CRITICAL REVIEW :
PERAN COMMUNITY BASED ORGANIZATION (CBO)
PADA PROSES REHABILITASI DI DAERAH ALIRAN SUNGAI CIKAPUNDUNG
DOSEN PENGAMPU:
Dr.-Ing. Wisnu Pradoto (WP)
Dr. Joesron Alie Syahbana (JAS)
Dr. Retno Widjajanti (RW)
Disusun Oleh:
AZIZA NOVIA MASUM
21040114420079
d. Inventarisasi bangunan di bantaran sungai serta perubahan tata letak bangunan yang
semula membelakangi menjadi menghadap sungai
e. Penataan sempadan sungai
f. Pembangunan bangunan air dan
g. Penghijauan
Pemerintah Kota Bandung dalam hal ini menjalin kerjasama dengan pihak swasta,
Komunitas Pegiat Sungai Cikapundung, maupun masyarakat. Pihak swasta dan Komunitas
Pegiat Sungat Cikapundung didorong untuk terlibat secara aktif, untuk mengolah limbah
maupun berpartisipasi aktif dalam Gerakan Cikapundung Bersih. Sedangkan masyarakat
difasilitasi untuk terus bergerak membersihkan sungai secara berkala, menanam pohon di
bantaran sungai, peningkatan peran untuk menjaga warga lainnya agar tidak membuang
sampah ke sungai, serta menjadikan sungai ini menjadi pusat kegiatan olah raga, hiburan,
seni budaya, dan kegiatan lainnya yang produktif dan pro-lingkungan (Pemerintah Kota
Bandung, 2011). Upaya penyelamatan hulu DAS tersebut sangat bergantung pada sejauh
mana kelembagaan yang terdapat di daerah hulu tersebut berperan dalam menjaga
pelestarian lingkungan, fungsi dan kualitas air bagi sub DAS tengah dan hilir. Berdasarkan
latar belakang yang dikemukakan di atas tulisan ini bermaksud mengkaji kelembagaan
partisipatoris dalam bentuk Community Driven Development yang dilakukan oleh
Komunitas Pegiat Sungai Cikapundung dalam upayanya melakukan pemberdayaan
masyarakat untuk mengurangi pencemaran di DAS Cikapundung .
B. PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Pemberdayan masyarakat sebagai suatu proses yang membangun manusia atau
masyarakat melalui pengembangan kemampuan masyarakat, perubahan perilaku
masyarakat, dan pengorganisasian masyarakat. Pemberdayaan masyarakat menekankan
partisipasi masyarakat untuk menemukenali permasalahan sendiri, mengatasi dengan
program kerja yang sesuai dan mengatur penyelenggaraan untuk keberlajutannya. Definisi
ini mengisyaratkan bahwa pemberdayaan masyarakat melingkupi hal-hal yang dialami
masyarakat dalam upaya menyelesaikan masalah mereka sendiri.
Pemberdayaan masyarakat telah menjadi salah satu pendekatan yang digunakan
dalam berbagai program pembangunan di Indonesia, terutama dalam penanggulangan
kemiskinan sejak adanya krisis ekonomi tahun 1997. Pemberdayaan masyarakat dalam
upaya penguatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, didorong oleh pergantian
paradigma pembangunan yang sebelumnya cenderung sentralistik dikenal dengan
government driven bergeser ke paradigma community driven development. Hak ini
karena pembangunan berbasis partisipasi akan lebih berhasil baik dibanding dengan
pembangunan yang berbasis dari kemauan pemerintah.
Konsep pemberdayaan masyarakat mencakup tiga capain dengan pengertian untuk
community development (pembangunan masyarakat), community-based development
(pembangunan yang bertumpu pada masyarakat), dan community driven development,
yang diterjemahkan dengan pembangunan yang ditujukan atau diarahkan masyarakat, atau
lebih tegasnya pembangunan yang digerakkan oleh masyarakat.
Community Driven Development (CDD) sendiri memberikan penguasaan terhadap
keputusan dalam pelaksanaan pembangunan dan sumber daya yang dimiliki kepada
kelompok komunitas dalam upaya mengatasi permasalahan yang erat kaitannya dengan
masyarakat miskin atau terpinggirkan. Kelompok ini dikenal dengan sebutan Community
Based Organization (CBO). CBO adalah organisasi yang dibentuk dari kumpulan orang-orang
KELEMBAGAAN PRASARANAN PERKOTAAN
yang memiliki kesamaan visi untuk mencapai sesuatu hal. Kelompok ini bisa terdiri dari
orang-orang yang tinggal dalam lingkungan yang sama pada suatu kawasan, ataupun orangorang yang tidak tinggal di wilayah yang sama tapi memiliki kesamaan visi dan misi yang
sama untuk melakukan suatu kegiatan pembangunan, pemberian penyuluhan dan
pelayanan, dan atau mengolah sumberdaya untuk kepentingan masyarakat (S. Alkire, et al :
2011).
CBO bergerak melalui kerjasama dengan dukungan dari pemerintah setempat,
sektor privat, NGO, maupun Dinas terkait sebagai perpanjangan tangan dari Pemerintah
Pusat. CDD dapat mengisi gap yang terbentuk akibat adanya kegagalan Pemerintah Pusat
atau Pemerintah daerah dalam merangkul dan memenuhi kebutuhan masyarakat miskin
dengan melakukan pemberdayaan kepada masyarakat di suatu kawasan.
C. GAMBARAN UMUM SUNGAI CIKAPUNDUNG
Daerah pengaliran Sungai Cikapundung di Kota Bandung meliputi tujuh kecamatan
yang mencakup 13 kelurahan. Batas administrasi wilayah studi ini mencakup tiga kecamatan
dan lima kelurahan dengan luas area kawasan 351,1 Ha. Lima kelurahan yang termasuk
dalam wilayah studi adalah sebagai berikut:
a. Kelurahan Cipaganti (Kecamatan Coblong),
b. Kelurahan Lebak Siliwangi (Kecamatan Coblong)
c. Kelurahan Tamansari (Kecamatan Bandung Wetan)
d. Kelurahan Babakan Ciamis (Kecamatan Sumur Bandung)
e. Kelurahan Braga (Kecamatan Sumur Bandung)
Sungai Cikapundung termasuk kedalam 48 sungai yang mengitari Kota Bandung dan
menjadi 13 anak sungai utama yang menjadi pemasok air bagi Sungai Citarum. Panjang alur
Sungai Cikapundung yang melintasi Kota Bandung adalah sebesar 15,5 km (68,2 persen
dari total panjang sungai) dan diantaranya merupakan daerah pemukiman padat penduduk
KELEMBAGAAN PRASARANAN PERKOTAAN
yang dipenuhi dengan 1.058 bangunan. Lebar sungai di hulu sepanjang 22 meter dan di hilir
26 meter, dimana debit air minimum sebesar enam meter kubik per detik.
Seperti fungsi sungai lainnya, Sungai Cikapundung memiliki beberapa fungsi
diantaranya sebagai berikut (Halimatusadiah et al, 2012):
a. Drainase utama pusat kota;
b. Penggelontor kotoran dan pembuangan limbah domestik maupun industri sampah kota;
(3) objek wisata Bandung (Maribaya, Curug Dago, kebun binatang dll);
c. Penyedia air baku Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Bandung yang
membangun instalasi penyadapan di Dago Pakar, Dago, dan di Badak Singa;
d. Pemanfaatan energi yang dikelola oleh PT Indonesia Power-Unit Saguling yang
mendirikan instalansi di PLTA Bengkok dan PLTA Dago Pojok,
e. Sarana irigasi pertanian, namun seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan kota,
instalasi tersebut tidak berfungsi secara efektif.
Gambar 2. Kondisi Hilir Sungai Cikapundung di daerah Dayeuh Kolot (kiri) dan Jembatan Jalan Siliwangi
(Kanan)
Namun upaya ini tidak serta merta dapat direalisasikan. Perlu adanya bantuan dari
aktor-aktor pembangunan lain yang menjadi penghubung dari gap yang terbentuk antara
pemerintah dan masyarakat. Keberadaan Komunitas Pegiat Sungai Cikapundung yang
menjadi peran penting dalam upaya menginisiasi pertisipasi masyarakat untuk melakukan
penataan kawasan sungai Cikapundung. Sejak dicanangkannya GCB para komunitas pegiat
sungai Cikapundung (CBO) mulai gencar melakukan berbagai upaya diantaranya melakukan
penyuluhan tentang kesehatan lingkungan, kegiatan pembersihan sungai secara langsung
dengan mengajak masyarakat untuk berpartisipasi, dan dengan melakukan pembangunan
sarana pendukung seperti septic tank komunal. Kegiatan rehabilitasi sungai Cikapundung
yang dilakukan oleh CBO ini dilakukan dengan kerjasama berbagai pihak. Pada diagram 1.
diperlihatkan keterkaitan antara masing-masing aktor yang terlibat dalam upaya melakukan
rehabilitasi DAS Cikapundung:
Masyarakat
Community-based
organizations
NGO dan Sektor
Privat
POKJA AMPL
Pemerintah Daerah
Pemerintah Pusat
bernama Cikapundung Rehabilitation Program (CRP) sejak akhir triwulan 2010 yang lalu.
Sesuai dengan kesamaan minat untuk ber-olahraga di alam bebas, kelompok ini
menggunakan kegiatan olahraga air untuk meningkatkan kepedulian dan kecintaan
masyarakat terhadap sungai, misalnya dengan kegiatan arung jeram Sungai Cikapundung
dengan jarak 4 kilometer dengan titik awal di Kampung Padi, di seberang terminal Dago
hingga Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) di Jalan Siliwangi. Dari awal terbentuknya hingga
saat ini CRP termasuk kedalam Kelompok Pegiat Sungai Cikapundung yang konsisten dalam
menjalankan visinya untuk melakukan rehabilitasi terhadap keadaan sungai Cikapundung.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh komunitas CRP dalam proses rehabilitasi sungai
Cikapundung (Halimatusadiah, Siti et al: 2012) ,diantaranya:
1. Melakukan Aksi Kali Bersih
Komunitas CRP bekerja sama dengan komunitas pegiat sungai cikapundung lainnya
(salah satunya Komunitas Zero) melakukan upaya penyelamatan sungai dengan
mengumpulkan sampah/limbah di sepanjang sungai Cikapundung. Kegiatan ini dilakukan
bersama-sama setiap minggunya yaitu pada hari sabtu dan minggu. Kegiatan ini juga
menginisiasi dan menginspritasi warga di sekitar bantaran untuk bersama-sama menjaga
kebersihan Sungai Cikapundung.
2. Melakukan Pelatihan Susur Sungai
Melakukan kegiatan rutin pemungutan sampah yang dilakukan dengan cara yang
menyenangkan bagi masyarakat diantaranya dengan menyusuri sungai menggunakan
river boarding sembari mengumpulkan sampah. Hal ini kerap menarik minat kaum muda
untuk ikut berpartisipasi dalam acara pemungutan sampah. Selain itu pula Komunitas
CRP membangun sebuah wisata berperahu karet di Kawasan Babakan Siliwangi dan
mengajak para wisatawan untuk menikmati arus sungai Cikapundung sembari
mengajarkan kebersihan kepada para wisatawan untuk tetap menjaga lingkungan
dengan melakukan aksi pungut sampah menggunakan perahu karet, river boarding atau
kukuyaan.
Aksi penyadaran warga tersebut, berupa penyadaran dalam hal tidak membuang
sampah rumah tangga dan limbah ke sungai, pembuatan kompos serta penyadaran
dalam hal penghijauan. Penyadaran tersebut akan efektif bila disertai dengan aksi-aksi
atau kegiatan langsung di tempat bersama warga. Bila hanya penyuluhan-penyuluhan
tetapi tidak disertai aksi langsung bersama warga maka cara ini dinilai kurang efektif dan
kebanyakan warga masih suka membuang sampah di sungai. Aksi langsung bersama
warga beserta pemberian materi lingkungan yang disampaikan dalam satu waktu, sangat
efektif dilakukan agar warga merasa malu untuk membuang sampah ke Sungai
Cikapundung.
SUMBER PEMBIAYAAN
Kegiatan yang dilakukan oleh Komunitas CRP ini berlangsung dari awal terbentuk
hingga tahun 2015 ini. Namun kegiatan ini bukannya tanpa kendala. Kendala terbesar yang
seringkali ditemui oleh CBO dalam melaksanakan misinya adalah keterbatasan dana yang
ada. Sumber pembiayaan untuk setiap kegiatan yang direncanakan seringkali merupakan
dana swadaya dari para anggota. Hal ini lah yang cenderung membuat para komunitas
pegiat sungai CIkapundung tidak dapat bertahan lama dan hanya sedikit yang bisa bertahan
hingga saat ini.
Pasca dicanangkannya program Gerakan Cikapundung Bersih oleh Pemerintah Kota
Bandung memang banyak aliran dana yang diberikan oleh Pemerintah Kota Bandung untuk
penataan kawasan sungai Cikapundung. Seperti dilansir pada www.Infobdg.com, yang
menyatakan bahwa Pemerintah Kota Bandung pada tahun 2012 mendapatkan bantuan dari
UNESCAP sebesar Rp. 1,8 Miliar dan Kementerian PU sebesar Rp. 8,5 miliar untuk penataan
kawasan sungai Cikapundung. Dana ini sebagian disalurkan kepada masyarakat melalui
peran serta dari CBO-CBO melalui kegiatan-kegiatan yang bekerja sama dengan Pemerintah
Kota. Karena adanya dukungan dari Pemerintah Kota maka kegiatan dari CBO pun dapat
berlangsung dan kebersihan pada sungai Cikapundung mulai menunjukkan kemajuan. Selain
itu pula terdapat pula sumber pendanaan dari perusahaan swasta yang diambil dari CSR.
Walaupun terdapat dua sumber dana baik dari Pemerintah dan Perusahaan Swasta,
namun CBO tetap harus memiliki pemasukan sendiri untuk menghidupi kegiatan mereka.
Komunitas CRP yang merupakan salah satu CBO yang bertahan hingga saat ini melakukan
inovasi dengan mengolah sampah-sampah yang ada dan juga ketertarikan masyarakat
kepada wisata air sehingga mereka dapat menjadikan usaha pemeliharaan berbasis industri
yang menghidupkan kegiatan mereka. Namun tidak semua CBO melakukan hal ini.
Ketergantungan CBO terhadap masalah pengadaan dana dapat menjadi penghambat
pelaksanaan pembangunan yang sudah mereka rencanakan.
E. CRITICAL REVIEW TERHADAP PERAN SERTA CBO
Peran serta CBO dalam melakukan upaya pemberdayaan masyarakat untuk
mendukung proses rehabilitasi sungai Cikapundung sebenarnya memberikan banyak
manfaat. Selain membantu menginisiasi masyarakat dalam melakukan perubahan CBO
memiliki program-program yang tidak dapat dijangkau atau dikerjakan oleh pemerintah.
Namun terdapat beberapa faktor pada CBO yang perlu diperhatikan dalam rangka
meningkatkan kinerja yang dimiliki oleh CBO diantaranya:
1. Sumber Daya Manusia (SDM).
SDM yang memiliki kualitas pengetahuan, pengalaman, pengaruh, dan keberpihakan
kepada lingkungan menjadi faktor yang sangat menentukan terhadap keberlangsungan
KELEMBAGAAN PRASARANAN PERKOTAAN
2.
3.
4.
5.
kegiatan penyehatan lingkungan yang dilakukan oleh CBO. Tentunya tanpa ada
kerjasama yang solid dan konsistensi pelaksanaan visi dari masing-masing anggota,
pelaksanaan rehabilitasi tidak akan bisa berlangsung secara berkelanjutan.
Kelembagaan yang terorganisir dengan baik.
Orang-orang dengan kesamaan visi dan misi untuk proses rehabilitasi lingkungan
membutuhkan wadah untuk menampung aspirasi mereka. Namun tentunya wadah ini
harus berlandaskan kepada pengetahuan, tidak hanya melihat berdasarkan pasal-pasal
yang tercantum pada aturan organisasi namun juga berbasis kepada orang yang berada
di dalam organisasi tersebut.
Membangun networking yang bagus dengan masyarakat, sektor privat, dan pemerintah.
Pentingnya networking/jejaring sosial yang dimiliki oleh CBO akan menguatkan
keberadaan dan keberlangsungan komunitas. Dengan adanya networking yang luas baik
dengan masyarakat, sektor privat, maupun pemerintah maka proses rehabilitasi
lingkungan akan lebih berkelanjutan. Mengembangkan partisipasi dari banyak
stakeholder akan semakin mempercepat proses pelaksanaan penyehatan lingkungan
hidup. Banyaknya CBO yang tidak memiliki jejaring yang luas menyebabkan kegiatan
mereka terhenti. Selain karena kurangnya pendanaan yang mereka miliki, mereka juga
kekurangan sumber pendanaan lain yang dapat diperoleh dari sektor privat maupun
pemerintah akibat kurangnya networking.
Melakukan inovasi dalam pengolahan sumber daya bernilai industri untuk menarik
minat masyarakat.
Tren penyehatan lingkungan saat ini mulai beralih dari sekedar memberikan penyuluhan
tentang kesadaran lingkungan menuju pengenalan terhadap pengolahan limbah yng
berbasis industri. Kurangnya minat masyarakat terhadap kegiatan penyehatan
lingkungan dikarenakan kekurangtahuan masyarakat terhadap pengolahan limbah yang
nantinya akan menjadi barang yang memiliki nilai ekonomi. Seringkali masyarakat
enggan berpartisipasi dalam proses penyehatan lingkungan karena mereka tidak
mengetahui bahwa apa yang akan mereka olah nantinya dapat menghasilkan
pemasukan bagi mereka sekaligus dapat meningkatkan penyehatan lingkungan. Dalam
hal ini CBO seharusnya dapat berperan aktif dalam mengenalkan teknologi tepat guna
pengolahan limbah kepada masyarakat sehingga masyarakat akan lebih tertarik untuk
mengolah limbah yang mereka hasilkan daripada membuangnya ke DAS Cikapundung.
Memperluas area kegiatan ke arah hulu Sungai CIkapundung.
Untuk penyelesaian masalah rehabilitasi sungai Cikapundung harus diadakan dengan
area yang lebih luas dengan menyasar daerah hulu terlebih dahulu sebagai awal mula
sumber mata air. Permasalahan dengan limbah ternak yang ada di hulu sungai
(Kabupaten Bandung) harus diselesaikan terlebih dahulu. Keterbatasan wewenang
regional ini tentu akan menyulitkan Pemerintah Kota Bandung dalam melakukan
langkah-langkah penanganan rehabilitasi di tingkat hulu, oleh karena itu perlunya peran
dari Komunitas pegiat sungai Cikapundung yang tidak memiliki batasan wilayah dalam
melakukan upaya rehabilitasi sungai Cikapundung. Pengoptimalan potensi yang dimiliki
komunitas inilah yang seharusnya didukung lebih oleh pemerintah.