mengharuskan pasien untuk terus duduk atau tidur berpotensi menyebabkan ulkus
dekubitus. Maka dari itu, posisi baring harus sering diganti. Selain itu, pemeriksaan
kulit secara menyeluruh harus rutin dilakukan. Pasien dengan gangguan defekasi dan
berkemih dapat dibantu dengan kateterisasi intermiten dan evakuasi feses setiap hari.
Mobilisasi dengan kursi roda (wheelchair) dianjurkan setidaknya 10 hari setelah
dimulai pengobatan. Jika pasien sudah stabil, dapat rencanakan untuk pelatihan
kemandirian, kemampuan sosial dan melakukan aktivitas sehari-hari dan berikutnya
dapat diberikan pelatihan vokasional. Studi prospektif pada pasien spodilitis TB yang
diterapi secara medikamentosa atau bedah, direhabilitasi mulai dari masa pre-operasi
hingga 6 bulan pasca-operasi dekompresi dan fusi spinal, membuktikan bahwa fi
sioterapi mampu meningkatkan kualitas hidup pasien spondilitis TB, terlebih jika
dikombinasi dengan terapi kuratif yang adekuat.
Terapi motorik yang dilakukan antara lain difokuskan pada otot dada, perut,
tungkai bawah, batang tubuh, dan ekstensor sakrospinal. Skor Modified Barthel Index
(MBI) meningkat secara bermakna dimana pada saat permulaan hanya 10,6 persen

46

pasien termasuk dalam kategori mandiri, dan pada akhir studi 70,2 persen pasien
termasuk dalam kategori mandiri.
PROGNOSIS
Prognosis pasien spondilitis TB dipengaruhi oleh: 1) usia, 2) deformitas kifotik, 3) letak
lesi, 4) defi sit neurologis, 5) diagnosis dini, 6) kemoterapi, 7) fusi spinal, 8) komorbid,
9) tingkat edukasi dan sosioekonomi. Usia muda dikaitkan dengan prognosis yang lebih
baik.12 Namun, Parthasarathy dkk41 menyimpulkan bahwa pada pasien usia dibawah 15
tahun dan dengan kifosis lebih dari 30o cenderung tidak responsif terhadap pengobatan.
Kifosis berat, selain memperburuk estetika, dapat mengurangi kemampuan bernafas.
Diagnosis dini sebelum terjadi destruksi badan vertebra yang nyata dikombinasi dengan
kemoterapi yang adekuat menjanjikan pemulihan yang sempurna pada semua kasus.
Adanya resistensi terhadap OAT memperburuk prognosis spondilitis TB. Komorbid lain
seperti AIDS berkaitan dengan prognosis yang buruk. Penelitian lain di Nigeria 22
mengatakan bahwa tingkat edukasi pasien mempengaruhi motivasi pasien untuk datang
berobat. Pasien dengan tingkat edukasi yang rendah cenderung malas datang berobat
sebelum muncul gejala yang lebih berat seperti paraplegia.

47

DAFTAR PUSTAKA
1. Hidalgo A. Pott disease (tuberculous spondylitis). Didapat dari
www.emedicine.com/med/topic1902.htm. Diakses tanggal 9 Maret 2005.
2. Herchline T. Tuberculosis. Didapat dari http://
3.
4.
5.
6.

http://

www.emedicine.com/med/topic2324.htm. Diakses tanggal 9 Maret 2005.


Camillo FX. Infections of the Spine. Canale ST, Beaty JH, ed. Campbells Operative
Orthopaedics. edisi ke-11. 2008. vol. 2, hal. 2237
Cormican L, Hammal R, Messenger J, Milburn HJ. Current diffi culties in the
diagnosis and management of spinal tuberculosis. Postgrad Med J 2006; 82: 46-51.
Sinan T, Al-Khawari H, Ismail M, Bennakhi A, Sheikh M. Spinal tuberculosis: CT
and MRI feature. Ann Saudi Med 2004; 24: 437-41.
WHO. Global tuberculosis control - epidemiology, strategy, fi nancing. WHO Report

2005. WHO/HTM/TB/2005.411.
7. Leibert E, Haralambou G. Tuberculosis. In: Rom WN and Garay S, eds. Spinal
tuberculosis. Lippincott, Williams and Wilkins; 2004:565-77.
8. Editors : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3. Jakarta : Interna Publishing, 2009.
9. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia.Grafi ka. Jakarta. 2006. hal. 5
10. Vitriana. Spondilitis Tuberkulosa. Bagian Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi
FK-UNPAD/ RSUP dr. Hasan Sadikin , FK-UI/ RSUPN dr. Ciptomangunkusumo.
2002.
11. Leibert E, Haralambou G. Tuberculosis. In: Rom WN and Garay S, eds. Spinal
tuberculosis. Lippincott, Williams and Wilkins; 2004:565-77.
12. Ozol D, Koktener A, Uyar ME. Active pulmonary tuberculosis with vertebra and rib
involvement: case report. South Med J 2006; 99: 171-3.
13. Agrawal V, Patgaonkar PR, Nagariya SP. Tuberculosis of Spine. Journal of
Craniovertebral Junction and Spine 2010, 1: 14.
14. Nataprawira HM, Rahim AH, Dewi MM, Ismail Y. Comparation Between Operative
and Conservative Therapy in Spondylitiis Tuberculosis in Hasan Sadikin Hospital
Bandung. Maj Kedokt Indon. Vo.60.No.7 (Jul 2010).
15. Young W. Spinal Cord Injury levels and Classifi cation. Page updated: 03/24/2009.
Available from: URL:http://wiseyoung.wordpress.com/2008/12/19/spinal-cordinjury-levels-andclassification.
16. Vitriana. Spondilitis Tuberkulosa. Bagian Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi
FK-UNPAD/ RSUP dr. Hasan Sadikin , FK-UI/ RSUPN dr. Ciptomangunkusumo.
2002.
17. Tuli SM. Tuberculosis of the spine. New Delhi : Amerind, 1975 .p. 564 7.
18. Salter B. Tuberculous osteomyelitis. In : The Musculoskeletal System. 2nd Ed. New
York : Williams & Wilkins ,1984.p.186 9.
19. Issack PS, Boachie-Adjei O. Surgical Correction of kyphotic deformity in spinal
tuberculosis. International Orthopedics (SICOT) (2012) 36:353357. DOI
10.1007/s00264-011-1292-9.
20. Jain AK, Dhammi IK, Jain S, Mishra P. Kyphosis in spinal tuberculosis-Prevention
and correction. Indian J Orthop 2010 Apr-Jun; 44(2): 127136.
21. Zuwanda, Janitra R. Diagnosis umum dan penatalaksanaan spondilitis Tb. CDK-208/
vol. 40 no. 9, th. 2013
48

22. Moesbar N. Infeksi Tuberkulosa pada Tulang belakang. Suplemen Majalah


Kedokteran Nusantara Volume 39; No. 3 ; September 2006
23. Paramarta IGE, Purniti PS, Subanada IB, Astawa P. Fakultas Kedokteran Udayana
Rumah Sakit Sanglah Denpasar.
24. Albar Z. Medical treatment of Spinal Tuberculosis. Cermin Dunia Kedokteran No.
137, 2002 29.Mason RJ, Murray JF, Broaddus VC, Nadel JA. Murray and Nadels
Textbook of Resporatory Medicine. 4th ed. Pennsylvania: Elsevier Saunders; 2005.
25. Wilson J, MacDonald. Current Orthopedics. Elsevier Science; 2003. hal. 468
26. Vitriana. Spondilitis Tuberkulosa. Bagian Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi
FK-UNPAD/ RSUP dr. Hasan Sadikin , FK-UI/ RSUPN dr. Ciptomangunkusumo.
2002.
27. Polley P, Dunn R. Noncontiguous spinal tuberculosis: incidence and management.
Eur Spine J (2009) 18:10961101.
28. Infectious and noninfectious infl ammatory disease aff ecting the spine. Dalam:
Byrne TN, Benzel EC, Waxman SG. Disease of the Spine and Spinal Cord. Oxford
University Press Inc. 2000.c. 9 h.325 335.
29. Albar Z. Medical treatment of Spinal Tuberculosis. Cermin Dunia Kedokteran No.
137, 2002 29.
30. Karraeminogullari O, Aydinli U, Ozerdemoglu R, Ozturk C. Tuberculosis of the
Lumbar Spine: Outcomes after Combined Treatment of Two-drug Therapy and
Surgery. Orthopedics. January 2007. Vol. 30. No.1.
31. Crenshaw AH. Spinal anatomy and surgical approach. In : Campbells operative
orthopaedics. 8th Ed. Missouri : Mosby Year Book 1992.p.3493 514; 3792 817.
32. Ramachandran R, Paramasivan CN. What is new in the diagnosis of tuberculosis.
Indian Journal of Tuberculosis 2003; 6: 182 8.
33. Garfin SR, Vaccaro AR. Spinal Infections. In: Orthopaedic Knowledge. Spine
update.
American Academy of Orthopaedic Surgeon , 1997.p.261 3.
34. Jain AK, Dhammi IK, Jain S, Mishra P. Kyphosis in spinal tuberculosis-Prevention
and correction. Indian J Orthop 2010 Apr-Jun; 44(2): 127136.
35. Njoku CH, Makusidi MA, Ezunu EO. Experiences in Management of Potts
paraplegia and Paraparesis in Medical Wards of Usmanu Danfodiyo University
Teaching Hospital, Sokoto, Nigeria. Annals of African Medicine. Vol. 6, No .1; 2007:
22 25
36. Moesbar N. Infeksi tuberkulosis pada tulang belakang. Majalah Kedokteran
Nusantara. Sept 2006.Vol.39. No.3
37. El- Fiky AM. Surgical management of tuberculous spondilitis in adults. Review in
20 cases. Pan Arab J Otrh Traum. Vol (2)/ No. (2) 195 201.
38. Alwali ANA. Spinal brace in tuberculosis of the spine. Neurosciences 2003; Vol. 8
(1): 17-22.
39. Buku radiologi
40. Jain AK, Sreenivasan R, Saini NS, Kumar S, et al. Magnetic Resonance evaluation
of tubercular lesion in spine. International Orthopedics (SICOT) (2012) 36:261269.
41. Ahn JS, Lee JK. Diagnosis and Treatment of Tuberculous Spondilitis and Pyogenic
Spondilitis in Atypical Cases. Asian Spine Journal.Vol. 1, No. 2, pp 75~79, 2007.
42. Papavramidis TS, Papadopoulos VN, Michalopoulos A, Paramythiotis D, Potsi S,
Raptou G. Anterior chest wall tuberculous abscess: a case report. J Med Case
Reports. 2007; 1: 152.
43. Ahn JS, Lee JK. Diagnosis and Treatment of Tuberculous Spondilitis and Pyogenic
Spondilitis in Atypical Cases. Asian Spine Journal.Vol. 1, No. 2, pp 75~79, 2007.
49

44. Harada Y, T Osamu, Matsunaga N. Magnetic Resonance Imaging Charasteristics of


Tuberculous Spondylitis vs. Pyogenic Spondylitis. Clinical Imaging 32 (2008) 303
309.
45. Jung NY, Jee WH, Ha KY, Park CK, Byun JY. Discrimination of Tuberculous
Spondilitis from Pyogenic Spondilitis on MRI. AJR:182, June 2004. h. 1405 1410.
46. Kurtaran B, Sarpel T, Tasova Y, Candevir A, et al. Brucellar and tuberculous
spondylitis in 87 Adult patients: a Descriptive and Comparative case series.
Infectous Diseases in Clinical Practice.May 2008. Vol.16,No.3.
47. Parthasarathy R, et al. A comparison between ambulant treatment and radical surgery
- ten-year report. J Bone and Joint Surg 1999; 81B: 464-71.
48. Mller I. Mistakes in the diagnosis and treatment of tuberculous spondylitis. A case
study. Scripta Medica (Brno) 2000; 3:157 60.

50

Anda mungkin juga menyukai