Anda di halaman 1dari 23

45

Faktor-faktor
Biopsikososial dalam
Pengobatan Nyeri
(Gallagher RM, Verma S. Biopsychosocial
Factors in Pain Medicine. In: Wallace MS,
Staats PS. Pain Medicine and Management
Just the Facts. Chapter 45. New York:
McGraw-Hill; 2005, 244-54)
Bab ini menjelaskan tentang bagaimana hubungan antara
depresi dan nyeri, mengungkapkan bukti-bukti klinis dan
neurosains tentang hubungan nyeri dan depresi, serta
bagaimana pengobatan nyeri dan depresi
Ruslan, S. Ked
4/1/2008

45FAKTORFAKTORBIOPSIKOSOSIALDALAM

PENGOBATANNYERI

PENDAHULUAN

Nyeri kronik, nyeri yang tidak terkontrol sepertinya merupakan masalah penanganan kesehatan
yang paling banyak dijumpai di Amerika Serikat. Hal tersebut merupakan gejala yang paling
sering dikeluhkan pasien untuk mencari pertolongan medis, yang juga berhubungan dengan
aspek psikososial dan ekonomi, dan seringkali tidak mendapat pengobatan atau salah
pengobatan.

Oleh karena nyeri yang menetap tersebut mempengaruhi komponen emosional pasien serta
seringkali disertai dengan depresi dan/atau kecemasan, manfaat dapat diperoleh pasien dari
penilaian yang lengkap dan penatalaksanaan multidisplin.

Faktor-faktor psikologis memainkan peranan yang signifikan terhadap nyeri kronik dan dalam
masa transisi nyeri akut menjadi nyeri kronik, dan bukti neurosains serta bukti klinis
memperlihatkan hubungan yang erat antara nyeri dan status mood.

Fishbain menggunakan Diagnostik and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM-IV) untuk
membuat kategori komorbiditas psikiatrik dengan kelainan nyeri sebagai:

Komorbiditas Aksis I, sebagai contoh, gangguan psikiatrik utama, seperti depresi (yang
paling sering) atau penyalahgunaan zat, gangguan somatoform, gangguan kecemasan, serta
kelompok lain yang termasuk gangguan psikosis, skizofrenia, gangguan delusional, dan
gangguan afektif bipolar.

Komorbiditas aksis I dan aksis II (gangguan kepribadian), contohnya depresi (aksis I) dan
kelainan antisosial (aksis II).

Aksis I gangguan penyalahgunaan zat psikoaktif dan gangguan psikiatrik lainnya,


contohnya, ketergantungan alkohol dan depresi.

Komorbiditas dengan penyalahgunaan zat psikoaktif, contohnya kokain dan ketergantungan


alkohol.

Komorbiditas dari kelainan aksis I dengan kondisi medis aksis III, contohnya depresi dan
neuropati diabetik.

Halaman2dari23

NYERI DAN DEPRESI

Banyak penelitian dan laporan yang mendokumentasikan angka komorbiditas yang tinggi antara
depresi dan nyeri kronik dan terdapat bukti dimana insiden depresi pada pasien dengan nyeri
kronik lebih tinggi daripada nyeri medis kronik lainnya, walaupun pada pasien tanpa resiko
depresi.

Model resiko mengalami depresi yang menyertai nyeri kronik (diperlihatkan pada gambar 45-1)
yang diperoleh dari penelitian perbandingan antara wanita dengan nyeri temporomandibular dan
sindrom disfungsi dengan kecocokan kontrol komunitas untuk status sosioekonomi dan dengan
derajat-pertama relatif pasien dan kontrol.

Logikanya, depresi memainkan peranan penting dalam hal pengalaman mengenai nyeri kronik.
Oleh karena itu, pasien depresi memperlihatkan tingkat nyeri yang lebih tinggi, disabilitas yang
lebih besar, dan pengaruh yang lebih luas akibat nyerinya; cenderung untuk kurang aktif; serta
memperlihatkan perilaku nyeri yang lebih daripada pasien nondepresi dengan nyeri.

Laporan sistematik dari penelitian prospektif, studi kohort yang mencakup kelainan, mood
depresi, dan somatisasi sebagai faktor-faktor dalam transisi nyeri LBP akut menjadi kronik.

Halaman3dari23

Gambar 45-1. Hipotesis Model Resiko Penyakit Depresi pada orang yang berkembang nyeri
kronik

Depresi dapat meningkatkan gangguan yang terkait-nyeri dan menyebabkannya menetap


bahkan pada populasi yang memiliki akses ke pelayanan kesehatan yang lebih maju.

Sebuah penelitian prospektif selama 24 bulan yang melibatkan 288 penduduk usia tua yang
memiliki jaminan kesehatan dari komunitas yang sudah pensiun yang menjalani pemeriksaan
tengah tahunan untuk nyeri, gangguan fisik, serta penggunaan alat bantu kesehatan
mengungkapkan bahwa:

Nyeri dan depresi merupakan komorbid yang sering dijumpai.

Depresi yang meningkat berhubungan dengan peningkatan kelainan yang terkait-nyeri.

Komorbiditas ini biasanya dilanjutkan secara longitudinal.

Walaupun ringan, depresi subklinis dapat meningkatkan penggunaan alat bantu kesehatan.

Adanya gejala fisik apa saja meningkatkan kemungkinan diagnosis adanya gangguan mood atau
kecemasan pada sampel pasien-pasien penting sekitar tiga kali lipat. Tingkat relatif tingginya
kelainan mood (34-46%) yang terjadi dengan keluhan nyeri yang menyertai:

34% dari pasien dengan nyeri sendi atau tungkai bawah

38% dari pasien dengan nyeri punggung

40% dari pasien dengan nyeri kepala

46% dari pasien dengan nyeri dada

43% dari pasien dengan nyeri perut

PENANGANAN DEPRESI PADA PASIEN NYERI


Skrining Depresi

Keberhasilan penanganan depresi dimulai dengan penilaian awal yang seksama untuk dapat
menegakkan diagnosis dan menyelidiki resiko dan kekuatan aspek biopsikososial. Perangkat
atau strategi skrining sederhana meliputi:

Susunan tingkat Depresi Beck

Selama mengawasi pasien (untuk mengurangi bias), tentukan jika pasien memiliki mood
depresi; keluhan minat atau rasa senang, dan/atau lokasi nyeri yang multipel.

Oleh karena (1) tingkat negatif palsu yang signifikan untuk identifkasi depresi bisa
menyertai evaluasi awal nyeri dan (2) resiko berkembangnya depresi tinggi selama
terjadinya nyeri kronik, dokter harus melakukan skrining depresi secara periodik selama
Halaman4dari23

pengobatan, khususnya pada saat timbul gejala nyeri, gangguan atau perubahan disabilitas
atau tambahan stressor hidup.

MENDIAGNOSA KELAINAN MOOD


Pengumpulan riwayat pasien sebaiknya memuat informasi mengenai:

Gejala dan penyakit yang saat ini diderita

Gangguan psikiatrik sebelumnya, termasuk mania

Pengobatan, termasuk respon pengobatan

Kondisi medis umum

Penyalahgunaan zat

Penyakit psikiatrik dalam keluarga

Perkembangan psikologis, keterampilan yang dimiliki, dan respon terhadap kejadian di masa
lalu

Status mental

Pemeriksaan fisik selektif dan laboratorium sesuai indikasi

Apakah pasien menderita depresi mayor, depresi minor, distimia, kelainan bipolar, atau
gangguan mood yang diinduksi zat atau secara medis

Apakah pasien mempunyai masalah perkawinan (oleh karena hubungan pernikahan dan
hubungan negatif dengan pasangan yang berespon terhadap nyeri berhubungan dengan gejala
depresif).

MENGEVALUASI KESELAMATAN PASIEN

Karena nyeri kronik berhubungan dengan kasus bunuh diri dan kekerasan, penilaian hati-hati
dari resiko ini akan menunjukkan jika seorang pasien terobati dengan baik pada pasien rawat
jalan atau rawat inap.

Semua pasien yang bunuh diri harus dievaluasi oleh tenaga ahli yang sesuai untuk menilai
resiko dan mengatur penanganan yang sesuai.

Penilaian resiko bunuh diri harus mempertimbangkan adanya ide bunuh diri, rencana yang
dibuat pasien, cara atau metode yang tersedia, dan bahaya dari metode yang dimaksud.

Para klinisi nyeri harus mewaspadai bahwa depresi meningkatkan resiko timbulnya perasaan
marah, orang dengan nyeri kronik yang sementara dalam pengobatan memiliki tingkat ide

Halaman5dari23

kekerasan yang lebih tinggi daripada sampel pada kontrol komunitas, dan adanya depresi
meningkatkan resikonya.

Faktor-faktor lain yang meningkatkan resiko meliputi ketidakpuasan dalam pekerjaan,


pengangguran, upah pekerja, program rehabilitasi, proses pengadilan, dan yang didiagnosa
malingering.

Hubungan antagonis antara jaminan kompensasi buruh, pegawai, dan pekerja yang cidera dapat
memberi rasa takut pada keluarga pasien yang dalam kondisi baik.

Pada evaluasi awal jika pengobatannya merosot, dokter harus menanyakan pasien jika mereka
pernah mengalami marah yang meluap-luap atau pikiran marah dan, jika demikian, bagaimana
mereka mengatasi keadaan ini.

MENENTUKAN DAN MEMPERTAHANKAN TERAPI KOMBINASI

Dengan mengembangkan hubungan kerja yang saling percaya dan sikap positif dengan pasien
dan, jika memungkinkan, dengan keluarga pasien atau orang lain penting untuk menjamin
keselamatan dan efektifitas pengobatan.

Keberhasilan pengobatan dengan analgetik dan antidepresan potensial memerlukan komunikasi


yang baik antara dokter dengan pasien mengenai efek samping potensial, toksisitas, interaksi
obat, dan target pengobatan.

Hubungan kerja yang efektif dimulai dengan edukasi pasien mengenai kondisi nyeri, tujuan
pengobatan, rasionalisasi pilihan pengobatan, dan harapan dokter terhadap tanggung jawab
pasien menjaga informasi yang diberikan, kepatuhan, dan follow up.

MENGAJARI PASIEN DAN KELUARGA PASIEN

Semua pasien dan, jika memungkinkan, anggota keluarga yang sesuai harus mendapatkan
pengetahuan mengenai depresi, nyeri, dan hubungan antara nyeri dan depresi.

Anggota keluarga yang tidak diberitahu bisa saja menakut-nakuti pasien dengan pengobatan
psikotropik karena efek samping atau sifat adiksinya.

Akan lebih sesuai untuk memberikan pengajaran pasien dalam bentuk kelompok dalam 7-10
sesi yang menerangkan berbagai macam aspek nyeri, mood, stress, kecemasan, hubungan,
aktifitas, dan isu-isu yang berhubungan lainnya, termasuk rasionalisasi penggunaan obatobatan. Keikutsertaan pasangan akan sangat bermanfaat untuk sesi ini.

Kelompok yang longitudinal, terbuka dapat membantu pasien mempertahankan pengobatan


yang dijalaninya.
Halaman6dari23

KEPATUHAN PENGOBATAN

Keberhasilan pengobatan depresi membutuhkan kepatuhan pasien terhadap rencana pengobatan


untuk pengobatan yang lama atau tidak terbatas agar dapat tercapai remisi penuh dan mencegah
relaps atau rekurensi.

Untuk bisa membuat pasien patuh pada pengobatan, efek samping dari obat harus dijelaskan
secara hati-hati.

Pada tahap awal pengobatan, dokter harus melakukan intervensi dasar untuk menerapkan
kepatuhan pengobatan dengan pemahaman bahwa pasien dengan nyeri dan depresi dapat kurang
bersemangat dan cenderung pesimis mengenai peluang kesembuhannya.

PENANGANAN FARMAKOLOGIS DEPRESI

Terdapat 22 jenis obat-obatan yang dianjurkan oleh Bagian Obat dan Makanan Amerika Serikat
(FDA) sebagai antidepresan yang diklasifikasikan pada tabel 45-1.

Walaupun tidak terdapat satu jenis obat yang sangat efektif dalam pengobatan depresi,
antidepresi kerja ganda dengan noradrenalin dan serotonergic reuptake inhibitor dapat
memberikan pengobatan yang lebih efektif.

Lebih dari 80% pasien depresi berespon paling tidak dengan satu macam obat, walaupun
pemberian antidepresan saja efektif pada sekitar 50-60%. Dengan demikian, jika salah satu obat
tersebut tidak dapat bekerja, harus diganti dengan obat jenis lain (misalnya, jika SSRI tidak
mempan, dapat diganti dengan buproprion atau SNRI), dan seterusnya.

Faktor-faktor yang menjadi bahan pertimbangan dalam pemilihan antidepresi meliputi respon
cepat, riwayat respon dalam keluarga, efek samping yang dirasakan, efisiensi, kecepatan remisi,
kesederhanaan dosis (mendukung kepatuhan), kepatuhan, dan biaya (jika pasien tidak sanggup
membayar resep obat antidepresinya yang mahal, biasanya pasien berhenti meminum obatnya).

Tabel 45-1 Obat-obatan untuk Depresi


Trisiklik dan Tetrasiklik
Trisiklik Amina Tertier
Amitriptilin
Klomipramin
Trimipramin

Halaman7dari23

Trisiklik Amin Sekunder


Desipramin
Nortriptilin
Protriptilin
Tetrasiklik
Amoksapin
Maprotilin
Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs)
Sitalopram
Esitalopram
Fluoksetin
Fluvoksamin*
Paroksetin
Dopamin-Norepinefrin Reuptake Inhibitors
Bupropion
Serotonin-Norepinefrin Reuptake Inhibitors (SNRIs)
Venlafaksin
Duloksetin
Serotonin Modulator
Nefazodon
Trazodon
Norepinefrin-Serotonin Modulator
Mirtazapin
Monoamin Oksidase Inhibitors (MAOIs)
Irreversible, nonselektif
Isokarboksazid
Fenelzin
Tranilsipromin
Reversibel MAOI-A
Moklobemid*
Selektif Noradrenalin Reuptake Inhibitor
Reboksetin
* Dipercaya hanya untuk pengobatan gangguan obsesif-kompulsif.
Halaman8dari23

Tidak tersedia di Amerika Serikat.

Kecemasan dan insomnia tidak dapat memprediksi seperlunya respon pengobatan yang lebih
baik dari obat yang meningkatkan efek sedasi.

Pasien harus dipantau ketat untuk mengetahui adanya respon terhadap pengobatan
farmakoterapi dan dosis dapat ditingkatkan secara titrasi jika dosis yang diberikan tidak
berespon dalam beberapa minggu.

Perilaku pasien yang timbul akibat pemberian antidepresan harus ditentukan dan apakah pasien
tersebut benar-benar menjalani pengobatan harus dikonfirmasikan.

Mengajarkan pasien dan keluarganya (jika memungkinkan) mengenai manfaat dari obat yang
diberikan dan resiko relapsnya penyakit dapat membantu meningkatkan kepatuhan minum obat
pasien.

Antidepresi Trisiklik dan Tetrasiklik

Ketika meresepkan antidepresan trisiklik (TCAS), potensi overdosis yang mematikan dan
kemungkinan mempengaruhi episode manik pada pasien dengan atau tanpa riwayat mania harus
selalu dipertimbangkan.

Data dari 41 percobaan yang dikontrol menunjukkan bahwa TCAS adalah analgesik yang
efektif.

Amitriptyline menjadi bahan yang paling banyak dipelajari secara meluas, walaupun
desipramine, imipramine, clomipramine, nortriptyline, dan doxepin telah dipelajari pula dengan
baik.

Dari percobaan yang dikontrol memberikan bukti konsisten bahwa TCAS adalah analgesik
untuk neuropati diabetik, neuralgia postherpetic, sindrom nyeri sentral, nyeri post stroke, dan
sakit kepala kronis.

TCAS manjur pula sebagai analgesia preemptif dan untuk opioid potensial untuk perawatan
nyeri postoperasi operasi.

Bukti mengenai kemanjuran efek penghilang nyeri dari maprotilin tetrasiklik dan amoxapine
terbatas. Maprotiline lebih efektif dibanding paroxetine tetapi tidaklah lebih kuat daripada
TCAS.

Dengan mengetahui bahwa semua TCAS dan antidepresan tetrasiklik sama efektifnya dalam
pengobatan depresi dan bahwa sebagian besar TCAs manjur dalam pengobatan nyeri, pemilihan
antidepresan biasanya dipengaruhi oleh profil efek sampingnya:
Halaman9dari23

Efek antikolinergiknya biasa dijumpai, pada pasien seperti dapat menimbulkan toleransi,
dan menimbulkan pula rasa mulut kering, konstipasi, pandangan kabur, dan retensi urine.
Amitriptilin,

imipramin,

trimipramin,

dan

doxepin

merupakan

obat

yang

sifat

antikolinergiknya lebih besar; amoxapine, maprotiline, dan nortriptyline merupakan obat


yang lebih sedikit sifat antikolinergiknya; sementara desipramine merupakan obat yang
paling kecil sifat antikolinergiknya.

Sedasi menjadi efek samping yang dapat diterima pada pasien dengan gangguan tidur.
Amitriptyline, doxepin, dan trimipramine bersifat lebih sedatif; sementara desipramine dan
protriptyline efek sedasi paling kurang.

Efek otonom akibat blokade 1-adrenergik mengakibatkan hipotensi ortostatik yang dapat
terjadi dengan penggunaan amitriptyline, doxepine, clomipramine, amoxapine, dan
nortriptyline, dalam hal ini mulai dari yang paling kurang menimbulkan efek sampai yang
paling besar efeknya pada otonom.

Efeknya pada jantung, meliputi takikardi, memperpanjang interval QT, dan penekanan
segmen ST pada EKG, dikontraindikasikan penggunaan TCAs dan tetrasiklik pada pasien
dengan waktu konduksinya memanjang. Pada pasien dengan riwayat penyakit jantung, obatobat ini harus diawali dengan dosis rendah, yang selanjutnya ditingkatkan secara perlahanlahan sambil memantau fungsi jantung.

Efek samping yang merugikan dan resiko dari reaksi yang tidak diinginkan dari TCAs
meningkat sesuai dengan usia pasien.

Antidepresan terbaru biasanya kurang toksik dalam kasus-kasus overdosis namun tidak
menurunkan semua resiko bunuh diri.

Selective Serotonin Reuptake Inhibitors

Sejak diperkenalkannya fluoxetine pada tahun 1988, obat-obatan golongan SSRIs seperti
fluoxetine, fluvoxamine, sertraline, paroxetine, dan citalopram telah banyak digunakan dalam
resep antidepresan lebih dari 50% di Amerika Serikat karena profil efek sampingnya yang
disukai.

Oleh karena rata-rata efikasinya baik dan kesederhanaan dosisnya, banyak pasien dengan nyeri
dan depresi mendapat SSRIs sebagai terapi awalnya.

Walaupun harga SSRIs lebih mahal dari pada TCAs, total biaya perawatan biasanya hampir
sama antara pasien yang mulai pengobatan dengan SSRIs dan mereka yang mulai dengan TCAs

Halaman10dari23

tetapi tidak bisa memaksa mereka untuk menggunakan SSRIs dan harus melakukan visite ulang
bila ingin obatnya diganti ke SSRIs.

Walaupun efek antidepressan SSRIs tidaklah lebih baik daripada TCAs dan MAOIs, profil efek
samping yang lebih disukai dan sifat keamanannya terhadap overdosis dari SSRIs membuat
mereka menjadi pengobatan pilihan pertama untuk depresi.

SSRIs berbeda terutama pada waktu paruhya. Sekitar 2-3 hari, fluoxetine mempunyai waktu
paruh paling lama, dan metabolite aktifnya mempunyai waktu paruh 7-9 hari. Waktu paruh
golongan SSRIs lainnya sekitar 20 jam.

Oleh karena SSRIs dimetabolisme di hati oleh isoenzim sitokrom P450, dokter harus berhatihati pada interaksi obatnya. Sitalopram merupakan obat yang paling kurang dipengaruhi oleh
isoenzim sitokrom P.

Efek samping SSRIs yang umum meliputi agitasi, kecemasan, gangguan tidur, tremor, disfungsi
seksual, dan sakit kepala. Citalopram (Celexa) telah dilaporkan mempunyai efek samping
seksual lebih sedikit dibanding SSRIs lainnya. Walaupun jarang, SSRIs dihubungkan dengan
gejala mirip-ekstrapiramidal, arthralgia, lymphadenopathy, sindrom antidiuretik yang tidak
sesuai, agranulositosis, dan hipoglikemia.

Interaksi SSRIs dengan MAOIs menyebabkan sindrom serotonin sentral dengan manifestasi
berupa nyeri perut, diare, berkeringat, demam, takikardi, peningkatan mood, hipertensi,
perubahan status mental, delirium, mioklonus, peningkatan aktifitas motorik, iritabiliitas, dan
sikap bermusuhan. Manifestasi berat dari sindrom ini dapat meliputi hiperemia, syok
kardiovaskular, dan kematian.

SSRIs tidak mempunyai efek antagonis dengan -adrenergik dan khususnya tidak memiliki efek
antiaritmia tipe 1A dari trisiklik; dengan demikian SSRIs jarang menimbulkan hipotensi
ortostatik.

Efek Analgesik SSRIs

Efek anelgesik SSRIs tidak seperti yang dijumpai pada TCAs.

Dari 10 penelitian yang mengevaluasi efikasi SSRIs dalam pengobatan nyeri kepala kronis, 3
penelitian didapati SSRIs tidak lebih baik daripada plasebo, 2 didapati SSRIs secara garis besar
lebih baik daripada plasebo, dan 5 ditemukan tidak ada peningkatan di luar obat perbandingan.

Dari tiga percobaan terkontrol yang melakukan pengujian SSRIs dalam pengobatan nyeri
neuropati diabetik, studi yang lebih besar (n=46) ditemukan tidak ada perbedaan antara

Halaman11dari23

fluoxetine dan plasebo, tetapi studi yang lebih kecil menemukan citalopram dan paroxetine
lebih baik daripada plasebo.

Studi yang membandingkan SSRIs dengan TCAs memperoleh efek analgesia yang lebih besar
pada TCAS.

Pada tahun 2000, Sindrup dan Jensen mengidentifikasi semua percobaan placebo-obat
terkontrol yang diberikan dalam pengobatan nyeri pada polineuropati dan menentukan bahwa
jumlah pasien yang membutuhkan pengobatan untuk mempertahankan satu pasien dengan lebih
dari 50% pemulihan nyeri adalah 2,6 untuk trisiklik, 6,7 untuk SSRIs, 2,5 untuk antikonvulsan
yang memblok saluran natrium, 4,1 untuk gabapentin, dan 3,4 untuk tramadol.

DOPAMINE-NOREPINEPHRINE REUPTAKE INHIBITOR

Bupropion (Wellbutrin) pertama kali disintesis pada tahun 1966 dan dimunculkan sebagai
antidepressan tanpa efek antikolinergik atau efek pada jantung. Namun, peningkatan insidens
kejang yang diinduksi-obat pada subjek bulimia nondepresi dalam suatu penelitian menunda
pemasarannya. Studi yang berikutnya pada pasien depresi tidak dapat menemukan kembali
temuan ini, dan obat ini diajukan kembali di tahun1989.

Bupropion sama efektifnya untuk depresi seperti antidepresi lain tetapi sifat khasnya yakni lebih
kurang menyebabkan disfungsi seksual.

Oleh karena sifatnya yang memblokade pengambilan kembali norepinefrin, bupropion


mempunyai potensi untuk menjadi obat antidepresan analgesik, walaupun hal ini masih perlu
ditelusuri lebih lanjut.

Dalam suatu studi open-label, bupropion secara signifikan mengurangi sakit pada 8 minggu,
dan pada percobaan crossover, double-blind, placebo-terkontrol menunjukkan bahwa 150-300
mg bupropion efektif dan ditoleransi dengan baik untuk pengobatan nyeri neuropati.

Pada sekitar 5% pasien yang mengkonsumsi obat 450-600 mg/hr, bupropion menyebabkan efek
yang tidak baik berupa delusi, halusinasi dan beresiko mengalami kejang karena potensi
efeknya pada sistem dopaminergik.

SEROTONINNOREPINEPHRINE REUPTAKE INHIBITORS

Venlafaksin dari golongan SNRI memblok pengambilan ulangnya seefektif TCS tanpa
menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan yang berhubungan dengan agen tersebut.

Venlafaksin memiliki onset kerja yang lebih cepat dari biasanya dan menunjukkan efikasi yang
lebih baik pada pasien depresi.
Halaman12dari23

Kemampuan venlafaksin dalam menghambat pengambilan ulang norepinefrin, khususnya pada


dosis yang lebih besar, sesuai dengan bentuk strukturnya yang sama dengan tramadol, suatu
analgesik dengan sifat agonis opioid dan aktifitas monoaminergik, menjadikannya antidepresan
yang menjanjikan untuk pasien dengan nyeri kronik. Kenyataannya, penghambatan reuptake
norepinefrin penting untuk mengurangi nyeri diabetik dan nyeri neuralgia postherpetik.

Pada sukarelawan sehat, venlafaksin meningkatkan ambang toleransi nyeri terhadap stimulasi
saraf sural elektrik dan meningkatkan toleransi terhadap nyeri, yang mengindikasikan adanya
efek analgesik yang potensial untuk nyeri neuropati klinik.

Sejumlah laporan kasus mengesahkan kemanjuran venlafaksin pada kelainan nyeri, tetapi pada
studi terkontrol tidak menunjukkan apa-apa.

Venlafaksin biasanya dapat ditoleransi dengan baik, dan efek sampingnya meliputi nausea
(37%), somnolen (23%), mulut kering (22%), dan pusing (22%).

Efek yang paling dikhawatirkan dari obat ini adalah peningkatan tekanan darah, khususnya pada
pasien yang memperoleh obat dengan dosis lebih dari 300 mg/hr.

SEROTONIN MODULATOR

Antridepresan trazodon dan nefazodon secara struktural tidak berhubungan dengan TCAs,
MAOIs, atau SSRIs.

Trazodon memiliki sifat sedatif yang berbeda dan digunakan untuk mengobati insomnia baik
untuk nyerinya maupun depresinya. Nefazodon relatif bebas dari efek samping ini dan biasanya
dapat ditoleransi dengan baik.

Tidak ada studi yang dilakukan pada manusia yang menguji efek analgesik nefazodon.

Empat percobaan placebo-terkontrol mendukung adanya efek analgesik trazodon.

Nefazodon merupakan antidepresan yang efektif. Waktu paruhnya 2-4 jam dengan dosis
pemberian dua kali sehari.

Reaksi yang tidak diinginkan dari nefazodon yang tampak meliputi gagal hati, penurunan
tekanan darah, interaksi obat dengan triazolam (Halcion), terfenadin/pseudoefedrin (Seldane),
asetamizole (Hismanal), alprazolam (Xanax), dan cisaprid (Propulsid) akibat penghambatannya
pada sitokrom P450.

NOREPINEPHRINESEROTONIN MODULATOR

Antidepresan mirtazapin (Remeron) bersifat antagonis terhadap reseptor 2-adrenergik


presinaptik, mengakibatkan potensiasi noradrenergik sentral dan transmisi serotonergik.
Halaman13dari23

Mirtazapine adalah suatu antidepresan yang efektif, sekalipun begitu tidak memiliki efek
antikolinergik TCAs dan anxiogenik dari beberapa SSRIs.

Oleh karena luasnya profil neurotransmitter, mirtazapin mempunyai potensi menjadi obat
antidepresan analgesik, namun hal ini memerlukan penelitian lanjut.

Efek yang kurang baik dari mirtazapine meliputi somnolen, yang mana baik diberikan pada
pasien dengan gangguan tidur; meningkatkan selera makan dengan pertambahan berat badan
yang mana baik diberikan pada penderita kanker; peningkatan kolesterol serum; dan (sekitar 3%
dari pasien) dijumpai agranulositosis dan neutropenia.

MONOAMINE OXIDASE PENGHAMBAT

Fenelzin MAOIS (Nardil) dan tranilsipromin (Parnate) menghambat degenerasi tingkat


biogenik amina.

MAOIs dapat efektif pula untuk gangguan panik dengan agoraphobia, gangguan stress post
trauma, gangguan makan, fobia sosial, dan depresi atipikal yang ditandai oleh hipersomnia,
hiperfagia, ansietas, dan tidak adanya gejala vegetatif; namun pengobatan ini biasanya tidak
digunakan oleh karena efek toksiknya.

Studi pada hewan mendukung adanya efek analgesia MAOIs yang belum dapat dibuktikan
efeknya pada manusia.

Efek samping MAOIs dan potensi untuk mempercepat timbulnya sindrom toksik serotonin
sentral saat dikombinasikan dengan pengobatan lainnya dan makanan tertentu, membatasi
penggunaannya terhadap depresi yang resisten-pengobatan.

Krisis hipersensitif yang diinduksi tiramin pada pasien yang mendapat terapi MAOIs dapat
mengancam nyawanya. Efek samping lain meliputi hipertensi ortostatik, peningkatan berat
badan, edema, disfungsi seksual, dan insomnia.

ANTIKONVULSAN

Antikonvulsan telah digunakan dalam penanganan nyeri sejak tahun 1960an, segera setelah
mereka mengadakan revolusi dalam hal penanganan medis epilepsi.

Antikonvulsan telah menjadi dasar pengobatan nyeri neuropatik kronis, khususnya saat pasien
mengeluh adanya sensasi tembakan atau sensasi luka tajam atau terbakar.

Mekanisme aksi antikonvulsan yang tepat masih belum dimengerti, namun bahan ini sepertinya
meningkatkan penghambatan asam -aminobutirat, dengan demikian menghasilkan efek yang

Halaman14dari23

menstabilkan membrane sel neuron, atau dapat bekerja pada daerah reseptor N-metil-Daspartat.

Gabapentin, topiramat, dan lamotrigin semuanya mempunyai efikasi pada satu atau lebih
keadaan nyeri neuropatik.

Antikonvulsan yang lama, seperti fenitoin, clonazepam, dan asam valproat, belum menunjukkan
efikasi untuk nyeri dalam studi klinis, oleh karena masalah toksisitasnya tersebut, umumnya
tidak digunakan, dengan pengecualian untuk karbamazepin, yang efektif dalam pengobatan
neuralgia trigeminal.

Banyak antikonvulsants mempunyai komponen mood-stabilisasi, tapi tidak ada studi terkontrol
yang mendukung manfaat agen mood-stabilisasi sebagai terapi depresi.

Antikonvulsan lamotrigine dan gabapentin memiliki aktifitas antimania dan antidepresi.

Gabapentin sepertinya aman dan ditoleransi dengan baik dan memiliki profil efek samping yang
disukai, efek ansiolitik, dan tidak tampak adanya interaksi obat.

Pemberian lamotrigine memerlukan takaran dosis yang hati-hati dan monitoring ketat oleh
karena dapat menyebabkan ruam pada kulit. Lamotrigine masih dalam penyelidikan untuk
pengobatan berbagai tahap dari gangguan bipolar refraktori, dan banyak klinisi nampaknya
menambahkan lamotrigine untuk regimen pengobatan pasien bipolar kompleks, bentuk keadaan
yang resisten-pengobatan dari penyakit ini.

Suatu studi double-blind menemukan lamotrigine (50 atau 200 mg/hr) efektif dalam mengobati
pasien depresi dengan gangguan bipolar, dan dari studi placebo-terkontrol menemukan bahwa
hal tersebut efektif dan aman dalam mengurangi nyeri yang berhubungan dengan neuropati
diabetik.

TEKNIK PSIKOTERAPEUTIK

Walaupun pengobatan yang diberikan sangat menolong, penatalaksanaan psikofarmakologi


pada komorbiditas psikiatrik yang berhubungan dengan nyeri kronik tidak pernah sukses bila
diberikan sendiri karena sakit itu sendiri dan faktor psikososial tergantung pengalaman nyerinya
maupun sistem neurofisiologi.

Keberhasilan pengobatan nyeri kronik harus dilakukan multidimensi, dan intervensi


psikoterapeutik sangat membantu dan sering diperlukan untuk penanganan nyeri dan
komorbiditas psikiatrik.

Teknik psikoterapeutik digunakan dalam mengobati pasien nyeri kronik meliputi hal-hal:

Pengetahuan tentang nyeri


Halaman15dari23

Psikoterapi suportif untuk memberikan semangat pada pasien menjalani strategi


pengobatan.

Terapi perilaku kognitif, yang berfokus pada kognisi pasien yang maladaptif bersamaan
dengan teknik perilaku, seperti terapi relaksasi dan latihan ketegasan.

Terapi perilaku, berdasarkan pada teori perilaku dan teori belajar sosial.

Terapi interpersonal, yang berfokus pada kehilangan, peran transisi dan perselisihan, defisit
sosial, dan faktor-faktor interpersonal lainnya berdampak pada berkembangnya depresi.

Psikoterapi dinamis, dimana hubungan dengan terapist memberikan konteks yang sifatnya
mengoreksi pengalaman emosional.

Terapi keluarga dan terapi pasangan, yang mana menunjukkan fakta bahwa nyeri kronis
adalah suatu masalah mengganggu akan mempengaruhi keseluruhan keluarga.

Terapi kelompok, yang mana dapat bersifat mendidik dan/atau psikoterapeutik.

Penggolongan dari strategi ini sebagai satu kesatuan yang berbeda bermanfaat hanya untuk
kepentingan penyelidikan saja. Di dalam praktek klinis, dokter jiwa membedakan kombinasi
pendekatan tersebut untuk dicocokkan dengan kebutuhan pasien.

TERAPI PERILAKU KOGNITIF

Terapi perilaku kognitif (CBT/Cognitive behavioral therapy) berdasar pada teori bahwa
meyakini hal-hal yang irrasional dan sikap yang menyimpang ke arah diri sendiri, lingkungan,
dan depresi yang menetap.

Studi klinis menunjukkan bahwa CBT merupakan metode pengobatan yang efektif pada depresi
ringan dan sedang serta mengurangi gangguan terkait-nyeri pada kelainan nyeri.

Tujuan diberikannya CBT adalah untuk mengurangi depresi dengan cara menantang sikap dan
kepercayaan ini.

CBT dapat membantu pasien mengenali bahwa respon emosional terhadap nyeri sangat
dipengaruhi oleh pikiran dan bahwa mereka dapat melatih mengendalikan gangguan yang
diproduksi oleh suatu peristiwa hidup tak terelakkan atau penyakit kronis.

Beberapa penyelidik merekomendasikan memberikan CBT sedini mungkin dari perlangsungan


penyakit untuk meningkatkan percaya diri pasien dalam menangani gejala dan dalam
kemampuan mereka untuk mengurangi penggunaan alat bantu kesehatan.

TERAPI PERILAKU

Halaman16dari23

Terapi perilaku menggunakan manajemen kontingensi atau operant conditioning untuk


membantu pasien memodifikasi nyeri-terkait perilaku

Metode ini dapat juga membantu merehabilitasi nyeri pasien dengan terus meningkatkan
kemampuan fungsional mereka.

PSIKOTERAPI INTERPERSONAL

Psikoterapi interpersonal (IPT/Interpersonal Therapy), dikembangkan untuk penatalaksanaan


depresi, yang bekerja dengan asumsi bahwa, karena adanya gejala yang terjadi dalam konteks
sosial, menunjukkan sebuah masalah atau banyak masalah dalam kehidupan interpersonal
pasien dapat membantu menghilangkan gejala.

IPT untuk depresi berfokus pada:

Kedukaan (suatu reaksi terhadap kematian orang yang dicintai)

Peran transisi (menyerah dari peran sosial lama dan menyesuaikan ke bentuk yang baru)

Peran perselisihan (kesukaran dalam membangun hubungan dari harapan yang tidak sesuai)

Peran defisit (suatu kekurangan hubungan interpersonal)

Prinsip-prinsip ini dapat diterapkan pada pasien nyeri kronik yang memiliki gejala dan
ketidakmampuan menempatkan mereka dalam status transisi peran yang tetap akibat depresi
atau kecemasan.

PSIKOTERAPI PSIKODINAMIK

Psikoterapi psikodinamik meliputi semua intervensi psikoterapeutik yang membagi dasarnya


dalam teori psikodinamik mengenai penyebab kerentanan terhadap masalah psikologis.

Bentuk psikoterapi ini paling sering digunakan jangka panjang dan bertujuan mengurangi gejala
dengan segera.

NYERI DAN GANGGUAN CEMAS

Gangguan cemas merupakan bentuk paling banyak dari gangguan mental di Amerika Serikat
(25% dari populasi mempunyai riwayat gangguan kecemasan dan 20% dengan riwayat
gangguan mood).

Nyeri kronik, akut mengaktifasi sistem noradrenergik terkait-stres di otak dan seringkali diikuti
oleh reaksi kognitif-emosional, seperti rasa takut dan kecemasan, yang mana sampai tingkat
tertentu ditentukan secara kontekstual. Sebagai contoh, nyeri pada saat melahirkan biasanya

Halaman17dari23

tidak menimbulkan ketakutan dan kecemasan, sementara nyeri yang berhubungan dengan cidera
traumatik, dengan outcome yang tidak tentu, biasanya demikian.

Hubungan nyeri, kecemasan, dan depresi mungkin saja menghasilkan substrat neurokimia
dalam sistem serotonergik. Gangguan kecemasan, bersama dengan depresi dan gangguan
penyalahgunaan zat, merupakan kondisi komorbid yang umum pada pasien dengan nyeri
kronik.

Pasien biasanya mengalami kecemasan oleh karena stres hidup dengan nyerinya.

Stres terhadap trauma yang berat, contohnya, terlibat pertengkaran atau kecelakan kendaraan
bermotor, dapat memicu gangguan stres post-trauma (GSPT) atau fobia mengemudi, yang mana
dapat menjadi komorbid dengan nyeri terkait-obsesif. Adanya komorbid gangguan obsesifkompulsif dengan nyeri kronik dapat membuat kedua keadaan memburuk jika pasien
melakukan kerja motorik kompulsif (seperti ritual murni) untuk mengandalikan kecemasan
yang berhubungan dengan obsesi.

DSM-IV merincikan gangguan ansietas sebagai berikut:

Gangguan panik dengan atau agorafobia

Agorafobia dengan gangguan panik

Fobia khusus dan fobia sosial

Gangguan obsesif-kompulsif

Gangguan ansietas menyeluruh

Gangguan ansietas akibat keadaan medis umum

Gangguan ansietas yang diinduksi-zat

Gangguan ansietas yang tidak diklasifikasikan

Gangguan tersebut dapat mempersulit kelainan nyeri dan begitupun sebaliknya karena
neurotransmitter yang terkandung dalam gangguan panik serta gangguan fobia, norepinefrin,
serotonin, dan asam -aminobutirat, terdapat dalam tahap modulasi nyeri.

Pertimbangkan juga tantangan yang diperlihatkan oleh nyeri kronik pasien yang mendapat
terapi nyeri dan lompatan aktifitas yang dihalangi oleh (1) ritual-murni kompulsif yang tampak
pada gangguan obsesif kompulsif; (2) gangguan stres post-trauma dari suatu pertempuran,
pemerkosaan, dan kecelakaan kendaraan bermotor; atau (3) ansietas menyeluruh atau serangan
panik yang menimbulkan komplikasi disabilitas lanjut.

Penanganan gangguan kecemasan dimulai dengan penilaian seksama, meliputi riwayat


lengkapnya.
Halaman18dari23

Depresi merupakan penyebab tersering ansietas.

Keadaan medis lain yang dapat muncul dengan ansietas, seperti gangguan neurologic
(neoplasma serebral, gangguan serebrovaskuler) keadaan sistemik (hipoksia, hipoglikemia,
aritmia jantung, anemia), gangguan endokrin (tiroid, hipofise, parairoid) dan status defisiensi
(B12, pellagra), harus dikesampingkan dengan pemeriksaan fisis dan pemeriksaan laboratorium
yang sesuai, termasuk pemeriksaan imaging.

Penting pula untuk mengenyampingkan ansietas sekunder akibat obat-obatan, toksin, dan
penyalahgunaan zat psikoaktif.

GANGGUAN PANIK

Serangan panik dapat ditemukan sebagai bagian dari gangguan psikiatrik, dan jika muncul
kembali atau berhubungan dengan timbulnya kecemasan yang signifikan dan perubahan
perilaku, merupakan manifestasi utama gangguan panik.

Oleh karena panik menimbulkan perilaku kasar dan keras, dengan gejala yang dapat dijadikan
acuan kepada beberapa sistem tubuh, pasien seperti ini seringkali dibawa ke ruang gawat
darurat.

Penatalaksanaan farmakologik terhadap gangguan panik meliputi benzodiazepine potensi tinggi,


TCAs, SSRIs, dan MAOIs, dan dari pengalaman mengungkapkan keunggulan SSRIs dan
klomipramin. Beberapa laporan mendukung peran nefazodon, venlafaksin, dan buspiron tapi
tidak untuk antagonis -adrenergik.

Salah satu pendekatan yang dapat dimulai dari SSRIs dan, jika dibutuhkan kontrol terhadap
ansietas lebih cepat, dengan menggunakan benzodiazepine kerja-singkat sampai SSRInya
efektif (jangan lupa adanya potensi penyalahgunaan dan efek negatif lain yang potensial dari
penggunaan benzodiazepine yang lama).

GANGGUAN FOBIA

Fobia sosial adalah adanya suatu ketakutan yang tidak pada tempatnya dan menetap yang terjadi
pada peran dan aturan sosial dan dapat meliputi kecemasan antisipatori yang hebat.

Seringkali, fobia sosial dihubungkan dengan hipersensitifitas terhadap kritikan dan menganggap
rendah diri sendiri.

Dapat pula disamaratakan pada berbagai keadaan, yang hampir sama atau spesifik pada
kejadian tertentu.

Halaman19dari23

Fobia sosial sering berupa masalah yang dialami sepanjang hidup yang dihadapinya dengan
cara menghindar, dengan kesempatan yang terbatas.

Keadaan ini berespon baik dengan SSRIs dan benzodiazepine potensi tinggi dan dapat
bermanfaat pula bila dikombinasikan dengan terapi perilaku. MAOIs merupakan obat yang
efektif namun jarang digunakan karena relatif toksik dan pembatasan makanan. TCAs dan bloker biasanya digunakan dalam praktek klinik walaupun belum ada bukti yang mendukung.
Gabapentin dan, mungkin juga, sodium divalproex merupakan pilihan yang layak untuk pasien
yang gagal dengan terapi konvensional.

Dalam suatu penelitian plasebo-terkontrol double-blind, ditemukan bahwa paroxetin,


fluvoxamin, dan sertralin efektif digunakan untuk fobia sosial. Dari ketiganya, hanya paroxetin
yang dianjurkan oleh FDA untuk indikasi ini.

Citalopram belum pernah diuji coba pada gangguan kecemasan sosial.

GANGGUAN OBSESIF-KOMPULSIF

Diperkirakan sekitar 2% dari manusia menderita gangguan obsesif kompulsif (GOK).

Obsesi adalah adanya pikiran, perasaan, ide, atau sensasi yang mengganggu dan rekuren,
sementara kompulsi adalah bentuk perilaku yang disadari, tindakan yang mendasar, serta timbul
berulang-ulang.

Orang dengan gangguan ini mengenali reaksi mereka terhadap pikiran dan tindakan tersebut
bersifat irasional dan tidak sesuai.

Pengenalan dan pemberian terapi awal untuk GOK seringkali tertunda.

Hipotesis yang diterima secara umum bahwa GOK melibatkan regulasi fungsi serotonergik
yang abnormal (walaupun baik itu antidepresan serotonergik dan nonserotonergik efektif untuk
pengobatan depresi, hanya dari golongan serotonergik yang efektif untuk mengobati GOK).

Fluoxetin, fluvoxamin, sertralin, dan paroxetin semuanya merupakan obat yang dianjurkan oleh
FDA untuk pengobatan GOK, dan pemberian dosis tinggi bisa saja diperlukan, seperti pada
fluoxetin 80 mg/hr.

Dari golongan TCAs, clomipramin merupakan pilihan yang paling banyak digunakan dan
dianjurkan oleh FDA sebagai obat pilihan pertama untuk GOK. Penggunaannya dibatasi oleh
profil efek samping obat.

Hasil pengobatan terbaik didapatkan dari kombinasi terapi farmakologik dan terapi perilaku.

GANGGUAN STRES POST TRAUMA


Halaman20dari23

Gangguan stress pasca trauma (GSPT) terjadi akibat adanya pengalaman traumatik atau
merasakan kejadian traumatik yang terbayang kembali secara persisten, yang menyebabkan
penghindaran dari stimulus yang berhubungan dengan kejadian dan timbulnya peningkatan
gejala yang menetap.

Penatalaksanaan GSPT membutuhkan waktu yang cukup dari dokter untuk mengungkapkan
latar belakang masalahnya.

Pendidikan yang diberikan meliputi penjelasan kepada korban yang selamat dan keluarga
mereka mengenai asal dari GSPT dan respon mereka terhadap stress, sebaik mungkin
mendorong korban selamat tersebut (tidak menekan) untuk mendiskusikan pengalaman
traumatiknya dengan keluarga dan/atau temannya.

Antidepresan seperti amitriptilin, imipramin, dan phenelzine, bermanfaat untuk pengobatan


GSPT. Juga, dari golongan SSRIs seperti fluoxetine dan sertralin biasanya bekerja cepat untuk
memodulasi dampak, memori, dan impuls pada GSPT, yang berfungsi baik itu untuk
perlindungan melawan intensitasnya yang berlebihan maupun mengendurkan hambatan yang
berlebihan.

Laporan dari studi tak terkontrol dengan sampel yang kecil mendukung manfaat penggunaan
paroxetine, citalopram hidroklorida, trazodone hidroklorida, bupropion hidroklorida, dan
mirtazapine.

Obat-obatan non-SSRIs dipertimbangkan sebagai obat pilihan kedua atau sebagai obat
tambahan, dan pemberian trazodon disarankan untuk penanganan insomnia pada GSPT.

GANGGUAN CEMAS MENYELURUH

Gangguan cemas menyeluruh (GCM) ditandai oleh kecemasan yang berlebihan yang sulit untuk
dikendalikan dan berhubungan dengan gejala somatik, seperti otot tegang, mudah marah, susah
tidur, dan gelisah.

Obat-obatan yang dianjurkan FDA untuk penatalaksanaan GCM meliputi benzodiazepine dan
buspirone.

Walaupun tidak terdapat data terkontrol-baik, penggunaan benzodiazepine kerja lama bisa
menimbulkan toleransi, penyalahgunaan, dan ketergantungan.

Buspirone efektif digunakan dalam pengobatan GCM dan menghindari kerugian akibat
benzodiazepine, tapi onset kerjanya lebih lambat biasanya dalam 1 sampai 3 minggu.

Penggunaan TCAs, SSRIs, trazodone, dan nefazodone telah dievaluasi pada GCM, namun data
yang ada masih sangat terbatas dan, pada beberapa studi, dapat memperberat depresi pasien.
Halaman21dari23

Di antara beberapa antidepresan terbaru, hanya venlafaxine extended-release (XR) yang sangat
baik digunakan pada pasien GCM. Efikasi ansiolitik venlafaxine XR telah didemonstrasikan
dalam dua studi klinis dalam populasi yang ditentukan dari pasien dengan GCM tanpa disertai
depresi mayor.

PSIKOTERAPI UNTUK GANGGUAN KECEMASAN

Prinsip psikoterapi untuk pasien dengan gangguan kecemasan sama halnya dengan pasien
depresi tetapi menempatkan perhatian yang lebih besar pada metode perilakunya.

Prinsip penatalaksanaan kecemasan dengan nyeri hampir sama dalam arti bahwa praktisi
berfokus pada usaha membantu pasien belajar meniru keterampilan kognitif dan perilaku untuk
mencegah, menggugurkan, atau memperbaiki gejala.

Pada gangguan panik, terapi kognitif menantang keyakinan pasien yang salah dan informasi
mengenai serangan panik yang timbul dan digunakan bersamaan dengan latihan pernafasan,
latihan relaksasi, dan paparan in vivo serta pencegahan respon.

Pada pasien GOK, terapi perilaku dapat sama efektifnya dengan farmakoterapi dan dapat
memberikan efek manfaat jangka panjang. Prinsip pendekatan perilaku pada penderita GOK
adalah paparan dan pencegahan respon. Desensitisasi, thought stopping, pembanjiran dan
pembiasaan aversif juga dapat digunakan.

Psikoterapi psikodinamik dapat berguna pada pasien dengan GSPT. Pada beberapa kasus
rekonstruksi ulang kejadian traumatik yang dilakukan bersamaan dengan abreaksi dan katarsis
dapat membantu pengobatan. Intervensi lain untuk GSPT dapat dilakukan seperti pada GCM:
terapi kognitif, terapi perilaku, dan hipnosis.

KESIMPULAN

Nyeri mengaktifasi emosi, dan pada keadaan tertentu, emosi yang mengaktifasi nyeri; dengan
demikian, emosi dan nyeri merupakan fenomena yang tidak terpecahkan dari penyakit dan
gangguan nyeri kronik.

Emosi dan nyeri masing-masing menghasilkan substrat neuroanatomik dan neurofisiologik.

Penanganan emosional yang tidak sehat berespon terhadap nyeri dan konsekuensi nyeri yang
timbul merupakan tanggung jawab dokter ahli nyeri. Mengobati nyeri tanpa menangani
emosinya atau mengobati emosi tanpa penanganan nyerinya umumnya sia-sia, membuat pasien
justru menderita kronik dan klinisi menjadi frustasi kronik.

Halaman22dari23

Dengan demikian, untuk menangani sebagian besar pasien dengan nyeri kronik secara efektif,
klinisi harus mengenali, mendiagnosis, dan mengobati komorbiditas umumnya, seperti depresi
yang tidak berkomplikasi.

Oleh karena prevalensi komorbid depresi dan kecemasan, akses yang mudah kepada ahli
kesehatan mental dengan pengalaman mengobati nyeri dan komorbiditasnya bersifat penting
demi keberhasilan penanganan nyeri kronik.

Dokter harus dapat meyakinkan pasien bahwa keadaan seperti itu umum dijumpai dan
diharapkan dalam pengobatan nyeri, dan pasien harus pula memahami bahwa hal tersebut
penting demi keberhasilan pengobatan nyerinya.

Pada kasus komorbiditas, dokter sebaiknya mengkomunikasikan kesediaan pasien menjalani


follow up gejala emosi dan fungsi psikososialnya dengan ketertarikan yang sama dengan yang
ditunjukkan dari hasil perawatan menyangkut gejala nyerinya.

Dokter sebaiknya mengajarkan pasien tanpa komorbiditas mengenai frekuensi komorbiditas dan
sampaikan kepada pasien tersebut agar melaporkan adanya serangan depresi atau kecemasan
sesegera mungkin.

Oleh karena banyaknya strategi farmasetikal dan psikoterapi yang ada dengan dasar yang kuat
dari dukungan penelitian, dokter harus mampu menentukan dengan percaya diri dalam
mencapai respon dan tujuan yang realistis demi tercapainya remisi depresi serta kontrol yang
efektif terhadap berbagai gejala kecemasan dan gangguannya.

Halaman23dari23

Anda mungkin juga menyukai