Lapkas Bangsal Jiwa
Lapkas Bangsal Jiwa
STATUS PASIEN
I.
II.
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn.Us
Jenis Kelamin
: laki-laki
Usia
: 35 tahun
Agama
: Islam
Suku
: Sunda
Pendidikan Terakhir
: SMP
Status Pernikahan
: belum menikah
Pekerjaan
: tidak bekerja
Alamat
: Dsn.langen banjar
Tanggal Datang ke RS
: 27 Mei 2015
RIWAYAT PERAWATAN
a. Rawat Jalan
b. Rawat Inap
III.
RIWAYAT PSIKIATRI
Tanggal
: 27 Mei 2015
Anamnesis didapatkan dari pasien dan Ayah kandung pasien ( Tn. A ) dan pak RT
( Tn. D ) akrab dan dapat dipercaya
Keluhan Utama
Emosi berlebihan
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dibawa ke Rumah Sakit pada tanggal 27 Mei 2015 oleh keluarga pasien
dikarenakan pasien telanjang dan mengamuk di masjid. Pasien telanjang dikarenakan
kesal dengan ayahnya. Pasien kesal dengan ayahnya karena pasien merasa ayahnya
mulai terpengaruh dengan orang disekitarnya yang sering membicarakanya.
Pada tahun 2010 pasien bekerja di PT. ALBA sering dihina oleh teman sekerja
nya karena pasien sekolah di SLB dan pasien merasa tertekan dan emosi dan pasien
tiba-tiba pulang dan keluar dari pekerjaannya dan sesampainya di rumah pasien
mengamuk, menendang pintu, dan berteriak-teriak kepada keluarganya. Pasien juga
merusak peralatan rumah ( meja, kursi, piring, dll ), akhirnya keluarga mengikat dan
membawanya ke rumah sakit.
Pada tahun 2012 pasien kembali bekerja di PT. ALBA, ketika pasien hendak di
interview, pasien merasa di curigai sehingga pasien marah dan pulang. Sesampainya
di rumah pasien kembali mengamuk sampai memukul ibunya ( ibu tiri ), dan pasien
kembali di ikat dan di bawa ke rumah sakit. Sejak itu pasien merasa di curigai dan
merasa orang-orang sering membicarakan dirinya. Pasien sering melamun, kadang
berbicara sendiri dan tertawa sendiri, ketika di tanya oleh ayahnya pasien menjawab
dia sedang berbicara dengan mahluk halus. Ketika banyak di tanya pasien merasa
tidak nyaman dan emosinya terlepas dan menghancurkan barang yang ada di
sekitarnya.
Pada tahun 2014 pasien bekerja di Bandung sebagai karyawan konfeksi tetapi
hanya bertahan 1 bulan karena ketika teman sekerjanya sedang berkumpul dan
berbincang-bincang pasien merasa dia sedang di bicarakan dan di jadikan sebagai
bahan hinaan. Dan pasien mengamuk di tempat kerjanya sehingga di bawa ke rumah
sakit hasan sadikin dan pasien kembali di pulangkan ke banjar.
Pasien mempunyai kakak kandung 2 orang yang sudah menikah dan
mempunyai motor, akhirnya pasien meminta pada ayahnya untuk menikah dan
2
mempunyai motor tapi tidak di kasih oleh orang tuanya. Pasien merasa di bedakan
prilaku dengan kakanya dan pasien mengamuk sampai keluar dan tetangga. Pasien
pernah membawa seorang perempuan ke rumah dan ketika di tanya perempuan itu
mau tidak menjadi pacarnya, dan perempuan itu menjawab saya mau asalkan kamu
sudah mapan . Dan akhirnya pasien minder ketika perempuannya sudah pulang
pasien kembali mengamuk.
Pasien lebih suka menyendiri di kamar dan menonton televisi dengan suara
yang sangat keras hingga pasien tertidur, pasien tidak memiliki teman selain teman
halusinasinya kadang temannya itu berkata mengakhiri hidupnya sendiri supaya
seluruh beban hidupnya hilang tetapi pasien tidak menghiraukan perkataan teman
halusinasinya, ketika keluar rumah pasien merasa semua orang memperhatikannya
dan takut kepadanya, pasien merasa sedih, melamun tetapi pasien tidak mengangis
melainkan keluar emosi yang berlebihan, sampai menghancurkan seisi rumahnya,
sampai keluarganya pindah rumah dan pasien tinggal sendiri dirumahnya. Ayah pasien
mengatakan pasien rajin untuk datang berobat ke poli jiwa dan ke poli saraf, tetapi
ayah pasien tidak diperbolehkan untuk menyimpan obatnya, ketika ditanya pasien
hanya menjawab dia sudah meminum obat, dan kalau ditanya berulang kali pasien
akan marah dan mengamuk. Jadi ayah pasien tidak berani lagi untuk bertanya.
1 minggu SMRS, keluarga merasa perilaku pasien semakin memburuk.
Pasien sering menyendiri dirumah, dan keluarga tidak berani untuk tinggal bersama
pasien.
1 hari SMRS, pasien diantarkan oleh tetangga karena kedapatan memukul
orang lain tanpa alasan yang jelas dan mengamuk di masjid, dan telanjang setelah
berobat ke poli jiwa. Untuk itu keluarga memutuskan membawa kembali pasien ke
Psikiater RSUD Banjar.
(Autoanamnesa)
Pasien sulit untuk di ajak berkomunikasi, ketika ditanya mengapa memukul
orang dan mengamuk juga telanjang, pasien hanya merepon dengan marah-marah dan
membetak, dan berkata perkataan yang menghina. (perkataan kotor).
Setelah beberapa hari baru pasien lebih tenang dan dapat menjelaskan, pasien
berkata bahwa semua orang hendak memukul dirinya dan menghina dirinya. Pasien
3
juga berkata ada yang mempegaruhi pikiranya untuk bertindak seperti itu, ada
bisikan-bisikan yang mengatakan bawah semua orang jahat dan tidak suka kepada
dirinya, pasien merasa dia tidak dapat mengontrol emosinya sendiri dan tidak bisa
mengendalikan apa yang dia lakukan.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah mengalami kejang 1 kali waktu berumur 3 tahun dan ketika
kejang pasien mengalami panas tinggi. Dan kejang tidak berulang kembali.
Ketika dirawat di RS. Bandung pasien di CT-scan kepala dan dinyatakan oleh
dokter mengalami kerusakan saraf (tetapi keluarga pasien tidak tahu apa penyakitnya).
a.
Gangguan psikiatrik
Pasien tidak memiliki gangguan psikiatri sebelumnya hanya pada tahun 2010
pasien pertama kali dirawat
b.
Gangguan Medik
Pasien pernah dirawat karena kejang sewaktu umur 3 tahun karena panas
tinggi dan kejang.
c.
b.
c.
Pasien merupakan anak yang riang. Sejak sekolah, pasien memiliki banyak
teman, tidak pernah berkelahi / bermasalah di sekolah dan lingkungan tempat
tinggal.
d.
e.
Pasien jarang beribadah, kadang hanya sekali setahun sewaktu sola ied.
Riwayat aktivitas sosial
Pasien jarang bergaul dengan teman sebayanya. Lebih suka menyendiri di
kamar. Pasien tidak memiliki teman dekat.
Riwayat hukum
Pasien tidak pernah bermasalah secara hukum.
f.
Riwayat Keluarga
Pasien merupakan seorang anak kelima dari dari delapan saudara.
Pasien memiliki 1 kakak laki-laki 3 kakak perempuan, 1 adik perempuan, 2
adik laki-laki dan 1 adik tiri laki-laki. Ibu kandung pasien meninggal saat
pasien berumur 10 tahun dan sesudah 1 tahun kemudian ayah pasien menikah
lagi tetapi tidak mempunyai anak dari pernikahan keduanya. Keluarga pasien
hanya berkumpul saat lebaran tiba, dan pasien akrab dan suka mengobrol
dengan sodara-sodaranya. Tetapi pasien tidak dekat dengan ibu tirinya.
Dua orang sodara kandung ayahnya yaitu kakaknya juga mengalami
hal yang sama dengan pasien.
+
dan bata, dan belum di cat, dan pintu pintu rumah pasien belum terpasang,
jendela rumahnya pun masih belum dipasang, rumah dengan luas kira-kira 20
x 20 m, berada ditepi jalan kecil di pedesaan. Beratap genteng, terdiri dari 2
kamar tidur, 1 ruang keluarga dan ruang tamu , 1 dapur dan 1 kamar mandi
dengan sumur.
Rumah terbilang kurang cukup. Lantai rumah terpasang keramik.
Tidak terdapat perabotan didalam rumahnya.
I.
STATUS MENTAL
A.
Deskripsi Umum
Penampilan
Pasien seorang laki-laki, dengan tinggi 170 cm dan berat badan 60 Kg. Pasien
berkulit sawo matang, berpakaian bersih tetapi berantakan. Menggunakan kaos
hitam lengan pendek. Cara berjalan pasien tampak biasa saja.
Perilaku dan aktivitas psikomotor
Pasien tampak khawatir dan sedih dan kesal. Perhatian pasien kurang,
konsentrasi pasien kurang.
Pembicaraan (speech)
Cara berbicara
: spontan, inrelevan
Volume berbicara
: keras
C.
Alam Perasaan
Mood
Afek
: irritabel
Kesesuaian
: sesuai
Gangguan Persepsi
Halusinasi
o
Auditorik
: Ada
Visual
: Ada
Taktil
: Tidak ada
Gustatorik
: Tidak ada
Ilusi
: Tidak ada
D.
Gangguan Pikir
o
Bentuk
Proses Pikir
o Produktivitas
: Baik
o Kontinuitas
Blocking
: Ada.
: Ada.
: Tidak ada.
Word salad
Neologisme
: Tidak ada.
Flight of Idea
: Tidak ada.
Sirkumstansial
: Tidak ada.
o Isi pikir
o Gangguan isi pikiran
Waham
Bizarre
: Tidak ada
Persekutorik/paranoid
: Tidak Ada
Curiga
: Ada
Kejar
: Tidak ada
Referensi
: Tidak ada
Kebesaran
: Tidak ada
Thought of insertion
: Ada
Thought of broadcasting
: Tidak ada
Thought of withdrawal
: Ada
Delution of influence
: Tidak ada
Obsesi
: Ada
Kompulsi
: Tidak ada
9
Preokupasi pikiran
E.
: Tidak ada
: Compos mentis
Orientasi
: Baik
Daya Nilai
10
G.
VI.
RTA
: terganggu
Mood
Afek
: irritable
Gangguan persepsi
: Inrealistik, Inkoheren
: Ada
VII.
Tilikan
(+)
: Tilikan derajat I
Faktor stressor
AKSIS II
: Diagnosis tertunda
AKSIS III
AKSIS IV
AKSIS V
: GAF Current 50 41
GAF HLPY 80 - 71
11
IX.
EVALUASI MULTIAKSIAL
AKSIS I
DD
AKSIS II
: Diagnosis tertunda
AKSIS III
AKSIS IV
AKSIS V
: GAF Current 50 41
GAF HLPY 80 - 71
V.
DAFTAR MASALAH
a.
Organobiologik
b.
Psikologi
c.
Sosial
d.
Keluarga
keluarga.
IX.
PROGNOSIS
: dubia ad malam
Quo ad functionam
: dubia ad malam
Quo ad sanationam
: ad malam
12
X.
KRONOLOGIS
80-71
70-61
60- 51
50- 41
40-31
30-21
X. PENATALAKSANAAN
Rawat inap
Lodomer inj 5 mg
Pengobatan:
1. Farmakoterapi
Onzapine tablet 10 mg
(1 tb 0 11/2 tb )
13
14
bukanlah guru, penasehat, atau bukan pula wasit. Terapis lebih banyak pasif atau
katalisator. Terapis hendaknya menyadari bahwa tidak menghadapi individu dalam
suatu kelompok tetapi menghadapi kelompok yang terdiri dari individu-individu.
Diakhir terapi aktivitas kelompok, terapis menyimpulkan secara singkat
pembicaraan yang telah berlangsung / permasalahan dan solusi yang mungkin
dilakukan. Dilanjutkan kemudian dengan membuat perjanjian pada anggota untuk
pertemuan berikutnya.
5. Terapi Keluarga
Menjelaskan kepada keluarga pasien mengenai penyakit pasien, penyebabnya,
faktor pencetus, perjalanan penyakit dan rencana terapi serta memotivasi keluarga
pasien untuk selalu mendorong pasien mengungkapkan perasaaan dan
pemikirannya.
Dikarenakan banyak keluarga pasien akibat stigma masyarakat, keluarga pasien
menjadi malu, sehingga keluarga kekurangan empati terhadap pasien sendiri. Hal
ini harus dicegah, dengan memberikan dukungan kepada keluarga, untuk
menyayangi pasien selayaknya keluarga yang sedang sakit dan butuh perhatian
keluarga untuk kesembuhannya.
6. Terapi Pekerjaan
Memanfaatkan waktu luang dengan melakukan hobi atau pekerjaan yang
bermanfaat. Kita tanyakan pasien, tanyakan pekerjaan dahulu dan pekerjaan yang
ditawari dari orang lain. Hal ini tentunya apabila insight of ilness pasien sudah
baik dan tidak ada gejala. Kita bantu untuk memulihkan pekerjaan yang tepat
sehingga pasien mempunyai aktifitas rutin sehari-hari layaknya orang normal.
16
BAB II
PENDAHULUAN
A.
17
ialah kesadaran yang menurun (delirium) dan sesudahnya terdapat amnesia, pada Sindrom
Otak Organik menahun (kronik) ialah demensia.
B.
atau dapat dikatakan disfungsi otak. Sedangkan etiologi sekunder berasal dari penyakit
sistemik yang menyerang otak sebagai salah satu dari beberapa organ atau sistem tubuh.
Istilah organik merupakan sindrom yang diklasifikasikan dapat berkaitan dengan
gangguan/penyakit sistemik/otak yang secara bebas dapat didiagnosis. Sedangkan istilah
simtomatik untuk gangguan mental organik yang pengaruhnya terhadap otak merupakan
akibat sekunder dari gangguan / penyakit ekstra serebral sitemik seperti zat toksik
berpengaruh pada otak bisa bersifat sesaat/jangka panjang.
18
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Delirium
1.
Definisi Delirium
Delirium adalah suatu sindrom dengan gejala pokok adanya gangguan kesadaran yang
biasanya tampak dalam bentuk hambatan pada fungsi kognitif. Delirium merupakan sindrom
klinis akut dan sejenak dengan ciri penurunan taraf kesadaran, gangguan kognitif, gangguan
persepsi, termasuk halusinasi & ilusi, khas adalah visual juga di pancaindera lain, dan
gangguan perilaku, seperti agitasi. Gangguan ini berlangsung pendek dan berjam-jam hingga
berhari, taraf hebatnya berfluktuasi, hebat di malam hari, kegelapan membuat halusinasi
visual & gangguan perilaku meningkat. Biasanya reversibel. Penyebabnya termasuk penyakit
fisik, intoxikasi obat (zat). Diagnosis biasanya klinis, dengan laboratorium dan pemeriksaan
pencitraan (imaging) untuk menemukan penyebabnya. Terapinya ialah memperbaiki
penyebabnya dan tindakan suportif.
Delirium bisa timbul pada segala umur, tetapi sering pada usia lanjut. Sedikitnya 10%
dari pasien lanjut usia yang dirawat inap menderita delirium; 15-50% mengalami delirium
sesaat pada masa perawatan rumah sakit. Delirium juga sering dijumpai pada panti asuhan.
Bila delirium terjadi pada orang muda biasanya karena penggunaan obat atau penyakit yang
berbahaya mengancam jiwanya.
2.
Etiologi
Delirium mempunyai berbagai macam penyebab. Semuanya mempunyai pola gejala
serupa yang berhubungan dengan tingkat kesadaran dan kognitif pasien. Penyebab utama
dapat berasal dari penyakit susunan saraf pusat seperti ( sebagai contoh epilepsi ), penyakit
sistemik, dan intoksikasi atau reaksi putus obat maupun zat toksik. Penyebab delirium
terbanyak terletak di luar sistem pusat, misalnya gagal ginjal dan hati. Neurotransmiter yang
19
dianggap berperan adalah asetilkolin, serotonin, serta glutamat Area yang terutama terkena
adalah formasio retikularis.
Penyebab delirium dibagi menjadi:
a. Penyebab intrakranial
1. Epilepsi atau keadaan pasca kejang
2. Trauma otak (terutama gegar otak)
3. Infeksi (meningitis.ensetalitis).
4. Neoplasma.
5. Gangguan vaskular
b. Penyebab ekstrakranial
1. Obat-obatan (di telan atau putus)
Obat antikolinergik, antikonvulsan, obat antihipertensi, obat antiparkinson, obat
antipsikotik, cimetidine, klonidine, disulfiram, insulin, opiat, fensiklidine, fenitoin, ranitidin,
sedatif (termasuk alkohol) dan hipnotik, steroid.
2. Racun
Karbon monoksida, logam berat dan racun industri lain.
3. Disfungsi endokrin (hipofungsi atau hiperfungsi)
Hipofisis, pankreas, adrenal, paratiroid, dan tiroid.
4. Penyakit organ nonendokrin
Hati (ensefalopati hepatik), ginjal dan saluran kemih (ensefalopati uremik), paru-paru
(narkosis karbon dioksida, hipoksia), sistem kardiovaskular (gagal jantung, aritmia,
hipotensi).
5. Penyakit defisiensi (defisiensi tiamin, asam nikotinik, B12 atau asain folat)
6. Infeksi sistemik dengan demam dan sepsis
7. Ketidakseimbangan elektrolit dengan penvebab apapunKeadaan pasca operatif
8. Trauma (kepala atau seluruh tubuh)
9. Karbohidrat: hipoglikemi
3.
Patogenesis Delirium
Walaupun patogenesis delirium belum diketahui secara pasti, beberapa teori yang
diungkapkan oleh beberapa pakar tetap penting untuk diperhatikan. Perubahan Electro
Encephalo Graphic (EEG) (-8 kali per detik, lebih lambat dari fungsi sistem saraf pusat
normal) sering terjadi pada delirium yang terkait dengan disfungsi korteks, hal ini disebabkan
karena EEG mengukur aktivitas listrik di korteks. Struktur subkorteks (formasiretikuler,
20
thalamus) mengendalikan aktivitas listrik di korteks sehingga struktur ini juga erat kaitannya
dengan delirium. Disaritmia korteks mengindikasikan adanya defisiensi substrat tertentu,
umumnya karena paparan abnormal glukosa dan oksigen dalam kada rtertentu. Sayangnya,
tidak semua pasien dengan delirium menunjukkan adanya perlambatan EEG, dan bukti
adanya defisiensi substrat tertentu tidak dapat ditemukan pada sebagian besar kasus.
Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit mengganggu kemampuan sel saraf untuk
menginisiasi aktivitas listrik. Menurunnya aktivitas listrik antar sel saraf akan menyebabkan
melambatnya gelombang EEG.
Delirium menyebabkan variasi yang luas terhadap gangguanstructural dan fisiologik.
Neuropatologi dari delirium telah dipelajari padapasien dengan hepatic encephalopathy dan
pada pasien dengan putusalkohol. Patogenesis delirium terdiri dari beberapa transmitter,
yaitu:
a. Asetilkolin
Asetilkolin adalah salah satu dari neurotransmiter yang penting dari patogenesis
terjadinya delirium. Hal yang mendukung teori ini adalah bahwa obat antikolinergik
diketahui sebagai penyebab keadaan bingung, pada pasien dengan transmisi kolinergik yang
terganggu juga muncul gejala ini. Pada pasien postoperatif delirium serum antikolinergik juga
meningkat.
b. Dopamine
Pada otak, hubungan muncul antara aktivitas kolinergik dan dopaminergik. Pada
delirium muncul aktivitas berlebih dari dopaminergik, pengobatan simptomatis muncul pada
pemberian obat antipsikosis seperti haloperidol dan obat penghambat dopamine.
c. Neurotransmitter lainnya
Serotonin: terdapat peningkatan serotonin pada pasien dengan encephalopati
hepatikum. GABA (Gamma-Aminobutyric Acid); pada pasien dengan hepaticencephalopati,
peningkatan inhibitor GABA juga ditemukan. Peningkatan level ammonia terjadi pada pasien
hepaticencephalopati, yang menyebabkan peningkatan pada asamamino glutamat dan
glutamine (kedua asam amino inimerupakan precursor GABA). Penurunan level GABA pada
susunan saraf pusat juga ditemukan pada pasien yang mengalami gejala putus
benzodiazepine dan alkohol.
4.
5.
Usia
Kerusakan otak
Riwayatdelirium
Ketergantungan alkohol
Diabetes
Kanker
Malnutrisi
Diagnosis
Kriteria diagiostik untuk delirium karena kondisi medis umum:
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan standar
a. Kimia darah (termasuk elektrolit, indeks ginjal dan hati, dan glukosa)
b. Hitung darah lengkap (CBC) dengan defensial sel darah putih
c. Tes fungsi tiroid
d. Tes serologis untuk sifilis
e. Tes antibodi HIV (human Immunodeficiency virus) f Urinalisa
f. Elektrokardiogram (EKG)
g. Elektroensefalogram (EEG)
h. Sinar X dada
i. Skrining obat dalam darah dan urin
Ies tambahan jika diindikasikan :
a. Kultur darah, urin, dan cairan serebrospinalis
b. Konsentrasi B 12, asam folat
22
c. Pencitraan otak dengan tomografi komputer (CT) atau pencitraan resonansi magnetik
(MRI)
d. Pungsi lumbal dan pemetiksaan cairan serebrospinalis
7.
Gambaran klinis
a. Kesadaran (Arousal)
Dua pola umum kelainan kesadaran telah ditemukan pada pasien dengan delirium, satu
pola ditandai oleh hiperaktivitas yang berhubungan dengan peningkatan kesiagaan. Pola lain
ditandai oleh penurunan kesiagaan. Pasien dengan delirium yang berhubungan dengan putus
zat seringkali mempunyai delirium hiperaktif, yang juga dapat disertai dengan tanda
otonomik, seperti kemerahan kulit, pucat, berkeringat, takikardia, pupil berdilatasi, mual,
muntah, dan hipertermia. Pasien dengan gejala hipoaktif kadang-kadang diklasifikasikan
sebagai depresi, katatonik atau mengalami demensia.
b. Orientasi
Orientasi terhadap waktu, tempat dan orang harus diuji pada seorang pasien dengan
delirium. Orientasi terhadap waktu seringkali hilang bahkan pada kasus delirium yang ringan.
Orientasi terhadap tempat dan kemampuan untuk mengenali orang lain (sebagai contohnya,
dokter, anggota keluarga) mungkin juga terganggu pada kasus yang berat Pasien delirium
jarang kehilangan orientasi terhadap dirinya sendiri.
c. Bahasa dan Kognisi
Pasien dengan delirium seringkali mempunyai kelainan dalam bahasa. Kelainan dapat
berupa bicara yang melantur, tidak relevan, atau membingungkan (inkoheren) dan gangguan
kemampuan untuk mengerti pembicaraan Fungsi kognitif lainnya yang mungkin terganggu
pada pasien delirium adalah fungsi ingatan dan kognitif umum Kemampuan untuk menyusun,
mempertahankan dan mengingat kenangan mungkin terganggu, walaupun ingatan kenangan
yang jauh mungkin dipertahankan. Disarnping penurunan perhatian, pasien mungkin
mempunyai penurunan kognitif yang dramatis sebagai suatu gejala hipoaktif delirium yang
karakteristik. Pasien delirium juga mempunyai gangguan kemampuan memecahkan masalah
dan mungkin mempunyai waham yang tidak sistematik, kadang kadang paranoid.
d. Persepsi
Pasien dengan delirium seringkali mempunyai ketidak mampuan umum untuk
membedakan stimuli sensorik dan untuk mengintegrasikan persepsi sekarang dengan
pengalaman masa lalu mereka. Halusinasi relatif sering pada pasien delirium. Halusinasi
paling sering adalah visual atau auditoris walaupun halusinasi dapat taktil atau olfaktoris.
Ilusi visual dan auditoris adalah sering pada delirium.
23
e. Suasana Perasaan
Pasien dengan delirium mempunyai kelainan dalam pengaturan suasana Gejala yang
paling sering adalah kemarahan, kegusaran, dan rasa takut yang tidak beralasan. Kelainan
suasana perasaan lain adalah apati, depresi, dan euforia.
f. Gejala Penyerta: Gangguan tidur-bangun
Tidur pada pasien delirium secara karakteristik adalah tergangga Paling sedikit
mengantuk selama siang hari dan dapat ditemukan tidur sekejap di tempat tidurnya atau di
ruang keluarga. Seringkali keseluruhan siklus tidur-bangun pasien dengan delirium semata mata terbalik. Pasien seringkali mengalami eksaserbasi gejala delirium tepat sebelum tidur,
situasi klinis yang dikenal luas sebagai sundowning.
g. Gejala Neurologis
Gejala neurologis yang menyertai, termasuk disfagia, tremor, asteriksis, inkoordinasi,
dan inkontinensia urin.
8.
Pengobatan
Tujuan utama adalah mengobati gangguan dasar yang menyebabkan delirium. Tujuan
pengobatan yang penting lainnya adalah memberikan bantuan fisik, sensorik, dan lingkungan.
Dua gejala utama dari delirium yang mungkin memerlukan pengobatan farmakologis adalah
psikosis dan insomnia Obat yang terpilih untuk psikosis adalah haloperidol (Haldol), suatu
obat antipsikotik golongan butirofenon, dosis awal antara 2 10 mg IM, diulang dalam satu
jam jika pasien tetap teragitasi, segera setelah pasien tenang, medikasi oral dalam cairan
konsentrat atau bentuk tablet dapat dimulai, dosis oral +I,5 kali lebih tinggi dibandingkan
dosis parenteral Dosis harian efektif total haloperidol 5 50 mg untuk sebagian besar pasien
delirium. Droperidol (Inapsine) adalah suatu butirofenon yang tersedia sebagai suatu formula
intravena alternatif monitoring EKG sangat penting pada pengobatan ini. Insomnia diobati
dengan golongan benzodiazepin dengan waktu paruh pendek, contohnva. hidroksizine
(vistaril) dosis 25 100 mg.
9.
dapat terjadi pada hari sebelum onset gejala yang jelas. Gejala delirium biasanya berlangsung
selama faktor penyebab yang relevan ditemukan, walaupun delirium biasanya berlangsung
kurang dari I minggu setelah menghilangnya faktor penyebab, gejala delirium menghilang
dalam periode 3 7 hari, walaupun beberapa gejala mungkin memerlukan waktu 2 minggu
untuk menghilang secara lengkap. Semakin lanjut usia pasien dan semakin lama pasien
mengalami delirium, semakin lama waktu yang diperlukan bagi delirium untuk menghilang.
24
Terjadinya delirium berhubungan dengan angka mortalitas yang tinggi pada tahun
selanjutnya, terutama disebabkan oleb sifat serius dan kondisi medis penyerta.
10. Diagnosa Keperawatan
1. Risiko terhadap penyiksaan pada diri sendiri, orang lain dan lingkungan berhubungan
dengan berespon pada sensori-perseptual (halusinasi dengan dan lihat).
2. Risiko terjadi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
yang kurang, status emoosional yang meningkat.
3. Kurangnya interaksi sosial (isolasi sosial) berhubungan dengan sistem penbdukung yang
tidak adequat.
4. Kurangnya perawatan diri berhubugan dengan kemauan yang menurun
5. Ketidaktahuan keluarga dan klien tentang efek samping obat antipsikotik berhubungan
dengan kurangnya informasi.
11. Rencana Tindakan
1. Risiko terhadap penyiksaan pada diri sendiri, orang lain dan lingkungan berhubungan
dengan berespon pada gangguan sensori-perseptual (halusinasi dengar dan lihat).
Batasan kriteria :
Sasaran jangka pendek :
Dalam 2 minggu klien dapat mengenal tanda-tanda peningkatan kegelisahan dan
melaprkan pada perwat agasr dapat diberikan intervensi sesuai kebutuhan.
Sasaran jangka panjang :
Klien tidak akan membahayakan diri, orang lain dan lingkungan selama di rumah sakit.
INTERVENSI
1. Pertahankan agar lingkungan klien
RASIONAL
1. Tingkat ansietas atau gelisah akan
penuh stimulus.
orientasi.
orang lain.
5. Klien halusinasi pada faase berat tidak
dapat mengontrol perilakunya.
Lingkungan yang aman dan
pengawasan yang tepat dapat
mencegah cedera.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang kurang,
status emosional yang meningkat.
Batasan kriteria :
Penurunan berat badan, konjunctiva dan membran mukosa pucat, turgor kulit jelek,
ketidakseimbangan elktrolit dan kelemahan)
Sasaran jangka pendek :
1. Klien dapat mencapai pertambahan 0,9 kg t hari kemudian
2. Hasil laboratorium elektrolit sserum klien akan kembali dalam batas normal dalam 1
minggu
Sasaran jangka panjang :
Klien tidak memperlihatkan tanda-tanda /gejala malnutrisi saat pulang.
INTERVENSI
1.
RASIONAL
jumlah
kalori
sesuai
kebutuhan.
2.
penyembuhan.
elektrolit)
3.
memperhatikan pemenuhan
yang tidak realistik, kontak mata kurang, berpikir tentang sesuatu menurut pikirannya sendiri,
afek emosi yang dangkal.
Sasaran jangka pendek :
Klien siap masuk dalam terapi aktivitas ditemani oleh seorang perawat yang dipercayai
dalam 1 minggu.
Sasaran jangka panjang :
Klien dapat secara sukarela meluangkan waktu bersama klien lainnya dan perawat
dalam aktivitas kelompok di unit rawat inap.
INTERVENSI
1. Ciptakan lingkungan terapeutik :
- bina hubungan saling percaya
((menyapa klien dengan rama
RASIONAL
1. Lingkungan fisik dan psikososial yang
terapeutik akan menstimulasi
kemmapuan klien terhadap kenyataan.
28
4.
RASIONAL
melakukan
kegiatan.
5.
30
Klien dapat mengatakan efek terhadap tubuh yang diikuti dengan implemetasi rencana
pengjaran.
Sasaran jangka panjang :
Klien dapat mengatan pentingnya mengetahui dan kerja sama dalam memantau gejala
dan tanda efek samping obat.
INTERVENSI
1. Pantau tanda-tanda vital
RASIONAL
1. Hipotensi ortostatik mungikn terjadi
pada pemakain obat antipsikotik,
Pemeriksaan tekanan darah dalam
posisi berbaring, dudujk dan berdiri.
obat antipsikotik
3. distonia akut (spame lidah, wajah,
3. Amati klien akan adanya EPS,
leher
dan
punggung),
akatisia
mengetuk-negetukan
kaki,pseudoparkinsonisme
(tremor
otot,
dengan
rifgiditas,
berjalan
bibir,
menjulurkan
31
B.
Demensia
1.
Definisi Demensia
Demensia merupakan suatu gangguan mental organik yang biasanya diakibatkan oleh
proses degeneratif yang progresif dan irreversible yang mengenai arus pikir. Demensia
merupakan sindroma yang ditandai oleh berbagai gangguan fungsi kognitif tanpa gangguan
kesadaran. Fungsi kognitif yang dipengaruhi pada demensia adalah inteligensia umum,
belajar dan ingatan, bahasa, memecahkan masalah, orientasi, persepsi, perhatian, dan
konsentrasi, pertimbangan, dan kemampuan sosial. Kepribadian pasien juga terpengaruh.
Demensia ialah kondisi keruntuhan kemampuan intelek yang progresif setelah
mencapai pertumbuhan & perkembangan tertinggi (umur 15 tahun) karena gangguan otak
organik, diikuti keruntuhan perilaku dan kepribadian, dimanifestasikan dalam bentuk
gangguan fungsi kognitif seperti memori, orientasi, rasa hati dan pembentukan pikiran
konseptual. Biasanya kondisi ini tidak reversibel, sebaliknya progresif. Diagnosis
dilaksanakan dengan pemeriksaan klinis, laboratorlum dan pemeriksaan pencitraan
(imaging), dimaksudkan untuk mencari penyebab yang bisa diobati. Pengobatan biasanya
hanya suportif. Zat penghambat kolinesterasa (Cholinesterase inhibitors) bisa memperbaiki
fungsi kognitif untuk sementara, dan membuat beberapa obat antipsikotika lebih efektif
daripada hanya dengan satu macam obat saja.
32
Demensia bisa terjadi pada setiap umur, tetapi lebih banyak pada lanjut usia (l.k 5%
untuk rentang umur 65-74 tahun dan 40% bagi yang berumur >85 tahun). Kebanyakan
mereka dirawat dalam panti dan menempati sejumlah 50% tempat tidur.
2.
Etiologi
a. Penyakit Alzheimer
b. Demensia Vaskular
c. Infeksi
d. Gangguan nutrisional
e. Gangguan metabolik
f. Gangguan peradangan kronis
g. Obat dan toksin (termasuk demensia alkoholik kronis)
h. Massa intrakranial : tumor, massa subdural, abses otak
i. Anoksia
j. Trauma (cedera kepala, demensia pugilistika (punch-drunk syndrome))
k. Hidrosefalus tekanan normal
3.
a.
b.
Klasifikasi Demensia
Menurut umur:
Reversibel
Ireversibel
(Normal
pressure
hydrocephalus,
subdural
hematoma,
Tipe Alzheimer
Tipe non-Alzheimer
Demensia vaskular
Morbus Parkinson
Morbus Huntington
Morbus Pick
Morbus Jakob-Creutzfeldt
33
d.
4.
Sindrom Gerstmann-Strussler-Scheinker
Prion disease
Multiple sklerosis
Neurosifilis
Tipe campuran
Demensia proprius
Pseudo-demensia
Tanda dan gejala
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
Pasien bisa berjalan jauh dari rumah dan tak bisa pulang
n.
o.
p.
q.
5.
Epidemiologi
Demensia sebenarnya adalah penyakit penuaan. Dan semua pasien demensia, 50 60%
menderita demensia tipe Alzheimer yang merupakan ripe demensia yang paling sering. Kirakira 5% dari semua orang yang mencapai usia 65 tahun menderita demensia tipe Alzhermer,
dibandingkan 15 25% dan semua orang yang berusia 85 tahun atau lebih. Tipe demensia
yang paling sering kedua adalah demensia vaskular yaitu demensia yang secara kausatif
34
berhubungan dengan penyakit serebrovaskular, berkisar antara 15 30% dari semua kasus
demensia, sering pada usia 60 70 tahun terutama pada laki-laki. Hipertensi merupakan
faktor predisposisi terhadap penyakit demensia vaskular.
6.
Diagnosis
Kriteria diagnostik untuk demensia tipe alzheimer:
dalam
fungsi
eksekutif
(yaitu,
merencanakan,
mengorganisasi,
35
dalam
fungsi
eksekutif
(yaitu,
merencanakan,
mengorganisasi,
atau
tanda-tanda
laboratorium
adalah
indikatif
untuk
penyakit
serebrovaskular (misalnya, infark multipel yang mengenai korteks dan substansia putih di
bawahnya) yang berhubungan secara etiologi dengan gangguan.
d. Defisit tidak terjadi semata-mata selama perjalanan delirium
7.
Pemeriksaan Lengkap
Gambaran Klinis
e. Psikosis
Diperkirakan 20 -30% pasien demensia tipe Alzheimer, memiliki halusinasi, dan 30
40% memiliki waham, terutama dengan sifat paranoid atau persekutorik dan tidak sistematik.
f. Gangguan Lain
Psikiatrik
Pasien demensia juga menunjukkan tertawa atau menangis yang patologis yaitu, emosi
yang ekstrim tanpa provokasi yang terlihat.
Neurologis
Disamping afasia, apraksia dan afmosia pada pasien demensia adalah sering. Tanda
neurologis lain adalah kejang pada demensia tipe Alzheimer clan demensia vaskular.
Pasien demensia vaskular mempunyai gejala neurologis tambahan seperti nyeri kepala,
pusing, pingsan, kelemahan, tanda neurologis fokal, dan gangguan tidur. Palsi serebrobulbar,
disartria, dan disfagia lebih sering pada demensia vaskular.
Reaksi yang katastropik
Ditandai oleh agitasi sekunder karena kesadaran subjektif tentang defisit intelektualnya
di bawah keadaan yang menegangkan, pasien biasanya berusaha untuk mengkompensasi
defek tersebut dengan menggunakan strategi untuk menghindari terlihatnya kegagalan dalam
daya intelektual, seperti mengubah subjek, membuat lelucon, atau mengalihkan pewawancara
dengan cara lain.
Sindroma Sundowner
Ditandai oleh mengantuk, konfusi, ataksia, dan terjatuh secara tidak disengaja. Keadaan
ini terjadi pada pasien lanjut usia yang mengalami sedasi berat dan pada pasien demensia
yang bereaksi secara menyimpang bahkan terhadap dosis kecil obat psikoaktif.
9.
Pengobatan
Pendekatan pengobatan umum adalah untuk memberikan perawatan medis suportit,
bantuan emosional untuk pasien dan keluarganya, dan pengobatan farmakologis untuk gejala
spesifik (perilaku yang mengganggu). Pengobatan farmakologis dengan obat yang
mempunyai aktivitas antikolinergik yang tinggi harus dihindari. Walaupun thioridazine
(Mellaril), yang mempunyai aktivitas antikolinergik yang tinggi, merupakan obat yang efektif
dalam mengontrol perilaku pasien demensia jika diberikan dalam dosis kecil. Benzodiazepim
kerja singkat dalam dosis kecil adalah medikasi anxiolitik dan sedatif yang lebih disukai
untuk pasien demensia. Zolpidem (Ambient) dapat digunakan untuk tujuan sedatif.
38
pemburukan bertahap selama 5 10 tahun, yang akhirnya menyebabkan kematian. usia saat
onset dan kecepatan pemburukannya adalah bervariasi diantara tipe demensia yang berbeda
dan dalam kategori diagnostik individual.
perilaku yang tidak dapat ditebak; alat bantu ingatan akan membantu pasien untuk
mengingat.
b. Tingkatkan isyarat lingkungan
Perkenalkan diri perawat ketika berinteraksi dengan pasien.
Panggil pasien dengan menyebutkan namanya.
Berikan isyarat lingkungan untuk orientasi waktu, tempat dan orang.
Rasional: Isyarat lingkungan akan meningkatkan orientasi terhadap waktu, tempat dan
orang dan individu akan mengisi kesenjangan ingatan dan berfungsi sebagai pengingat.
2. Risiko terhadap cedera b/d defisit sensori dan motorik.
Tujuan: Setelah diberi askep 324 jam diharapkan pasien mampu mempertahankan
keselamatan fisik dengan kriteria :
Mematuhi prosedur keselamatan.
Dapat bergerak dengan bebas dan mandiri disekitar rumah.
Mengungkapkan rasa keamanan dan terlindungi.
Intervensi Keperawatan:
a. Kendalikan lingkungan.
Singkirkan bahaya yang tampak jelas.
Kurangi potensial cedera akibat jatuh ketika tidur..
Pantau regimen medikasi.
Ijinkan merokok hanya dalam pengawasan.
Pantau suhu makanan.
Awasi semua aktivitas diluar rumah.
Rational: Lingkungan yang bebas bahaya akan mengurangi risiko cedera dan
membebaskan keluarga dari kekhawatiran yang konstan.
b. Ijinkan kemandirian dan kebebasan maksimum.
Berikan kebebasan dalam lingkungan yang aman.
Hindari penggunaan restrain.
Kerika pasien melamun, alihkan perhatiannya.
Simpan tag identifikasi pada pasien.
Rational: Hal ini akan memberikan pasien rasa otonomi.Restrain dapat meningkatkan
agitasi.Pengalihan perhatian difasilitasi oleh kehilangan ingatan segera.Nama dan nomor
telpon akan memfasilitasi kembalinya dengan aman pasien yang sedang melamun.
c. Kaji adanya hipotensi ortostatik
Rational: Dapat menyebabkan cedera
40
C.
Gangguan Amnestik
Gangguan amnestik ditandai terutama oleh gejala tunggal suatu gangguan daya ingat
yang menyebabkan gangguan bermakna dalam fungsi sosial atau pekerjaan. Diagnosis
gangguan amnestik tidak dapat dibuat jika mempunyai tanda lain dari gangguan kognitif,
seperti yang terlihat pada demensia, atau jika mempunyai gangguan perhatian (attention) atau
kesadaran, seperti yang terlihat pada delirium.
2.
Epidemiologi
Beberapa penelitian melaporkan insiden atau prevalensi gangguan ingatan pada
gangguan spesifik (sebagai contohnya sklerosis multipel). Amnesia paling sering ditemukan
pada gangguan penggunaan alkohol dan cedera kepala.
3.
Etiologi
Diagnosis
Kriteria diagnosis untuk gangguan amnestik karena kondisi medis umum
Gambaran Klinis
Pusat gejala dan gangguan amnestik adalah perkembangan gangguan daya ingat yang
ditandai oleh gangguan pada kemampuan untuk mempelajari informasi baru (amnesia
anterograd) dan ketidakmampuan untuk mengingat pengetahuan yang sebelumnya diingat
(amnesia retrograd). Periode waktu dimana pasien terjadi amnesia kemungkinan dimulai
langsung pada saat trauma atau beberapa saat sebelum trauma. Ingatan tentang waktu saat
gangguan fisik mungkin juga hilang. Daya ingat jangka pendek (short-term memory) dan
daya ingat baru saja (recent memory) biasanya terganggu. Daya ingat jangka jauh (remote
post memory) untuk informasi atau yang dipelajari secara mendalam (overlearned) seperti
42
pengalaman maka anak-anak adalah baik, tetapi daya ingat untuk peristiwa yang kurang lama
( lewat dari 10 tahun) adalah terganggu.
6.
Pengobatan
Pendekatan utama adalah mengobati penyebab dasar dari gangguan amnestik Setelah
suatu jenis
psikoterapi
(sebagai
contohnya,
kognitif,
1.
Epilepsi
a.
Definisi Epilepsi
Suatu kejang (seizure) adalah suatu gangguan patologis paroksismal sementara dalam
gangguan patologis paroksismal sementara dalam fungsi cerebral yang disebabkan oleh
pelepasan neuron yang spontan dan luas Pasien dikatakan menderita epilepsi jika mereka
mempunyai keadaan kronis yang ditandai dengan kejang yang rekuren.
Epilepsi merupakan suatu gejala akibat lepasnya aktivitas elektrik yang periodik dan
eksesif dari neuron serebrum yang dapat menimbulkan hilangnya kesadaran, gerakan
involunter, fenomena sensorik abnormal, kenaikan aktifitas otonom dan berbagai gangguan
psikis.
b.
Etiologi
Penyebab epilepsi umumnya dibagi menjadi 2 :
1. Idiopatik ( primer/essensial )
Pada jenis ini, tidak dapat diketemukan adanya suatu lesi organik di otak. Tidak dimulai
dengan serangan fokal. Gangguan bersifat fungsional di daerah dasar otak yang mempunyai
kemampuan mengontrol aktifitas korteks.
2. Simptomatik akibat kelainan otak
Serangan epilepsi merupakan gejala dari suatu penyakit organik otak. Misalnya karena
adanya demam, penyakit otak degeneratif difus, infark, enchepalitis, abses, tumor serebrum,
43
jaringan parut setelah cedera kepala, anoksia, toksemia, hipogliklemia, hipokalasemia, atau
gejala putus obat.
Timbulnya serangan kejang adalah kemugkinan adanya ketidakseimbangan antara
asetilkolin dan GABA ( asam gama amino butirat ), merupakan neurotransmitter sel-sel otak.
Asetilkolin menyebabkan depolarisasi, yang dalam jumlah berlebihan menimbulkan kejang.
Sedang GABA menimbulkan hiperpolarissasi, yang sebaliknya akan merendahkan
eksitabilitas dan menekan timbulnya kejang. Berbagai kondisi yang mengganggu
metabolisme otak seperti penyakit metabolik, racun, beberapa obat dan putus obat, dapat
menimbulkan pengaruh yang sama.
c.
Gejala Epilepsi
44
2. Petit mal
Merupakan eilepsi yang tenang. Penderita biasanya anak-anak atau dewasa muda.
Ketika melakukan aktifitas, tiba-tiba berhenti, sering terdapat gerakan kecil seperti gerakangerakan kelopak mata, mengunyah, gerakan-gerakan bibir. Serangan berakhir dalam 60 detik
Kesadaran juga segera normal. Dalam sehari, serangan dapat 10-20 kali.
3. Partial
a. Sederhana ( tidak terdapat gangguan kesadaran )
b. Kompleks ( terdapat gangguan ksadaran )
d.
Klasifikasi Epilepsi
1. Epilepsi umum
a. Epilepsi umum primer, misalnya epilepsi grand mal, petit mal, epilepsi juvenil
mioklonik
b. Epilepsi umum sekunder, misalnya spasme infantil, epilepsi mioklonik astatik
2. Epilepsi partial
a. Disertai dengan gejala elementer ( tanpa gangguan kesadaran ), misalnya dengan gejala
motorik, sensorik atau otonomik
b. Disertai dengan gejala komplek ( dengan gangguan kesadaran )
c. Disertai fenomena sekunder ( misalnya menjadi epilepsi umum )
e.
Kejang umum
Kejang tonik klonik umum mempunyai gejala klasik hilangnya kesadaran, gerakan
tonik klonik umum pada tungkai, menggigit lidah, dan inkotinensia. Walaupun diagnosis
peristiwa kilat dari kejang adalah relatif langsung, keadaan pascaiktal yang ditandai oleh
pemulihan kesadaran dan kognisi yang lambat dan bertahap kadang-kadang memberikan
suatu dilema diagnostik bagi dokter psiktatrik di ruang gawat darurat. Periode pemulihan dan
kejang tonik klonik umum terentang dari beberapa menit sampai berjam-jam. Gambaran
klinis adalah delirium yang menghilang secara bertahap. Masalah psikiatrik yang paling
sering berhubungan dengan kejang umum adalah membantu pasien menyesuaikan gangguan
neurologis kronis dan menilai efek kognitif atau perilaku dan obat antiepileptik.
f.
Pengkajian
45
1. Biodata : Nama ,umur, seks, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan, dan
penanggungjawabnya.
Usia: Penyakit epilepsi dapat menyerang segala umur
Pekerjaan: Seseorang dengan pekerjaan yang sering kali menimbulkan stress dapat
memicu terjadinya epilepsi.
Kebiasaan yang mempengaruhi: peminum alcohol (alcoholic)
2. Keluhan utama: Untuk keluhan utama, pasien atau keluarga biasanya ketempat pelayanan
kesehatan karena klien yang mengalami penurunan kesadaran secara tiba-tiba disertai
mulut berbuih. Kadang-kadang klien / keluarga mengeluh anaknya prestasinya tidak baik
dan sering tidak mencatat. Klien atau keluarga mengeluh anaknya atau anggota
keluarganya sering berhenti mendadak bila diajak bicara.
3. Riwayat penyakit sekarang: kejang, terjadi aura, dan tidak sadarkan diri.
4. Riwayat penyakit dahulu:
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
46
mengeluh meriang
8. Analisis Data
c.
Intervensi dan rasional
1. Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan keseimbangan).
Tujuan : Klien dapat mengidentifikasi faktor presipitasi serangan dan dapat
meminimalkan/menghindarinya, menciptakan keadaan yang aman untuk klien, menghindari
adanya cedera fisik, menghindari jatuh. Kriteria hasil : tidak terjadi cedera fisik pada klien,
klien dalam kondisi aman, tidak ada memar, tidak jatuh
Intervensi
Rasional
Observasi:
Identifikasi factor lingkungan yang
cedera
kejang
Mengidentifikasi perkembangan
jam
Mandiri
Jauhkan benda- benda yang dapat
pasien
Untuk mengidentifikasi
Kolaborasi:
Berikan obat anti konvulsan sesuai
advice dokter
Edukasi:
Anjurkan pasien untuk memberi
berkelanjutan
Rasional
Mandiri
Anjurkan klien untuk
faring.
49
3.
Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk
penyakit epilepsi dalam masyarakat
Tujuan: mengurangi rendah diri pasien
Kriteria hasil:
o adanya interaksi pasien dengan lingkungan sekitar
o menunjukkan adanya partisipasi pasien dalam lingkungan masyarakat
Intervensi
Rasional
Observasi:
Identifikasi dengan pasien, factor-
Mandiri
Memberikan dukungan psikologis
Kolaborasi:
Kolaborasi dengan tim psikiater
Edukasi:
Anjurkan keluarga untuk memberi
50
2.
atau kejang petitmal. Sifat epileptik dari episode mungkin berjalan tanpa diketahui, karena
manifestasi motorik atau sensorik karakteristik dari epilepsi tidak ada atau sangat ringan
sehingga tidak membangkitkan kecurigaan dokter. Epilepsi petit mal biasanya mulai pada
masa anak-anak antara usia 5 dan 7 tahun dan menghilang pada pubertas. Kehilangan
kesadaran singkat, selama mana pasien tiba-tiba kehilangan kontak dengan hngkungan,
adalah karakteristik untuk epilepsi petit mal; tetapi, pasien tidak mengalami kehilangan
kesadaran atau gerakan kejang yang sesungguhnya selama episode. Elektroensefalogerafi
( EEG) menghasilkan pola karakteristik aktivitas paku dan gelombang (spike and wave) tiga
kali perdetik Pada keadaan yang jarang, epilepsi petitmal dengan onset dewasa dapat ditandai
oleh episode psikotik atau delirium yang tiba-tiba dan rekuren yang tampak dan menghilane
secara tiba-tiba Gejala dapat disertai dengan riwayat terjatuh atau pingsan.
Kejang parsial liziane parsial diklasifikasikan sebagai sederhana (tanpa perubahan
kesadaran) atau kompleks (dengan perubahan kesadaran) sedikit lebih banyak dari setengah
semua pasien dengan kelane parsial mengalami kejang parsial kompleks; istilah lain yang
digunakan untuk kejang parsial kompleks adalah epilepsi lobus temporalis, kejang
psikomotor, dan epilepsi limbik tetapi istilah tersebut bukan merupakan penjelasan situasi
klinis yang akurat. Epilepsi parsial kompleks adalah bentuk epilepsi pada orang dewasa yang
paling senngcang mengenai 3 dan 1.000 orang.
a.
1.
Gejala praiktal
Peristiwa praiktal (aura) pada epilepsi parsial kompleks adalah termasuk sensasi
otonomik (sebagai contohnya rasa penuh di perut, kemerahan, dan perubahan pada
pernafasan), sensasi kognitif(sebagai contohnya, deja vu, jamais vu, pikiran dipaksakan, dan
keadaan seperti mimpi). keadaan afektif (sebagai contohnya, rasa takut, panik, depresi, dan
elasi) dan secara klasik. automatisme (sebagai contohnya, mengecapkan bibir, menggosok,
dan mengayah).
51
2.
Gejala Iktal
Perilaku yang tidak terinhibisi, terdisorganisasi, dan singkat menandai serangan iktal.
Gejala Interiktal
Gangguan kepribadian Kelainan psikiatrik yang paling sering dilaporkan pada pasien
epileptik adalah gangguan kepribadian, dan biasanya kemungkinan terjadi pada pasien
dengan epilepsi dengan asal lobus temporalis. Ciri yang paling sering adalah perubahan
perilaku seksual, suatu kualitas yang biasanya disebut viskositas kepribadian, religiositas, dan
pengalaman emosi yang melambung. Sindroma dalam bentuk komplitnya relatif jarang,
bahkan pada mereka dengan kejang parsialkompleks dengan asal lobus temporalis. Banyak
pasien tidak mengalami perubahan kepribadian, yang lainnya mengalami berbagai gangguan
yang jelas berbeda dari sindroma klasik.
Perubahan pada perilaku seksual dapat dimanifestasikan sebagai hiperseksualitas;
penyimpangan dalam minat seksual, seperti fetihisme dan transfetihisme; dan yang paling
sering, hiposeksualitas Hiposeksualitas ditandai oleh hilangnya minat dalam masalah seksual
dan dengan menolak rangsangan seksual Beberapa pasien dengan onset epilepsi parsial
kompleks sebelum pubertas mungkin tidak dapat mencapai tingkat minat seksual yang
normal setelah pubertas, walaupunkarakteristik tersebut mungkin tidak mengganggu pasien.
Untuk pasien dengan onset epilepsi parsial kompleks setelah pubertas. perubahan dalam
minat seksual mungkin mengganggu dan mengkhawatirkan.
Gejala viskositas kepribadian biasanya paling dapat diperhatikan pada percakapan
pasien, yang kemungkinan adalah lambat serius, berat dan lamban, suka menonjolkan
52
keilmuan, penuh dengan rincian-rincian yang tidak penting, dan seringkali berputar-putar.
Pendengar mungkin menjadi bosan tetapi tidak mampu menemukan cara yang sopan dan
berhasil untuk melepaskan diri dari percakapan. Kecenderungan pembicaraan seringkali
dicerminkan dalam tulisan pasien, yang menyebabkan suatu gejala yang dikenal sebagai
hipergrafia yang dianggap oleh beberapa klinisi sebagai patognomonik untuk epilepsi parsial
komplaks.
Religiositas mungkin jelas dan dapat dimanifestasikan bukan hanya dengan
meningkatny peran serta pada aktivitas yang sangat religius tetapi juga oleh permasalahan
moral dan etik yang tidak umum, keasyikan dengan benar dan salah, dan meningkatnya minat
pada perlahamasalahan global dan filosofi Ciri hiperreligius kadang-kadang dapat tampak
seperti gejala prodromal skizofrenia dan dapat menyebabkan mnasalah diagnositik pada
seorang remaja atau dewasa muda.
4.
Gejala Psikotik
Keadaan psikotik interiktal adalah lebih sering dari psikosis iktal. Episode interpsikotik
yang mirip skizofrenia dapat terjadi pada pasien dengan epilepsi, khususnya yang berasal dan
lobus temporalis Diperkirakan 10 sampal 30 persen dari semua pasien dengan apilepsi partial
kompleks mempunyai gejala psikotik Faktor risiko untuk gejala tersebut adalah jenis kelamin
wanita kidal onset kejang selama pubertas, dan lesi di sisi kiri.
Onset gelala psikotik pada epilepsi adalah bervariasi. Biasanya, gejala psikotik tarnpak
pada pasien yang telah menderita epilepsi untuk jangka waktu yang lama, dan onset gejala
psikotik di dahului oleh perkembangan perubahan kepribadian yang berhubungan dengan
aktivitas otak epileptik gejala psikosis yang paling karakteristik adalah halusinasi dan waham
paranoid. Biasanya. pasien tetap hangat dan sesuai pada afeknya, berbeda dengan kelainan
yang sering ditemukan pada pasien skizofrenik Gejala gangguan pikiran pada pasien epilepsi
psikotik
paling
sering
merupakan
gejala
yang
melibatkan
konseptualisasi
dan
53
Gejala gangguan perasaan, seperti depresi dan mania, terlihat lebih jarang pada epilepsi
dibandingkan gejala mirip skizofrenia. Gejala gangguan mood yang terjadi cenderung
bersifat episodik dan terjadi paling sering jika fokus epileptik mengenai lobus temporalis dan
hemisfer serebral non dominan. Kepentingan gejala gangguan perasaan pada epilepsi
mungkin diperlihatkan oleh meningkatnya insidensi usaha bunuh diri pada orang dengan
epilepsi.
b.
Diagnosis
Diagnosis epilepsi yang tepat dapat sulit khususnya jika gejala iktal dan interiktaldari
epilepsi merupakan manifestasi berat dari gejala psikiatrik tanpa adanya perubahan yang
bemakna pada kesadaran dan kemampuan kognitif Dengan demikian, dokter psikiatrik harus
menjaga tingkat kecurigaan yang tinggi selama memeriksa seorang pasien baru dan harus
mempertimbangkan kemungkman gangguan epileptik, bahkan jika tidak ada tanda dan gejala
klasik. Diagnosis banding lain yang dipertimbangkan adalah kejang semu (psudoseizure),
dimana pasien mempunyai suatu kontrol kesadaran atas gejala kejang yang mirip.
Pada pasien yang sebelumnya mendapatkan suatu diagnosis epilepsi, timbulnya gejala
psikiatrik yang baru harus dianggap sebagai kemungkinan mewakili suatu evolusi, timbulnya
gejala epileptiknya. timbulnya gejala psikotik, gejala gangguan mood, perubahan
kepribadian, atau gejala kecemasan (sebagai contohnya, serangan panik) harus menyebabkan
klinisi menilai pengendalian epilepsi pasien dan memeriksa pasien untuk kemungkinan
adanya gangguan mental yang tersendiri. Pada keadaan tersebut klinisi harus menilai
kepatuhan pasien terhadap regimen obat antiepileptik dan harus mempertimbangkan apakah
gejala psikotik merupakan efek toksik dari obat antipileptik itu sendiri. Jika gejala psikotik
tampak pada seorang pasien yang pernah mempunyai epilepsi yang telah didiagnosis atau
dipertimbangkan sebagai diagnosis di masa lalu, klinisi harus mendapatkan satu atau lebih
pemeriksaan EEG.
Pada pasien yang sebelumnya belum pernah mendapatkan diagnosis epilepsi. empat
karakteristik hams menyebabkan klinisi mencurigai kemungkinan tersebut; onset psikosis
yang tiba-tiba pada seseorang yang sebelumnya dianggap sehat secara psikologis, onset
delirium yang tiba-tiba tanpa penyebab yang diketahui, riwayat episode yang serupa dengan
onset yang mendadak dan pemulihan spontan, dan riwayat terjatuh atau pingsan sebelumnya
yang tidak dapat dijelaskan.
c.
Pengobatan
Karbamazepin (Tegretol) dan asam valproik (Depakene) mungkin membantu dalam
mengendalikan gejala iritabilitas dan meledaknya agresi, karena mereka adalah obat
54
antipsikotik tipikal Psikoterapi, konseling keluarga, dan terapi kelompok mungkin berguna
dalam menjawab masalah psikososial yang berhubungan dengan epilepsi. Disamping itu,
klinisi haru; menyadari bahwa banyak obat antiepileptik mempunyai suatu gangguan kognitif
derajat ringan sampai sedang dan penyesuaian dosis atau penggantian medikasi harus
dipertimbangkan jika gejala gangguan kognitif merupakan suatu masalah pada pasien
tertentu.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Gangguan otak organik didefinisikan sebagai gangguan dimana terdapat suatu patologi
55
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan.H.I, Sadock. B.J. Sinopsis Psikiatri : Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis,
edisi ketujuh, jilid satu hal 502-540. Jakarta: Binarupa Aksara, 1997.
2. Ingram.I.M, Timbury.G.C, Mowbray.R.M. Catatan Kuliah Psikiatri, Edisi keenam, cetakan
ke dua hal 28-42. Jakarta: Buku kedokteran, 1995.
3. Anonumous. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ketiga, jilid 1 hal 189-192. Jakarta: Media
Aesculapsius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001.
4. Diagnosis Gangguan Jiwa, rujukan ringkas dari PPDGJ-III, editor Dr, Rusdi Maslim.1993.
hal 3
5. Maramis. W.F. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Cetakan ke VI hal 179-211. Surabaya:
Airlangga University Press, 1992.
6. Balas MC, Rice M, Chaperon C, et al. Management of delirium in critically ill
older adults. Critical Care Nurse 2012; 32 (4): 15-25.
7. Joosse LL, Palmer D, Lang NM. Caring for elderly patients with dementia: nursing
interventions. Nursing: Research and Reviews 2013; 3: 107117.
56