Anda di halaman 1dari 22

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN

Juni 2015

UNIVERSITAS HASANUDDIN

DEMAM TIFOID

OLEH :
ARINA MARDHIYAH H.
C111 11 334

PEMBIMBING :
dr. KARUNITA YUSUF
SUPERVISOR:
dr. ERWIN ARIEF,SP.PD

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU


PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2015

LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :


Nama

: Arina Mardhiyah H

Nim

: C111 11 334

Judul Kasus

: Demam Tifoid

Telah menyelesaikan tugas tersebut dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu Penyakit
Dalam Universitas Hasanuddin.

Makassar,

Supervisor

(dr. Erwin Arif,Sp.PD)

Juni 2015

Pembimbing

(dr. Karunita Yusuf)

LAPORAN KASUS
DEMAM TIFOID
I. IDENTITAS PASIEN
Nama
No. RM
Tanggal lahir
Usia
Jenis kelamin
Alamat
Tanggal masuk
Waktu masuk
II.

: Tn. M
: 713090
: 9 Januari 1953
: 62 tahun
: Laki-laki
: Mamasa
: 28 Mei 2015
: Pkl 10.15 WITA

ANAMNESIS
1) Keluhan utama
Pasien merasakan demam sejak 10 hari yang lalu.
2) Riwayat penyakit sekarang
Keluhan demam dirasakan sejak 10 hari yang lalu dan lebih sering timbul pada
malam hari. Demam awalnya tidak terlalu dirasa tinggi namun semakin lama semakin
panas pada hari-hari berikutnya,Demam tidak disertai dengan keringat atau menggigil.
Turun dengan pemberian obat penurun panas.
Pasien juga sekarang mengalami penurunan nafsu makan dan merasa lemah. Mual
dan Muntah disangkal oleh pasien, batuk kadang-kadang ada dan berlendir, sesak tidak
ada.
Pasien mengalami sakit perut dan tidak bisa buang air besar selama 5 hari
terakhir. Pasien mengaku bahwa dia memang jarang makan buah dan sayur. Sebelum
mengalami keluhan ini pasien juga bercerita bahwa dia sempat makan di pinggir jalan,
tapi biasanya tidak apa-apa. . Buang air kecil tidak mengalami gangguan.
Pada anggota keluarga tidak didapati keluhan yang sama seperti pasien. Pasien
tidak berpergian ke daerah-daerah tertentu sebelumnya.
3) Riwayat penyakit dahulu
Riwayat Alergi disangkal oleh pasien. Dia belum pernah mengalami sakit berat
apalagi hingga dirawat di rumah sakit sebelumnya.

III. Pemeriksaan Fisik (30/5/2015)

Keadaan umum
Kesadaran
Tekanan Darah
Nadi
Pernapasan
Suhu
Berat badan
Tinggi badan
BMI
Status Gizi

: Baik
: Kompos mentis (GCS 15)
: 120/80
: 88 x / menit
: 18 x / menit
: 37.8C
: 58 kg
: 169 cm
: 20,3
: Normal

Status Interna
Kepala

Normosefali, tidak ada tanda trauma atau benjolan. Rambut hitam, tidak mudah

Mata

dicabut.
Konjungtiva kanan dan kiri anemis, tidak ada sklera ikterik pada kedua mata, refleks

Telinga

cahaya +/+, diameter pupil 2,5 mm/ 2,5 mm, strabismus -/-.
Bentuk normal, tidak ada sekret, cairan, luka maupun perdarahan. Fungsi

Hidung

pendengaran masih baik.


Bentuk aurikula normal,. Tidak terdapat sekret pada kedua lubang hidung, epistaksis

Tenggorok
Gigi dan Mulut

(-).
Hiperemis (-), T1/T1.
Bibir kering (+), tidak ada sianosis dan tidak ada deviasi. Lidah kotor dengan tepi

Leher

hiperemis / coated tongue. Gigi geligi normal dan tidak ada karies.
Tidak tampak adanya luka maupun benjolan. Tidak teraba adanya pembesaran

Thorax

kelenjar getah bening.


Inspeksi: Pada keadaan statis dada terlihat simetris kanan dan kiri, pada
pergerakan/dinamis dinding dada terlihat simetris kanan dan kiri, tidak ada yang
tertinggal,

tidak

terdapat

retraksi

atau

penggunaan

otot

pernapasan

tambahan,Pembuluh darah dalam batas normal,buah dada tidak ada kelainan,sela iga
simetris kiri dan kanan
Paru :
Palpasi: Fremitus raba sama kuat kanan dan kiri. Ichtus kordis tidak teraba.
Perkusi: Pada lapangan paru didapatkan bunyi sonor.
Paru Kiri : sonor
Paru Kanan : sonor
Batas paru hati : didapatkan pada ICS VI sebelah kanan.
Batas Paru Belakang Kanan : Liniea vertebrathoracal X
Batas Paru Belakang Kiri : Linea vertebrathoracal X

Auskultasi: Bunyi paru vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-.


Jantung

Inspeksi : iktus kordis tidak teraba


Palpasi : thrill tidak ada
Perkusi : Pekak
Batas Jantung:
Batas atas

: Incisura costalis space 2 parasternal kiri

Batas bawah

: Incisura costalis space 6

Batas kanan: ICS 6 linea parasternal kanan


Batas kiri

: ICS 6 linea midclavikula kiri

Auskultasi : Bunyi jantung S1, S2 murni. Murmur (-). Gallop (-).


Inspeksi : Datar, ikut gerak nafas,dinding abdomen simetris, tidak terlihat

Abdomen

penonjolan massa ataupun adanya luka.


Palpasi : Hepar tidak teraba,Lien tidak teraba, distensi abdomen (-), defense
muscular (-), Nyeri tekan mac burney (-),
Perkusi : asites (-), Timpani
Punggung
Alat Kelamin
Anus dan Rectum
Ekstremitas atas dan

Auskultasi : Bising Usus 7x/menit kesan Normal


Tampak normal. Tidak terlihat kelainan bentuk tulang belakang.
Dalam Batas Normal
Dalam Batas Normal
Akral hangat, tidak ada edema pada semua ekstremitas.

bawah
Kuku

Sianosis (-). Pengisian kapiler <3 detik.

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


HASIL LABORATORIUM (29 Mei 2015)
Hematologi
Tes

Hasil

Satuan

Nilai Normal

Hemoglobin

11,62()

g/dl

13,20 - 17,30

Hematokrit

33,96()

40,00 - 52,00

Eritrosit

5,00

10^6/l

4,40 - 5,90

Leukosit

8,84

10^3/l

3,80 - 10,60

0,3

01

Darah Lengkap

Hitung jenis
Basofil

Eosinofil

2,1

13

Limfosit

22,5

25 40

Monosit

10,5

28

Trombosit
Biokimia

322

10^3/l

150,000 - 440,000

SGOT (AST)

40 ()

u/l

<38

SGPT (ALT)
Fungsi Ginjal

32

u/l

<41

Ureum

11

mg/dl

10-50

Creatinine

0.6
-

mg/dl

L(<1.3);P(<,1.1)

Widal

O: pos 1/80;

S. typhi

H : 1/60
O: Neg;

S. paratyphi A

H:1/80
O :Neg;

S. paratyphi B

H:1/160
O:1/320 H:

1/80

S. paratyphi C
Tubex Test (IgM
salmonella)

Postif/6

DHF IgG/igM

Negatif

V. Assesment
Diagnosis Kerja
Demam tifoid
Diagnosis Banding
1. Demam dengue
2. Malaria
VI. Planning
a. Pengobatan
- Diet Lunak

Bed rest total


Infus NaCl 0,9 % 28 tetes/menit
Paracetamol 500 mg/8 jam/oral
Ceftriaxone 3 gram/ 24 jam/drips dalam NaCl 0,9%,100cc habis
dalam 30 menit.

b. Rencana Pemeriksaan
- Urinalisa
- Kultur Darah dan Sensitivitas AB
VII. Prognosis
Ad vitam
Ad fungsionam
Ad sanactionam

: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
: dubia

CATATAN PERJALANAN PENYAKIT


Tanggal 29 Mei 2015
S : demam (+), mual(-), muntah (-), pusing (-), menggigil (-), nafsu makan turun, BAB tidak
lancar (+)
O : ku : tampak sakit sedang
TD: 120/80 mmHg, nadi 88 x/ menit, RR 20 x/menit, Suhu : 38,7C, konjungtiva anemis
(-), lidah kotor (+), nyeri tekan epigastrium (-), akral hangat
A : Susp.Demam tifoid
P : - Diet lunak
-Bed Rest total
- Infus NaCl 0,9% 20 tetes / menit
- Paracetamol 500 mg/ 8 jam/oral
- Ceftriaxone 3 gram/24 jam/drips dalam NaCl 0.9%
- Dulcolax supp
Tanggal 30 Mei 2015
S : Demam turun naik, mual berkurang, pusing (+), menggigil (-), nafsu makan
berkurang,sudah bisa BAB
O : ku : tampak sakit sedang
TD: 100/60 mmHg, nadi 86 x/ menit, RR 20 x/menit, Suhu : 37,8C, konjungtiva anemis
(-), nyeri tekan epigastrium (-), akral hangat
A : Demam tifoid
P : - Diet lunak
- Bed Rest total

- Infus NaCl 0,9% 20 tetes / menit


- Paracetamol 500 mg/ 8 jam/oral
- Ceftriaxone 3 gram/24 jam/drips dalam NaCl 0.9%
Tanggal 31 Mei 2015
S : Demam (+), mual (-), nafsu makan berkurang,pusing (+)
O : ku : tampak sakit sedang
TD: 110/60 mmHg, nadi 90 x/ menit, RR 18 x/menit, Suhu : 37,8C, konjungtiva anemis
(-), nyeri tekan epigastrium (-), akral hangat
A : Demam tifoid
P : Diet lunak
- Bed Rest total
- Infus NaCl 0,9% 20 tetes / menit
- Paracetamol 500 mg/ 8 jam/oral
- Ceftriaxone 3 gram/24 jam/drips dalam NaCl 0.9 %
RESUME
Seorang laki-laki masuk Rumah Sakit dengan keluhan febris dirasakan sejak 10 hari
yang lalu dan lebih sering timbul pada malam hari. Febris awalnya tidak terlalu dirasa tinggi
namun semakin lama semakin meningkat pada hari-hari berikutnya. Febris turun dengan
pemberian Paracetamol.Penuranan nafsu makan ada, tidak ada nausea,tidak ada vomiting, pasien
merasakan lemah. Buang air kecil lancar, Buang air besar tidak lancar sejak 5 hari terakhir.
Tidak ada riwayat demam typhoid sebelumnya,tidak ada riwayat alergi,tidak ada riwayat
keluarga menderita demam typhoid.
Pada pemeriksaan fisis di dapatkan Sakit sedang/Gizi kurang/Composmentis ; Tekanan
darah : 120/80,Nadi: 88x / menit,Pernapasan: 18 x / menit,Suhu:37.8C,bibir kering, lidah kotor
dengan

tepi

hiperemis

(coated

tongue),dan

hiperemis

pada

faring.pemeriksaan

thorax,cor,abdomen dan ektremitas tidak ada kelainan.


Pada pemeriksaan penunjang didapatkan Hb : 11,62; widal test : S.typhi : O:pos 1/80 ;
Tubex test (IgM salmonella):postif/6.
Berdasarkan hasil anamnesis,pemeriksaan fisis,dan pemeriksaan penunjang, maka pasien
didiagnosis Demam Tyfoid.
X. Analisa Kasus

Pada pasien didapatkan manifestasi klinis berupa demam sejak 10 hari sebelum masuk
rumah sakit yang lebih sering timbul pada malam hari. Demam awalnya tidak terlalu dirasa
tinggi namun semakin lama semakin panas pada hari-hari berikutnya, adanya lidah kotor.
Dari gejala-gejala tersebut yang dapat dipikirkan adalah demam tifoid dan demam
dengue karena sama-sama memiliki gejala prodromal seperti demam terus menerus .
Demam dengue adalah penyakit menular akibat virus dengue yang diperantarai oleh
nyamuk aedes aegypti yang hidup di negara-negara tropis dan menimbulkan gejala demam akut
disertai gejala penyerta lain seperti sakit kepala seperti melayang, pegal dan rasa nyeri di otot,
gangguan pada pencernaan berupa nyeri epigastrium, mual bahkan muntah, nyeri perut, susah
buang air besar, serta diare pun bisa ditemukan pada 5-6 % kasus demam dengue. Penyakit ini
dapat menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan kematian terutama pada anak-anak.
Pada demam dengue awalnya dapat asimtomatik (50%-90%), namun dapat juga berupa penyakit
demam non-spesifik atau timbul gejala-gejala klasik demam dengue.
Demam dengue muncul mendadak dengan kisaran suhu antara 39.5-41.4C. Demam
umumnya muncul pada hari ketiga dan berlangsung selama 5-7 hari. Demam dapat disertai oleh
rasa menggigil, mengakibatakan kulit eritematosa, dan flushing pada wajah. Demam bersifat
bifasik karena demam akan menurun selama 1-2 hari kemudian meningkat kembali sehingga
membentuk grafik pelana kuda. Pada masa penurunan suhu inilah masa kritis dimulai dimana
penyakit pasien berisiko berkembang menjadi demam berdarah dengue atau bahkan dengue
shock syndrome. Setelah demam biasanya muncul mialgia yang dapat berlangsung hingga
beberapa minggu, namun gejala mialgia tidak ditemukan pada pasien ini. Sakit kepala pada
demam dengue dapat timbul di area frontal dan retro-orbita. Pada pasien didapati nyeri kepala
frontal.
Malaria juga dijadikan diagnosis banding demam tifoid karena pada malaria ditemukan
demam, sakit kepala, malaise, nyeri sendi dan tulang, anoreksia, nyeri perut, diare, dan
hepatomegali. Malaria juga merupakan penyakit endemik di beberapa daerah di Indonesia. Dari
anamnesis diketahui pasien tidak melakukan perjalanan ke tempat-tempat selain Tangerang dan
sekitarnya. Selain itu malaria juga memiliki pola demam yang khas yaitu demam intermiten,
sedangkan demam yang dialami pasien adalah demam remiten dimana suhu badan dapat turun
setiap hari tetapi tidak pernah mencapai suhu badan normal. Perbedaan suhu dapat mencapai 2.

Jika dilihat pola demam pasien yang cenderung meningkat pada malam hari dan
peningkatan suhu yang semakin tinggi setelah masuk minggu kedua, ditambah dengan adanya
lidah kotor dan nafsu makan menurun. maka diagnosis sementara adalah suspek demam tifoid.
Namun hal ini masih perlu dibuktikan dengan beberapa pemeriksaan. Untuk menegakkan
diagnosis demam tifoid harus terbukti ditemukannya kuman Salmonella typhi pada kultur dengan
spesimen darah pada akhir minggu pertama, spesimen urin pada minggu ketiga, atau spesimen
feses pada minggu kedua dan ketiga.
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram negatif
Salmonella typhi. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi dalam sel fagositik
mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah.
Salmonellosis dibagi menjadi 2 yaitu demam tifoid/enterik yang disebabkan oleh S.typhi
dan S.paratyphi serta salmonellosis nontifoidal yang disebabkan oleh S.typhimurium dan
S.enteritidis. Transmisi salmonellosis nontifoidal berasal dari makanan yang terkontaminasi
misalnya daging yang kurang matang, makanan laut, produk susu sapi yang tidak terpasteurisasi,
dan makanan mentah lainnya. Transmisi S.enteritidis terutama berasal dari telur. Infeksi juga
dapat terjadi apabila seseorang terpapar dengan hewan terutama reptil. Pada salmonellosis
nontifoidal manifestasi klinis yang timbul adalah demam hingga menggigil, mual, muntah, nyeri
abdominal, diare dengan konsistensi cair tanpa darah, nyeri kepala, tenesmus, dan mialgia yang
timbul 6-48 jam setelah terpapar organisme penyebab. Demam biasanya membaik dalam 48 jam.
Pada beberapa kasus yang jarang dapat yang dapat ditemukan diare bervolume banyak seperti
pada kolera namun dapat sembuh secara spontan dalam 3-7 hari.
Demam yang timbul sebagai gejala demam tifoid merupakan akibat dari terangsangnya
makrofag oleh kuman Salmonella typhi sehingga makrofag melepas sitokin, interleukin, dan
mediator-mediator inflamasi lainnya yang dapat mengganggu termoregulasi tubuh sehingga
timbullah demam. Demam biasanya berkisar antara suhu 39 - 40 C.
Pada pasien telah diperiksa uji Widal namun sekarang sudah kurang dipakai karena
Indonesia merupakan negara yang endemik demam tifoid. Apalagi pada pasien baru diperiksa
Widal satu kali. Seharusnya satu minggu kemudian diperiksa lagi apakah ada kenaikan titer 4x
lipat. Pada prinsipnya pemeriksaan Widal menggunakan reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum
penderita dicampur dengan suspensi antigen Salmonella typhi. Pemeriksaan disebut positif

apabila terjadi reaksi aglutinasi. Dengan mengencerkan serum, maka kadar zat anti dapat
ditentukan, yaitu pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan reaksi aglutinasi.
Untuk mendukung diagnosis yang diperlukan ialah titer zat anti tehadap antigen O. titer
yang bernilai 1/200 atau lebih dan atau menunjukkan kenaikan yang progresif diperlukan untuk
membuat diagnosis. Titer tersebut mencapai puncaknya bersamaan dengan penyembuhan
penderita dan bertahan hingga 4-6 bulan. Titer terhadap antigen H tidak diperlukan untuk
diagnosis karena tetap bertahan hingga 9-12 bulan setelah mendapat imunisasi atau penderita
telah lama sembuh. Pemeriksaan widal tidak selalu positif walaupun penderita sungguh-sungguh
menderita demam tifoid.
Sebaliknya titer dapat positif (False Positive) pada keadaan tertentu seperti didapatkan
Titer O dan H tinggi karena terdapatnya aglutinin normal akibat infeksi kuman E. coli patogen
dalam usus, Pada neonates dimana zat anti tersebut diperoleh dari ibunya melalui plasenta,
terdapat infeksi silang dengan Rickettsia (Weil Felix), serta akibat imunisasi secara alamiah
karena masuknya basil peroral atau pada keadaan infeksi subklinis.
Pada kasus ini pasien sempat pergi ke dokter dan diberi obat namun pasien tidak
mengetahui namanya dan obat sudah habis dimakan dan keluhan tetap ada, hal tersebut
dimungkinkan karena obat yang diberikan tidak cocok untuk pengobatan mikroorganisme
penyebab penyakit atau kemungkinan yang kedua adalah pasien mengalami resistensi obat.
Saran pemeriksaan tambahan untuk kasus ini adalah pemeriksaan IgM antiSalmonella(tubex test), kultur mikroorganisme dari spesimen darah, uji resitensi dan sensitivitas
obat untuk menentukan pemilihan obat yang cocok bagi pasien, namun karena menunggu
hasilnya lama maka pengobatan tetap dimulai sesuai protokol yang ada.
Pada pasien ini dapat diberikan obat pilihan utama saat ini yaitu golongan Cephalosporin
generasi ketiga seperti Ceftriaxone 1-2 gram intravena atau intramuskular selama 5 hari atau 3
gram dalam 3 hari dan Cefotaxime 1-2 gram intravena atau intramuskular.Fluoroquinolone
selama 5-7 hari seperti Ciprofloksasin 20 mg/kgbb/hari selama 6 hari atau Levofloksasin 10
mg/kgbb/hari selama 1-2 minggu atau Ofloxacin 20 mg/kgbb/hari selama 7 hari.

PENDAHULUAN
Salah satu penyakit infeksi sistemik akut yang banyak dijumpai di berbagai belahan dunia
hingga saat ini adalah demam tifoid yang disebabkan oleh bakteri gram negatif Salmonella typhi.
Di Indonesia, demam tifoid lebih dikenal oleh masyarakat dengan istilah penyakit tifus.
Dalam empat dekade terakhir, demam tifoid telah menjadi masalah kesehatan global bagi
masyarakat dunia. Diperkirakan angka kejadian penyakit ini mencapai 13-17 juta kasus di
seluruh dunia dengan angka kematian mencapai 600.000 jiwa per tahun. Daerah endemik demam
tifoid tersebar di berbagai benua, mulai dari Asia, Afrika, Amerika Selatan, Karibia, hingga
Oceania. Sebagain besar kasus (80%) ditemukan di negara-negara berkembang, seperti
Bangladesh, Laos, Nepal, Pakistan, India, Vietnam, dan termasuk Indonesia. Indonesia
merupakan salah satu wilayah endemis demam tifoid dengan mayoritas angka kejadian terjadi
pada kelompok umur 3-19 tahun (91% kasus).1,3,4
Munculnya daerah endemik demam tifoid dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain
laju pertumbuhan penduduk yang tinggi, peningkatan urbanisasi, rendahnya kualitas pelayanan
kesehatan, kurangnya suplai air, buruknya sanitasi, dan tingkat resistensi antibiotik yang sensitif
untuk

bakteri

Salmonella

typhi,

seperti

kloramfenikol,

ampisilin,

trimetoprim,

dan

ciprofloxcacin.1
Penularan Salmonella typhi terutama terjadi melalui makanan atau minuman yang
terkontaminasi. Selain itu, transmisi Salmonella typhi juga dapat terjadi secara transplasental dari
ibu hamil ke bayinya.4
Karena demam tifoid merupakan endemik di negara ini dan insidensinya yang masih
tinggi, pencegahan dan tatalaksana penting diketahui sehingga tidak menimbulkan komplikasi
seperti perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik, dan komplikasi ekstra-intestinal seperti
meningitis, miokarditis, pleuritis, pneumonia, hepatitis,
pielonefritis, osteomielitis, spondilitis, artritis, dan lain-lain.

kolesistitis, glomerulonefritis,

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram negatif Salmonella
typhi. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuklear
dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah.1

Epidemiologi
Demam tifoid merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini termasuk penyakit
menular yang tercantum dalam undang-undang nomor 6 tahun 1962 tentang wabah.
Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di Indonesia pada
tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per
10.000 penduduk. Dari survey berbagai rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981 sampai
dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19.596
menjadi 26.606 kasus. Case Fatality Rate (CFR) demam tifoid pada tahun 1996 sebesar
1,08% dari seluruh kematian di Indonesia. 1,2,3
Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh jenis salmonella tertentu yaitu S. typhi, S. paratyphi A, S.
paratyphi B, dan S. paratyphi C. Demam yang disebabkan oleh S. Typhi cenderung untuk
menjadi lebih berat daripada bentuk infeksi salmonella yang lain. Salmonella merupakan
bakteri batang gram negatif yang bersifat motil, tidak membentuk spora, dan tidak berkapsul.
Kebanyakkan strain meragikan glukosa, manosa dan manitol untuk menghasilkan asam dan
gas, tetapi tidak meragikan laktosa dan sukrosa. Organisme salmonella tumbuh secara aerob
dan mampu tumbuh secara anaerob fakultatif. Kebanyakan spesies resistent terhadap agen
fisik namun dapat dibunuh dengan pemanasan sampai 54,4 C (130 F) selama 1 jam atau 60
C (140 F) selama 15 menit. Salmonella tetap dapat hidup pada suhu ruang dan suhu yang
rendah selama beberapa hari dan dapat bertahan hidup selama berminggu-minggu dalam

sampah, bahan makannan kering, agen farmakeutika, dan bahan tinja. Salmonella memiliki
antigen somatik O dan antigen flagella H. Antigen O adalah komponen lipopolisakarida
dinding sel yang stabil terhadap panas sedangkan antigen H adalah protein labil panas.
Antigen Vi adalah simpai atau kapsul kuman. Masa inkubasi S. typhi adalah 3-21 hari.
Patogenesis
Salmonella typhi masuk ketubuh manusia melalui makanan dan air yang tercemar. Sebagian
kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus. Jika IgA
kurang baik pertahanannya, maka kuman akan menembus sel-sel epitel terutama sel M dan
menuju ke lamina propia. Di lamina propia kuman akan berkembangbiak. Sebagian kuman
akan ditangkap dan digagosit oleh sel mononuklear, namun masih dapat hidup di dalam
makrofag tersebut, dibawa ke Payers patch ileum distal, menuju kelenjar getah bening
mesenterika, melalui duktus toraksikus ke sirkulasi darah, terjadilah bakteriemi I namun
masih asimtomatik. Setelah berkembangbiak di RES dan tersebar ke organ-organ RES seperti
hati dan limpa, kuman akan keluar dari makrofag, berkembangbiak di luar sel atau ruang
sinusoid dan masuk lagi ke dalam sirkulasi darah, maka terjadilah bakteriemi II yang dapat
menimbulkan gejala-gejala sistemik.
Dari hepar, kuman masuk ke kantong empedu, berkembangbiak, dan diekskresi secara
intermiten ke lumen usus bersama-sama dengan cairan empedu. Sebagian akan keluar lewat
feses, dan sisanya akan menembus usus masuk ke darah.
Interaksi Salmonella typhi dengan makrofag memunculkan mediator-mediator lokal sehingga
peyers patches mengalami hiperplasi jaringan, nekrosis dan ulkus (hipersensitivitas tipe
IV/lambat). Secara imunulogi, di usus diproduksi IgA sekretorik yang berfungsi mencegah
melekatnya Salmonella typhi pada mukosa usus. Imunitas humoral sistemik, diproduksi IgM
dan IgG untuk memudahkan fagositosis Salmonella typhi oleh makrofag. Imunitas seluler
berfungsi untuk membunuh Salmonalla intraseluler.
Pada gejala sistemik timbul demam, instabilitas vaskuler, inisiasi sistem beku darah, depresi
sumsum tulang, bahkan nekrosis organ bila pembuluh darah di sekitar peyers patches
mengalami erosi dan perdarahan.

Manifestasi Klinis
Masa inkubasi Salmonella Typhi berlangsung selama 3-21 hari. Transmisi atau penularannya
dapat terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi S. typhi. Selama masa
inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri
kepala, dan tidak bersemangat. Kemudian menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan,
yaitu:
1. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung tiga minggu. Bersifat febris remiten dan
suhu tidak terlalu tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat
setiap hari, biaasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari.
Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggun ketiga
suhu badan berangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.
2. Gangguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah. Lidah ditutupi
selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan, dapat disertai tremor.
Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa
membesar disertai nyeri pada saat perabaan. Dapat ditemukan gejala konstipasi, diare, dan
kombinasi keduanya. Selain itu dapat disertai gejala mual dan muntah.
3. Gangguan kesadaran (gejala susunan saraf pusat)
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis sampai
somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah. Pada punggung dan anggota gerak dapat
ditemukan rose spots, yaitu bintik-bintik kemerahan karena emboli basil dalam kapiler kulit.
Rose spots biasanya ditemukan dalam akhir minggu pertama demam pada 25% kasus.
Kadang-kadang ditemukan bradikardia dan mungkin pula ditemukan epistaksis.

Diagnosa
Diagnosa demam tifoid dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik serta
ditunjang oleh pemeriksaan laboratorik seperti ditemukannya leukopenia, anesonofilia, dan
limfositosis relatif pada permulaan timbulnya gejala. Mungkin terdapat anemia dan
trombositopenia ringan.
Pada pemeriksaan sumsung tulang dapat ditemukan gambaran sumsum tulang berupa
hiperaktif RES dengan adanya sel makrofag sedangkan sistem eritropoesis, granulopoesis,
dan trombopoesis berkurang.
Pada biakan empedu dapat ditemukan kuman Salmonella typhi dalam darah penderita
biasanya dalam minggu pertama sakit. Selanjutnya lebih sering ditemukan dalam urin dan
feces dan mungkin akan tetap positif untuk waktu yang lama. Oleh karena itu pemeriksaan
yang positif dari contoh darah digunakan untuk menegakkan diagnosis, sedangkan
pemeriksaan negatif dari contoh urin dan fases 2 kali berturt-turut digunakan untuk
menentukan bahwa penderita telah benar-benar sembuh dan bukan karier.
Pemeriksaan Widal dapat dipakai untuk mendukung adanya diagnosis demam tifoid, namun
sekarang pemeriksaan Widal sudah mulai ditinggalkan. Prinsip pemeriksaannya ialah reaksi
aglutinasi yang terjadi bila serum penderita dicampur dengan suspensi antigen Salmonella
typhi. Pemeriksaan yang positif ialah bila terjadi reaksi aglutinasi. Dengan jalan
mengencerkan serum, maka kadar zat anti dapat ditentukan, yaitu pengenceran tertinggi yang
masih menimbulkan reaksi aglutinasi. Untuk menegakkan diagnosis yamg perlu diperlukan
ialah titer zat anti tehadap antigen O. titer yang bernilai 1/200 atau lebih dan atau
menunjukkan kenaikan yang progresif diperlukan untuk membuat diagnosis. Titer tersebut
mencapai puncaknya bersamaan dengan penyembuhan penderita. Titer terhadap antigen H
tidak diperlukan untuk diagnosis karena dapat tetap tinggi setelah mendapat imunisasi atau
penderita telah lama sembuh. Tidak selalu pemeriksaan widal positif walaupun penderita
sungguh-sungguh menderita demam tifoid sebagaimana terbukti pada autopsi setelah
penderita meninggal dunia.

Sebaliknya titer dapat positif (False Positive) pada keadaan tertentu seperti didapatkan Titer
O dan H tinggi karena terdapatnya aglutinin normal akibat infeksi kuman E. coli patogen
dalam usus, Pada neonates dimana zat anti tersebut diperoleh dari ibunya melalui plasenta,
terdapat infeksi silang dengan Rickettsia (Weil Felix), serta akibat imunisasi secara alamiah
karena masuknya basil peroral atau pada keadaan infeksi subklinis.
Pemeriksaan terbaru yang digunakan untuk mendiagnosis Demam typhoid adalah dengan
mendeteksi Antigen IgM-Salmonella (Tubex Test),uji ini memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang baik,lebih cepat (beberapa menit) karena mendeteksi antibody,beda halnya
dengan widal test yang mendeteksi bagian-bagian dari tubuh bakteri Salmonella,Tubex test
tidak mampu mendeteksi infeksi Salmonella parathyphi,juga tidak mampu mendeteksi
antibody IgG sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai modalitas untuk infeksi masa
lampau.
Diagnosis Banding
Bila tedapat demam yang lebih dari satu minggu sedangkan penyakit yang dapat
menerangkan penyebab demam tersebut belum jelas, penyakit-penyakit yang perlu dipikirkan
selain demam tifoid adalah demam dengue, influenza, tuberkulosis, malaria, dan lain-lain.
Tatalaksana
Tatalaksana meliputi tatalaksana medikamentosa dan non-medikamentosa.
a. Tatalaksana medikamentosa
Obat pilihan utama adalah golongan Fluoroquinolone selama 5-7 hari seperti
Ciprofloksasin 20 mg/kgbb/hari selama 6 hari atau Levofloksasin 10 mg/kgbb/hari
selama 1-2 minggu. Namun golongan Fluoroquinolone tidak boleh diberikan pada anakanak karena akan mengganggu pertumbuhan tulang karena mempercepat penutupan
epifisis. Maka dapat diganti dengan obat golongan Cephalosporin generasi ketiga seperti
Ceftriaxone dan Cefotaxime. Pada orang dewasa yang resisten terhadap golongan
Fluoroquinolone juga dapat diberikan golongan Cephalosporin generasi ketiga seperti

Ceftriaxone 1-2 gram intravena atau intramuskular selama 5 hari atau 3 gram dalam 3
hari dan Cefotaxime 1-2 gram intravena atau intramuskular.
Dulu obat pilihan utama adalah kloramfenikol, kecuali bila penderita mengalami
resistensi dapat diberikan obat lain misalnya ampisilin, kotrimoksasol, dan lain-lain.
Dianjurkan pemberian kloramfenikol dengan dosis yang tinggi, yaitu 100 mg/kgbb/hari,
diberikan 4 kali sehari peroral atau intramuskular atau intravena bila diperlukan.
Pemberian kloramfenikol dosis tinggi tersebut memberikan manfaat yaitu waktu
perawatan dipersingkat dan relaps tidak terjadi. Akan tetapi mungkin pembentukan zat
anti kurang, oleh karena basil terlalu cepat dimusnahkan. Penderita yang pulang perlu
diberikan suntikan vaksin Tipa.
Pada wanita hamil tidak boleh diberikan Kloramfenikol karena dapat menimbulkan
partus prematurus pada trimester ketiga dan kematian janin intrauterine. Tiamfenikol juga
tidak aman diberikan karena bersifat teratogenik pada trimester pertama. Maka pada
wanita hamil dapat diberian Ampicilin 50-150 mg/kgbb untuk 2 minggu, Amoxicilin 50150 mg/kgbb untuk 2 minggu, dan Ceftriaxone 1-2 gram intravena atau intramuscular
selama 5 hari atau 3 gram dalam 3 hari.
Bila terdapat komplikasi harus diberikan terapi yang sesuai. Misalnya pemberian cairan
intravena untuk penderita dengan dehidrasi dan asidosis. Bila terdapat bronkopneumonia
harus ditambahkan Penicilin dan lain-lain.
b. Tatalaksana non-medikamentosa
1. Isolasi penderita dan disinfeksi pakaian dan ekskreta untuk mencegah penularan
kuman ke orang-orang sekitar pasien.
2. Bedrest.
Istirahat selama demam sampai dengan 2 minggu normal kembali yaitu istirahat mutlak,
berbaring terus di tempat tidur. Seminggu kemudian boleh duduk dan selanjutnya boleh
duduk dan berjalan.

3. Perawatan yang baik dilakukan untuk mencegah komplikasi, mengingat sakit yang
lama, lemah, anoreksia dan lain-lain.
4. Pengaturan diet.
Makanan harus mengandung cukup cairan, kalori dan tinggi protein. Bahan makanan
tidak boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak
gas. Susu 2 kali satu gelas sehari perlu diberikan. Jenis makanan untuk penderita dengan
kesadaran menurun ialah makanan cair yang dapat diberikan melalui NGT. Bila pasien
sadar dan nafsu makan baik, maka dapat diberikan makanan lunak.
5. Banyak minum untuk mecegah dehidrasi karena pasien mengalami diare dan demam.

Komplikasi
1. Komplikasi intestinal umumnya jarang terjadi, akan tetapi sering fatal. Pada usus halus
dapat terjadi :
a. Perdarahan usus. Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan
darah samar pada tinja dengan menggunakan benzidin. Bila perdarahan banyak
terjadi melena dan bila berat dapat disertai perasaan nyeri perut dengan tandatanda renjatan.
b. Perforasi usus. Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setelah itu dan terjadi
pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat
ditemukan bila terdapat udara di rongga peritoneum, yaitu pekak hati menghilang
dan terdapat udara diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang
dibuat dalam keadaan tegak.
c. Peritonitis. Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi
usus. Ditemukan gejala abdomen akut yaitu nyeri perut yang hebat, dinding
abdomen tegang (defense muscular) dan nyeri pada tekanan.

2. Komplikasi ekstra-intestinal yang terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis


(bakteremia) yaitu meningitis, kolesistis, ensefalopati dan lain-lain. Selain itu, komplikasi
ekstra-intestinal dapat terjadi karena infeksi sekunder misalnya pada bronkopneumonia.
Dehidrasi dan asidosis dapat timbul akibat masukan makanan yang kurang dan perspirasi
akibat suhu tubuh yang tinggi.
Prognosis
Umumnya prognosis tifoid abdominalis pada anak baik asal penderita cepat berobat.
Mortalitas pada penderita yang dirawat ialah 6%. Prognosis menjadi buruk bila terdapat
gejala klinis yang berat seperti:
1. Panas tinggi (hiperpireksia) atau febris kontinu.
2. Kesadaran menurun sekali yaitu stupor, koma atau delirium.
3.Terdapat komplikasi yang berat misalnya dehidrasi atau asidosis, peritonitis,
bronkopneumonia dan lain-lain.
4. Keadaan gizi penderita buruk (malnutrisi energi protein).

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
4th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. p1752-1757
2. Centers for Disease Control and Prevention. Typhoid fever. October 5, 2010. [cited 2011 Jan
8]. [Internet] Available at: http://www.cdc.gov/nczved/divisions/dfbmd/diseases/typhoid_fever/
3. Klotchko A, Mark RW. Salmonellosis. Mar 31, 2009. [cited 2011 Jan 11]. [Internet] Available
at: http://emedicine.medscape.com/article/228174-overview
4. Fauci AS, et al. Harrisons Manual of Medicine. 17th ed. New York: McGraw Hill; 2009. p
456-457
5. Bhan MK, Bahl R, Bhatnagar S. Typhoid and parattyphoid fever. Lancet. Aug 2005;366:74962.
6. Brusch J. Typhoid fever. April 8, 2010. [cited 2011 Jan 11]. [Internet] Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/231135-overview
7. Klotchko A. Salmonellosis. Mar 31, 2009. [cited 2011 Jan 8]. [Internet] Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/228174-media
8. Kim AY, Goldberg MB, Rubin RH. Salmonella infections. In: Gorbach SL, Bartlett JG,
Blacklow NR, eds. Infectious Diseases. 3rd ed. Lippincott Williams and Wilkins; 2004:68.

Anda mungkin juga menyukai