Anda di halaman 1dari 40

BAB 2

LANDASAN TEORI MENGENAI BIAYA BANGUNAN GREEN


BUILDING MENGGUNAKAN VALUE ENGINEERING

2.1

ISU LINGKUNGAN HIDUP


Lingkungan hidup didefenisikan oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun

1982 sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk
hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan
perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain (Isral, 2008,
p.7). Menurut V. Darsono (1995), lingkungan hidup dibagi menjadi tiga yaitu
(Irsal, 2008, p.8):
1. Lingkungan alami, yaitu segala sesuatu yang berada disekitar manusia baik
yang hidup (flora, fauna) maupun yang tidak hidup.
2. Lingkungan buatan, yaitu segala sesuatu yang dibuat dan dibangun oleh
manusia

untuk

menunjang

kehidupannya

(misalnya

gedung,

bendungan/irigasi, dan sebagainya)


3. Lingkungan sosial, yaitu manusia lain yang ada disekitar kita. Lingkungan
sosial adalah refleksi dari sifat sosial manusia yaitu bahwa manusia adalah
makhluk sosial.

Ketiga komponen ini membentuk satu-kesatuan yang utuh dan menyeluruh


yang disebut ekosistem. Dalam ekosistem ini manusia berfungsi sebagai
pengontrol yang selalu mencari kemudahan untuk dapat bertahan hidup. Berbagai
cara dilakukan oleh manusia untuk mengeksplorasi apa yang ada disekitarnya
demi menciptakan sesuatu yang baru. Titik kumulasi dari eksplorasi manusia
adalah revolusi industri, yang menjadi latar belakang isu lingkungan hidup.
Isu mengenai lingkungan mulai muncul dalam beberapa dekade belakangan
ini. Kesadaran manusia akan lingkungan yang telah rusak membuat isu tentang
lingkungan ini mencuat. Isu yang paling penting dalam lingkungan adalah
mengenai

terjadinya

pemanasan

global.

Pemanasan

global

disebabkan

bertambahnya jumlah CO2 di atmosfir yang menyebabkan energi panas yang


seharusnya dilepas ke luar atmosfir bumi dipantulkan kembali ke permukaan bumi
12
Universitas Indonesia
Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

13

dan menyebabkan meningkatnya suhu permukaan bumi. Berikut ini gambar


distribusi gas karbondioksida:

Gambar 2.1 :Tingkat distribusi CO2 per kapita di dunia


Sumber : Prof. Dr. Michael Bauer,Peter Msle, dan Dr. Michael Schwarz. (2007). Green
Building Guidebook for Sustainable Architecture (p.13)

Selain pemasanan global, isu lingkungan yang sedang menjadi fokus saat ini
adalah konsumsi energi. Berikut ini adalah diagram konsumsi impor energi pada
tahun 2004:

Gambar 2.2. Digram Impor Energi dari Tahun 1993 2004


Sumber : Prof. Dr. Michael Bauer,Peter Msle, dan Dr. Michael Schwarz. (2007).Green
Building Guidebook for Sustainable Architecture (p.11)

Universitas Indonesia
Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

14

Dari diagram diatas dapat dilihat bahwa impor energi dari tahun ke tahun
terus meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi energi dari tahun ke tahun
pun terus meningkat.
Selain pemanasan global dan konsumsi energi, isu lingkungan lainnya yang
menjadi fokus dalam green building adalah konsumsi air dan menipisnya sumber
daya alam akibat penggunaan yang berlebihan.

2.2

PERAN KONSTRUKSI BANGUNAN DALAM ISU LINGKUNGAN


(BANGUNAN DAN DAMPAKNYA BAGI LINGKUNGAN)
Bangunan adalah struktur yang modern dunia. Mereka menggambarkan

kecerdikan masyarakat dan kemampuan kita dalam memanipulasi lingkungan,


dalam bentuk menyajikan tujuan kita. Dalam beberapa cara, bentuk bangunan dan
fungsinya adalah cerminan dari kebudayaan manusia yang lebih besar. William
Mcdonough menggambarkan sebuah bangunan maju yang modern sebagai kapal
uap/api, mengotori, mencemari, dan menghabiskan lingkungan sekeliling, dan
mengandalkan cahaya alam dan udara segara yang jumlahnya sedikit. Orang pada
dasarnya bekerja dalam gelap, dan mereka sering bernafas dengan udara yang
tidak sehat. Bayangkan, sebaliknya, sebuah bangunan sebagai sebuah pohon yang
akan membersihkan udara, menambah sinar matahari, dan menghasilkan lebih
banyak energi daripada konsumsi, menciptakan tempat berteduh dan tempat
tinggal, menyuburkan tanah, dan mengubahnya dengan musim.
Jika kita mengubah masyarakat kita menuju masa depan yang berkelanjutan
(sustainable future), memerlukan perombakan hal hal yang tidak sustainable
saat ini terhadap pertumbuhan ekonomi dan akhirnya mengatasi ketidakefisiensian
dan sampah yang mendukungnya. Bangunan adalah sebuah komponen utama
dalam transformasi ini.
Penulis

Worldatch

Institute

mencatat

bahwa

bangunan

hanya

mengkonsumsi dua per lima dari produksi energi dunia. Ini tidak termasuk energi
yang dibutuhkan untuk memanen, memproduksi dan mengirim material untuk
konstruksi dan pemeliharaan bangunan. Seperenam air yang dipompa dari alam di
konsumsi bangunan. Seperenam dari semua kayu yang dipanen berakhir
dibangunan (tidak memperhitungkan jumlah kayu yang digunakan untuk interior).

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

15

Gabungan dari konsumsi energi, air, kayu pada sebuah bangunan inilah yang
menjadi penyebab utama kerusakan lingkungan di planet ini (Lenssen N. and
D.M. Roodman, 1995). Berikut ini adalah peran bangunan dalam isu lingkungan :
1. Persentase konsumsi energi

Gambar 2.3. Diagram Konsumsi Energi oleh Bangunan


Sumber : Roodman, D. and N. Lenssen. "A Building Evolution: How Ecology and Health
Concerns Are Transforming Construction". World Watch Paper #124, March 1995.

2. Persentase dari konsumsi air oleh bangunan

Gambar 2.4. Diagram Konsumsi Air oleh Bangunan


Sumber: Roodman, D. and N. Lenssen. "A Building Evolution: How Ecology and Health
Concerns Are Transforming Construction". World Watch Paper #124, March 1995.

Universitas Indonesia
Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

16

3. Presentase konsumsi kayu oleh bangunan

Gambar 2.5. Diagram Konsumsi Kayu oleh Bangunan


Sumber : Roodman, D. and N. Lenssen. "A Building Evolution: How Ecology and Health
Concerns Are Transforming Construction". World Watch Paper #124, March 1995.

Pada pergantian milenium, ada 81 juta bangunan yang sedang beroperasi di


Amerika dan akan meningkat sebanyak 38 juta bangunan pada tahun 2010 . Ini
menggambarkan bahwa dalam kurun waktu satu dekade pertumbuhan bangunan
di Amerika telah mencapai 47%. Bangunan merupakan 50% dari kekayaan
nasional yang mempekerjakan banyak orang. Di Kanada, pertumbuhan industri
konstruksi per tahunnya mencapai 2%. Sedangkan di Indonesia, pertumbuhan
konstruksi bisa mencapai rata rata 7% per tahun (Muhanda,2010).

2.3

GREEN

BUILDING

KONSEP

GEDUNG

BERWAWASAN

LINGKUNGAN
Revolusi green building tidak hanya dikenalkan di Amerika tetapi juga
dibanyak negara. Revolusi ini diilhami oleh bangkitnya pengetahuan bahwa
bangunan menggunakan sumber daya alam, berdampak pada manusia, dan
berbahaya bagi lingkungan (Yudelson, 2008). Adanya revolusi ini juga didorong
oleh pengetahuan bahwa dunia memiliki waktu yang sedikit untuk merespon
perkembangan berbahaya dari perubahan iklim khususnya global warming dan
bangunan itu memiliki peran yang sangat besar dalam emisi karbondioksida yang
merupakan salah satu penggerak perubahan iklim global (Yudelson,2008).
Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

17

Menurut penelitian yang dilakukan oleh McKinsey (2007), sebuah


perusahaan konsultan internasional, menunjukkan bahwa perubahan dalam desain
bangunan dan konstruksi dapat mengurangi hingga enam milyar ton emisi karbon
tiap tahunnya melalui pengukuran dengan nol atau negatif net life cycle cost
(Yudelson, 2008). Jumlah ini diperlukan untuk menjaga agar emisi karbon
dibawah 450 bagian per milyar pada tahun 2030. Dengan kata lain, green building
menghemat emisi karbon dan uang pada saat bersamaan, melalui isolasi yang
efektif, air- conditioning (AC), pencahayaan dan ukuran efisiensi energi lainnya
(Yudelson, 2008).
Revolusi green building adalah bagian dari sebuah paradigma kearah
ketahanan, sebuah realisasi pertumbuhan bahwa cara hidup saat ini, yang sebagian
besar karena murah dan berlimpahnya bahan bakar fosil, tidak menyokong
kehidupan untuk kurun waktu jangka panjang. Revolusi green building bekerja
untuk semua industri, dalam semua kelompok pendapatan, dan dalam semua
kelompok tingkat sosial (Yudelson, 2008).

2.3.1 Sejarah Green Building


Pada akhir tahun 1980-an, American Institute of Architects (AIA)
menciptakan Committee on Environment (COTE)). Di seluruh Amerika dan
Kanada, arsitek mempunyai komitmen untuk membuat desain ke arah sustainable,
yang bekerja melalui COTE lokal yang sama baiknya dengan US Green Building
Counsil (Yuldeson, 2007).
Diciptakan pada tahun 1993, US green Building Council (USGBC)
bertujuan untuk mengubah bangunan industri ke dalam bentuk aktivitas yang
lebih ramah terhadap lingkungan (Yudelson, 2007). Dimulai pada pertengahan
tahun 1990-an, USGBC, dengan bantuan finansial dari Departemen Energi
Amerika Serikat, mengembangkan sebuah penilaian dan sistem evaluasi mengenai
hal-hal apa saja yang mewakili green building (Yudelson, 2007). Sistem pertama,
diberi nama Leadership in Energy and Environmental Design (LEED), untuk
konstruksi baru dan renovasi besar, dikemudikan atau diuji pada tahun 1998 dan
1999 pada sekitar 50 proyek di Amerika Serikat (Yuldeson, 2007). Pada Maret
2000, versi 2.0 dari LEED dikenalkan sebagai pembaharuan, revisi dan perluasan

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

18

versi dari LEED versi 2.0 yang asli dimana sejak versi 2.0 sudah ada banyak
perubahan besar (Yuldeson, 2007). Versi terbaru dari LEED adalah versi 3.0 yang
diluncurkan pada tanggal 27 April 2009 (US Green Building Counsil, 2009).
USGBC tumbuh dengan cepat sejak tahun 1998 dimana pada saat itu hanya
memiliki 100 anggota dan pada awal tahun 2007, jumlah anggotanya lebih dari
7700 badan hukum, institusi, organisasi pemerintah dan lembaga (tidak termasuk
anggota individual) (Yuldeson, 2007). Kemudian pada tahun 2004 didirikan
Canada Green Building Council (CaGBC), yang saat ini telah memiliki angota
lebih dari 1.300 anggota dengan cabang

dibeberapa provinsi.

CaGBC

menggunakan sistem evaluasi LEED tetapi telah mengalami penyesuaian dengan


kondisi di Kanada.

Pada tahun 2007, 225 proyek mendaftar untuk sertifikasi

standar LEED Kanada (Yuldeson,2007). Green building di Kanada tumbuh


dengan cepat, dengan spesial fokusnya pada efisiensi energi dan kualitas udara
dalam ruangan yang cocok untuk Kanada bagian utara dan iklim yang lebih
dingin.

2.3.2 Definisi Green Building


Berikut ini definisi dari Green Building:
1. Robert dan Brenda Vale, mendefinisikan green building sebagai sebuah
pendekatan

hijau

untuk

membangun

lingkungan,

meliputi

sebuah

pendekatan holistik untuk mendesain bangunan; semua sumber daya yang


masuk dalam sebuah gedung, material mereka, bahan bakar atau konstribusi
dari pengguna perlu dipertimbangkan, jika sebuah bangunan berkelanjutan
yang ingin dihasilkan (Woolley, Kimmin, Paul Harrison, and Rob Harison,
1997, p.5).
2. Menurut kamus dari jaringan A Public Private Partnership for Advancing
Housing Tecnology, green building adalah sebuah pendekatan konsep
desain dan penilaian bangunan yang memperkecil dampak lingkungan dan
mengurangi konsumsi energi dari bangunan dan mendukung kesehatan serta
produktivitas penghuninya (Aziz, 2005, p.60).
3. Menurut EPA pada publikasi website-nya menyatakan bahwa green
building adalah sebuah praktek dari menciptakan bangunan lebih sehat dan

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

19

lebih dari sekedar model efisiensi sumberdaya dari konstruksi, renovasi,


operasi, pemeliharaan, dan perobohan (Aziz, 2005, p.60).
4. Menurut International Initiative for a Sustainable Built Environment
(ITSBE), green building adalah kesatuan bangunan yang utuh yang
mempunyai perfoma sempurna dengan parameter kunci yang mencakup
konsumsi energi, emisi, dampak ekologis dan lingkungan dalam ruangan.
Bangunan berkelanjutan adalah suatu bangunan hijau (green building)
yang juga mempertimbangkan faktor sosial dan ekonomi (Aziz, 2005, p.61).
5. Menurut Green Building Program Austin Energy, dari Kota Austin, Texas
menyatakan bahwa green building adalah suatu bangunan utuh dengan
pendekatan sistem untuk disain dan teknik konstruksi yang memperkecil
dampak lingkungan dan mengurangi konsumsi energi dari bangunan yang
berkonstribusi pada kesehatan dan produktivitas penghuninya (Aziz, 2005,
p.61).
6. Menurut Building Services Research and Information Association (BSRIA),
sebuah badan industri konstruksi tendensi, mendefinisikan konstruksi
berkelanjutan (sustainable construction) sebagai penciptaan dan tanggung
jawab pengelolaan lingkungan yang sehat yang didasarkan pada efisiendi
energi dan prinsip ekologis[18]. BSRIA menjelaskan bahwa prinsip
ekologis dalam konstruksi berkelanjutan meliputi (Woolley, Kimmin, Paul
Harrison, and Rob Harison, 1997, p.6):
-

Meminimalkan konsumsi sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui

Meningkatkan lingkungan alam

Menghilangkan dan meminimalkan penggunaan racun

Jadi, green building merupakan kombinasi efisiensi energi dan


dampak material pada penghuni. Konsultan, Sustainable Development
Services di Settle, USA, yang menyediakan pelayanan konsultasi khusus
kepada klien, menjelaskan bahwa mereka menyediakan analisis dan
mengintegrasikan solusi pada area fungsi sebagai berikut (Woolley,
Kimmin, Paul Harrison, and Rob Harison, 1997, p.6):
-

Konservasi energi

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

20

Pencegahan polusi

Efisiensi energi

Integrasi sistem

Life cycle costing

Dari definisi-definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa green building


adalah bangunan yang berwawasan lingkungan, sehingga definisi green building
menurut peneliti adalah sebuah konsep penilainan atas bangunan gedung yang
berkelanjutan (sustainable building) yang ramah terhadap lingkungan, menghemat
penggunaan bahan bakar, mempertimbangkan faktor sosial dan ekonomi serta
berkonstribusi dalam peningkatan kesehatan dan produktivitas penghuninya.
Bangunan yang berkelanjutan mempertimbangkan penggunaan upaya
penghematan dan penggunaan bahan baku ramah lingkungan. Konsep bangunan
berkelanjutan ini mempertimbangkan penggunaan sumber daya secara bijaksana
agar bermanfaat untuk generasi sekarang dan generasi berikutnya.

2.3.3 Prinsip Green Building


Prinsip dasar dari green building adalah:
a. Desain berkelanjutan(Woolley, Kimmin, Paul Harrison, and Rob Harison,
1997; MoU,2006; Fischer,2010;
Kunci dari prinsip ini adalah:
-

Meminimalkan kerusakan yang tidak dibutuhkan terhadap nilai lahan,


habitat, dan ruang hijau.

Mendorong pengembangan perkotaan yang kepadatannya lebih tinggi,


pengembangan kembali perkotaan dan pembaharuan perkotaan, dan
pengembangan brownfield sebagai sebuah arti untuk menjaga ruang
hijau. Kunci menjaga pengaturan lingkungan adalah melalui pengujian
secara hati-hati setiap lahan.

Menggunakan desain dan proses konstruksi yang seminimal mungkin


menggangu lahan dan nilainya, menjaga dan memperbaiki dengan
sungguh-sungguh atau memperbaharui habitat yang berharga, ruang

Universitas Indonesia
Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

21

hijau dan eko-sistem merupakan hal yang vital untuk mendukung


kehidupan.

b. Konservasi dan kualitas air (Woolley, Kimmin, Paul Harrison, and Rob
Harison, 1997;MoU,2006; Fischer,2010; kats,2003;
Untuk menjaga konservasi dan kualitas air dapat dilakukan dengan
mempertahankan siklus air alami yang sudah ada. Selain itu, juga dapat
dilakukan dengan meminimalkan penggunaan yang tidak perlu dan tidak
efisien dari air minum. Sementara itu memaksimalkan daur ulang dan
penggunaan kembali air, termasuk penggunaan air hujan, storm water, dan
gray water (air bekas kamar mandi, tidak termasuk air dari toilet).

c. Lingkungan dan energi (Woolley, Kimmin, Paul Harrison, and Rob Harison,
1997;MoU,2006; Fischer,2010;
Kunci dari prinsip ini adalah:
-

Meminimalkan dampak yang merugikan pada lingkungan (udara, air,


sumberdaya alami) melalui optimasi lahan bangunan, optimasi desain
bangunan, pemilihan material, dan agresif menggunakan pengukur
konservasi energi.

Menghasilkan

bangunan

yang

prestasinya

melebihi

tingkat

pemenuhan International Energy Code (IEC) mencapai 30 40 %


atau lebih. Memaksimalkan penggunaan energi terbaharukan dan
sumber energi yang berdampak rendah terhadap lingkungan.

d. Kualitas lingkungan ruangan (Woolley, Kimmin, Paul Harrison, and Rob


Harison, 1997;
Kunci prinsip ini adalah menyediakan kesehatan, kenyamanan, dan
produktivitas

lingkungan ruangan untuk penghuni dan pengunjung

bangunan. Kunci prinsip ini lainnya adalah menghasilkan sebuah desain


bangunan, yang memiliki kondisi yang paling baik yang berhubungan
dengan kualitas udara dalam ruangan, ventilasi, suhu yang nyaman, akses
ventilasi dan pencahayaan alami pada waktu siang hari.

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

22

e. Sumber daya dan material (Woolley, Kimmin, Paul Harrison, and Rob
Harison, 1997; Fischer, 2010; kats,2003;
Kunci dari prinsip ini adalah meminimalkan penggunaan material
konstruksi yang tidak dapat diperbaharui dan sumberdaya lainnya seperti
energi dan air melalui teknik, desain, perencanaan, dan konstruksi yang
efisien dan daur ulang yang efektif dari robohan konstruksi. Selain itu juga
memaksimalkan penggunaan material daur ulang, material modern yang
efisien, dan sumberdaya komposit yang efisien terhadap bentuk struktur.

2.3.4 LEED
Menurut USBGC, LEED (Leadership in Energy and Enviromental Design)
Green Building Rating System adalah sebuah volunter, standar nasional
berdasarkan konsensus untuk mengembangkan prestasi yang tinggi untuk
bangunan berkelanjutan (MAPEI, 2006, p.4). LEED memberikan pemilik
bangunan dan operator alat yang mereka perlukan untuk merasakan dampak
langsung dan terukur pada kinerja bangunan mereka. LEED mempromosikan
seluruh pendekatan pembangunan berkelanjutan dengan mengakui kinerja dalam
lima bidang utama kesehatan manusia dan lingkungan: pengembangan lahan
berkelanjutan, penghematan air, efisiensi energi, pemilihan bahan dan kualitas
lingkungan dalam ruangan (Yudelson, 2008, p.13-14). LEED diciptakan untuk
(MAPEI, 2006, p.4):
-

Mendefinisikan green buildingdengan menetapkan sebuah standar umum


untuk pengukuran.

Mempromosikan

secara

terpadu,

praktek

desain

bangunan

secara

keseluruhan
-

Memperkenalkan kepemimpinan lingkungan dalam industri bangunan

Merangsang kompetisi hijau

Meningkatkan kesadaran konsumen akan keuntungan green building

Mengubah pasar bangunan

Universitas Indonesia
Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

23

Ada beberapa hal yang meliputi luasnya sebagian besar proyek LEED,
adalah sebagai berikut (Galzone, 2006):

LEED untuk konstruksi baru, atau LEED NC

LEED untuk Core dan Shell (bangunan spekulatif), atau LEED- CS

LEED Untuk interior komersial (memperbaiki sewa dan mengubah bentuk),


atau LEED CI

LEED untuk bangunan eksiting (meningkatkan, pengoperasian dan


perawatan), atau LEED EB

LEED untuk perumahan, LEED H

LEED Neigborhood development, LEED ND

LEED Aplication Guides (Retail, komplek bangunan/ kampus, sekolah,


pusat kesehatan, laboratorium, penginapan)
Setiap sistem pemilihan LEED memiliki bilangan yang berbeda dari total

point, sehingga penilaian dapat dibandingkan hanya dalam setiap sistem,


meskipun metode untuk memberi penghargaan prestasi adalah identik. Sertifikasi
LEED yang diberikan adalah sebagai berikut [22]:

Certified : proyek memiliki nilai lebih dari 40% dari dasar, atau utama, pada
point dalam sistem

Silver; proyek memiliki nilai lebih dari 50% dari poin utama

Gold proyek memiliki nilai lebih dari 60% dari poin utama.

Platinum : proyek memiliki nilai lebih dari 80% dari poin utama.

2.3.5 Greenship Rating Tools


Pemberian rating green building di Indonesia menggunakan Greenship
Rating System yang disusun oleh Indonesia Green Building Council. Penyusunan
greenship ini didukung oleh Wold Green Building Council. Greenship Rating
System adalah suatu alat yang berisi butir-butir dari aspek penilaian yang disebut
rating dan setiap butir rating mempunyai nilai (credit point/poin). Apabila suatu
bangunan berhasil melaksanakan butir rating, maka bangunan tersebut akan
mendapatkan poin nilai dari butir tesebut. Bila jumlah poin nilai yang berhasil
dikumpulkan mencapai suatu jumlah yang ditentukan, maka bangunan tersebut
dapat disertifikasi untuk tingkat sertifikasi tertentu. Namun sebelum mencapai
Universitas Indonesia
Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

24

tahap penilaian rating terlebih dahulu dilakukan kajian bangunan untuk


pemenuhan persyaratan awal penilaian (eligibilitas). Berikut ini aspek-aspek
penilainan dalam Greenship (Green Building Counsil Indonesia, n.d):

Tepat Guna Lahan (Appropriate Site Development/ASD)


Pemilihan dan pembangunan tapak yang mempertimbangkan prinsip-prinsip
ekologi serta mengikuti ilmu guna lahan dan bangunan, dapat mengurangi
dampak negatif pada

lingkungan lahan dan bangunan, meningkatkan

kenyamanan manusia, serta memberikan kemudahan dalam aktivitas seharihari. Dengan demikian, pembangunan yang terjadi diharapkan tidak
membebani daya dukung tapak melebihi dari daya dukung maksimum.

Efisiensi Energi & Refrigeran (Energy Efficiency & Refrigerant/EER)


Melakukan konservasi energi dengan menyadari dampaknya terhadap
lingkungan dan menggunakan refrigeran ramah lingkungan.

Konservasi Air (Water Conservation/WAC)


Melakukan upaya penghematan air dalam mewujudkan kesinambungan
penyediaan air bersih untuk masa depan misalnya dengan cara lansekap
hemat air, mengurangi pemakaian air, mengatur keluaran air, dan lain-lain.

Sumber & Siklus Material (Material Resources & Cycle/MRC)


Mengoptimalkan suatu material sehingga dapat memperpanjang daur
hidupnya.

Kualitas Udara & Kenyamanan Udara (Indoor Air Health & Comfort/IHC)
Manjaga kualitas udara dalam ruang yag berdampak penting bagi kesehatan
dan kenyamanan manusia.

Manajemen Lingkungan Bangunan (Building & Enviroment Management)


Menciptakan suatu panduan pengelolaan gedung yang mengarah dan
memperhatikan etika lingkungan.

2.3.6 Perkembangan Green Building di Indonesia


Pesatnya perkembangan infrastruktur di Indonesia masih miskin konsep
green building atau bangunan hijau yang ramah lingkungan. Meskipun Indonesia
mengalami perkembangan infrastruktur yang pesat beberapa tahun terakhir ini,
namun kemajuannya belum disertai dengan pemahaman para pengembang untuk

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

25

mendirikan bangunan dengan konsep ramah lingkungan. Konsep green building


di Indonesia masih tahap awal dan memerlukan banyak sosialisasi.
Salah satu bentuk komitmen Indonesia terhadap konsep bangunan ramah
lingkungan adalah dengan didirikannya Konsil Bangunan Hijau Indonesia atau
Green Building Council Indonesia (GBCI) pada tahun 2009. GBCI melakukan
berbagai kegiatan pendidikan masyarakat secara luas serta menyelenggarakan
Sertifikasi Bangunan Hijau di Indonesia berdasarkan perangkat penilaian yang
dikenal dengan nama Greenship.

2.4

VALUE ENGINEERING
Bagian ini terdiri dari sejarah munculnya value engineering (VE) , definisi

tentang VE, definisi nilai, tahapan tahapan dalam melalukan VE, serta
perkembangan VE di Indonesia.

2.4.1 Sejarah dan filosofi VE


Value Engineering (VE) dikembangkan pertama kali oleh Lawrence D.
Miles pada tahun 1940-an di perusahaan General Electric, guna menyelesaikan
masalah kurangnya material penting dari produk yang akan mereka produksi
selama perang dunia kedua (Priyanto, 2010). Pada awalnya, VE bernama analisis
nilai (Value Analysis/VA) dengan pondasi kunci adalah fungsi. Pada mulanya
fungsi ini mengkaji setiap komponen bagian dari perubahan/bagian dari produk
eksiting. Pada perkembangannya, metode analisis ini mengalami perubahan
konteks, yaitu dari pengkajian terhadap bagian produk eksiting ke peningkatan
rancangan konsep, oleh karena itu nama value enguneering (VE) muncul sebagai
bentuk penyesuaian terhadap perubahan konteks tersebut (Priyanto, 2010).
Selama perkembangannnya banyak pengetahuan dan inovasi yang dihasilkan oleh
para praktisis VE. Guna berbagai pengetahuan dan inovasi, pada tahun 1959, para
praktisi membentuk asosiasi pembelajaran di Washington, DC dengan nama
Society of American Value Engineers (SAVE) (Priyanto, 2010). Dalam waktu
yang relatif singkat, metode ini telah tersebar luas diseluruh dunia dan banyak
tools, teknik, dan proses lain yang dikembangkan dalam metode ini. Untuk

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

26

menarik para pengembang dan praktisi dari tools, teknik, dan proses lain menjadi
anggota SAVE, maka pada tahun 1996, nama asosiasi ini diubah menjadi SAVE
International (Priyanto, 2010).
Dalam uraian singkat mengenai perkembangan VE yang dimuat dalam buku
standar SAVE International (2007), tersirat adanya filosofi VE yang memberi
kemudahan bagi upaya memahami konsep VE. Filosofi VE tersebut adalah
menyediakan cara pengelolaan nilai (value) dan upaya peningkatan inovasi yang
sistematik guna memberikan keunggulan daya saing bagi sebuah produk yang
akan dirakit, karena produk-produk dibeli untuk apa yang dapat mereka lakukan
(fungsi dari produk), baik melalui pekerjaan yang mereka dapat lakukan atau
kualitas estetika yang mereka sediakan (Priyanto, 2010). Untuk dapat fokus pada
pemahaman fungsi, maka fungsi di definisikan dengan menggunakan gabungan
kata aktif (active verb) dan kata benda yang diukur (measure noun) yang dapat
memberikan karakteristik manfaat dari fungsi yang dimaksud. Oleh karena itu,
metode ini menempatkan analisis fungsi sebagai pondasi kunci. Analisis fungsi
terus dikembangkan dan menjadi tool untuk membantu individu dan tim
memahami sebuah konsep melalui fungsi-fungsinya guna memutuskan apakah
desain dapat ditingkatkan atau diadakan material atau konsep lain yang dapat
memenuhi fungsi tersebut.

2.4.2 Definisi dan Konsep Nilai (Value)


Seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya bahwa nilai
(value) merupakan sesuatu yang dikelola dalam pengelolaan nilai. Nilai (value)
dari sebuah subyek tidak dapat digeneralisir dan tidak dapat didefiniskan secara
akurat karena nilai merupakan fungsi waktu, orang, subyek, dan kondisi. Menurut
Snodgrass dan Kasi (1986), sebuah nilai tidak bisa ditetapkan hanya dengan
mempertimbangkan subyek itu sendiri, oleh karena itu tim harus menetapkan
terlebih dahulu alat ukur nilai (value) (Priyanto, 2010).

Masing-masing

komponen seharusnya diukur kinerjanya dengan alat ukur ini.


Menurut standar SAVE (2007), Nilai (value) adalah sebuah pernyataan
hubungan antara fungsi-fungsi dan sumber daya. Secara umum nilai (value)
digambarkan melalui hubungan sebagai berikut (Priyanto, 2010):

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

27

Nilai (Value) Fungsi / Sumber Daya

Dimana fungsi diukur dalam kinerja yang dipersyaratkan oleh pelanggan.


Sedangkan sumber daya diukur dalam jumlah material, tenaga kerja, harga,
waktu, dan nilai nilai yang diperlukan untuk menyelesaikan fungsi tersebut.
Sementara itu, menurut Dell Isola (1997) ada 3 elemen dasar yang
diperlukan untuk mengukur sebuah nilai (value) yaitu fungsi (function), kualitas
(quality), dan biaya (cost) (Dell Isola). Tiga elemen ini dapat diinterprestasikan
melalui hubungan dibawah ini :

Value =

Function+Quality
Cost

Dimana ;
Function = pekerjaan tertentu yang sebuah desain/ item harus lakukan
Quality

= kebutuhan, keinginan, dan harapan pemilik atau pengguna

Cost

= biaya siklus hidup dari sebuah produk/ proyek

Definisi lain datang datang dari Carlos Fallon dalam buku Mohd. Mazlan
Haji Che Mat (2002) berjudul Value Management : Principle And Aplications :
Towards Achieving Better Value For Money, Pearson Malaysia Sdn. Bhd.,p.3
(Priyanto, 2010).
Value =

Worth
Cost

Dimana ;
Worth

Biaya yang paling minimum untuk menyediakan fungsi yang


diperlukan dan kinerja yang dipersyaratkan dengan cara
membandingkan biaya dari Unit unit yang memiliki fungsi
yang sama.

Cost

Biaya siklus hidup dari produk / proyek

Menurut Kelly t.al, nilai didefinisikan sebagai hubungan antara biaya, mutu,
dan waktu dimana mutu tersebut terdiri dari sejumlah variabel yang ditentukan
berdasar pengetahuan dan pengalaman seorang individu atau beberapa individu
Universitas Indonesia
Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

28

dalam sebuah kelompok, yang dibuat eksplisit untuk maksud membuat pilihan
diantara berbagai pilihan yang cocok secara fungsi (Priyanto, 2010). Oleh karena
itu, sistem nilai yang dibuat eksplisit merupakan gambaran pada waktu tertentu
dari berbagai variabel terhadap semua keputusan yang mempengaruhi bisnis inti
atau proyek, sehingga dapat diaudit.
Berdasarkan definisi nilai diatas, Kellly et.al.,(2004) menjelaskan bahwa nilai
desain bangunan gedung dapat diuraikan dan diukur melalui beberapa komponen
berikut ini (Priyanto, 2010):
-

Time, dari saat ini hingga selesainya proyek, titik ketika poryek berakhir
dan masuk kembali ke bisnis pelanggan inti.

Capital Cost (CAPEX) adalah semua biaya yang diasosiasikan dengan


semua biaya modal dari proyek.

Operating Cost (OPEX) mengacu pada semua biaya yang dikeluarkan


terkait dengan aktivitas operasional dan pemeliharaan.

Environment

mengacu pada sejauh mana proyek-proyek tersebut

menghasilkan sebuah pendekatan simpatik terhadap lingkungan, yang


diukur dengan dampaknya terhadap pendekatan lingkungan lokal dan
global, penguasaan energi, penggunaan energi, dan isu-isu green
lainnya.
-

Excange atau resale adalah nilai uang dari proyek.

Flexibility menggambarkan sejauh mana parameter-parameter proyek


harus mencerminkan sebuah perubahan lingkungan yang terus menerus di
dalam desain.

Esteem adalah sejauh mana pelanggan berkeinginan untuk memenuhi


komitmen

terhadap

menggambarkan

penyediaan

sumber

penghargaan/kemuliaan

daya

bagi estetika

(esteem)

organsasi,

atau
secara

internal dan eksternal.


-

Comfort adalah kenyamanan fisik bdan psikologis dari bangunan gedung


sebagai tempat untuk bekerja dan tinggal.

Politics adalah sebuah dimensi eksternal yang mengacu pada sejauh mana
isu-isu komunitas,

popularitas,

dan kepedulian

lingkungan

(good

neighbour) merupakan hal-hal penting bagi pelanggan.

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

29

Berdasarkan definis-definisi nilai diatas, maka defini oleh Kelly et. El., yang
paling cocok digunakan pada definisi VE dalam penerapan VE untuk efisiensi
biaya bangunan berkonsep green building.

2.4.3 Definisi VE
Definisi VE perlu dipahami untuk memberiakan gambaran yang jelas
mengenai VE. Definisi VE tersebut antara lain sebagai berikut (Priyanto, 2010):
1. Value

Engineering

(VE)

adalah

aplikasi

metodologi

nilai

(value

methodology) pada sebuah proyek atau layanan yang telah direncanakan


atau dikonsepkan untuk mencapai peningkatan nilai (value). Metodologi
nilai adalah sebuah proses sistematis yang digunakan oleh disiplin untuk
meningkatkan nilai (value) dari sebuah pryek melalui analisa terhadap
fungsi-fungsinya. (standar SAVE, 2007).
2. Value Engineering (VE) adalah sebuah upaya terorganisir diarahkan pada
analisa fungsi-fungsi dari sistem, perlengkapan, fasilitas, jasa layanan dan
jasa penyediaan untuk mencapai tujuan yang signifikan pada siklus hidup
(life-cycle cost) yang paling rendah, konsisten dengan persyaratan kinerja
(perfomance), kepercayaan (reliability), mutu(quality) dan keamanan
(safety) (PBS PQ250. 1992, PBS PQ251, 1993)
3. Value Engineering (VE) adalah suatu sistem pemecahan masalah yang
dilaksanakan dengan menggunakan kumpulan teknik tertentu, ilmu
pengetahuan, tim ahli, pendekatan kreatif terorganisir yang memiliki tujuan
untuk mendefinisikan dan menghilangkan biaya-biaya yang tidak diperlukan
seperti biaya yang tidak memberikan konstribusi bagi mutu, kegunaan,
umur, dan penampilan produk serta daya tarik konsumen (Miles, 1972).
4. Value Engineering (VE) adalah suatu pendekatan tim profesional yang
dalam penerapannya berorientasi pada fungsi dan dilakukan secara
sistematis yang digunakan untuk menganalisis dan meningkatkan nilai
(value) suatu produk, desain fasilitas, sistem, atau layanan. VE merupakan
suatu metodologi yang baik untuk memecahkan masalah dan atau
mengurangi biaya namun tetap dapat meningkatkan persyaratan kinerja atau
kualitasyang ditetapkan (Siciety of American Value Engineers, 2009).

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

30

5. Value Engineering

adalah sebuah prosedur ketat yang diarahkan pada

pencapaian fungsi yang dibutuhkan dengan biaya minimum tanpa


mengurangi mutu, tingkat kepercayaan, kinerja dan waktu penyerahan
(delivery) (Short et al.,2007).
6. Value Engineering (VE) adalah pendekatan tim yang berorientasi fungsi
yang terorganisir dan terarah untuk menganalis fungsi-fungsi dari produk,
sistem, atau proses penyediaan, untuk tujuan meningkatkan nilainya (value)
dengan mengidentifikasi dan menghilangkan biaya-biaya yang tidak
diperlukan dan mencapai kinerja yang dibutuhkan pada biaya siklus hidup
proyek paling rendah (Fong, 1998).
7. Value Enginnering (VE) adalah sebuah upaya terorganisir yang diarahkan
pada analisis fungsi dari barang-barang dan jasa-jasa layanan dengan
maksud untuk mencapai fungsi-fungsi dasar biaya total paling kecil,
konsistensi dengan pencapaian karakteristik yang diperlukan. VE adalah
sebuah proses dengan menggunakan tim dari berbagai disiplin ilmu untuk
mengkaji proyek dan menggunakan standar untuk mengidentifikasi fungsifungsi biaya tinggi beserta potensi peningkatanya. Tim mengikuti
keseluruhan rangkaian job plan VE yang sistematik dan kreatif untuk
menetapkan nilai (value) optimum

dari fungsi yang dipilih. Berbagai

alternatif, yang akan menyediakan fungsi yang diperlukan dengan biaya


modal awal dan atau biaya siklus hidup yang paling ekonomis,
dikembangkan yang secara konsisten memenuhi persyaratan keamanan,
mutu, operasional, pemeliharaan, dan estetika (Younker, 2003).
8. Value Engineering
menyediakan

sebuah

adalah sebuah teknik pemecahan masalah yang


pendekatan

terorganisir/terstruktur

dengan

menekankan pada pertimbangan yang cermat terhadap faktor-faktor penting


dalam analisa fungsi dan pengembangan solusi-solusi kreatif. (Kasi dan
Snodgrass, 1994).
9. Value Engineering adalah pendekatan yang sistematis, terorganisisr,
berorientasi pada fungsi dan tim yang multi disiplin (Shen dan Liu, 2007).

Universitas Indonesia
Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

31

Berdasarkan uraian mengenai definisi VE diatas maka dapat diambil


kesimpulan bahwa VE adalah sistem penyelesaian masalah dengan berorientasi
pada nilai (value) dan dilakukan dengan pendekatan yang sistematis, kreatif dan
terorganisir dengan pertimbangan yang cermat terhadap faktor-faktor penting, dan
bertujuan untuk meminimalkan biaya tanpa mengurangi mutu, kegunaan, umur,
dan penampilan produk.
Menurut Leuuw (2010), dalam praktek VE, pemahaman yang kurang tepat
tentang konsep VE banyak terjadi dikalangan praktisi industri konstruksi, seperti
VE dianggap sebagai review desain, atau upaya pemotongan biaya (cost cutting),
atau sebagai upaya standarisasi (Priyanto, 2010).Berbagai pendapat para pakar
mengenai VE adalah sebagai berikut (Priyanto, 2010):
1. VE bukan apa yang selama ini dilakukan secara rutin oleh para perencana
dan perancang denga reputasi yang bagus. VE bukan bagian dari proses
pengambangan rencana. Upaya VE dilakukan lebih serius dibandingkan
dengan sebuah upaya review proyek/ desain.
2. VE bukan upaya pendekatan untuk pengurangan biaya (cost reduction).
Dalam VE, pengurangan biaya dicapai dengan membuat desain yang lebih
efisien tanpa mengurangi kinerja (perfomance) tingkat kepercayaan
(reliability), atau kemampuan untuk tetap terpelihara (maintainability).
Sebaliknya, upaya pengurangan biaya (cost reduction) menekankan pada
sustitusi material, mengurangi atau menghilangkan elemen-elemen tertentu.
Pendekatan ini seringkali berhasil dengan menurunkan kualitas, atau
mengurangi kinerja.
3. Pelaksanaan VE tidak sama dengan review quality assurance (QA). Secara
tradisional QA akan menjawab pertanyaan seperti apakah desain telah
memenuhi persyaratan peraturan?; akankah desain dapat bekerja?; dan
apakah desain telah memenuhi standar praktek pada umumnya?. Sementara
VE akan menjawab pertanyaan tersebut: apakah ada yang lain yang akan
mencapai fungsi yang sama dengan LCC yang lebih rendah?; dan fungsifungsi apa yang tidak berhubungan dengan kinerja proyek?
4. VE tidak dimaksudkan untuk mempermasalahkan atau memperburuk upayaupaya yang telah dilakukan oleh para perencana. VE adalah tool manajemen

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

32

yang dimaksudkan untuk memasukkan beberapa perbaikan kedalam


pekerjaan yang sudah dilakukan dengan sangat baik.
5. Banyak dari para perencana profesional dan kontraktor menganggap VE
sama dengan review desain (design review) dan perencana biaya (cost
planning). Beberapa kelemahan dari review desain (desain review) dan
perencanaan biaya (cost planning) (Mohd. Mazlan Haji Che Mat, 2002),
yaitu :
a) Tidak berorinetasi pada fungsi.
b) Tidak melibatkan tim multidisiplin.
c) Tidak memiliki berbagai tool dan teknik untuk membuat keputusan
d) Jarang memanfaatkan sudut pandang lain dari profesiaonal yang
sangat berpengalaman.
e) Jarang mempertimbangkan LCC dalam mengambil keputusan.
f) Jarang melibatkan pelanggan atau yang mewakilinya.
g) Tidak menghasilkan banyak solusi alternatif.
6. Beberapa profesional jasa konstruksi menganggap VE terhadap apa yang
mereka telah dilakukan selama ini. Untuk beberapa hal tertentu, hal ini
mungkin saja benar. Karena praktek yang ada selama ini bisa mendapatkan
value for money hanya beberapa kali, VE justru mendapatkan value for
money dengan baik setiap kali digunakan (Connaughton, JN AND Green,
S.D., 1996).
7. Berdasarkan definisi VE yang ada, Leuuw(2001) berpendapat bahwa VE
bukanlah sebuah:
a) Review desain yang berpotensi konflik.
b) Upaya pemotongan biaya (cost cutting).
c) Upaya standarisasi.
2.4.5 Alasan Alasan untuk Unnecessary Cost
Pelaksanaan proyek konstruksi sering terjadi overbuget, hal ini terjadi
kareana adanya biaya-biaya yang tidak perlu (Unnecessery Cost).

Universitas Indonesia
Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

33

Dell Isola (1997) menguraikan mengenai alasan-alasan biaya yang tidak perlu
antara lain (p.xxii):
1. Kurangnya Informasi,
Data

yang

tidak

cukup

mengenai

fungsi

owner/

pengguna

inginkan/butuhkan dan informasi material baru, produk, yang dapat


mempertemukan kebutuhan ini
2. Kekurangan ide.
Kegagalan untuk mengembangkan solusi alternatif, di beberapa kasus,
pembuat keputusan menerima solusi pertama yang terlintas dipikirannya.
Kecenderungn ini selalu mendatangkan unnecessery cost , yang dapat
dieliminasi dengan menuntut pengembangan ide alternatif tambahan dan
kemudian membuat keputusan yang didasarkan pada ekonomi dan prestasi.
3. Keadaan sementar
Desain, jadwal dan pengiriman yang mendesak dapat memaksa pembuat
keputusan mencapai kesimpulan cepat untuk memenuhi persyaratan waktu
tanpa memperhatikan nilai yang baik.
4. Kepercayaan yang salah
Unnecesery cost juga sering disebabkan oleh keputusan yang didasarkan
pada apa yang pembuat keputusan percaya sebagai keputusan yang benar,
daripada mempertimbangkan pada kondisi nyata. Hal ini dapat menghalangi
ide bagus.
5. Kebiasaan dan perilaku
Manusia menciptakan kebiasaan. Sebuah kebiasaan adalah bentuk dari
respon, melaukan hal yang sama, cara yang sama, pada kondisi yang sama.
Kebiasaan adalah reaksi dan respon yang orang pelajari secara otomatis,
tanpa berpikir atau memutuskan. Kebiasaan adalah bagian yang penting
dari kehidupan, tetapi ada satu hala yang harus dipertanyakan, Apakah
saya melakukan cara ini karena ini adalah cara yang terbaik, karena saya
merasa nyaman dengan metode ini, atau karena saya selalu melakukan cara
ini!

Universitas Indonesia
Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

34

6. Perubahan kebutuhan owner


Sering, kebutuhan baru owner memaksa perubahan selama desain atau
konstruksi yang meningkatkan biaya dan merubah jadwal. Pada banyak
kasus ower tidak mempertimbangkan dampak dari perubahan ini.
7. Kurangnya komunikasi dan koordinasi
Kurangnya komunikasi dan

informasi

adalah alasan utama untuk

unnecesery cost. VE membuka saluran komunikasi bahwa alat diskusi


persoalan dan mengijinkan mengepresikan pendapat.
8. Standar dan spesifikasi yang Kuno. Beberapa standar dan spesifikasi yang
digunakan dalam konstruksi berumur kurang dari sepuluh tahu. Sebagai
teknologi yang baru, pembaharuan berkelanjutan terhadap data diperlukan,
tetapi ini sering kali tidak sempurna. VE membantu untuk mengisolasi dan
fokus pada teknologi dan standar baru dimana biaya tinggi dan nilai jelek
mungkin terjadi.
Setiap alasan untuk nilai yang jelek ini menyediakan sebuah kesempatan
untuk memperbaiki keputusan yang dibuat dan sebuah area dimana upaya value
engineering adalah tindakan yang tepat.
2.4.5 Elemen Elemen Penting Dalam VE
Elemen elemen VE ini digunakan untuk membantu dalam analisis VE
Elemen ini terdiri dari (Ustoyo, 2007):
1. pemilihan komponen proyek untuk studi VE
2. pembiayaan untuk nilai
3. permodelan biaya
4. pendekatan fungsional
5. Teknik sistem analisa fungsi (Functional Analysis System Technique
FAST)
6. Rancana kerja VE
7. Kreativitas
8. Penentuan dan pembiayaan program VE
9. Kedinamisan manusia, dan

Universitas Indonesia
Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

35

10. Pengaturan hubungan antara pemilik, perancang, dan konsultan VE


Setiap elemen tersebut diatas harus digunakan dalan studi VE untuk sebuah
proyek.

2.4.6 Metodelogi Value Engineering


Pada bagian ini akan dibahas mengenai metodologi Value engineering dan
tools yang digunakan untuk studi VE.

2.4.6.1 Metodologi Baku Value Engineering


Metodologi baku untuk melalukan kajian VE menurut SAVE 2007 dibagi
menjadi 3 tingkat yaitu:

Gambar 2.6. Diagram Flow Proses Studi nilai

Universitas Indonesia
Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

36

1. Pre-Workshop Activities
Tahap ini bertujuan untuk merencanakan dan mangatur Value Study.
Pertanyaan dasar yang digunakan pada tahap ini adalah apa yang harus
dilakukan untuk menyiapkan Value Study?
Aktivitas yang dilakukan pada tahap ini adalah:
-

Mendapatkan persetujuan dari manajemen senior dan dukungan yang


berhubungan dengan job plan, peraturan-peraturan dan tanggung jawab.

Mengembangkan scope dan sasaran value study.

Mendapatkan data dan informasi proyek.

Mendapatkan dokumen kunci seperti lingkup definisi pekerjaan, gambar,


laporan spesifikasi, dan perkiraan proyek.

Mengidentifikasi dan memprioritaskan strategi masalah yang sedang


diperhatikan.

Menentukan scope dan sasaran penyelidikan.

Mengembangkan jadwal penyelidikan.

Melakukan analisis benchmarking yang kompetitif.

Mengidentifikasi anggota Value Team.

Mendapatkan komitmen dari anggota tim yang telah dipilih untuk mencapai
sasaran proyek.

Mereview biaya proyek.

Mengumpulkan informasi konsumen/pengguna proyek.

Jika waktunya tepat, mengundang suppliers, konsumen, atau stakeholder


untuk berpartisipasi dalam Value Study.

Mendistribusikan informasi ke anggota tim untuk direview.

Mengembangkan diagram dan model informasi tentang proyek.

Menentukan tanggal, waktu, lokasi penyelidikan dan logika lain yang


diperlukan.

Mendefinisikan secara jelas, dengan manajemen senior, persyaratan untuk


kesuksesan hasil Value Study.

2. Workshop (Job Plan) Activities


Workshop (Job Plan) activities ini terdiri dari 6 tahap yang yaitu:

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

37

a. Tahap Informasi
Menurut Zimmerman(1982) sesuai dengan yang dikutip saudara
Afandi, tahap informasi dalam VE ditunjukkan untuk mendapatkan
informasi

seoptimal mungkin dari tahap desain suatu proyek (Afandi,

2010). Informasi tersebut antara lain berupa latar belakang yang


memberikan informasi yang membawa kepada desain proyek, asumsiasumsi yang digunakan, dan sensitivitas dari biaya yang diperlukan dalam
bangunan green building. Menurut standar SAVE 2007, aktifitas-aktifitas
yang umum dilaksanakan pada tahap ini adalah:
1. Mendapatkan data proyek dan informasi dan dokumen kunci seperti
scope

definisi

pekerjaan,

gambar-gambar,

laporan

spesifikasi,informasi detail biaya proyek, data kualitas, inforamsi


pemasaran, flow charts proses, dan lain-lain. Tool yang digunakan
antara lain: Quality Function Deployment, Voice of Customer.
2. Mengidentifikasi dan memprioritaskan pada masalah yang sedang
diamati. Selanjutnya mendefinisikan scope dan sasaran studi. Tool
yang dapat digunakan antara lain: SWOT (Strengths, Weakness,
Opportunities, and Threats), Project Charter.
3. Tim proyek mempresentasikan konsep proses/ produk/ desain saat ini
dan yang asli.
4. Menyelenggarakan analisis benchmarking yang kompetitif. Tool yang
apat digunakan adalah Bechmarking, Tera Down Analysis, Pareto
Analysis, Design For Assembly.
5.

Menentukan jadwal studi; tanggal, waktu, lokasi dan kebutuhan


lainnya.

6. Mendistribusikan informasi proyek kepada anggota tim VE untuk


direview.
7. Memahami lingkup proyek, jadwal, budget, biaya, risiko, kinerja non
moneter .
8. Mengkonformasi konsep proyek yang paling baru.
9. Mengidentifikasi fungsi proyek pada level tinggi.
10. Mengujungi lokasi dan fasilitas.

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

38

11. Mengkonfirmasi parameter kesuksesan.


Menurut Dell Isola (1982), beberapa pertanyaan yang bisa diajukan
dalam tahap pengumpulan informasi antara lain:
a.

Apakah ini ?

b.

Apa yang dikerjakannya?

c.

Apa yang harus dikerjakannnya?

d.

Berapa biayanya?

e.

Berapa nilainya?

Dengan mengajukan informasi tersebut bisa diperoleh informasi dasar


dan

mendapatkan lingkup bagian yang dikaji secara lebih terperinci.

Pertanyaan tersebut dapat memberikan alur pemikiran sebagai berikut


(Afandi, 2010):
a. Apakah ini?, akan membawa kepada pengertian fitrah atau nature dari
proyek beserta bagian-bagian dan komponen-komponennya.
b. Apa yang dikerjakannya?, akan membawa kepada peran atau fungsi
pada umumnya dari proyek beserta

bagian-bagian dan komonen-

komponen.
c. Apa yang harus dikerjakannya? Akan membawa kepada fungsi primer
dari proyek beserta bagian-bagian dan komponen-komponen atau
merupakan alasan dasar diadakannya proyek tersebut.
d. Berapa biayanya?, akan membawa kepada biaya produksi dan biaya
pelaksanaan dari proyek beserta bagian-bagian dan komponenkomponennya.
e. Berapa nilainya?, akan membawa kepada penghargaan atas manfaat
yang akan diperoleh dari proyek

beserta bagian-bagian dan

komponen-komponennya oleh klien atau dalam hal ini pemilik


proyek.

Fase ini akan membawa semua anggota untuk mengetahui proyek


pada level dasar, meliputi taktik, operasional, dan spesifikasi subyek.

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

39

Pemahaman mengenai fungsi merupakan dasar untuk mengidentifikasi dan


alternatif bencmark dan mismatches dan mengatur agenda untuk inovasi.
Pada fase ini konsultan perencana mempresentasikan proyek kepada
tim VE, setelah ketua tim VE membuka acara workshop. Anggota tim VE
akan mengajukan pertanyaan yang muncul selama pengkajian dokumen
proyek selama tahap persiapan.
Jika dianggap perlu dilakukan survey lapangna oleh anggota tim VE
yang ditunjuk. Survey ini dilakukan setelah presentasi oleh konsultan
perencana. Tujuan dilakukan survey adalah untuk membuat rekonstruksi
proyek. dengandilakukan survey lapangan dapat diperoleh beberapa catatan
yang tidak dapat dilakukan dengan cara wawancara atau didapat dari
dukumen tetapi sangat penting artinya bagi sebuah pemahaman yang
lengkap dari sebuah masalah nilai.

b. Tahap Analisis Fungsi


Setelah mengumpulkan informasi kemudian dilakukan analisis fungsi.
Tahap analisis fungsi merupakan tahap yang paling penting dalam value
engineering karena analisis fungsi ini yang membedakan VE dengan teknik
penghemtan biaya lainnya. Pada tahap ini akan dilakukan analisis fungsi
sehingga diperoleh biaya terendah yang diperlukan untuk melaksanakan
fungsi-fungsi utama, fungsi-fungsi pendukung, dan mengidentifikasi biayabiaya yang dapat dikurangi atau dihilangkan tanpa mempengaruhi kinerja
atau mutu poduk.
Pendekatan fungsional mengandung pengertian uraian, kajian, dan
analisis yang akan dilakukan terhadap proyek tersebut akan mengacu
kepada aspek fungsi dari proyek. Menurut Hario Sabrang (1998) fungsi dari
sesuatu adalah peran dari sesuatu tersebut yang melingkupinya (Afandi,
2010). Peran atau kegiatan yang terjadi dalam proyek tersebut adalah untuk
mendukung tercapainya tujuan sistem yang melingkupinya.
Menurut Mitchell (1982) pendekatan fungsional ini sangat strategis
dalam melakukan analisis VE karena pendekatan ini akan membedakan
penghematan VE dengan teknik penghematan biaya lainnya (Afandi, 2010).

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

40

Fungsi suatu barang dan jasa merupakan jawaban atas dapat melakukan
apa benda, barang, jasa tersebut. Dimana fungsi dalam VE ada dua yaitu
(Dell Isola, 1974):
1.

Fungsi primer, fungsi yang mendasi dasar diadakannya barang atau


jasa tersebut, fungsi ini untuk menjawab pertanyaan apa yang harus
dilakukan oleh barang atau jasa tersebut.

2.

Fungsi sekunder yaitu fungsi yang sangat situasional serta kondisional


dan bergantung pada pembeli dan pemanfaatannya. Sehingga bisa
berbagai macamnya.

Bagian yang paling sulit pada analisis fungsi adalah memperkirakan


nilai

kegunaan

(worth)

setiap

subsistem

atau

komponen

untuk

membandingkannya dengan biaya yang diperkirakan. Nilai keguanaan


(worth) memberikan identifikasi value artinya biaya terendah yang
diperlukan untuk terlaksananya suatu fungsi tertentu. Untuk itu tidak perlu
ketelitian yang sangat besar.

Nilai kegunaan (worth) hanya digunakan

sebagai suatu mekanisme untuk mengidentifikasi wilayah-wilayah dengan


potensi penghematan dan perbaikan nilai (value) yang tinggi. Subsistem
yang melaksanakan fungsi sekunder tidak memiliki worth karena tidak
berhubungan langsung dengan fungsi dasar (Afandi, 2010).
Sebagai bagian dari analisi fungsi, tim VE membandingkan rasio costto-worth berbagai alternatif untuk keseluruhan fasilitas dan subsistemnya.
Rasio cost-to-worth ini diperoleh dengan membagi biaya yang diperkirakan
untuk sistem atau subsistem dengan total worth untuk fungsi dasar sistem
atau subsistem. Rasio cost-to-worth yang lebih besar daripada dua biasanya
mengindikasikan wilayah dimana terdapat potensi penghematan biaya dan
perbaikan nilai (value) (Afandi 2010). Menurut SAVE (2007), tools yang
dapat digunakan sebagai alat bantu pada tahap ini adalah Random Functions
Identification, FAST, Function Tree, Cost to Function Analisis. Pada
penelitian ini tools yang digunakan adalah FAST Diagram.

Universitas Indonesia
Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

41

Standar SAVE (2007) mengenal 4 model diagram FAST, yaitu :


1. Classical FAST Model : fungsi yang menggambarkan kesaling
terhubungan antara fungsi yang satu dengan fungsi yang lain didalam
logika HOW WHY. Model ini dikembangkan oleh Charles
Bytheway.
2. Hierarchy Function Model : sebuah grafik hirarki dari fungsi-fungsi
yang disusun secara vertikal. Model ini menempatkan fungsi dasar
dipuncak grafik. Fungsi dari masing-masing sistem utama ditetapkan
dibawah fungsi dasar. Kemudian fungsi pendukung ditempatkan pada
garis bawah fungsi utama. Fugsi ini dilakukan hingga tingkat detail
tertentu diana

tim VE merasa

cukup mencapai

maksu dari

dilakukannya studi.
3. Technical FAST Model : sebuah bentuk lain dari Classical FAST yang
menambahkan all the item function, one time function dan same
time function atau caused by function.
4. Customer-Oriented

FAST

Model

jenis

diagram

FAST

ini

dikembangkan untuk mencerminkan bahwa pelanggan adalah pihak


yang menentukan ilai (value) dalam proses analisis fungsi. Customeroriented FAST menambahkan fungsi-fungsi pendukung : attract users,
satisfy users, assure dependenability, dan assure convenience. Fungsifungsi proyek yang mendukung fungsi-fungsi pelanggan ini ditentukan
dengan menggunakan logika HOW-WHY
Fungsi pendukung: tidak penting bagi kinerja task tetapi fungsifungsi ini adalah fungsi-fungsi yang sangat penting di dalam membangun
daya terima produk, sistem, dan lain-lain dikalangan pelanggan dan di
dalam menjual produk atau layanan.
-

Assure convinience adalah semua fungsi yang membuatnya cocok


(tidak menyusahkan) untuk menggunakan (seperti, fungsi-fungsi
terkait dengan hubungan ruangan dalam sebuah bangunan gedung)

Assure dependability : Semua fungsi yang akan mengurangi biaya


pemeliharaan dan melindungi pengguna dari kondisi alam yang tidak
menyenangkan (seperti dari angin atau rasa dingin).

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

42

Satisfy User : semua fungsi yang membuatnya nyaman untuk


ditinggali atau digunakan (seperti dengan memasang sebuah air
konditioner)

Attract User : semua fungsi yang memenuhi semua harapan estetika


dari pemilik/ pengguna.

c. Tahap Kreatif
Fase ini merupakan fase untuk mengembangkan sebuah kuantiti ideide yang berhubungan dengan cara lain untuk kinerja fungsi. Menurut
Hutabarat (1995), tahap kreatif adalah tahap mengembangkan sebanyak
mungkin alternatif yang bisa memenuhi fungsi primer atau pokoknya
(Ustoyo, 2007). Untuk itu diperlukan adanya permunculan ide-ide guna
memperbanyak alternatif-alternatif yang akan dipilih. Alternatif tersebut
dapat dikaji dari segi desain, bahan, waktu pelaksanaa, metode pelaksanaan,
dan lain-lain. sebagai bahan pertimbangan dalam mengusulkan alternatif
dapat

disebutkan

keuntungan

dan

kerugiannya.

Sebagai

dasar

penilaian/pertimbangan untuk dilakukan analisis VE dapat dipilih kriteriakriteria dari item pekerjaan. Kriteria-kriteria tersebut nantinya sebagai bahan
evalusi untuk memilih alternatif yang dipilih. Kegiatan-kegiatan umum yang
dilakukan pada tahap ini adalah(SAVE,2007):
1. Melakukan latihan pemanasan kreatif.
2. Menetapkan peraturan-peraturan yang melindungi lingkungan kreatif
yang dikembangkan. Tools yang digunakan : Creativity Ground
Rules.
3. Menggunakan teknik stimulasi ide yang dapat meningkatkan nilai. Tools
yang digunakan: Brainstroming, Gordon Technique, Nominal Group
Technique, TRIZ, Synetics
4. Mengembangkan ide alternatif yang dapat meningkatkan nilai.
Pada akhir fase ini akan dihasilkan daftar ide-ide yang memuat
alternatif-alternatif lain untuk menjalankan masing-masing fungsi yang
memiliki peluang potensi bagi peningkatan nilai (fungsi dengan nilai rasio
cost to worth lebih besar dari 1:1).
Universitas Indonesia
Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

43

d. Tahap Evaluasi
Fase evaluasi merupakan tahap mengurangi kuantiti ide-ide yang
harus diidentifikasi untuk daftar pendek ide-ide dengan potensi yang besar
untuk meningkatkan proyek. Ide-ide yang ingin dihasilkan pada tahap ini
adalah ide-ide yang terkait dengan berbagai alternatif lain untuk
menjalankan fungsi tertentu, fungsi yang berpotensi bagi peningkatan nilai
proyek. banyak tool yang dapat digunakan untuk memunculkan ide kreatif.
Pada umumnya, memunculakan ide kreatif bagi para engineer bukanlah hal
yang mudah karena mereka cenderung untuk menemukan solusi dengan
cepat. Untuk mengendalikan hal ini, maka engineer harus mengikuti seluruh
tahapan yang ada dalam job plan dan menaaati semua aturan dalam fase ini.
Kegiatan-kegiatan umum yang dilakukan padatahap ini adalah (SAVE,
2007):
1. Menjelaskan dan mengkategorikan setiap ide untuk mengembangkan
sebuah pemahaman.
2. Mendiskusikan bagaimana ide-ide berdampak pada biaya proyek, dan
kinerja parameter-parameter. Tools yang digunakan: T-Charts.
3. Memilih

dan

memprioritaskan

ide-ide

untuk

pengembangan

selanjutnya. Tools yang digunakan: Pugh Analysis, Kepner-Tregoe,


Life Cycle Coasting.
4. Menjelaskan bagaimana ide-ide dituliskan sebagai stand-alone riskreward invesment proposals.

Pada tahap ini, ide-ide yang nampak jelas tidak layak dibuang.
Kemudian ide-ide atau alternatif yang terpilih dianalisis keuntungan dan
kerugiaannya, biaya siklus hidupnya (life cycle cost), dan dibuat bobotnya.
1. Analisis keuntungan dan kerugian.
Ide-ide yang muncul dari tahap sebelumnya dianalisis keuntungan dan
kerugian yang ditimbulkan dari setiap ide tersebut. Dalam melakukan
analisis keuntungan dan kerugian ini dapat digunakan tabel yang
menunjukkan keuntungan dan kerugian.

Universitas Indonesia
Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

44

2. Analisis paired comparison dan decision matrix


Paired comparison adalah untuk menentukan tingkat kepentingan
(bobot) masing-masing parameter. Pada analisis paired comparison,
parameter-parameter yang digunakan saling dibandingkan satu sama
lain. Tujuannya adalah untuk mengetahui bobot masing-masing
parameter. Setelah analisis analisis paired comparison, dilakukan
analisis dengan decision matrix. Decision matrix bertujuan untuk
mengevaluasi ide menurut beberapa faktor atau kriteria.
3. Biaya Siklus Hidup Proyek
Setelah diketahui keuntungan dan kerugiaanya, ide tersebut dianalisi
biaya siklus hidupnya.
Ide yang terpilih ini kemudian dianalis pada tahap perikutnya yaitu
tahap pengembangan.

e. Tahap Pengembangan
Fase ini merupakan fase analisis lanjutan dan mengembangkan daftar
pendek ide-ide dan pengembangan ini dengan memperhitungkan alternatifalternatif value. Kegiatan-kegiatan umum pada fase ini adalah:
1. Membandingkan kesimpulan studi dengan syarat kesuksesan selama
fase informasi dan fase analisis fungsi.
2. Menyiapan sebuah tuliasan menganai alternatif nilai untuk setia ide
yang dipilih untuk pengembangan selanjutnya.
3. Menaksir dan mengalokasikan risiko dan biaya denga tepat
4. Mengadakan analisa cost-benefit.
5. Mengembangkan sketsa dan infomasi

yang diperlukan untuk

menyampaikan konsep.
6. Mengkonfirmasi

sebuah

alternatif

yang

akan

dikembangkan

selanjutnya.
7. Mengakhiri perkembangan alternatif awal.
8. Mengembangkan sebuah rencana tindakan untuk mendefinisikan
langkah-langkah implementasi untuk setiap alternatif nilai (value).

Universitas Indonesia
Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

45

Pada tahap ini ide-ide terpilih akan dikembangkan menjadi berbagai


alternatif perubahan sesuai dengan fase pengembangan proyek. masingmasing alternatif ini akan ditentukan kelayakannya. Alternatif- alternatif
yang tidak layak, tidak bekerja, akan dibuang. Setelah diperoleh alternatif,
selanjutnya bihitung biayanya dan biaya siklus hidup bagi masing-masing
alternatif terbaik. Alternatif terbaik ini perlu didukung sebanyak mungkin
informasi-informasi teknis.

Bentuk dukungan informasi teknis dapat

meliputi (Priyanto, 2010, p.116):


-

Uraian tertulis tentang konsep asli dan alternatif yang diajukan.

Backup teknis, tapi tidak dibatasi pada, seperti perhitungan, catalogue


cut, informasi vendor.

Keuntungan dan kerugian alternatif.

Pembahasan tentang berbagai alternatif untuk mengkomunikasikan ide


secara jelas kepada para pengkaji, termasuk informasi berkaitan
dengan pelaksanaan seperti biaya, jadwal, potensi konflik.

Informasi biaya meliputi biaya awal dan biaya siklus-hidup (life-cycle


cost), yang menanyakan perbedaan antara biaya rancangan asli dan
biaya alternatif secara jelas.
Pada akhir fase ini akan dihasilkan berbagai alternatif yang didukung

oleh informasi teknik yang memadai. Berbagai alternatif ini akan


dikomunikasikan kepada perencana, pengguna/pemilik, atau kelompok atau
individu lain yang terlibat pada fase presenatsi.

f. Tahap Presentasi
Tahap ini dapat berupa presentasi atau laporan secara tertulis atau
lisan yang ditujukan kepada semua pihak yang terlibat dalam memahami
alternatif-alternatif yang akan dipilih dalam usulan tim VE. Usulan yang
dipilih dapat

disampaikan secara

singkat,

jelas, cepat dan tanpa

memojokkan salah satu pihak. Rekomendasi ini nantinya digunakan untuk


meyakinkan manajemen, owner, dan stakeholder lain yang berperan dalam
pengambil keputusan. Aktifitas umum pada fase ini:
a. Menyiapkan presentasi dan dokumen pendukung.
Universitas Indonesia
Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

46

b. Membandingkan kesimpulan pembelajaran persyaratan keberhasilan


yang ditetapkan selama informasi dan fase analisis fungsi.
c. Menawarkan kepada manajemen skenarion inovasi risk-reward
untuk memilih nilai alternatif yang akan diterapkan.
d. Bertukar informasi dengan tim proyek.
e. Meyakinkan manajemen sehingga mereka dapat membuat keputusan.
f. Bagan rencana pelaksanaan antisipasi.
g. Menyiapkan format laporan.

Presentasi dilakukan dihadapan para perencana, pengguna/pemilik,


atau kelompok atau individu lainnya yang terlibat dalam memberikan
pemahaman terhadap maksud dari masing-masing alternatif sebelum mereka
mengevaluasi lebih lanjut untuk menentukan implementasi dari berbagai
alternatif tersebut. Pada kesempatan ini juga disampaikan laporan awal
tertulis sehingga penerapan/implementasi alternatif tidak terlambat. Laporan
dimaksud memuat informasi minimal, sebagai berikut:
-

Tujuan proyek

Uraian proyek

Ruang lingkup studi analisis nilai

Prosedur VA

Alternatif VA dan pengembangannya.


Pada fase ini juga perlu memastikan bahwa manajemen memiliki

seluruh informasi yang objektif sebagai dasar pembuatan keputusan serta


menguraikan rencana pelaksanaan alternatif yang diusulkan.
3. Post-Workshop Activities
Tahap ini terdiri dari dua aktifitas yaitu:
a. Kegiatan pelaksanaan
Memastikan alternatif yang diterima diterapkan dan manfaat yang
diproeksikan oleh Value Study telah direalisasikan. Bertanyaan dasar pada
fase ini adalah apa program berubah dan bagaimana tim proyek

Universitas Indonesia
Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

47

mengaturnya?. Kegiatan-kegiatan umum yang dilakukan pada fase ini


antara lain:
1) Mereview laporan premilinary.
2) Melakukan pertemuan pelaksanaan untuk menentukan disposisi dari
setiap alternatif nilai.
3) Menentukan tindakan rencana untuk alternatif yang diterima dan
dokumen yang rasional untuk alternatif yang ditolak.
4) Mendapatkan komitmen untuk implementasi.
5) Mengatur sebuah kerangka waktu untuk mereviw dan melaksanakan
setiap alternatif nilai.
6) Menghargai prestasi sebagai hasil dari alternatif yang diterapkan.
7) Mengakhiri deliverable.
8) Memvalidasi keuntungan dari implementasi perubahan.
9) Meyakinkan

bahwa

praktek

baru

menjadi

embedded

dengan

menentukan dan mengatur sebuah rencana implementasi.

Output dari fase ini adalah stakeholder proyek menetukan apa yang
akan diubah dalam proyek sebagai hasil dari Value Study. Ini merupakan
perubahan konsep yang asli atau konsep dasar dari suatu studi, sebagai hasil
alternatif nilai, yang perkembangan proyek akan gabungkan dalam kegiatan
pengembambangan prodak dan besain di masa depan.

b. Kegiatan Value Study Follow-Up


Fase ini merupakan Follow Up pada pelaksanaan hasil Value Study dan
memperbaiki aplikasi dari methodologi nilai untuk studi di masa
mendatang.pertanyaan dasar pada fase ini adalah apa yang telah kita
pelajari tentang bagaiman cara yang paling baik dalam menciptakan atau
mengingkatkan nilai dari suatu subjek dibawah pembelajaran/. Kegiatan
umum yang dilakukan pada fase ini adalah:
1) Mempersiapakan laporan hasi studi, pembelajaran pelajaran, atau item
lain untuk direkam/ diurutkan melalui implementasi.
2) Mengidentifikasi dimana kesempatan-kesempatan yang hilang,.

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

48

3) Mengidentifikasi roadblocks untuk inovasi dan mengetahui mengapa


mereka ada.
4) Mengadakan wawancara dan merekam pelajaran yang dipelajari.
5) Mengintegrasi hasil Value Study dalam laporan program.
6) Mencerminkan pada Value Study dan menentukan bagaimana
pengalaman mengembangkan kapasitas baru.
Outcome dari fase ini adalah individu menjadi pencipta nilai yang
lebih baik dengan dicerminkan pada teori yang mereka pegang sebelum
Value Study.

2.4.7 Perkembangan Value Engineering di Indonesia


Value engineering (VE) mulai diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1986
oleh bapak Dr. Ir. Suriana Chandra melalui seminar-seminar di berbagai kota
(Fauzan, 2008). Pada tahun itu juga, metode ini digunakan pada Proyek
Pembangunan Jalan Layang Cawang. Selanjutnya, pada tahun 1987, Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Departemen Keuangan, dan
Direktorat Jenderal Cipta Karya mengajukan pemakaian VE di Indonesia untuk
seluruh pembangunan rumah dinas dan gedung negara di atas satu milyar rupiah
(Fauzan, 2008).
Periode sejak

berikutnya yaitu tahun 1990-an sampai awal tahun 2003,

perkembangan VE di Indonesia tidak banyak diketahui. Jika ditinjau dari regulasi


yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait dengan konstruksi pada periode tersebut
adalah sebagai berikut (Fauzan, 2008, p. 15):
1.

Undang undang Perumahan Dan Pemukiman Nomor 24 tahun 1992;

2.

Undang Undang Jasa Konstruksi Nomor 18 tahun 1999;

3.

Undang Undang Tentang bangunan Gedung Nomor 28 Tahun 2002;

4.

Peraturan Pemerintah Nomor 28,29,30 Tahun 2000;

5.

Keputusan Menteri (Kepmen) Pemukiman dan Prasarana Wilayah


(Kimpraswil) Nomor 332/KPTS/M/2002 tentang Pedoman Teknis
Pembangunan Gedung Negara.

Maka tampaknya anjuran Bappenas tahun 1987 untuk menerapkan value


engineering pada pembangunan rumah dinas dan gedung negara, tidak dilanjuti

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

49

dengan penyusunan regulasi yang lebih tinggi tingkatan hukumnya, karena tidak
ada satu klausaul pada regulasi periode tersebut yang menyinggung mengenai
penerapan VE. Beberapa paraktisi memperkirakan bahwa

perkembangan VE

pada periode ini telah terhenti.


Pada beriode berikunya mulai tahun 2003 sejak dikeluarkannya Keppres 80
tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Instansi Pemerintah sampai awal
tahun

2007,

VE

di Indonesia

masih

belum

menunjukan

tanda-tanda

perkembangan yang berarti (Fauzan, 2008). Pada periode ini kewajiban


menerapkan Keppres 80 dianggap menghambat perkemangan penerapan VE
khususnya pada proyek-proyek yang dibiayai oleh pemerintah. Keppes 80, disatu
sisi menyatakan bahwa pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan penyedian
jasa dan barang harus menghindari terjadinya pemborosan dan kebocoran
keuangan, disisi lain tidak menyediakan ruang bagi penyedia jasa untuk berkreasi
mengupayakan penghematan dengan metode-metode dan inovasi-inovasi baru
yang lebih baik.
Value egineering yang dalam aplikasinya memerlukan keleluasaan untuk
berkreasi dan inovasi terhadap desain awal seringkali tidak terakomondasi atau
tidak dipahami oleh owner (panitian pengadaan) dan aparat penegak hukum.
Keterlambatan pemahaman aparat penegak hukum terkait dengan pelaksanaan
konstruksi menyebabkan mereka berpegang pada aturan-aturan kaku yang
sebenarnya masih harus disempurnakan. Hal ini yang menyebabkan value
engineering masih jarang digunakan di Indonesia.

2.5

VALUE ENGINEERING PADA BANGUNAN BERKONSEP GREEN


BUILDING
Dari tahun ke tahun, industri konstruksi di Indonesia terus mengalami

perkembangan yang signifikan. Tetapi perkembangan yang terjadi ini masih


minim konsep green building yang dinilai lebih ramah terhadap lingkungan.
Selain itu, masih banyak kalangan yang berpendapat bahwa bangunan berkonsep
ini memerlukan biaya besar sehingga masih sedikit owner yang menerapkan
konsep ini untuk bangunan yang mereka miliki.

Universitas Indonesia
Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

50

Hal ini berlawanan dengan pernyataan yang dibuat oleh Alexia Nalewaik,
CCE MRICS, and Valerie Venters, CCC dalam the AACE international Journal of
Cost Estimation, Cost/ Schedule Control, and Project Managemet yang terbit
bulan Februari 2009 yang menyatakan bahwa konsep bangunan berkelanjutan
menghemat life cycle cost pada biaya utilitas dan biaya perawatan yang menarik
para owner untuk menerapkan konsep ini. Dalam jurnal ini dijelaskan bahwa
konsep bangunan berkelanjutan mencerminkan value engineering. Berikut ini
potensi besar penghematan biaya yang samar-samar

dikaitan dengan konsep

desain hijau dan VE (Nalewaik and Venters, 2009):

Desain yang fleksibel dan perencanaan lokasi yang hati-hati mengurangi


footprint dari bangunan, ukuran yang benar dari fasilitas selagi memuaskan
kebutuhan pemilik.

Efisiensi dalam infrasutruktur misalnya penghematan area paving.

Mengurangi peralatan mekanikal dan elektrikal, melalui penggunaan cahaya


matahari, ventilasi alami, dan lain-lain.

Serupa dengan sistem efisiensi

tinggi dan perletakan bangunan yang tepat.

Generasi tenaga/power melalui penggunaan photovoltaics dan generasi


lainnya, mengurangi penggunaan energi.

Menggunakan sumber daya lokal dan material daur ulang, yang tidak hanya
mendorong ekonomi lokal tetapi juga mengurangi biaya transportasi.

Memilih dan mengurangi atau tidak menggunakan sama sekali material


khususnya untuk penyelesaian interior.

Anda mungkin juga menyukai