Anda di halaman 1dari 12

I.

PENDAHULUAN
Genetika merupakan ilmu yang mempelajari sifat-sifat keturunan
(hereditas) serta segala seluk beluknya secara ilmiah. Genetika berusaha
membawakan material pembawa informasi untuk diwariskan (bahan genetik),
bagaimana informasi tersebut di ekspresikan dan bagaimana informasi
tersebut dipindahkan dari individu satu ke individu lain. Hal-hal yang terkait
dengan genetika antara lain tentang konsep gen, DNA, kromosom, keterkaitan
antara

proses pembelahan mitosis dan meiosis dengan pewarisan sifat,

prinsip-prinsip hereditas dalam mekanisme pewarisan sifat, serta peristiwa


mutasi dan implikasinya yang sangat berpengaruh bagi kehidupan manusia.
Sindrom down merupakan salah satu peristiwa mutasi kromosom,
diakibatkan adanya gangguan selama pembelahan sel yang akhirnya
berdampak

pada

fenotipnya

dan

menyebabkan

penderita

memiliki

keterbelakangan mental dengan raut wajah yang khas. Hal-hal mengenai


bagaimana Sindrom Down ini beserta contoh kasusnya akan dibahas lebih
lanjut dalam paper ini.

II. PEMBAHASAN
Pengertian Sindrom Down
Menurut Price, S.A., (2006: 26-27) Sindrom down adalah suatu kondisi
keterbelakangan perkembangan fisik dan mental anak yang diakibatkan
adanya abnormalitas perkembangan kromosom. Kromosom ini terbentuk
akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri saat
terjadi pembelahan. Kelainan sindrom Down terjadi karena kelebihan jumlah
Page 1

kromosom pada kromosom nomor 21, yang seharusnya dua menjadi tiga.
Kelainan

ini

kebanyakan

bukan

karena

keturunan,

melainkan

pada

pembelahan sel saat perkembangan ovum maupun sperma. Kelainan bisa


menyebabkan penderitanya mengalami kelainan fisik seperti kelainan jantung
bawaan, otot-otot melemah (hypotonia), dan retardasi mental akibat hambatan
perkembangan kecerdasan dan psikomotor.

Triplikasi Kromosom 21 yang menyebabkan sindroma Down


sumber: Reeves, 2000
Nama Down Syndrome berasal dari nama seorang dokter yang pertama
kali melaporkan kasus hambatan tumbuh kembang psikomotorik dan berakibat
gangguan mental pada tahun 1866. Dokter tersebut adalah dr. John Langdon
Down dari Inggris. Sebelumnya kelainan genetika ini disebut sebagai
Monglismus, sebab memang penderitanya memiliki ciri fisik menyerupai ras
Mongoloid. Karena berbau rasialis maka nama ini diganti menjadi Down
Syndrome. Terlebih setelah tahun 1959 diketahui bahwa kelainan genetika ini
dapat terjadi pada ras mana saja tanpa membedakan jenis kelamin (Selikowitz,
2002).
Menurut Departemen Kesehatan RI (2008) Sindrom Down diderita
paling sedikit 300 ribu anak di seluruh Indonesia dan 8 juta manusia diseluruh
dunia. Satu dari 700 anak yang dilahirkan memiliki kemungkinan menderita
sindrom Down.
Ciri-ciri fisik Sindrom Down

Page 2

Abdoerachman, M.H., (1985: 219), dan Soetjiningsih (1998: 213-214),


menyebutkan bahwa berat badan pada waktu lahir dari bayi dengan sindrom
Down pada umumnya kurang dari normal. Penderita sindrom Down biasanya
mudah dikenali dengan gambaran wajah yang khas yang menyerupai orang
mongol. Ketika dilihat dari depan, biasanya mempunyai wajah yang bulat, dari
samping, wajah cenderung memiliki profil yang datar. Pada wajah mata agak
sedikit miring ke atas, nistagmus, juling, bintik-bintik atau loreng-loreng pada
iris, dislokasi kongenital sendi panggul; terdapat kecenderungan terjadinya
leukemia.
Abdoerachman, M.H. (1985) menyatakan bahwa penderita Sindrom
Down cenderung tenang, jarang menangis dan terdapat hipertonisitas otot.
Mikrosefali, dan brakisefali yang mendatar merupakan hal yang khas. Rambut
biasanya lemas dan lurus. Mulut sering menganga karena adanya lidah besar
yang menjulur yang juga dapat mempunyai fisura. Leher cenderung pendek
dan lebar, kadang kulitnya berlebihan pada bagian belakang. Tangan pendek
dan lebar dan dapat dilakukan hiperekstensi. Jari kelingking bengkok dan
falanks (jari-jari) kurang berkembang. Kaki cenderung pendek dan gemuk
dengan jarak yang lebar antara ibu jari dan telunjuk. Mereka cenderung
periang, senang, bersahabat dan gemar musik, tetapi seperti anak normal
mereka dapat memperlihatkan suatu rentang atribut kepribadian. Pada remaja,
perkembangan seksual biasanya terhambat atau tidak lengkap. Laki-laki
mempunyai genetalia yang kecil dan dapat infertile. Wanita mengalami
menstruasi pada umur rata-rata dan beberapa wanita dengan sindrom Down
melahirkan sekitar separuh dari anaknya juga menglami sindrom ini.
Penyebab Sindrom Down
Menurut Soetjiningsih (1998: 211-212), selama satu abad sebelumnya
banyak hipotesis tentang penyebab sindrom Down yang dilaporkan. Tetapi
Page 3

sejak ditemukan adanya kelainan kromosom pada sindrom Down pada tahun
1959,

maka

sekarang

perhatian

dipusatkan

pada

kejadian non-

disjunctional sebagai penyebabnya yaitu:


1. Genetik
Diperkirakan terdapat predisposisi genetic terhadap non-disjunctional.
Bukti yang mendukung teori ini adalah berdasarkan hasil penelitian
epidemiologi yang menyatakan adanya peningkatan resiko berulang bila dalam
keluarga terdapat anak dengan sindrom Down.
2. Radiasi
Radiasi dikatakan merupakan salah satu penyebab terjadinya nondisjunctional pada sindrom Down ini. Uchida 1981 (dikutip Pueschel dkk.)
menyatakan bahwa sekitar 30% ibu yang melahirkan anak dengan sindrom
Down, pernah mengalami radiasi di daerah perut sebelum terjadinya konsepsi.
Sedangkan penelitian lain tidak mendapati hubungan antara radiasi dengan
penyimpangan kromosom.
3. Infeksi
Infeksi juga dikatakan sebagai salah satu penyebab terjadinya sindrom
Down.

Sampai

saat

ini

belum ada peneliti

yang

mampu

memastikan

bahwa virus dapat mengakibatkan terjadinya non-disjunctional.


4. Autoimun
Factor lain yang juga diperkirakan sebagai etiologi sindrom Down adalah
aotuimun. Terutama autoimun tiroid atau penyakit yang dikaitkan dengan tiroid.
Penelitian Fialkow 1966 (dikutip Pueschel dkk.) secara konsisten mendapatkan
adanya perbedaan autoantibodi tiroid pada ibu yang melahirkan anak dengan
sindrom Down dengan ibu kontrol yang umurnya sama.
5. Umur ibu
Apabila umur ibu di atas 35 tahun, diperkirakan terdapat perubahan
hormonal

yang

dapat

menyebabkan non-disjunctional pada

kromosom.

Perubahan endokrin, seperti meningkatnya sekresi androgen, menurunnya


kadar

hidroepiandrosteron,

menurunnya

konsentrasi

estriadol

sistemik,

perubahan konsentrasi reseptor hormone, dan peningkatan secara tajam kadar


LH (Lutenizing Hormone) dan FSH (Follicular Stimulating Hormone) secara

Page 4

tiba-tiba sebelum dan selama menopause, dapat meningkatkan kemungkinan


terjadinya non-disjunctional.
6. Umur ayah
Selain pengaruh umur ibu terhadap sindrom Down, juga dilaporkan
adanya pengaruh umur ayah. Penelitian sitogenik pada orang tua dari anak
dengan sindrom Down mendapatkan bahwa 20-30% kasus ekstra kromosom
21 bersumber dari ayahnya. Tetapi korelasinya tidak setinggi dengan umur ibu.

Klasifikasi Sindrom Down


Berdasarkan penyebabnya (sitogenetika) Sindrom Down menurut
Abdoerachman, M.H., (1985: 217-218) adalah sebagai berikut:
1. Trisomi 21
Trisomi 21 (47,XX + 21) terjadi karena gagal berpisah pada pembelahan
meiosis. Terdapat salah satu sel gamet (ovum atau sperma) yang membawa 24
kromosom, sehingga jika bergabung saat fertilisasi, jumlah kromosom anaknya
menjadi 47 atau kelebihan 1 kromosom. Pada trisomi 21, keberadaan 1 set
kromosom yang lebih ini akan menyebabkan timbulnya suatu gangguan pada
regulasi tubuh penderita serta mempengaruhi kerja sistem tubuh penderita
tersebut (Lensin, 2000). Trisomi 21 adalah 95% sindrom Down yang diketahui
secara umum, dengan 88% disebabkan oleh kegagalan pada gamet ibu dan
8% disebabkan oleh gamet bapak. Kemungkinan gagal berpisah yang lebih
besar pada gamet betina ini diakibatkan karena adanya salah satu faktor risiko
munculnya penyakit Down Syndrome, yaitu pengaruh usia ibu. Selanjutnya
akan dijelaskan mengenai hubungan antara usia ibu dengan terjadinya trisomi
21 dan akan dilanjutkan dengan dua penyebab Down Syndrome lainnya.
Penelitian telah dilakukan untuk mengungkap hal ini dengan mengambil
sampel 400 kasus trisomy 21. Penelitian dimulai dengan pengambilan contoh
kromosom

21

dengan

menggunakan STRmarkers diteliti

mengenai

jenis nondisjunctionyang terjadi. Sample kromosom 21 yang telah diambil


dibagi ke dalam 6 interval kasar yang sama pada bagian lengan q kromosom
seperti pada gambar (Risch etal., 1986)

Page 5

sumber: http://idibuleleng.org/tinymcpuk/gambar/image/tabel3.jpg
Menurut Risch et.al (1986) Hasil pengamatan 400 kasus trisomy 21
pada fase 1 meiosis ini akan kita klasifikasikan ke dalam 3 kelompok sesuai
dengan usia ibunya dengan rincian: kelompok 1 ibu dengan usia<29 tahun (n =
126), kelompok 2 ibu dengan usia antara 2934 tahun (n = 138), dan
kelompok 3, ibu usia >34 tahun (n = 136).
Hasil penelitian ini dilihat melalui pendekatan berupa genetic maps yang
dibuat pada masingmasing kategori umur. Patokan normal kromosom 21
dibuat dari genetic maps, bila didapatkan keadaan yang lain dari tu berarti
terjadi trisomy 21. Hal itu sesuai dengan penelitian sebelumya yang dilakukan
oleh Warren etal., 1987 serta Lamb etal., 1986 ternyata genetic maps yang
didapatkan pada penelitian kasus yang terkena trisomy 21 lebih pendek
daripada genetics map untuk kromosom 21 yang normal. Meskipun pernyataan
ini menguatkan hypothesis kita, ternyata terdapat hasil yang tidak signifikan
pada berbagai tingkat atau kelompok umur (p =0.38). Pada kelompok trisomi
untuk usia kehamilan yang paling muda atau kelompok 1

ternyata

menunjukkan tingkat kerentanan tertinggi untuk terjadinya rekombinasi telomer


yaitu sebesar 37% apabila dibandingkan dengan kelompok usia menengah
atau kelompok 2 sebesar 28 %, serta kelompok usia yang paling tinggi yaitu
24%. Hasil pengamatan yang telah dilakukan ini ternyata menunjukkan bahwa
proporsi atau kecenderungan untuk terjadinya rekombinasi telomeric akan
menurun seiring dengan bertambahnya umur dari ibu
2. Mosaicism
Menurut Lamb dkk (2005) setiap sel dalam tubuh manusia berasal dari
satu sel benih atau sel hasil fertilisasi yang diberi nama sel zygote. Sel zygote
inilah yang nantinya akan mengalami pembelahan dan terus membelah sampai
menjadi individu seperti kita sekarang. Dalam proses pembelahan mitosis, sel
Page 6

bentukan akan memiliki jumlah kromosom yang sama dengan induknya. Dalam
proses pembelahannya ini sering terjadi kesalahan seperti mosaicism. Ada 2
tipe dari mosaicism yaitu menimbulkan fenotip yang normal serta fenotip yang
tidak normal. Pada individu dengan fenotipe normal semula zygote memiliki 3
buah kromosom 21 tetapi pada proses pembelahannya 1 buah kromosom 21
akan menghilang sehingga fenotipe akan kembali normal. Sedangkan untuk
jenis lainnya pada zygote awal memiliki 2 buah kromosom 21 tetapi dalam
proses pembelahannya bertambah menjadi 3 buah. Jadi dapat dikatakan
individu yang mengalami mosaicism ini ada yang terlihat dengan fenotip normal
serta ada yang terlihat dengan fenotip yang tidak normal yang menunjukkan
ciriciri Down Syndrome. Mosaicism kirakira merupakan penyebab Down
Syndrome sebesar 1- 2 %. Trisomi 21 biasanya terjadi sebelum kehamilan.
Apabila setengah sel dalam badan adalah normal, dan setengah sel
mengandung trisomi 21, maka dikenali sebagai sindrom Down Mosaik
(46,XX/47,XX,+21). Dapat diketahui melalui 2 cara :
a. Keadaan kegagalan pada awal pembagian sel pada embrio normal
mendorong pada pecahan sel dengan trisomi 21.
b. Embrio sindrom Down melalui kegagalan dan setengah sel pada embrio
kembali kepada aturan kromosom normal.
3. Translokasi Robertsonian
Translokasi Robertsonian merupakan perubahan hanya pada struktur
penyusun kromosom bukan pada jumlah kromosomnya, dan biasanya terjadi
pada jenis kromosom akrosentrik yaitu pada kromosom nomor 13, 14, 15, 21,
dan 22. Selanjutnya ditandai dengan melekatnya lengan panjang kromosom
kromosom seperti tersebut di atas ke sentromer dari kromosom lainnya.
Lengan kromosom 21 melekat pada kromosom lain, seringkali kromosom 14
(45,XX,t(;21q)) atau dikenali sebagai isokromosom, 45, XX, t(21q;21q). Pada
manusia ketika terjadi translokasi Robertsonian ini yaitu ketika melekatnya
lengan panjang kromosom 21 ke lengan panjang kromosom 14 atau 15 maka
bagi individu tersebut secara fenotipe memang terlihat normal tetapi
sebenarnya merupakan carrier atau pembawa trisomy 21 sebagai penyebab
Down Syndrome 2-3%. Sindrom Down translokasi seringkali dirujuk
sebagai sindrom Down familial (Mannan, 2009).

Page 7

Contoh Kasus Sindrom Down

Anak-anak penderita sindrom Down di SLB A, B, dan C Sekar Pace.


sumber: doc.pribadi 06/12/13

Identitas
Nama
: Ibnu Binafsih
Tempat/tgl lahir: Pacitan, 29 Januari 2001
Alamat
: Jebres Surakarta
Kelas
: SLB kelas C
Penyebab
: Ibu hamil saat sudah berusia lanjut
Analisis ciri fisik
: Hasil kenampakan fisik yang terlihat
menunjukkan : flat nasal bridge (hidung pesek), upward slanting
palpebral

fissure (mata

sipit

dengan epicanthal

folds),

macroglossia dan mulut sering terbuka, antara jempol kaki dan


jari kaki terpisah lebar, flat feet, rambut lemas, dan anak nampak
floopy serta pertumbuhan lambat.
Menurut pernyataan dari guru

kelas

SLB

siswa

yang

bersangkutan yaitu dimana ibu tersebut telah berusia cukup


lanjut untuk melahirkan merupakan salah satu faktor pemicu
terjadinya kelainan genetik pada anaknya. Apabila dilakukan
pemeriksaan kariotipe yang menunjukkan adanya trisomi 21 akan jelas membuktikan
anak tersebut menderita sindrom Down sehingga dapat dilihat perkembangan anak
lambat karena penderita sindrom Down mengalami retardasi mental dan mengalami
berbagai gangguan kesehatan.

Perubahan dalam proses rekombinasi gen atau pembentukan kombinasi


gen baru ternyata memiliki hubungan dengan terjadinya gagal berpisah pada
manusia dan model organisme lainnya. Penemuan ini semakin memperkuat
Page 8

bukti untuk menemukan apakah kejadian gagal berpisah ini dipengaruhi oleh
bertambahnya

usia

ibu.

Hassold

dan

Hunt

telah

berupaya

untuk

mengungkapkan hal ini pada tahun 2001. Mereka menemukan bahwa pada
umumya kasus nondisjunctionatau gagal berpisah tersebut pada umumnya
ditemukan pada fase 1 meiosis. Mereka juga menemukan bahwa ternyata
trisomy pada manusia juga dipengaruhi oleh peningkatan usia ibu meskipun
efek bertambahnya usia ibu tersebut bervariasi pada berbagai jenis trisomy
(Risch etal., 1986; Morton etal., 1988). Data lainnya juga mendukung pendapat
ini, dimana padi ibu yang melahirkan dengan usia 35 tahun memiliki resiko
35% mengalami trisomi.

Penanganan Sindrom Down


Menurut

Soetjiningsih

(1998:

217-220),

anak

dengan

sindrom

Down

memerlukan penanganan medis secara multidisiplin karena anak dengan


kelainan ini memerlukan perhatian dan penanganan medis yang sama dengan
anak yang normal. Mereka memerlukan pemeliharaan kesehatan, imunisasi,
kedaruratan medis, serta dukungan dan bimbingan dari anggota keluarganya.
Tetapi terdapat beberapa keadaan dimana anak dengan sindrom Down
memerlukan perhatian khusus, yaitu dalam hal :
a.

Pendengaran
70-80% anak dengan sindrom Down dilaporkan terdapat gangguan
pendengaran. Oleh karenanya diperlukan pemeriksaan telinga sejak awal
kehidupannya, serta dilakukan tes pendengaran secara berkala oleh ahli THT.

b.

Penyakit jantung bawaan


30-40% anak dengan sindrom Down disertai dengan penyakit jantung
bawaan. Mereka memerlukan penanganan jangka panjang oleh seorang ahli
jantung anak.

c.

Penglihatan
Anak dengan kelainan ini sering mengalami gangguan penglihatan atau
katarak. Sehingga perlu evaluasi secara rutin oleh ahli mata.

d.

Nutrisi

Page 9

Beberapa kasus, terutama yang disertai kelainan congenital yang berat


lainnya, akan terjadi gangguan pertumbuhan pada masa bayi/prasekolah.
Sebaliknya ada juga kasus justru terjadi obesitas pada masa dewasa atau
setelah dewasa. Sehingga diperlukan kerjasama dengan ahli gizi.
e.

Kelainan tulang
Kelainan tulang juga dapat terjadi pada sindrom Down, maka diperlukan
pemeriksaan radiologist untuk memeriksa spina servikalis dan diperlukan
konsultasi neurologist.

f.

Lain-lain
Aspek medis lainnya yang memerlukan konsultasi dengan ahlinya,
meliputi masalah imunologi, gangguan fungsi metabolisme, atau kekacauan
biokoimiawi.

III. PENUTUP

Sindrom down adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan


fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan
kromosom. Secara sitogenetik, Sindrom Down disebabkan oleh 3 penyebab
utama yaitu :
1. Trisomi 21(47,XX,+21) merupakan penyebab utama Down Syndrome
95%, 88% terjadi pada gamet betina sedangkan 8% terjadi pada gamet
jantan.
Page 10

2. Mosaicism (46,XX / 47,XX,+21) karena terjadinya kesalahan dalam


proses pembelahan kromosom, ada 2 tipe yaitu yang fenotip normal
dan ada yang fenotip tidak normal merupakan penyebab Down
Syndrome sebesar 1-2%.
3. Translokasi Robertsonian terjadi ketika melekatnya lengan panjang
kromosom 21 ke lengan panjang kromosom 14 atau 15 maka bagi
individu tersebut secara fenotipe memang terlihat normal tetapi
sebenarnya merupakan carrier atau pembawa trisomy 21 sebagai
penyebab Down Syndrome 2-3%.
Adapun penyebabnya antara lain karena faktor genetik, radiasi, infeksi,
autoimun, maupun usia ayah dan ibu. Ciri-ciri Sindrom Down secara fisik yang
mudah dikenali antara lain bentuk kepala yang relatif kecil dari normal
(microchephaly) dengan bagian anteroposterior kepala mendatar. Pada bagian
wajah biasanya tampak sela hidung yang datar, mulut yang mengecil dan lidah
yang menonjol keluar (macroglossia). Seringkali mata menjadi sipit dengan
sudut bagian tengah membentuk lipatan (epicanthal folds). Tanda klinis pada
bagian tubuh lainnya berupa tangan yang pendek termasuk ruas jari-jarinya
serta jarak antara jari pertama dan kedua baik pada tangan maupun kaki
melebar.

IV. DAFTAR PUSTAKA


- Chen, Harold. 2008. Down Syndrome. In Emedicine Health. Juli 2,
2008.http://www.emedicinehealth.com/down_syndrome/article_em.html
- Lamb, N.E., Yu, K., Shaffer, J., Feingold, E., dan Sherman, S.L. 2005.
Association between Maternal Age and Meiotic Recombination for Trisomy
21.Am. J. Hum. Genet. 76:91-99
- Lemeshow,Stanley et al 1997. Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan
.Edisi Bahasa Indonesia ,Gajah Mada University Press: Yogyakarta.

Page 11

- Mannan SE, Yousef E, Hossain J. Prevalence of positive skin prick test results
in children with Down syndrome: a case-control study. Ann Allergy Asthma
Immunol. 2009 Mar;102(3):205-9.
- Price, Sylvia Anderson, 1995, Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses
penyakit, Jakarta: EGC.
- Selikowitz, Mark, 2002. Mengenal Sindrom Down. Jakarta: Arcan
- Sutjiningsih, 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC.

Page 12

Anda mungkin juga menyukai