Anda di halaman 1dari 40

Clinical Science Session

Angiofibroma Nasofaring
Disusun oleh :
Hermansyah
61110018
Preseptor : dr. Azwan Mandai, Sp. THT-KL

PENDAHULUAN

Latar Belakang

secara klinis
bersifat seperti
tumor ganas

tumor jinak
pembuluh darah
di daerah
nasofaring yang
secara histologik
jinak

paling sering
ditemukan pada
anak lak-laki
prepubertas dan
remaja

Angiofibroma
nasofaring

0,05% dari
seluruh tumor
kepala dan leher

1 : 5.000-60.000
pada pasien THT.

Batasa
n
Masala
h
Tujuan
Penulis
an

definisi, anatomi fisiologi nasofaring,


epidemiologi etiologi, klasifikasi,
patofisiologi, diagnosis, komplikasi
dan tatalaksana dari angiofibroma
nasofaring

menambah pengetahuan pembaca


pada umumnya dan penulis
khususnya mengenai angiofibroma
nasofaring.

TINJAUAN PUSTAKA

Angiofibroma nasofaring
suatu tumor jinak
nasofaring yang
secara histologik
jinak

secara klinis
bersifat ganas

mempunyai
kemampuan
mendestruksi tulang
dan meluas ke
jaringan sekitarnya,
seperti ke sinus
paranasal, pipi, mata
dan tengkorak

sangat mudah
berdarah yang sulit
dihentikan.

Anatomi Nasofaring
Nasofaring suatu
ruangan yang
terletak di
belakang rongga
hidung di atas tepi
bebas palatum
mole yang secara
anatomis termasuk
bagian faring

BATAS
NASOFARING
A : dibentuk
oleh koana
dan batas
posterior
dari septum
nasi

Atap dan
dinding
posterior
permukaan
Dinding
yang miring
bawah :
dibentuk oleh
permukaan
tulang
atas dari
sfenoid, basal
palatum mole oksiput dan
& itsmus
dua tulang
nasofaringeal servikal yang
paling atas
sampai pada
level
palatum mole

Bagian paling
atas dari
dinding
posterior,
tepat di
depan dari
tulang atlas
terdapat
jaringan
limfoid yang
melekat pada
mukosa

Tiap dinding lateral nasofaring


terdapat muara dari tuba
faringotimpanik (tuba eustakhius).

Di belakang dan atas dari kartilago


tuba terdapat faringeal reses atau
fossa Rosenmuller

Pendarahan
arteri faringeal
nasofaring
ascenden, arteri
berasal dari
palatina ascenden
cabang-cabang
dan descenden
arteri karotis
cabang faringeal
eksterna
arteri sfenopalatina
Daerah
serabut sensoris
nasofaring
saraf
dipersarafi oleh
glossofaringeus (IX)
pleksus
serabut motoris
faringeal
saraf vagus (X)
serabut saraf
ganglion servikalis

Perdarahan Nasofaring

Persarafan Nasofaring

Nasofaring
mempunyai
anyaman
limfatik
submukosa
yang
banyak

Pada
Struktur
nasofaring
limfoid ini
terdapat
banyak
banyak saluran
terdapat di
limfe yang
dinding lateral
terutama
terutama
mengalir ke
disekitar
lateral,
muara tuba
bermuara di
eustakius,
kelenjar
dinding
retrofaring
posterior dan
Krause
bagian
(kelenjar
nasofaring di
Rouviere).
palatum mole.

Struktur
limfoid ini
merupakan
lengkung
bagian atas
dari cincin
Waldeyer.

Epidemiologi
Paling sering ditemukan pada anak laklaki prepubertas dan remaja,
rentang usia 7 sampai 21 tahun
insidens terbanyak antara usia 14-18
tahun.
jarang terjadi pada usia diatas 25
tahunJuvenile Nasopharyngeal
Angiofibroma
hanya 0,05% dari seluruh tumor
kepala dan leher

ETIOLOGI

Teori
jaringan
asal

Perlengket
an spesifik
angiofibro
ma

Dinding
posterolate
ral atap
rongga
hidung

Faktor
ketidakseimbang
an hormon
Penyebab
kekurangan
androgen atau
kelebihan
estrogen
Hubungan erat
tumor dengan
jenis kelamin dan
umur

Patofisiologi
Tumor
pertama kali
tumbuh

Perdarahan
tumor berasal
dari arteri
maksilaris
interna dari
arteri karotis.

meluas ke arah
bawah
membentuk
tonjolan massa
di atap rongga
hidung
posterior

di bawah mukosa di
tepi sebelah
posterior dan
lateral koana di
atap nasofaring

membesar
dan meluas di
bawah
mukosa,
sepanjang
atap
nasofaring
mencapai tepi
posterior
septum

Perluasan Ke Arah Lateral


melebar ke arah foramen sfenopalatina
masuk ke fisura pterigomaksila
mendesak dinding posterior dinding maksila.
meluas terus akan masuk ke fossa intratemporal lalu
menyusuri rahang atas bagian belakang masuk ke
jaringan lunak antara otot maseter dan businator

pembengkakan pipi dan rasa


penuh di wajah.

deformitas pada
wajah bila tumor
masuk ke fisura
orbitalis superior.

mendorong salah
satu atau kedua bola
mata timbul
proptosis muka
kodok dan dapat
terjadi gangguan
visus.

Perluasan ke arah anterior

kavum nasi akan


mengisi rongga
hidung

mendorong
septum ke arah
kontralateral dan
memipihkan
konka.

Perluasan Ke Intrakranial

melalui fossa
infratemporal
dan
pterigomaksila
yang

menyebabkan
erosi dasar
fossa kranialis
medialis melalui
sepanjang fisura
pterigomaksilari
s dan fisura
orbitalis
superior.

Perluasan
tumor ke
intrakranial
akan
menimbulkan
kelainan
neurologis

Histopatologi
ditemukan jaringan fibrous yang matur
yang terdiri dari berbagai ukuran pembuluh
darah dengan dinding yang tipis. Pembuluh
darah tersebut dibatasi endotelium tetapi
pada dinding pembuluh darahnya sedikit
mengandung elemen kontraktil otot yang
normal. Hal inilah yang menyebabkan
angiofibroma nasofaring mudah berdarah.

Diagnosis
Gejala
klinis

Pemeriksa
an fisik

Pemeriksa
an
penunjan
g

Manifestasi Klinis
Gejala yg paling sering ditemukan ialah
hidung tersumbat yg progresif dan epitaksis
berulang yg masif. Gejala lain yaitu:
1. Rhinorea
kronis
sampai
gangguan
penciuman
2. Gangguan pendengaran
3. Sefalgia bila sdh sampai ke intrakranial
4. Deformita
pada muka,disfagi,proptosis
dan gangguan visus

PEMERIKSAAN FISIK
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior
bisa tampak banyak sekret purulen serta
deviasi septum nasi ke arah yang sehat.
Pada pemeriksaan rinoskopi posterior
akan
terlihat
massa
tumor
yg
konsistensinya
kenyal,
warnanya
bervariasi dari abu-abu sampai merah
muda.
Bagian yg terlihat di nasofaring diliputi
selaput
lendir
berwarna
keunguan,
sedangkan bagian yg meluas berwarna

Penunjang
diagnosis

Foto polos AP-L,


Walters

Holman Miller

CT scan (kontras)

Perluasan
Destruksi tulang

MRI
arteriografi
Hormonal dan
histokimia

Batas tumor
(ke intracranial)
Vaskularisasi
tumor
(a. maksilaris
interna)
Gangguan
hormonal

Pemeriksaan Penunjang
Radiologi konvensional (foto
kepala potongan antero-posterior,
lateral dan posisi Waters) akan
terlihat gambaran klasik yang
disebut Holman Miller yaitu
pendorongan prosesus
pterigoideus ke belakang
sehingga fisura pterigo-palatina
melebar (penonjolan anterior dari
dinding posterior sinus maksila).
Disertai gambaran perselubungan
di sinus maksila. Akan terlihat
juga adanya massa jaringan lunak
di daerah nasofaring yang dapat
mengerosi dinding orbita, arkus
zigoma, dan tulang di sekitar
nasofaring

Pemeriksaan Penunjang
CT scan dengan zat
kontras akan tampak
secara tepat perluasan
massa tumor serta
destruksi ke jaringan
sekitarnya. Akan terlihat
gambaran massa jaringan
lunak yang berlobus tanpa
kapsul di tengan foramen
sfenopalatina (biasanya
melebar) dan penonjolan
ke anterior dari dinding
posterior sinus maksilaris.1

Pemeriksaan Penunjang
MRI dilakukan untuk menentukan batas
tumor terutama yang telah meluas ke
intra kranial.
Angiografi arteri karotis eksterna akan
memperlihatkan vaskularisasi tumor yang
biasanya berasal dari cabang arteri
maksila interna homolateral

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan PA dgn biopsi merupakan
kontra indikasi, sebab dapat mengakibatkan
perdarahan yg massif.

Staging
Klasifikasi menurut Session (1981):
Stadium IA: Tumor terbatas di nares posterior dan
atau nasofaringeal voult
Stadium IB: Tumor melibatkan nares posterior dan
atau nasofaringeal voult dengan meluas
sedikitnya 1 sinus paranasal
Stadium IIA: perluasan lateral minimal ke dalam
fossa pterigomaksila
Stadium IIB: mengisi seluruh fossa
pterigomaksila dengan tanpa mengerosi tulang
orbita
Stadium IIIA: mengerosi dasar tengkorak dan
perluasan intrakranial yang minimal

Staging
Klasifikasi menurut Fisch (1983):
Stadium I: Tumor terbatas pada kavum nasi,
nasofaring tanpa mendestruksi tulang
Stadium II: Tumor menginvasi fossa
pterigomaksila, sinus paranasal dengan destruksi
tulang
Stadium III: Tumor menginvasi fossa
infratemporal, orbita dengan atau regio paraselar
sampai sinus kavernosus
Stadium IV: Tumor menginvasi sinus kavernosus,
regio chiasma optik, dan atau fossa pituitary

Diagnosa Banding
Karsinoma Nasofaring : Biasanya
pada usia tua 30 - 50 tahun serta
disertai pembesaran kelenjar
Adenoid : Tidak ada keluhan
epistaksis
Polip Koanal : Permukaan rata, pucat
mengkilap

Ca
Nasofaring

Polip Koanal

adenoid

PENATALAKSANAAN
1.

2.

3.

Prinsip terapi yaitu:


Pengobatan Hormonal pd stadium I & II dengan
preparat testosteron reseptor bloker (flutamid)
Radioterapi dgn stereotaktik radioterapi (gama
knife).
Tindakan
operatif:
melalui
transpalatal,
rinotomi lateral, rinotomi sublabial, atau bedah
nasal
endoskopi.
Bila
sdh
meluas
&
mendestruksi jaringan sekitar maka diberikan
radioterapi pra bedah atau terapi hormonal 6
minggu sblm operasi.

Komplikasi
1.
2.

3.

Terjadi gangguan telinga : otitis media


menyebabkan tersumbatnya jalan nafas
akibat pertumbuhan tumor
kebutaan jika sudah menginvasi ke
intrakranial

PROGNOSIS
Prognosis tumor ini jelek kalau tidak segera
didiagnosis secara
dini dan
dilakukan
pengobatan dan penanganan yang tepat dan
umumnya prognosisnya ditentukan oleh
beberapa faktor prinsip terapi yaitu:
1. Keadaan umum penderita
2. Besarnya tumor dan ekspansinya terutama
ke daerah intrakranial
3. Bila
dengan cara operatif tumor dapat
diangkat
seluruhnya
tanpa
sisa,
prognosisnya baik

Anda mungkin juga menyukai