Anda di halaman 1dari 59

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Epidural hematom adalah suatu akumulasi darah yang terletak diantara
meningen (membran duramter) dan tulang tengkorak yang terjadi akibat trauma.
Duramater merupakan suatu jaringan fibrosa atau membran yang melapisi otak dan
medulla spinalis. Epidural dimaksudkan untuk organ yang berada disisi luar
duramater dan hematoma dimaksudkan sebagai masa dari darah.1
Sekitar 2% pasien dengan cedera kepala dan 5-15% pasien dengan cedera
kepala yang fatal mengalami epidural hematom intrakranial. Epidural hematom
intrakranial dianggap komplikasi yang paling serius dari cedera kepala dan
membutuhkan diagnosis dan intervensi bedah segera. Epidural hematom intrakranial
dapat terjadi secara akut (58%), subakut (31%), atau kronis (11%).1
Di Amerika Serikat, 2% dari kasus trauma kepala dapat mengakibatkan
terjadinya epidural hematom dan sekitar 10% mengakibatkan koma. Secara
Internasional frekuensi kejadian epidural hematom hampir sama dengan angka
kejadian di Amerika Serikat. Orang yang beresiko mengalami epidural hematom
adalah orang tua yang memiliki masalah berjalan dan sering terjatuh.1
60 % penderita epidural hematom adalah berusia dibawah 20 tahun, dan
jarang terjadi pada usia kurang dari 2 tahun dan di atas 60 tahun. Angka kematian
meningkat pada pasien yang berusia kurang dari 5 tahun dan lebih dari 55 tahun.
Epidural hematom lebih banyak terjadi pada laki-laki dibanding perempuan dengan
perbandingan 4:1. Tingkat kematian penderita epidural hematom diperkirakan 5-50%
dari kasus.1
1.2 Rumusan masalah

Laporan kasus ini membahas tentang definisi, etiologi, epidemiologi,


patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanaan, epidural hematom serta
teknik general anestesi pada craniotomy.
1.3 Tujuan Penulisan
1. Memahami definisi, etiologi, epidemiologi, patofisiologi, manifestasi klinis,
diagnosis, penatalaksanaan, teknik anestesi, dan komplikasi penyakit trauma
kepala.
2. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran.
3. Memenuhi salah satu persyaratan kelulusan Program Pendidikan Pofesi
Dokter (P3D) di Departemen Anastesi dan Terapi Intensif

Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP Haji Adam Malik Medan.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epidural Hematom


2.1.1 Definisi
Epidural hematom adalah suatu akumulasi darah yang terletak diantara
meningen (membran duramter) dan tulang tengkorak yang terjadi akibat trauma.
Duramater merupakan suatu jaringan fibrosa atau membran yang melapisi otak dan
medulla spinalis. Epidural dimaksudkan untuk organ yang berada disisi luar
duramater dan hematoma dimaksudkan sebagai masa dari darah.1
Epidural hematom sebagai keadaan neurologist yang bersifat emergency dan
biasanya berhubungan dengan linear fraktur yang memutuskan arteri yang lebih
besar, sehingga menimbulkan perdarahan. Venous epidural hematom berhubungan
dengan robekan pembuluh vena dan berlangsung perlahan-lahan. Arterial hematom
terjadi pada middle meningeal artery yang terletak di bawah tulang temporal.
Perdarahan masuk ke dalam ruang epidural, bila terjadi perdarahan arteri maka
hematom akan cepat terjadi.1
2.1.2 Etiologi
Epidural

hematom

terjadi

akibat suatu

trauma

kepala,

biasanya

disertai dengan fraktur pada tulang tengkorak dan adanya laserasi arteri. Epidural
hematom juga bisa disebabkan akibat pemakaian obat obatan antikoagulan,
hemophilia, penyakit liver, penggunaan aspirin, sistemik lupus erimatosus, fungsi
lumbal. Spinal epidural hematom disebabkan akibat adanya kompresi pada medula
spinalis. Gejala klinisnya tergantung pada dimana letak terjadinya penekanan.1
2.1.3. Anatomi Kepala
a. Kulit Kepala

Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan


yang disebut sebagai SCALP yaitu:
Skin atau kulit
Connective

tissue

atau

jaringan penyambung
Aponeuris

atau

galea

aponeurotika yaitu jaringan


ikat

yang

berhbungan

langsung dengan tengkorak


Ga
mbar 2.1 Anatomi Kulit Kepala

Loose areolar tissue tau jaringan penunjang longgar.


Perikranium

Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika


dari perikranium dan merupakan tempat yang biasa terjadinya
perdarahan subgaleal. Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah
sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan
menyebabkan banyak kehilangan darah terutama pada anak-anak atau
penderita

dewasa

yang

cukup

lama

membutuhkan waktu

Lama untuk mengeluarkannya.2

terperangkap

sehingga

b. Tulang Tengkorak

Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang


tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal,
temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal
adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii
berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat
bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak
dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis,
fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian
bawah batang otak dan serebelum.2

c. Meningens
Selaput meningens menutupi seluruh permukaan otak dan

terdiri dari 3 lapisan yaitu :2

Gambar 2.2 Lapisan Meningens

1) Duramater

Duramater secara konvensional terdiri atas dua

lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Duramater


merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat
erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput
arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang

subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid, dimana sering


dijumpai perdarahan subdural.

Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan


pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau
disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan
perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke
sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat
mengakibatkan perdarahan hebat.

Arteri meningea terletak antara duramater dan


permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang
kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan
perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri
meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).
2) Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan

tembus pandang. Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam
dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari
dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia
mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis.
Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
3) Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks

serebri. Pia mater adarah membrana vaskular yang dengan erat


membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling
dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan
epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga
diliputi oleh pia mater.

d. Otak

Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada


orang dewasa sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu
proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon,

mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang)


terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum.

Gambar 2.3 Anatomi Otak

Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus


frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat
ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi
sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi
memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses
penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem
aktivasi

retikular

kewapadaan.

Pada

yang

berfungsi

medulla

dalam

oblongata

kesadaran
terdapat

dan
pusat

kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi


koordinasi dan keseimbangan.2

e. Cairan serebrospinalis

Cairan serebrospinal

(CSS)

dihasilkan

oleh

plexus

khoroideus dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS


mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju
ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS
akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio
arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya
darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga
mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan
intracranial.

Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa

volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per
hari.2

f. Tentorium

Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi

ruang supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii
media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).2

e. Vaskularisasi Otak

Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri
vertebralis. Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan
inferior otak dan membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak
mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan
tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan
bermuara ke dalam sinus venosus cranialis.2

Gambar 2.4 Anatomi Otak

2.1.4 Patofisologi

Pada hematom epidural, perdarahan terjadi di antara tulang


tengkorak dan dura meter. Perdarahan ini lebih sering terjadi di
daerah temporal bila salah satu cabang arteria meningea media
robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur tulang tengkorak di
daerah bersangkutan. Hematom dapat pula terjadi di daerah frontal
atau oksipital.3

10

Gambar 2.5 Epidural Hematom

Arteri meningea media yang masuk ke dalam tengkorak


melalui foramen spinosum melewati durameter, tulang di
permukaan,

dan

os

temporale.

Perdarahan

yang

terjadi

menimbulkan hematom epidural, desakan oleh hematoma akan


melepaskan durameter dari tulang kepala sehingga hematom
bertambah besar. 3
Hematoma

yang

membesar

di

daerah

temporal

menyebabkan tekanan pada lobus temporalis otak kearah bawah


dan bagian dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus
mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini
menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik yang dapat
diketahui

oleh

tim

medis.1

Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria yang


mengurus formation retikularis di medulla oblongata menyebabkan
hilangnya kesadaran. Di tempat ini terdapat nuclei saraf cranial
ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf ini mengakibatkan
dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan
kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan
kelemahan respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau
sangat cepat, dan tanda babinski positif.1

11

Dengan semakin membesarnya hematoma, maka seluruh isi

otak akan terdorong kearah yang berlawanan, menyebabkan


tekanan intracranial yang besar. Timbul tanda-tanda lanjut
peningkatan tekanan intracranial antara lain kekakuan deserebrasi
dan

gangguan

tanda-tanda

vital

dan

fungsi

pernafasan.1

Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan


terpompa terus keluar hingga makin lama makin besar. Ketika
kepala terbanting atau terbentur mungkin penderita pingsan
sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu beberapa jam ,
penderita akan merasakan nyeri kepala yang progersif memberat,
kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua
penurunan kesadaran ini selama penderita sadar setelah terjadi
kecelakaan di sebut interval lucid. Fenomena lucid interval terjadi
karena cedera primer yang ringan pada Epidural hematom. Kalau
pada subdural hematoma cedera primernya hampir selalu berat
atau epidural hematoma dengan trauma primer berat tidak terjadi
lucid interval karena pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak
pernah mengalami fase sadar. 3

Sumber perdarahan : 3

Artery meningea ( lucid interval : 2 3 jam )

Sinus duramati

Diploe (lubang yang mengisis kalvaria kranii) yang berisi


a. diploica dan

Epidural

vena diploica
hematoma

merupakan

kasus

yang

paling

emergensi di bedah saraf karena progresifitasnya yang cepat,


disebabkan durameter melekat erat pada sutura sehingga langsung
mendesak ke parenkim otak, sehingga menyebabkan mudah terjadi
herniasi trans dan infra tentorial. Karena itu setiap penderita
dengan trauma kepala yang mengeluh nyeri kepala yang
berlangsung lama, apalagi progresif memberat, harus segera di
rawat dan diperiksa dengan teliti.3,4

12

2.1.5 Gambaran Klinis


Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun

secara progresif. Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali


tampak memar di sekitar mata dan di belakang telinga, sering juga
tampak cairan yang keluar pada saluran hidung atau telinga. Pasien
dengan gejala tersebut harus di observasi dengan teliti..4
Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-

macam akibat dari cedera kepala. Banyak gejala yang muncul


bersaman pada saat terjadi cedera kepala.
Gejala yang sering terjadi : 4

Penurunan kesadaran,

Nampak luka yang

bisa sampai

dalam atau

koma

goresan pada kulit


kepala.

Bingung
Penglihatan kabur

Mual

Susah bicara

Pusing

Nyeri kepala yang

Berkeringat
Pucat

hebat
Keluar cairan darah

Pupil anisokor, yaitu

dari hidung atau

pupil ipsilateral

telinga.

menjadi melebar.

Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa


dijumpai

hemiparese

atau

serangan

epilepsi

fokal.

Pada

perjalannya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi


cahaya pada permulaan masih positif menjadi negatif. Tanda sudah
terjadi herniasi tentorial. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan

13

bradikardi. Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma,


pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya
kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan
tanda

kematian.

Gejala-gejala

respirasi

yang

bisa

timbul

berikutnya, mencerminkan adanya disfungsi rostrocaudal batang


otak. 5

Jika Epidural hematom di sertai dengan cedera otak seperti


memar otak, interval bebas tidak akan terlihat, sedangkan gejala
dan tanda lainnya menjadi kabur. 3

2.1.6 Klasifikasi Berdasarkan Pemeriksaan Klinis

Pasien cedera otak, khususnya jenis tertutup, berdasarkan


gangguan kesadarannya (berdasarkan Glasgow Coma Scale +
GCS) dikelompokkkan menjadi :5

Cedera kepala ringan (Head Injury Grade I)


GCS : 14-15 bisa disertai disorientasi, amnesia,

sakit kepala, mual,

muntah.

Cedera kepala sedang (Head Injury Grade II)


GCS : 9-12 atau lebih dari 12 tetapi disertai

kelainan neurologis fokal.


Disini

pasien

masih

bisa

mengikuti/menuruti

perintah sederhana.
Cedera kepala berat.
GCS : 8 atau kurang (penderita koma), dengan atau

tanpa disertai

gangguan fungsi batang otak.

Penilaian derajat gangguan kesadaran dilakukan sesudah


stabilisasi sirkulasi dan pernafasan guna memastikan bahwa defisit

14

tersebut diakibatkan oleh cedera otak dan bukan oleh sebab Lain.
Skala ini yang digunakan untuk menilai derajat gangguan
kesadaran, dikemukakan pertama kali oleh Jennet dan Teasdale
pada tahun 1974. Penilaiannya adalah berdasarkan respons
membuka mata (= E), respon motorik (= M) dan respon verbal (=
V). Pemeriksaan GCS tidak memerlukan alat bantu, mudah
dikerjakan sehingga dapat dilakukan dimana saja oleh siapa saja.
Daftar penilaian GCS selengkapnya adalah seperti terlihat pada
tabel di bawah ini:5

Tabel 2.1 Glasgow Coma Scale (GCS)

Eye

Obeys

opening

comm

(E)

ands

Verbal respons
(V)

Orient

Sp

ed

Confu

sed

To

li

conver

To

sation

Inappr
opriat

words

15

Incom

No

prehen

o
r
m
a
l
fl
e
x
i
o
n
(
w
it
h
d
r
a
w
a
l)

A
b
n
o
r
m
a

sible
sounds

None

16

l
fl
e
x
i
o
n
(
d
e
c
o
r
a
ti
c
a
t
e
)

E
x
t
e
n
si
o
n
(
d
e

17

c
e
r
e
b
r
a
t
e
)

N
o
n
e
(f
l
a
c
c
i
d
)

2.1.7 Gambaran Ridiologi

Dengan CT-scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat


trauma kepala lebih mudah dikenali. 6

Foto Polos Kepala

Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti


sebagai epidural hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (AP), lateral dengan sisi yang mengalami trauma pada film untuk

18

mencari adanya fraktur tulang yang memotong sulcus arteria


meningea media. 6
Computed Tomography (CT-Scan)

Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume,


efek, dan potensi cedara intracranial lainnya. Pada epidural
biasanya pada satu bagian saja (single) tetapi dapat pula terjadi
pada kedua sisi (bilateral), berbentuk bikonfeks, paling sering di
daerah temporoparietal. Densitas darah yang homogen (hiperdens),
berbatas tegas, midline terdorong ke sisi kontralateral. Terdapat
pula garis fraktur pada area epidural hematoma, Densitas yang
tinggi pada stage yang akut ( 60 90 HU), ditandai dengan adanya
peregangan dari pembuluh darah. 6

Gambar 2.6 CT-Scan pada EDH

Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks


yang menggeser posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak
dan duramater. MRI juga dapat menggambarkan batas fraktur yang

19

terjadi. MRI merupakan salah satu jenis pemeriksaan yang dipilih


untuk menegakkan diagnosis.6

2.1.8 Diagnosis Banding


1. Hematoma subdural

Hematoma subdural terjadi akibat pengumpulan darah


diantara dura mater dan arachnoid. Secara klinis hematoma
subdural akut sukar dibedakan dengan hematoma epidural yang
berkembang lambat. Bisa di sebabkan oleh trauma hebat pada
kepala yang menyebabkan bergesernya seluruh parenkim otak
mengenai tulang sehingga merusak a. kortikalis. Biasanya di sertai
dengan perdarahan jaringan otak. Gambaran CT-Scan hematoma
subdural, tampak penumpukan cairan ekstraaksial yang hiperdens
berbentuk bulan sabit.4

2. Hematoma Subarachnoid

Perdarahan

subarakhnoid

terjadi

pembuluh-pembuluh darah di dalamnya.4

karena

robeknya

20

Gambar 2.7 Hematom Subarachnoid

2.1.9 Penatalaksanaan

Penanganan darurat :

Dekompresi dengan trepanasi sederhana


Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom

Terapi medikamentosa

21

Elevasi kepala 30o dari tempat tidur setelah memastikan

tidak ada cedera spinal atau gunakan posisi trendelenburg terbalik


untuk mengurang tekanan intracranial dan meningkakan drainase
vena.6

Pengobatan yang lazim diberikan pada cedera kepala adalah


golongan dexametason (dengan dosis awal 10 mg kemudian
dilanjutkan 4 mg tiap 6 jam), mannitol 20% (dosis 1-3
mg/kgBB/hari) yang bertujuan untuk mengatasi edema cerebri
yang terjadi akan tetapi hal ini masih kontroversi dalam memilih
mana yang terbaik. Dianjurkan untuk memberikan terapi
profilaksis dengan fenitoin sedini mungkin (24 jam pertama) untuk
mencegah timbulnya focus epileptogenic dan untuk penggunaan
jangka panjang dapat dilanjutkan dengan karbamazepin. Trihidroksimetil-amino-metana (THAM) merupakan suatu buffer
yang dapat masuk ke susunan saraf pusat dan secara teoritis lebih
superior dari natrium bikarbonat, dalam hal ini untuk mengurangi
tekanan intracranial. Barbiturat dapat dipakai unuk mengatasi
tekanan inrakranial yang meninggi dan mempunyai efek protektif
terhadap otak dari anoksia dan iskemik dosis yang biasa diterapkan
adalah diawali dengan 10 mg/kgBB dalam 30 menit dan kemudian
dilanjutkan dengan 5 mg/ kgBB setiap 3 jam serta drip 1
mg/kgBB/jam unuk mencapai kadar serum 3-4mg%.3

Terapi Operatif
Operasi dilakukan bila terdapat : 7

Volume hamatom 25 ml

Keadaan pasien memburuk

Pendorongan garis tengah > 5 mm

22

Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life


saving dan untuk fungsional saving. Jika untuk keduanya tujuan
tersebut maka operasinya menjadi operasi emergeny. Biasanya
keadaan emergenci ini di sebabkan oleh lesi desak ruang.7

Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :7

> 25 cc = desak ruang supra tentorial

> 10 cc = desak ruang infratentorial

> 5 cc = desak ruang thalamus

Sedangkan indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang


signifikan :7

Penurunan klinis

Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift >


5 mm dengan

penurunan klinis yang progresif.

Tebal epidural hematoma > 1,5 cm dengan midline shift >


5 mm dengan

penurunan klinis yang progresif.

2.1.10 Prognosis
Prognosis tergantung pada :3

Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )

Besarnya

Kesadaran saat masuk kamar operasi.

Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural


akan baik, karena kerusakan otak secara menyeluruh dapat
dibatasi. Angka kematian berkisar antara 7-15% dan kecacatan
pada 5-10% kasus. Prognosis sangat buruk pada pasien yang
mengalami koma sebelum operasi.3

23

2.2

Primary Survey
Survei ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability,

Exposure) ini disebutsurvei primer yang harus selesai dilakukan dalam 2 5 menit. Terapi dikerjakan serentak jika korban mengalami ancaman jiwa
akibat banyak sistem tubuh yang cedera.8

2.2.1

Airway8

Menilai jalan nafas bebas. Melihat apakah pasien dapat

bicara dan bernafas dengan bebas atau tidak. Jika ada obstruksi maka
lakukan :
Triple airway maneuver (Head tilt, chin lift, jaw thrust
Suction
Pemasangan oropharyngeal/ nasopharyngeal airway
Intubasi trakhea dengan leher di tahan (imobilisasi) pada posisi
netral

Prioritas pertama adalah membebaskan jalan nafas dan


mempertahankannya agar tetap bebas.
1. Bicara kepada pasien

Pasien yang dapat menjawab dengan jelas adalah tanda

bahwa jalan nafasnya bebas. Pasien yang tidak sadar mungkin


memerlukan jalan nafas buatan dan bantuan pernafasan. Penyebab
obstruksi pada pasien tidak sadar umumnya adalah jatuhnya pangkal lidah
ke belakang. Jika ada cedera kepala, leher atau dada maka pada waktu
intubasi trakhea tulang leher (cervical spine) harus dilindungi dengan
imobilisasi in-line.
2.
Berikan oksigen dengan nassal prong atau simple mask
sesuai kebutuhan.
3.
Menilai jalan nafas

Tanda obstruksi jalan nafas antara lain :

Snoring, gargling, crowing

Suara nafas abnormal (stridor, dsb)

Pasien gelisah karena hipoksia

Bernafas menggunakan otot nafas tambahan

Sianosis

24

Waspada adanya benda asing di jalan nafas. Jangan

memberikan obat sedativa pada pasien seperti ini.


4.
Menjaga stabilitas tulang leher
5.
Pertimbangkan untuk memasang jalan nafas buatan.

Indikasi tindakan ini adalah :

Obstruksi jalan nafas yang sukar diatasi

Luka tembus leher dengan hematoma yang membesar

Apnea

Hipoksia

Trauma kepala berat

Trauma dada

Trauma wajah / maxillo-facial

Obstruksi jalan nafas harus segera diatasi.

2.2.2

Breathing8

Menilai pernafasan cukup. Sementara itu nilai ulang apakah

jalan nafas bebas. Jika pernafasan tidak memadai maka lakukan :


Dekompresi rongga pleura (pneumotoraks)
Tutuplah jika ada luka robek pada dinding dada
Pernafasan buatan. Berikan oksigen jika ada.

Penilaian ulang ABC harus dilakukan lagi jika kondisi


pasien tidak stabil. Prioritas kedua adalah memberikan ventilasi yang
adekuat.
Inspeksi/lihat frekwensi nafas (LOOK)

Adakah hal-hal berikut :

. Sianosis

. Luka tembus dada

. Flail chest

. Sucking wounds

. Gerakan otot nafas tambahan


Palpasi / raba (FEEL)

. Pergeseran letak trakhea

. Patah tulang iga

. Emfisema kulit

. Dengan perkusi mencari hemotoraks


pneumotoraks
Auskultasi / dengar (LISTEN)

. Suara nafas, detak jantung, bising usus

. Suara nafas menurun pada pneumotoraks

. Suara nafas tambahan / abnormal

dan

atau

25

Tindakan Resusitasi

Jika ada distres nafas maka rongga pleura harus


dikosongkan dari udara dan darah dengan memasang drainage toraks
segera tanpa menunggu pemeriksaan sinar X. Jika diperlukan intubasi
trakhea tetapi sulit, maka kerjakan krikotiroidotomi.

Catatan Khusus:
Jika dimungkinkan, berikan oksigen hingga pasien menjadi stabil.
Jika diduga ada tension pneumotoraks, dekompresi harus segera
dilakukan dengan jarum besar yang ditusukkan menembus rongga
pleura sisi yang cedera. Lakukan pada ruang sela iga kedua (ICS 2)
di garis yang melalui tengah klavikula. Pertahankan posisi jarum
hingga pemasangan drain toraks selesai.
Jika intubasi trakhea dicoba satu atau dua kali gagal, maka
kerjakan krikotiroidotomi. Tentu hal ini juga tergantung pada
kemampuan tenaga medis yang ada dan kelengkapan alat. Jangan
terlalu lama mencoba intubasi tanpa memberikan ventilasi.

2.2.3

Circulation8

Menilai sirkulasi/peredaran darah. Sementara itu nilai ulang

apakah jalan nafas bebas dan pernafasan cukup. Jika sirkulasi tidak
memadai maka lakukan :
Hentikan perdarahan eksternal
Segera pasang dua jalur infus dengan jarum besar (14 - 16 G)
Berikan infus cairan

Prioritas ketiga adalah perbaikan sirkulasi agar memadai.


Syok adalah keadaan berkurangnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan.
Pada pasien trauma keadaan ini paling sering disebabkan oleh
hipovolemia.

Diagnosa syok didasarkan tanda-tanda klinis, yaitu:


hipotensi, takhikardia, takhipnea, hipothermi, pucat, ekstremitas dingin,
melambatnya pengisian kapiler (capillary refill) dan penurunan produksi
urine.

Jenis-jenis syok :

26

Syok hemoragik (hipovolemik): disebabkan kehilangan akut dari darah


atau cairan
tubuh. Jumlah darah yang hilang akibat trauma sulit diukur dengan
tepat bahkan pada
trauma tumpul sering diperkirakan terlalu rendah. Ingat bahwa :
Sejumlah besar darah dapat terkumpul dalam rongga perut dan
pleura.
Perdarahan patah tulang paha (femur shaft) dapat mencapai 2
(dua) liter.
Perdarahan patah tulang panggul (pelvis) dapat melebihi 2 liter
Syok kardiogenik : disebabkan berkurangnya fungsi jantung, antara lain
akibat :

Kontusioo miokard
Tamponade jantung
Pneumotoraks tension
Luka tembus jantung
Infark miokard
Penilaian tekanan vena jugularis sangat penting dan sebaiknya
ECG dapat direkam.

Syok neurogenik : ditimbulkan oleh hilangnya tonus simpatis akibat


cedera sumsum tulang belakang (spinal cord). Gambaran klasik adalah
hipotensi tanpa diserta takhikardiaa atau vasokonstriksi.
Syok septik : Jarang ditemukan pada fase awal dari trauma, tetapi sering
menjadi penyebab kematian beberapa minggu sesudah trauma (melalui
gagal organ ganda). Paling sering dijumpai pada korban luka tembus
abdomen dan luka bakar. Hipovolemia adalah keadaan darurat mengancam
jiwa.

Langkah-langkah resusitasi sirkulasi:


Tujuan akhirnya adalah menormalkan kembali oksigenasi

jaringan. Karena penyebab gangguan ini adalah kehilangan darah maka


resusitasi cairan merupakan prioritas.
1. Jalur intravena yang baik dan lancar harus segera dipasang.
Gunakan kanula
besar

27

(14 - 16 G). Dalam keadaan khusus mungkin perlu vena sectie


2. Cairan infus (NaCL 0,9%) harus dihangatkan sampai suhu tubuh
karena hipotermia
dapat menyababkan gangguan pembekuan darah.
3. Hindari cairan yang mengandung glukose.
4. Ambil sampel darah secukupnya untuk pemeriksaan dan uji
silang golongan darah.

Urine

Produksi urine menggambarkan normal atau tidaknya


fungsi sirkulasi jumlah seharusnya adalah > 0.5 ml/kg/jam. Jika pasien
tidak sadar dengan syok lama sebaiknya dipasang kateter urine.

Transfusi darah

Penyediaan darah donor mungkin sukar, disamping


besarnya risiko ketidak sesuaian
golongan darah, hepatitis B dan C, HIV / AIDS. Risiko penularan
penyakit juga ada meski donornya adalah keluarga sendiri.

Transfusi harus dipertimbangkan jika sirkulasi pasien tidak


stabil meskipun telah mendapat cukup koloid / kristaloid. Jika golongan
darah donor yang sesuai tidak tersedia, dapat digunakan darah golongan O
(sebaiknya pack red cel dan Rhesus negatif). Transfusi harus diberikan jika
Hb dibawah 7g/dl jika pasien masih terus berdarah.

Prioritas pertama adalah hentikan perdarahan.

Cedera pada anggota gerak :

Torniket tidak berguna. Disamping itu

torniket

menyebabkan sindroma reperfusi dan menambah berat kerusakan primer.


Alternatif yang disebut bebat tekan itu sering disalah mengerti.
Perdarahan hebat karena luka tusuk dan luka amputasi dapat dihentikan
dengan pemasangan kasa padat subfascial ditambah tekanan manual pada
arteri disebelah proksimal ditambah bebat kompresif (tekan merata)
diseluruh bagian anggota gerak tersebut. Kehilangan darah adalah
penyebab utama dari syok yang diderita pasien trauma.

Cedera dada

Sumber perdarahan dari dinding dada umumnya adalah


arteri. Pemasangan chest tube/pipa drain harus sedini mungkin. Hal ini jika
di tambah dengan penghisapan berkala, ditambah analgesia yang efisien,

28

memungkinkan paru berkembang kembali sekaligus menyumbat sumber


perdarahan. Untuk analgesia digunakan ketamin I.V.

Cedera abdomen

Damage control laparatomy harus segera dilakukan sedini


mungkin bila resusitasi cairan tidak dapat mempertahankan tekanan
sistolik antara 80-90 mmHg. Pada waktu DC laparatomy, dilakukan
pemasangan kasa besar untuk menekan dan menyumbat sumber
perdarahan dari organ perut (abdominal packing). Insisi pada garis tengah
hendaknya sudah ditutup kembali dalam waktu 30 menit dengan
menggunakan penjepit (towel clamps). Tindakan resusitasi ini hendaknya
dikerjakan dengan anestesia ketamin oleh dokter yang terlatih (atau
mungkin oleh perawat untuk rumah sakit yang lebih kecil). Jelas bahwa
teknik ini harus dipelajari lebih dahulu namun jika dikerjakan cukup baik
pasti akan menyelamatkan nyawa.

Prioritas kedua: Penggantian

cairan,

penghangatan,

analgesia dengan ketamin.

Infus cairan pengganti harus dihangatkan karena proses


pembekuan darah berlangsung paling baik pada suuh 38,5 C. Hemostasis
sukar berlangsung baik pada suhu dibawah 35 C. Hipotermia pada pasien
trauma sering terjadi jika evakuasi pra rumah sakit berlangsung terlalu
lama (bahkan juga di cuaca tropis). Pasien mudah menjadi dingin tetapi
sukar untuk dihangatkan kembali, karena itu pencegahan hipotermia
sangat penting. Cairan oral maupun intravena harus dipanaskan 40-42 C.
Cairan pada suku ruangan sama dengan pendinginan.

Resusitasi cairan hipotensif : Pada kasus-kasus dimana


penghentian perdarahan tidak definitive atau tidak meyakinkan volume
diberikan dengan menjaga tekanan sistolik antara 80 - 90 mmHg selama
evakuasi.

Cairan koloid keluar, cairan elektrolit masuk ! Hasil

penelitian terbaru dengan kelompok kontrol menemukan sedikit efek


negatif dari penggunaan koloid dibandingkan elektrolit untuk resusitasi
cairan.

29

Resusitasi cairan lewat mulut (per-oral) cukup aman dan

efisien jika pasien masih memiliki gag reflex dan tidak ada cedera perut.
Cairan yang diminum harus rendah gula dan garam. Cairan yang pekat
akan menyebabkan penarikan osmotik dari mukosa usus sehingga
timbullah efek negatif. Diluted cereal porridges yang menggunakan bahan
dasar lokal/setempat sangat dianjurkan.

Analgesia untuk pasien trauma dapat menggunakan


ketamin dosis berulang 0,2 mg/kg. Obat ini mempunyai efek inotropik
positif dan tidak mengurangi gag reflex, sehingga sesuai untuk evakuasi
pasien trauma berat.

2.2.4

Disability8

Menilai kesadaran dengan cepat, apakah pasien sadar,

hanya respons terhadap nyeri atau sama sekali tidak sadar. Tidak
dianjurkan mengukur Glasgow Coma Scale.

AWAKE = A

RESPONS BICARA (verbal) = V

RESPONS NYERI = P

TAK ADA RESPONS = U

Cara ini cukup jelas dan cepat.

2.2.5

Eksposure8

Lepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari

semua cedera yang mungkin ada. Jika ada kecurigaan cedera leher atau
tulang belakang, maka imobilisasi in-line harus dikerjakan.19

2.3 General Anestesi Pada Craniotomi

2.3.1 Persiapan

Setelah pasien memasuki ruang operasi, monitor harus

dipasang untuk mengevaluasi pasien selama operasi.

Anestesi umum

30

biasanya merupakan teknik yang dipilih. Tujuan dari anestesi umum


adalah pemeliharaan yang adekuat dari ventilasi dan oksigenasi, stabilitas
kardiovaskuler, kontrol hipertensi intracranial, normalisasi asam-basa atau
elektrolit dan pencegahan untuk terjadinya hipotermia dan koagulopati.
Obat-obat yang digunakan dapat berupa obat induksi, pelumpuh otot, dan
sedatif atau analgetik.4,5

Pertimbangan utama dalam memilih obat anestesi, atau

kombinasi obat-obatan anestesi, adalah pengaruhnya terhadap TIK.


Beberapa obat anestesi inhalasi dapat meninggikan aliran darah serebral
secara ringan hingga berat. Obat inhalasi volatil seperti halotan, enfluran
dan isofluran, meninggikan aliran darah serebral, namun aman pada
konsentrasi

rendah. Isofluran paling sedikit

kemungkinannya

menyebabkan vasodilatasi serebral. Nitrous oksida berefek vasodilatasi


ringan yang mungkin secara klinik

tidak bermakna, dan karenanya

dipertimbangkan sebagai obat yang baik untuk digunakan pada pasien


cedera kepala.4,5

2.3.2 Pemeriksaan Pre-anestesi

Setiap saat, ruang operasi harus selalu tersedia untuk

prosedur emergensi. Persiapan harus dilakukan secara sistematis mulai


dari peralatan anestesi, peralatan untuk jalan nafas, obat anestesi baik yang
intravena, inhalasi, muscle relaxant, dan obat resusitasi. Anamnesis untuk
mendapatkan riwayat penyakitnya, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang.4,5

Tabel 2.2 Obat Resusitasi

Obat Resusitasi
Drug

Recom
mended
Dose

Avera
ge
Adult
Dose

31

Adrenalin
e

0.010.05
mg/kg

0.51mg

Atropine

0.02
mg/kg

0.6-1.2
mg

Calcium
Chloride

0.2
ml/kg
(10%)

5-10
mL

Lignocain
e

1 mg/kg

10 mL
1%

2.3.3 Induksi Anastesi

Preoksigenasi penting sebelum dilakukannya anestesi

induksi berurutan secara cepat. Tindakan ini memiliki tiga tujuan, yaitu:4,5
1. Nitrogen dihilangkan, sehingga dapat meningkatkan cadangan O2 dan
memungkinkan periode apnea yang lebih panjang.
2. Tangan ahli anestesi tidak perlu memegang masker untuk memberi
ventilasi pada penderita setelah hambatan neuromuskular berhasil
dilaksanakan. Sehingga tidak akan terjadi penundaan sebelum intubasi
trakea, dan oksigen tidak perlu dipaksa masuk kedalam lambung, yang
dapat menimbulkan peninggian tekanan intra gastrik dan resiko
regurgitasi.
3. Pada waktu yang lebih lama, nitrogen yang terdapat dalam saluran cerna
yang dapat menurun sehingga tekanan abdomen berkurang.

Tabel 2.3 Agen Intravena

Agen Intravena

Typic
al
Initial
Dose

Cl
in
ic
al
O

Clini
cal
Dura
tion

32

ns
et

4-5
mg/kg

20
30
se
c

5-10
min

1.52.5
mg/kg

12
mi
n

5-10
min

0.010.1
mg/kg

24
mi
n

1-2
hrs

0.020.2
mg/kg

36
mi
n

4-8
hrs

1-1.5
mcg/k
g

14
mi
n

2-3
hrs

0.050.15
mg/kg

310
mi
n

2-3
hrs

0.51.5
mg/kg

25
mi
n

2-3
hrs

1-2
mg/kg

20
30
se

5-10
min

33

Induksi

cepat

dengan

menggunakan

propofol

dan

rocuronium sering dilakukan pada pasien peritonitis. Titrasi yang hati-hati


dengan infus loading mungkin dibutuhkan untuk meminimalisir efek
samping kardiovaskuler. Induksi menghasilkan penurunan yang minimal
pada kecepatan denyut jantung, tekanan darah dan resistensi vaskuler
sistemik.4,5

Propofol adalah campuran 1% obat dalam air dan emulsi

yang vang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan 2,25%
gliserol. Dosis yang dianjurkan 1-2mg/KgBB untuk induksi secara
intravena. Propofol menurunkan tekanan darah sistemik kira-kira 80%
karena vasodilatasi perifer dan penurunan curah jantung, menurunkan
aliran darah ke otak, tekanan intrakranial serta metabolisme otot.
Keunggulannya, propofol tidak menimbulkan aritmia maupun iskemi otot
jantung, tidak merusak fungsi hati dan ginjal, mempercepat induksi dan
cepat recovery.4,5

Tabel 2.4 Agen Inhalasi

Agen Inhalasi

C
o
n
ce
n
tr
at
io
n
U
se

Bloo
d/G
as
part
ition
Coef
ficie
nt

Oi

34

21
5
%

12

0.
53
%

2.3

16
%

1.9

12

14
%

1.4

12

16
%

0.69

53

7
0
%

0.47

2.

22

* with 60% nitrous oxide. MAC is higher if no nitrous oxide is


used

Rocuronium (1-1,5 mg/kg) merupakan alternatif relaksan

otot non-depolarisasi yang lebih baik dibandingkan dengan suksinilkolin


dalam hal onset kerjanya, yang menghasilkan kondisi intubasi dalam 6090 detik, namun memiliki durasi aksi yang hampir sama dengan
vecuronium (digunakan secara hati-hati pada pasien dengan jalan napas
yang sulit). 4,5

35

Tabel 2.5 Muscle Relaxants

Muscle Relaxants
Dr
ug

Initial
Dose
mg/kg

Approximate
duration (min)

dTu
boc
ura
rin
e

0.5

25-30

Alc
uro
niu
m

0.3

20-25

Gal
la
mi
ne

1-2

20-30

Pa
ncu
ron
iu
m

0.1

30-45

Ve
cur
oni
um

0.1

15-20

Atr
acu

0.5

20-25

36

riu
m
Cis
atr
acu
riu
m

0.15

20-25

Mi
vac
uri
um

0.2

10-20

Ro
cur
oni
um

0.6

20-30

Su
xa
me
tho
niu
m

1-1.5

3-5

2.2.4 Pemeliharaan Anastesi

Anestesi dipelihara dengan kombinasi oksigen, agen volatil,

relaksan otot non depolarisasi, dan opioid aksi cepat. Agen inhalasi
diantaranya isofluran, sevofluran, dan desfluran. Semua agen volatile
menghasilkan penurunan tekanan darah yang tergantung dosis karena ia
mempengaruhi tonus vaskuler dan atau curah jantung. Agen yang dipilih
harus dititrasi untuk memelihara tekanan aterial rata-rata dan tekanan
perfusi serebral. Nitrous Oxide harus diberikan dengan sangat selektif dan
harus

dihindari

pada

kasus-kasus

dimana

terjadi

pneumotoraks,

pneumosefali atau lengkung usus yang terisi udara. Ketika diekstubasi

37

pada ruang operasi, pasien harus dalam keadaan bangun dan bernapas
secara spontan, memililki refleks batuk yang adekuat, dan dapat mengikuti
perintah.4,5

2.2.5 Pengawasan Tindakan Anastesi

Pengawasan Tindakan Anestesi yang wajib diawasi dari

pasien adalah tanda tanda vital, ukuran pupil, lakrimasi, kehilangan darah,
urin yang keluar, cairan yang masuk, dan lain-lain. Hal lain yang tak kalah
penting adalah perlunya pemasangan alat pulse oksimetri, monitoring end
tidal CO2, EKG, CVP dan Temperatur.Mengawasi Fungsi neuromuskular
juga sangat membantu untuk pasien tersebut yang tidak dapat bernafas
setelah pemberian muscle relaksan. Akhir dari pembedahan adalah
tantangan tersendiri untuk pihak anastesi,ini membutuhkkan perencanaan
yang matang,misalnya dengan pemberian atropine dan neostigmin supaya
mendapatkan nafas spontan, kemudian suction mulut hingga faring dan
lakukan ekstubasi dengan halus dari pasien.4,5

2.2.6 Monitoring Pasca Bedah

Setelah operasi selesai pasien dibawa ke Recovery Room

(RR). Di ruang inilah pemulihan dari anestesi umum atau anestesi regional
dilakukan. RR terletak berdekatan dengan ruang operasi sehingga apabila
terjadi suatu kondisi yang memerlukan pembedahan ulang tidak akan
mengalami kesulitan. Pada saat di RR, dilakukan monitoring seperti di
ruang operasi, yaitu meliputi tekanan darah, saturasi oksigen, EKG, denyut
nadi hingga kondisi stabil. Pasien yang sudah di recovery harus terus
mendapatkan suplai oksigen, harus terus di monitor airway, breathing dan
circulation-nya,dan diberikan analgesik yang dibutuhkan.4,5

Masalah utama setelah operasi adalah rasa sakit setelah


operasi, sehingga harus terus diawasi karena kebanyakan pasien
mengalami mual muntah yang hebat, harus dipikirkan penggantian cairan

38

dan memulai mobilisasi awal dan merujuk fisioterapi untuk mencegah


adanya komplikasi seperti atelektasis, pneumonia dan deep vein
trombosis.4,5

LAMPIRAN 1
LAPORAN KASUS
3.1 Anamnesis

Identitas Pribadi
Nama
: BS
Jenis Kelamin: Laki-laki
Usia
: 8 tahun
Agama
: Islam
Alamat
: Jl. Nenas No.480 Kec Sidamanik
Status
: Belum Menikah
Pekerjaan
: Pelajar
Tanggal Masuk :
1 April 2015

.2 Riwayat Perjalanan Penyakit

KeluhanUtama

Telaah

: Nyeri Kepala

: Hal ini dialami pasien 1 hari sebelum masuk

rumah sakit. Pasien adalah pasien post KLL motor . Pasien


ditemukan di

jalan

sudah dalam keadaan

pingsaan.

Mekanisme trauma tidak diketahui. Pasian sebelumnya telah


dibawa ke Rumah Sakit Swasta Harapan kemudian dirujuk ke
Rumah Sakit Haji Adam Malik. Riwayat pingsan (+), riwayat
muntah (+), kejang (-), buang air kecil (+), buang air besar
(-).

RPO

: tidak jelas

39

RPT

: Inj.Biocef, Inj.Serfac, Inj.Manitol, Inj.Kalnex,

Inj.Novalgin

Kronologis Waktu Kejadian (Time Sequence)

31 Maret 2015

31 Maret

2015

Pasien mengalami kecelakaan

Pasien dibawa ke RS

Harapan

1 April 2015 (16.15)

1 April 2015

(15.40)

ke RSUP HAM

Konsul Anastesi

Pasien dirujuk

40

1 April 2015 (20.15)

1 April 2015

(20.15)

ACC Tindakan Anastesi

Oprasi

Craniectomy
+ Evakuasi

EDH

Gambar 3.1 Waktu Kejadian

3.3 Tatalaksana di IGD


Airway Management: Pastikan ETT terpasang baik, terfiksasi kuat, cek

suara pernafasan kanan=kiri, suction bila ada sekret


O2 nasal canule 10 L/menit
Posisikan head up 30
Pastikan IV line diameter besar terpasang + infus set + three way
terpasang baik
IVFD Ringer Solution 10 gtt/menit pastikan lancar
Injeksi Ceftriaxone 50 mg/12 jam (IV)
Injeksi Keterolac 5 mg/8 jam (IV)
Injeksi Ranitidin 15 mg/12 jam (IV)
Injeksi Phenythoin 50mg/8jam (IV)

41

Tabel 3.1 Tatalaksana di IGD

B1 (breathing)

- Pemasangan

1/

Airway : clear,
S/G/C : -/-/-,
RR = 28 x/i,
SP : vesikuler,
ST

-,

Malampati : I ,
Gerak leher :
terbatas,
Asma/ Sesak/
Batuk/ Alergi :
-/-/-/ B2 (Blood)
Akral : hangat,
merah, kering,
TD : 100/60
mmHg,

HR:

64 x/i, CRT :
<3, t/v cukup,
SpO2 : 96%
B3 (Brain)
Sensorium

CM , GCS : 15
(E4M5V6),

nasal canule
dengan
oxygen flow
10 L/menit.
- IVFD R Sol
10gtt/i

42

Pupil : isokor,
ka/ki

3mm/3mm,
Refleks
cahaya : +/+
B4 (Bladder)
UOP

(+)

tidak
terpasang
keteter.
B5 (Bowel)
Abdomen

soepel,
Peristaltik (+)
B6 (Bone)
Oedem

-,

Fraktur :

3.4. Rencana Penjajakan

Rawat operasi
Head CT-Scan
Rontgen Schaedel AP/Lateral
Rontgen cervical lateral
Rontgen thorax AP/supine
Rontgen Pelvic AP
Cek darah lengkap, KGD, RFT, HST, elektrolit.

43

3.5 Pemeriksaan Fisik


Primary survey

Tabel 3.2 Primary Survey


Pemeriksaan Fisik dan Penanganan saat di IGD pukul 15.40
Gejala

Penan

&

ganan

Tanda
A
(Airwa

Ai

y)

1. Memastikan jalan
nafas

dengan

triple

airway

maneuver

Airway

(jaw

thrust)
2. Mempertahankan

: clear

Ai

airway clear

Snorin

g (-)
Garglin
g (-)
Crowin
g (-)
SpO2 :
96%

B
(Breat
hing)
Napas

Ta

1. Dilakukan

pemasangan
nasal

canule

dengan

oxygen

flow 10 L/menit.

Pe

44

sponta

n (+)
RR

28
x/menit
Retraks
i dada
(-)
Jejas di
thoraks
(-)
SP / ST
:
Vesikul
er / -

C
(Circul
ation)
CRT
<3
Akral :
Hangat
,
Merah,
Kering
t/v

1. Memasang IV

Si

line 20 G 1

Si

buah di tangan
2. Diberi cairan
kristaloid

RL

(Ringer
Laktat) 20 gtt/i

45

cukup
TD

100/60
mmHg
HR

64 x/i

D
(Disab

1. Pertahankan

Sa

A-B-C clear

Sa

ility)
Sensori
um

Awake

E
(Expos
ure)

Luka
lecet
pada
ektstre
mitas
inferior
dextra

Secondary Survey

B1 (breathing)

1. Dilakukan
tindakan
debridement

46

Airway : Clear, S/G/C : -/-/-, RR = 28 x/i, SP : vesikuler, ST : -,


Malampati : sdn, Gerak leher : bebas, Asma/Sesak/Batuk/Alergi :

-/-/-/B2 (Blood)

Akral : hangat, merah, kering, TD : 100/60 mmHg, HR: 64 x/i,

CRT : <3, t/v cukup, SpO2 : 96%

B3 (Brain)
Sensorium : Compos mentis, GCS : 15 (E4M5V6), Pupil : isokor,
ka/ki : 3mm/3mm, Refleks cahaya : +/+
B4 (Bladder)

UOP : (+), Kateter tidak terpasang

B5 (Bowel)

Abdomen : Soepel, Peristaltik (+)

B6 (Bone)
Oedem : -, Fraktur :
3.6 Pemeriksaan Laboratorium

1. Hematologi
a. Hb
: 8,30 gr%
b. Leukosit
: 12.18 /mm3
c. Ht
: 26,00 %
d. PLT
: 370.000 /mm3
2. Metabolisme Karbohidrat
a. KGD Sewaktu : 82,4 mg/dL
3. Renal Function Test
a. Ureum : 25,10 mg/dL
b. Kreatinin : 0,35 mg/dL
4. Elektrolit
a. Natrium (Na) : 138 mEq/L
b. Kalium (K) : 4.4 mEq/L
c. Klorida (Cl) : 105 mEq/L

47

5. Hemostasis
a. PT : Pasien (15,5) Kontrol (14.00)
b. INR : 1.11
c. APTT : Pasien (31.5) Kontrol (34.7)
d. TT : Pasien (12.7) Kontrol (16.8)

2.3 Pemeriksaan Radiologi


Gambar 3.2 FotoToraks

Kesimpulan : Tidak tampak kelainan pada cor

dan pulmo

Gambar 3.3 CT Scan head

48

Kesimpulan : EDH o/t Parietoccipital sinistra

>30 cc

Gambar 3.5 Foto Schedel

49

Kesimpulan : Tidak tampak kelainan

Gambar 3.6 Foto Pelvic

50

Kesimpulan : Tidak tampak kelainan

3.8

Problem List Tindakan Anestesi

Masalah
Pre Operasi

Cegah Secondary Head Injury


Pasien dengan leukositosis
Potential perdarahan
Pasien emergency Lambung
penuh

Pembahasan
-

Pertahankan normovolemik, cegah


hipoksia, hiperkarbia, cegah nyeri,
anestesi cukup, head up 30
Observasi terhadap vital sign dan
GCS
Pastikan intubasi terpasang baik
Pasang IV line 2 jalur dan lancer,
persiapkan koloid dan komponen
darah
Beri antibiotik yang adekuat
Pasang OGT dan persiapan suction

51

Masalah
Durante Operasi
Cegah Peningkatan TIK

Pembahasan

Posisi head up 30 derajat agar


drainase aliran otak baik dengan
posisi leher netral tidak hiperflexi.
Operasi daerah kepala, ETT
tertutup doek : fiksasi kuat, pasang
prekordial, perhatikan pressure
manometer dan SpO2.
Pertahankan MAP >80mmHg
Pastikan normovolume pantau
urin output perjam 0,5- 1cc / kg
BB/jam.
Monitoring paCO2 , pasang
capnograph (pertahankan
normokapnia end-tidal CO2 3040 mmHg .
Kemungkinan edema cerebri
usaha untuk mengurangi edema
cerebri secara farmakologis dan
non farmakologis dengan
pemberian manitol, furosemide,
hiperventilasi.

Pebahasahan
Masalah

Post Operasi
Pasien dengan lekositosis, Infeksi
Nyeri setelah operasi
Observasi GCS dan drainase post
operasi
Hitung osmolaritas

Monitoring IGD, 1 April 2015

Posisi head up 30, airway bebas


Monitoring cairan dengan menilai
produksi urin
Pertahankan CPP dimana MAP >
80mmHg
Perawatan dan monitoring di ICU
Berikan Antibiotik Adekuat
Analgetik Adekuat

52

Pu

15.

20

78

10

21.

22

90

10

Monitoring Pasien Pre s/d Durante Operasi


Keadaan Pra Bedah

: BB: 24,5 kg

TD: 100/60 mmHg

HR: 64 x/i

Hb : 8,3 mg/dL

Ht : 26 %

Jenis Pembedahan
Status Fisik

: Craniotomy evakuasi EDH

: ASA 2

Teknik Anestesi

: GA-ETT

Infus perifer

: Tangan Kiri 20 G, Kaki Kiri 18 G

Posisi

: Supine

ETT

: no 6

Posisi

: Supine

53

Pre Medikasi : Midazolam 1 mg, Fentanyl 50 mcg


Induksi : Propofol 50 mg
Atracurium 20 mg

MABL : 275,2 cc
Durante Operasi
-

Operasi

: 4 jam 30 menit

TD

: 90-124 / 78-90 mmHg

HR

: 84 - 96 x/menit

SpO2

Perdarahan

: 500ml

Penguapan + maintenance

UOP = 50cc/jam

99%

: (4+2) x 60 = 360ml/jam

Cairan
Pre op

R Sol 500 cc

Durante op R Sol 1500 cc, HES 130 500 cc

Post Operasi di ICU Pasca Bedah


B1 : Airway: Clear terintubasi, RR: 20 x/mnt SP: Vesikuler, ST (-),
SpO2: 99 %
B2 : Akral: H/M/K, TD: 140/80 mmHg, HR: 90 x/i,reguler, T/V:
kuat/cukup.
B3 : Sens :DPO, pupil: isokor, RC : +/+ , : 3mm/3mm
B4 : UOP (+), vol : 100 cc/jam, warna kuning jernih, kateter
terpasang

54

B5 : Abdomen soepel, peristaltik (+) lemah,


B6 : Edema (-), Luka operasi tertutup verban di kepala.

Terapi Post Operasi


-

Bed rest , Head up 30 o


IVFD RL 20 gtt/menit
IVFD Paracetamol 250 mg/8jam/IV
Antibiotik dan obat-obatan lain sesuai TS bedah saraf
Bila mual/muntah miringkan kepala ke kanan dan ke kiri
Minum sedikit-sedikit

R/ Cek darah rutin, AGDA, elektrolit, KGD ad random, RFT

Monitoring TIK dan Head CT Scan ulang jika perlu.

55

BAB 4
PEMBAHASAN

4.1. Pembahasan

Pada tanggal 1 April 2015 pukul 20.15 pasien datang


dibawa dengan ambulance ke IGD RS. H.Adam Malik dengan
keluhan nyeri kepala, pasien merupakan rujukan dari RS. Harapan.

Pada kasus ini, hal pertama yang perlu kita nilai adalah
kesadaran pasien. Penilaian kesadaran pada setingan kasus emergensi atau
kegawat daruratan dapat dilakukan dengan cara :
A : alert (sadar penuh)
V : verbal (respon bila dipanggil atau diajak bicara)
P : pain (respon bila diberikan rangsang nyeri)
U : unresponsive (tidak respon dengan rangsang apapun)

Pada pasien ini, kesadarannya yaitu A (Allert), dimana


pasien dinilai sadar penuh dengang GCS 15 (E4M5V6), pupil isokor
diameter ka:3mm/ki:3mm, RC +/+ . Selanjutnya, hal yang perlu
kita lakukan adalah primary survey yang terdiri dari 3 komponen
utama yaitu:

Airway (A)

Menilai patensi jalan nafas, lihat apakah ada sumbatan

(obstruksi) jalan nafas. Bila ada tentukan jenis obstruksinya apakah parsial
atau total. Pada obstruksi total, kita tidak dapat mendengar suara nafas,
tetapi kita dapat melihat gerakan dada dan perut naik turun dengan cepat
yang disebut pernafasan jungkat-jungkit (seasaw breathing). Pada
obstruksi parsial, terdapat suara nafas dan suara nafas tambahan seperti

56

suara orang mengorok (snoring), suara seperti berkumur-kumur (gurgling),


dan crowing akibat oedem laring. Suara seperti orang mengorok
disebabkan oleh jatuhnya pangkal lidah sehingga menutupi faring,
sedangkan gurgling terjadi akibat adanya cairan atau darah di mulut dan
faring.
Setelah mengetahui penyebab dari obstruksi maka kita

bebaskan jalan nafas dengan cara triple airway maneuver, yaitu head tilt,
chin lift, dan jaw thrust. Akan tetapi pembebasan jalan nafas dengan cara
di

atas

hanya

bersifat

sementara,

oleh

sebab

itu

kita

dapat

menggantikannya dengan memasang pipa orofaring atau nasofaring, dan


dengan melakukan intubasi.

Pada pasien ini, dipstikan jalan nafas bebas dengan triple


airway dan mempertahankan jalan nafas clear , ditemukan hasil : Airway
clear, SpO2: 96%.

Breathing (B)

Menilai apakah pasien bernafas spontan atau tidak, pola

pernafasan apakah teratur atau tidak, menilai laju pernafasan apakah cepat
atau tidak. Jika pasien tidak dapat bernafas spontan, maka kita bantu
memberikan nafas bantuan dengan menggunakan resusitasi bag. Apabila
terdapat peningkatan laju nafas (takipnu) maka dapat diberikan terapi
oksigen menggunakan nasal kanul, simple mask, reservoir mask sesuai
dengan kebutuhan pasien.

Pada pasien ini, ditemukan nafas spontan (+), dengan RR:


28x/menit, dan SP: vesikuler, ST: (-), serta retraksi dada (-). Lalu diberikan
terapi oksigen nasal canule 10L/menit . Ditemukan hasil : RR 24x/i SpO2:
99%

Circulation (C)

Menilai apakah ada tanda-tanda kekurangan cairan atau

volume tubuh. Penyebab kekurangan cairan tubuh yang utama adalah


perdarahan dan dehidrasi. Jika terdapat perdarahan maka segera hentikan

57

perdarahan dan ganti kekurangan cairan dengan meresusitasinya dengan


cairan dimulai dari kristaloid, koloid dan darah.

Pada pasien ini, dilakukan pemasangan 1 IV line 20 G


dengan cairan kristaloid (Ringer Solution) sebanyak 20gtt/i , ditemukan
hasil Akral: Hangat, Merah, Kering dengan TD:100/60mmHg , HR: 64x/i

Setelah dilakukan primary survey, pasien yang mengalami


trauma kapitis atau kepala perlu dilakukan head CT-scan untuk
menilai apakah ada perdarahan di otak dan foto polos kepala untuk
menilai apakah ada fraktur tengkorak yang dapat menyebabkan
penurunan kesadaran pada pasien. Jika terdapat perdarahan yang
hebat di otak, maka perlu kita perhatikan apakah ada tanda-tanda
peningkatan tekanan intra kranial. Adanya peningkatan tekanan
intra kranial akan memperburuk prognosa dan meningkatkan
sekuele dari trauma kepala pasien tersebut.

Pada pasien ini telah dilakukan CT scan kepala tanpa


kontras, potongan axial, tebal irisan 10 mm dan ditemukan, lesi
hiperdens bentuk biconvex sign di lobus parietoccipital o/t (L)
supratentorial.,

lesi

hiperdens

mengisi

sulcus

di

lobus

parietoccipital kiri, tidak tampak deviasi midline shift, tidak


tampak kalsifikasi abnormal, orbita, mastoid sinus paranasalis
kanan kiri tampak normal, bone window: tidak tampak fraktur
tulang-tulang yang terlihat. Dari hasil CT scan yang ditemukan,
perdarahan lobus parietoccipital kiri.

Pada pasien ini dilakukan craniotomy dimana pada pasien


ini kriteria indikasi operasi sudah terpenuhi yaitu volume
hematoma >30 cc. Operasi dilakukan menggunakan GA-ETT
dimana pada saat premedikasi diberikan Midazolam 1 mg dan
Fentanyl 50 mcg, dan pada saat induksi diberikan Propofol 50 mg
dan Atracurium 20 mg sesuai dengan teori.

58

DAFTAR PUSTAKA

1. Liebeskind, S.D., 2014. Epidural Hematoma. Available from :


http://emedicine.medscape.com/article/1137065-overview#a0199.
[Accesed 10 April 2015].
2. American College of Surgeons, 1997, Advance Trauma Life Suport.
United States of America: Firs Impression
3. Mardjono M. Sidharta P., Mekanisme Trauma Susunan Saraf, Neurologi
Kilinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 2003, 254-259.
4. Butterworth, J.F., Mackey, D.C., Wasnick, J.D. (2013) Morgan and
Mikhail's Clinical Anesthesiology, 5th edn., USA: The McGraw-Hill
Companies Inc.
5. Barash, P.G., Cullen, B.F., Stoelting, R.K. (2006) Clinical Anesthesia, 5th
edn., USA: Lippincott Williams & Wilkins.
6. Markam S, Trauma Kapitis, Kapita Selekta Neurologi, Edisi kedua,
Harsono, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, 314
7. Ariwibowo, Haryo et all, 2008. Art of Therapy: Sub Ilmu Bedah.
Yogyakarta: Pustaka Cendekia Press of Yogyakarta

59

8. Primary Trauma Care Foundation. 2014. Primary Survey. Available from


http://www.primarytraumacare.org/wpcontent/uploads/2011/09/PTC_IND
O.pdf [Accesed

10 April 2015].

Anda mungkin juga menyukai