Batubara memiliki kemampuan menyimpan gas dalam jumlah yang banyak, karena permukaannya
mempunyai kemampuan mengadsorpsi gas. Meskipun batubara berupa benda padat dan terlihat seperti
batu yang keras, tapi di dalamnya banyak sekali terdapat pori-pori yang berukuran lebih kecil dari skala
mikron, sehingga batubara ibarat sebuah spon. Kondisi inilah yang menyebabkan permukaan batubara
menjadi sedemikian luas sehingga mampu menyerap gas dalam jumlah yang besar. Jika tekanan gas
semakin tinggi, maka kemampuan batubara untuk mengadsorpsi gas juga semakin besar.
Gas yang terperangkap pada batubara sebagian besar terdiri dari gas metana, sehingga secara umum
gas ini disebut dengan Coal Bed Methane atau disingkat CBM. Dalam klasifikasi energi, CBM
termasuk unconventional energy (peringkat 3), bersama-sama dengan tight sand gas, devonian shale
gas, dan gas hydrate. High quality gas (peringkat 1) dan low quality gas (peringkat 2) dianggap
sebagai conventional gas.
Produksi CBM
Di dalam lapisan batubara banyak terdapat rekahan (cleat), yang terbentuk ketika berlangsung proses
pembatubaraan. Melalui rekahan itulah air dan gas mengalir di dalam lapisan batubara. Adapun bagian
pada batubara yang dikelilingi oleh rekahan itu disebut dengan matriks (coal matrix), tempat dimana
kebanyakan CBM menempel pada pori-pori yang terdapat di dalamnya. Dengan demikian, lapisan
batubara pada target eksplorasi CBM selain berperan sebagai reservoir, juga berperan sebagai source
rock.
Gambar 2.
Pembentukan CBM
Kuantitas CBM berkaitan erat dengan peringkat batubara, yang makin bertambah kuantitasnya dari
gambut hingga medium volatile bituminous, lalu berkurang hingga antrasit. Tentu saja kuantitas gas
akan semakin banyak jika lapisan batubaranya semakin tebal.
Dari penelitian Steven dan Hadiyanto, 2005, (IAGI special publication) ada 11 cekungan batubara (coal
basin) di Indonesia yang memiliki CBM, dengan 4 besar urutan cadangan sebagai berikut: 1. Sumsel
(183 Tcf), 2. Barito (101.6 Tcf), 3. Kutai (80.4 Tcf), 4. Sum-Tengah (52.5 Tcf). Dengan kata lain sumber
daya CBM di Sumsel sama dengan total (conventional) gas reserves di seluruh Indonesia.
Terkait potensi CBM ini, ada 2 hal yang menarik untuk diperhatikan:
Pertama, jika ada reservoir conventional gas (sandstone) dan reservoir CBM (coal) pada kedalaman,
tekanan, dan volume batuan yang sama, maka volume CBM bisa mencapai 3 6 kali lebih banyak
dari conventional gas. Dengan kata lain, CBM menarik secara kuantitas.
Kedua, prinsip terkandungnya CBM adalah adsorption pada coal matrix, sehingga dari segi eksplorasi
faktor keberhasilannya tinggi, karena CBM bisa terdapat pada antiklin maupun sinklin. Secara mudahnya
dapat dikatakan bahwa ada batubara ada CBM.
Produksi CBM & Teknologi Pengeboran
Pada metode produksi CBM secara konvensional, produksi yang ekonomis hanya dapat dilakukan pada
lapisan batubara dengan permeabilitas yang baik.
Tapi dengan kemajuan teknik pengontrolan arah pada pengeboran, arah lubang bor dari permukaan
dapat ditentukan dengan bebas, sehingga pengeboran memanjang dalam suatu lapisan batubara dapat
dilakukan. Seperti ditunjukkan oleh gambar di bawah, produksi gas dapat ditingkatkan volumenya
melalui satu lubang bor dengan menggunakan teknik ini.
Teknik ini juga memungkinkan produksi gas secara ekonomis pada suatu lokasi yang selama ini tidak
dapat diusahakan, terkait permeabilitas lapisan batubaranya yang jelek. Sebagai contoh adalah apa
yang dilakukan di Australia dan beberapa negara lain, dimana produksi gas yang efisien dilakukan
dengan sistem produksi yang mengkombinasikan sumur vertikal dan horizontal, seperti terlihat pada
gambar di bawah.
terpasang di bagian belakang down hole motor, berfungsi untuk memonitor arah lubang bor dan
melakukan koreksi arah sambil terus mengebor.
Bila N yang digunakan, hasilnya segera muncul sehingga volume produksi juga meningkat. Akan tetapi,
karena N dapat mencapai sumur produksi dengan cepat, maka volume produksi secara keseluruhan
justru menjadi berkurang.
Ketika N diinjeksikan ke dalam rekahan (cleat), maka kadar N di dalamnya akan meningkat. Dan karena
konsentrasi N di dalam matriks adalah rendah, maka N akan mengalir masuk ke matriks tersebut.
Sebagian N yang masuk ke dalam matriks akan menempel pada pori-pori. Oleh karena jumlah adsorpsi
N lebih sedikit bila dibandingkan dengan gas metana, maka matriks akan berada dalam kondisi jenuh
(saturated) dengan sedikit N saja.
itu, karena CO2 lebih banyak mensubstitusi gas metana yang berada di dalam matriks, maka tingkat
keterambilan (recovery) CBM juga meningkat.
Air dalam lapisan batubara didapat dari adanya proses penggambutan dan pembatubaraan,
atau dari masukan (recharge) air dalam outcrops dan akuifer. Air dalam lapisan tersebut
dapat
mencapai
90%
dari
jumlah air
keseluruhan.
Selama proses
pembatubaraan,
beberapa
methanogens
membuat
amina,
sulfida,
dan
methanol
untuk
memproduksi metane.
Aliran air, dapat memperbaharui aktivitas bakteri, sehingga gas biogenik dapat berkembang
hingga tahap akhir. Pada saat penimbunan maksimum, temperatur maksimum pada lapisan
batubara mencapai 40-90C, dimana kondisi ini sangat ideal untuk pembentukan bakteri
metane. Metane tersebut terbentuk setelah aliran air bawah tanah pada saat ini telah ada.
Apabila air tanah turun, tekanan pada reservoir turun, pada saat ini CBM bermigrasi menuju
reservoir dari sumber lapisan batubara. Perulangan kejadian ini merupakan regenerasi dari
gas biogenik. Kejadian ini dipicu oleh naiknya air tanah atau lapisan batubara yang tercuci
oleh air. Hal tersebut yang memberikan indikasi bahwa CBM merupakan energi yang dapat
terbaharui.
Lapisan batubara dapat menjadi batuan sumber dan reservoir, karena itu CBM diproduksi
secara insitu, tersimpan melalui permukaan rekahan, mesopore, dan mikropore (gambar 5).
Permukaan tersebut menarik molekul gas, sehingga tersimpan menjadi dekat. Gas tersebut
tersimpan pada rekahan dan sistem pori pada batubara sampai pada saat air merubah
tekanan pada reservoir. Gas kemudian keluar melalui matriks batubara dan mengalir melalui
rekahan sampai pada sumur. Gas tersebut sering kali terjebak pada rekahan-rekahan.
gas pada umumnya, fasa-fasa tersebut biasa terjadi. Namun demikian, seperti yang telah
diuraikan, CBM dapat terbaharukan.
Sebagai informasi, sumber daya terbesar sebesar 6,49 TCS ada di blok Sangatta-1 dengan
operator Pertamina hulu energi methane Kalimantan A dengan basin di Kutai. Disusul
Indragiri hulu dengan operator Samantaka mineral prima dengan basin Sumatera Selatan
yang mempunyai sumber daya 5,50 TCS, dan sumber daya paling rendah terlatak di blok
Sekayu yang dioperatori Medco SBM Sekayo dengan basin Sumatera Selatan, dengan sumber
daya 1,70 TCS.