Anda di halaman 1dari 6

Permasalahan Lingkungan Hidup

Indonesia dengan beragam bentuk fisik dan juga penduduknya memiliki beberapa
permasalahan yang berhubungan dengan lingkungan hidup. Permasalahan yang sering
terjadi di Indonesia di antaranya berikut ini.
1. Permasalahan Air.
Indonesia memiliki permasalahn air yang di alami oleh penduduknya. Beberapa
bentuk permasalahan dari krisis air di Indonesia diantaranya berikut ini.
1. Pencemaran Sungai
Sungai di Indonesia dapat menjadi tercemar karena dipengaruhi oleh berbagai macam
bentuk limbah berikut ini :
1. Limbah Domestik, yaitu limbah rumah tangga berupa detergen dan sampah
yang sengaja dibuang ke sungai.
2. Limbah industri berupa berbagai zat kimia dan logam berat seperti Pb,Hg,Zn
dan Co.
3. Limbah pertanian seperti sisa insektisida, Pestisida dan Pembusukan fosdat
dari pupuk.
4. Penagkapan ikan dengan racun.
2. Permasalahan Sampah.
Pertumbuhan penduduk yang sangat pesat mengakibatkan bertambahnya konsumsi
masyarakat. Hal ini mengakibatkan bertambahnya volume sampah yang beragam,
baik sampah plastik, logam, bahan organik, maupun bahan lainya.
Beberapa langkah untuk menanggulangi permasalahan sampah di Indonesia
diantaranya berikut ini.
a. Pendirian tempat pembuangan sampah terpadu ( TPST ) yang lokasinya jauh dari
pemukiman penduduk agar tidak menimbulkan penyakit dan pencemaran air maupun
tanah.
b. Penempatan bak sampah yang terpisah agar sampah organik dan nonorganik
sehingga mempermudah pengelolaanya.
3. Permasalahan Hutan
Kerusakan hutan telah berakibat buruk pada kehidupan makhluk hidup, seperti
terjadinya tanah longsor, terjadinya banjir, rusaknya habitat hewan yang menghuni
hutan tersebut

Kerusakan Hutan (Deforestasi)


Di Indonesia
Kerusakan hutan (deforestasi) masih tetap menjadi ancaman di Indonesia. Menurut
data laju deforestasi (kerusakan hutan) periode 2003-2006 yang dikeluarkan oleh
Departemen Kehutanan, laju deforestasi di Indonesia mencapai 1,17 juta hektar
pertahun.
Bahkan kalau menilik data yang dikeluarkan oleh State of the Worlds Forests 2007
yang dikeluarkan The UN Food & Agriculture Organization (FAO), angka deforestasi
Indonesia pada periode 2000-2005 1,8 juta hektar/tahun. Laju deforestasi hutan di
Indonesia ini membuat Guiness Book of The Record memberikan gelar kehormatan
bagi Indonesia sebagai negara dengan daya rusak hutan tercepat di dunia.
Dari total luas hutan
di
Indonesia
yang
mencapai 180 juta
hektar,
menurut
Menteri
Kehutanan
Zulkifli
Hasan
(Menteri Kehutanan
sebelumnya
menyebutkan angka
135
juta
hektar)
sebanyak 21 persen
atau setara dengan 26
juta
hektar
telah
dijarah total sehingga
tidak memiliki tegakan pohon lagi. Artinya, 26 juta hektar hutan di Indonesia telah
musnah.
Selain itu, 25 persen lainnya atau setara dengan 48 juta hektar juga mengalami
deforestasi dan dalam kondisi rusak akibat bekas area HPH (hak penguasaan hutan).
Dari total luas htan di Indonesia hanya sekitar 23 persen atau setara dengan 43 juta
hektar saja yang masih terbebas dari deforestasi (kerusakan hutan) sehingga masih
Penyebab Deforestasi. Laju deforestasi hutan di Indonesia paling besar disumbang
oleh kegiatan industri, terutama industri kayu, yang telah menyalahgunakan HPH
yang diberikan sehingga mengarah pada pembalakan liar. Penebangan hutan di
Indonesia mencapai 40 juta meter kubik setahun, sedangkan laju penebangan yang
sustainable (lestari berkelanjutan) sebagaimana direkomendasikan oleh Departemen
Kehutanan menurut World Bank adalah 22 juta kubik meter setahun.
Penyebab deforestasi terbesar kedua di Indonesia, disumbang oleh pengalihan fungsi
hutan (konversi hutan) menjadi perkebunan. Konversi hutan menjadi area perkebunan
(seperti kelapa sawit), telah merusak lebih dari 7 juta ha hutan sampai akhir 1997.
Dampak Deforestasi. Deforestasi (kerusakan hutan) memberikan dampak yang
signifikan bagi masyarakat dan lingkungan alam di Indonesia. Kegiatan penebangan

yang mengesampingkan konversi hutan mengakibatkan penurunan kualitas


lingkungan yang pada akhirnya meningkatkan peristiwa bencana alam, seperti tanah
longsor dan banjir.Dampak buruk lain akibat kerusakan hutan adalah terancamnya
kelestarian satwa dan flora di Indonesia utamanya flora dan fauna endemik. Satwasatwa endemik yang semakin terancam kepunahan akibat deforestasi hutan

Bencana Gempa dan Tsunami Aceh, 26


Desember 2004.
Gempa bumi tektonik
berkekuatan
8,5
SR
berpusat di Samudra
India (2,9 LU dan 95,6
BT di kedalaman 20 km
(di laut berjarak sekitar
149 km selatan kota
Meulaboh,
Nanggroe
Aceh
Darussalam).
Gempa
itu
disertai
gelombang
pasang
(Tsunami) yang menyapu
beberapa wilayah lepas pantai di Indonesia (Aceh dan Sumatera Utara), Sri Langka,
India, Bangladesh, Malaysia, Maladewa dan Thailand.
Menurut Koordinator Bantuan Darurat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Jan
Egeland, jumlah korban tewas akibat badai tsunami di 13 negara (hingga minggu
2/1) mencapai 127.672 orang. Namun jumlah korban tewas di Asia Tenggara, Asia
Selatan, dan Afrika Timur yang sebenarnya tidak akan pernah bisa diketahui,
diperkirakan sedikitnya 150.000 orang. PBB memperkirakan sebagian besar dari
korban tewas tambahan berada di Indonesia. Pasalnya, sebagian besar bantuan
kemanusiaan terhambat masuk karena masih banyak daerah yang terisolir.
Sementara itu data jumlah korban tewas di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan
Sumatera Utara menurut Departemen Sosial RI (11/1/2005) adalah 105.262 orang.
Sedangkan menurut kantor berita Reuters, jumlah korban Tsunami diperkirakan
sebanyak 168.183 jiwa dengan korban paling banyak diderita Indonesia, 115.229 (per
Minggu 16/1/2005). Sedangkan total luka-luka sebanyak 124.057 orang, diperkirakan
100.000 diantaranya dialami rakyat Aceh dan Sumatera Utara.
Iitulah kisah suram 5 tahun silam yang terjadi di penghujung tahun 2004 silam.
Namun, seiring waktu berjalan, segala perbaikan terus berjalan. Setidaknya, begitulah
yang terbaca dan terdengar di media massa.
Akan tetapi, ironinya, masih terlihat adanya barak-barak yang berpenghuni, seperti di
bantaran sungai Krueng Aceh, yang di kenal dengan Barak Bakoy. Memang kita
tidak bisa menduga, apa yang terjadi ? Dengan dana yang melimpah, di dukung oleh

sumber daya manusia yang multi culture, high intelegence, tapi semua ini masih
terhidang di depan kita. Aneh..

Abrasi Pantai Legok Jawa Ancam Jalan


dan Kampung
TRIBUNJABAR/ANDRI
M DANI
BENTENGI PANTAI
Pascabencana tsunami
bulan Juli tahun 2006
nelayan Pantai Legok Desa
Legokjawa Kecamatan
Cimerak secara swdaya
membentengi pantai tempat
mereka sehari-hari tinggal
dan menanam berbagai
macam tanaman pantai
seperti butun (keben) atau
baringtonia sehingga
kawasan pantai mulai hijau.
Foto diambil Rabu (29/9).
CIAMIS,TRIBUN Pantai Legok Jawa di Kampung Babakan, Dusun Legok RT 03
dan RT 05 RW 03 Desa Legokjawa, Kecamatan Cimerak, Ciamis di muara Sungai
Cipeundeuy sudah runtuh sepanjang 100 meter lebih akibat gempuran ombak laut
selatan dan arus muara Sungai Cipendeuy.
Proses abrasi tersebut sudah terjadi sejak malam takbiran Kamis (9/9). Dan, hingga
Rabu (22/9) proses pengerusan tebing pantai ini terus berlangsung.
Tepi pantai ini dulu jauh sepuluh meter dari jalan aspal ini. Sekarang sisi pantainya
tinggal 50 cm lagi dari sisi jalan, ujar Atang (50) mantan Ketua Rukun Nelayan (RN)
Legokjawa kepada Tribun di lokasi abrasi Rabu (22/9).
Menurut Atang, proses abrasi yang berlokasi tak jauh dari bangunan TPI Legokjawa
itu tidak hanya mengancam jalan dari TPI menuju jembatan Cipeuteuy tetapi juga
mengancam kampung nelayan sekitar lokasi abrasi dan jembatan Cipeundey.
Setiap bulan purnama dan setiap pananggalan atau pergantian bulan, air laut kan
pasang. Saat itulah proses abrasi yang paling parah. Dalam sekali gempur ombak,
bongkahan tebing pantai amblas masuk muara, ujar Atang.
Abrasi tidak hanya menggempur tanah tetapi juga menumbangkan puluhan pohon
yang tumbuh disisi pantai tersebut seperti kelapa, ketapang dan kayu lainnya yang
bertumbangan dan hanyut ke laut.

Dari kejadian abrasi yang menghantui warga Dusun Legok in,i menurut Kades
Legokjawa H Uus Kurnia ,memang tidak hanya mengancam jaaln TPI tetapi juga
mengancam setidaknya 90 rumah warga di RT 03 dan Rt 05 RW 03 Dusun Legok
berikut sebanyak 12 kandang sapi milik warga dan nelayan.

Biarkan Kerusakan Lingkungan Kepda


Terancam Hukuman Pidana
ASIA AFRIKA,(GM)Hukuman pidana mengancam kepala daerah (kepda), baik gubernur bupati maupun
wali kota yang terbukti membiarkan kerusakan lingkungan terjadi di daerahnya.
Demikian dikatakan Menteri Lingkungan Hidup, Gusti Muhammad Hatta, Selasa (28/
9), di Hotel Savoy Homann.
"Jika kepala daerah melakukan pembiaran terhadap kerusakan lingkungan di
daerahnya, maka bisa terkena sanksi pidana, karena telah melanggar UU No. 32/ 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup," ungkap Gusti saat jumpa
pers usai melakukan sosialisasi RPP tentang Tata Cara Pengawasan dan Sanksi
Administratif di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan RPP
Perizinan Lingkungan.
Untuk menghindari ancaman hukuman tersebut, Gusti mengingatkan kepada para
kepala daerah supaya proaktif memberikan sanksi kepada kelompok/instansi/individu
yang melanggar kerusakan lingkuangan. "Kepala daerah harus aktif mengecek
administrasi perizinan lingkungan. Agar jika terjadi hal yang tidak diinginkan kepala
daerah tidak disalahkan," katanya.
Masalah perizinan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) satu kota/kabupaten
merupakan tanggung jawab wali kota/bupati. Sementara itu jika amdal yang
melibatkan dua daerah atau lebih, maka izinya menjadi kewenangan gubernur.
Sedangkan izin amdal yang melibatkan antara provinsi maka tanggung jawab
pemerintah pusat.
"Kita terkadang sering lalai mengurus administrasi soal lingkungan, padahal hal ini
sangat penting. Sehingga jika ada perusahaan/individu yang melakukan pelanggaran,
maka kepala daerah tidak akan kena hukuman, asalkan ia pernah memberi teguran
atau peringatan," ujar Gusti.
Diakuinya, UU No. 32 sedikit mempersempit ruang gerak pengusaha yang ingin
membuka usaha baru, karena harus ada izin lingkungan. Soal permohonan izin
lingkungan ini, akan diatur dalam peraturan pemerintah (PP) yang sedang dibahas. PP
Perizinan Lingkungan dan PP Tata Cara Pengawasan dan Sanksi Administratif di
Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup untuk mencegah
pelanggaran yang dilakukan oleh usaha atau kegiatan.

Banjir dan Longsor, Jawa Barat Merugi


Rp 34 Miliar
Sejumlah petugas
penyelamat mencari
korban gempa di
lokasi yang tertimbun
batu-batu, yang
longsor akibat gempa,
di desa Cikangkareng,
Cianjur, Jawa Barat
(5/9). Foto: AP/Irwin
Fedriansyah
TEMPO Interaktif,
BANDUNG Kerugian akibat
bencana yang terjadi
dalam dua bulan terakhir di Jawa Barat ternyata menelan Rp 34 miliar. Angka ini
masih sementara, belum termasuk longsor di Ciwidey, Bandung. "Paling besar
Kabupaten Bogor Rp 16 miliar dan Kabupaten Bandung Rp 15 miliar" kata
Udjwalaprana Sigit, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Jawa Barat di Gedung
Sate Bandung, Selasa (23/2).
Total rumah rusak yang tercatat akibat bencana longsor dan banjir mencapai 1.179
rumah. Terdiri dari rusak berat 412 rumah, rusak sedang 659 rumah, dan rusak ringan
1.808 rumah. Rumah rusak terbanyak tercatat di Kabupaten Bogor 252 rumah, disusul
Kabupaten Bandung 247 rumah, serta Garut 139 rumah.
Pengungsi terbanyak dilaporkan dari Garut, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten
Bogor. Di Kabupaten Bandung tercatat 5 ribu keluarga mengungsi, di Garut 972
keluarga mengungsi mayoritas di Talegong sampai 582 keluarga, serta di Bogor
yang tersisa tinggal 67 keluarga.
Konsentrasi penanganan bencana ditujukan pada pemenuhan kebutuhan logistik untuk
Garut, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Garut. Semua kebutuhan pengungsi
aakan diusahakan terpenuhi, katanya.
Khusus untuk warga Talegong, Garut, yang jalan satu-satunya sepanjang 4,75
kilometer dari arah Cisewu terputusnya akibat longsoran tanah, Sigit menjanjikan,
pengiriman logistik akan dikirimkan melebihi jumlah yang dibutuhkan. Masalahnya,
lanjutnya, harga barang kebutuhan pokok di Cisewu melambung akibat jalur
transportasi putus.

Anda mungkin juga menyukai