Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
Alopesia areata adalah penyakit yang ditandai dengan rontoknya rambut akibat
proses inflamasi yang kronis dan berulang pada rambut terminal yang tidak
disertai dengan pembentukan jaringan parut (non sikatrikal), skuamasi, maupun
tanda-tanda atropi yang dapat terjadi pada pria, wanita, dan anak-anak. Penyakit
ini biasanya bermanifestasi dengan ditemukannya area-area tertentu yang
kehilangan rambut (mengalami kerontokan total) pada kulit kepala atau bagian
tubuh yang berambut lainnya yang biasanya berbentuk bulat atau lonjong dengan
batas yang tegas. Pada kasus yang berat, alopesia areata dapat berkembang
menjadi kehilangan total seluruh rambut pada tubuh. Walaupun merupakan
penyakit yang tidak mengancam nyawa, alopesia areata merupakan penyakit yang
serius karena dapat memberikan efek yang negatif terhadap penderita, terutama
secara psikologik, sosiologik dan kosmetik.1
Alopesia areata dapat terjadi pada semua kelompok umur dan memiliki prevalensi
yang sama antara pria dengan wanita. Namun, penyakit ini lebih sering terjadi
pada anak-anak dibandingkan dengan orang dewasa. Dimana resiko untuk terkena
alopesia areata selama masa hidup adalah 1,7%.1 Di Inggris dan Amerika Serikat
insiden penyakit ini diperkirakan mencapai 2%. Sementara itu, di Cina sedikit
lebih banyak yaitu sekitar 3,8% dan sekitar 85,5% dari pasien-pasien tersebut
mengalami episode awal penyakit ini pada usia 40 tahun pada pria dan 60 tahun
pada wanita.2

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Etiologi
Alopesia areata dapat disebabkan oleh beberapa hal, seperti genetik, stres,
hormon, agen infeksi seperti cytomegalovirus (CMV), vaksinasi hepatitis B,
estrogen, depresi, cemas, gangguan mood, gangguan penyesuaian, dan agresi
akibat terganggunya aktivitas hypothalamic-pituitary adrenal (HPA).2 Pada wanita
defisiensi besi ternyata dapat menurunkan kemampuan proliferasi dari sel-sel
matriks folikel rambut. Selain itu, penyakit-penyakit tertentu, seperti gangguan
tiroid, vitiligo, anemia pernisiosa, diabetes, lupus erythematosus, myasthenia
gravis, lichen planus, autoimmune polyendocrine syndrome type I, celiac disease,
atopic dermatitis, Down Syndrome, dan candida endocrinopathy syndrome juga
dapat mengakibatkan terjadinya alopesia areata.2,3
2.2 Patogenesis
Pada dasarnya rambut mengalami pertumbuhan normal melalui mekanisme yang
terdiri dari 3 fase, yaitu (Gambar 1):4,5
1. Anagen (Fase Pertumbuhan)
Sel-sel matriks mengalami mitosis membentuk sel-sel baru, mendorong selsel yang lebih tua ke atas serta berdiferensiasi membentuk lapisan-lapisan
folikel rambut. Kemudian folikel rambut yang terbentuk akan mengalami
keratinisasi untuk memperkuat struktur rambut. Lamanya pertumbuhan
bervariasi tergantung pada lokasi tumbuhnya rambut sekitar 1-6 tahun dengan
rata-rata 3 tahun.
2. Catagen (Fase Degenerasi/Involusi)
Saat jumlah sel matriks berkurang dan panjang rambut dianggap mencukupi,
sel matriks akan mulai mengalami apoptosis, kemudian proliferasi dan
diferensiasi juga akan melambat. Proses selanjutnya adalah penebalan
jaringan ikat di sekitar folikel rambut kemudian bagian tengah akar rambut
akan menyempit dan bagian bawahnya membulat membentuk gada (club).

Sedangkan batang rambut akan terdorong ke permukaan kulit dan


meninggalkan dermal papilla. Masa peralihan ini berlangsung 2-3 minggu.
3. Telogen (Fase Istirahat)
Proliferasi, diferensiasi, dan apoptosis sel matriks menjadi terhenti. Kemudian
folikel rambut ini akan mengalami pelepasan (fase eksogen).
Setelah memasuki fase telogen, sel-sel pada dermal papilla dan keratinocytes
stem cells akan kembali teraktivasi dan terbentuk folikel rambut baru dimulai dari
bagian bawah pada dermal papilla tempat tumbuhnya folikel rambut yang lama.
Semua fase ini terjadi berulang dan diatur oleh interaksi antara epitel folikuler dan
dermal papilla yang ada di dekatnya melalui keseimbangan antara proliferasi,
diferensiasi, dan apoptosis.3,5

Gambar 1. Siklus Pertumbuhan Rambut Normal. A. Anagen (Fase Pertumbuhan);


B. Catagen (Fase Degeneratif/Involusi); C. Telogen (Fase Istirahat).6
Sementara itu, alopesia areata merupakan penyakit yang terjadi akibat
terganggunya siklus pertumbuhan rambut di atas. Pada kelainan ini fase catagen
dan telogen terjadi lebih awal dan lebih singkat dari normalnya dan digantikan
oleh pertumbuhan anagen yang distrofik. Meski demikian, banyak penelitian

memperlihatkan bahwa gangguan pada alopesia areata lebih banyak terjadi pada
fase anagen III/IV.3
Pada dasarnya terjadinya alopesia areata melibatkan 3 komponen fisiologis, yaitu
timus, perifer (pembuluh darah, skin-draining lymph nodes, limpa, dan kulit),
serta folikel rambut atau jaringan target. Mekanisme ini dimulai dari timus.
Progenitor sel T yang berasal dari sumsum tulang pada mulanya mengalami
seleksi positif dan negatif di dalam timus untuk memilih sel T berdasarkan
afinitasnya terhadap self peptide-MHC complex. Molekul Human Leukocyte
Antigen (HLA) juga penting dalam seleksi ini. Individu yang memiliki HLA
halotypes yang spesifik (faktor genetik) cenderung membuat sel T ini menjadi
autoreaktif. Selanjutnya timus akan memperlihatkan berbagai antigen dari seluruh
tubuh untuk proses pematangan sel T, kecuali antigen folikel rambut. Pada
akhirnya akan terbentuk sel T CD8+ dan CD4+ yang kemudian harus melewati
toleransi di timus.3,7
Sel T yang autoreaktif umumnya akan masuk ke perifer akibat toleransi pada
timus yang buruk. Di dalam perifer sel T juga akan mengalami aktivasi antigen
spesifik. Bila diaktifkan oleh self-peptide, sel T akan mengalami ekspansi klonal
yang diikuti dengan delesi atau anergi (inaktivasi secara fungsional). Bila delesi
dan anergi ini gagal maka sel T autoreaktif akan menumpuk sehingga
menimbulkan proses autoimun. Menurunnya jumlah CD4+CD25+ regulatory T cells
yang diyakini mampu menekan proses autoimun ini juga akan mengakibatkan sel
T autoreaktif semakin bertambah banyak. Berbagai antigen diri yang berasal dari
rambut, seperti keratin 16, trichohyalin, atau antigen lain di sekitarnya seperti
keratinocytes, derma papilla, dermal sheath cells, dan melanocytes, atau antigen
asing dapat memicu aktivasi sel T autoreaktif, proses ini dinamakan molecular
mimicry (Gambar 2).4
Setelah melewati seleksi negatif di dalam timus, aktivasi terhadap antigen diri dan
antigen asing di dalam skin-draining lymph nodes, dan melewati toleransi di
perifer, sel T autoreaktif akan menginduksi terjadinya mekanisme autoimun. Ada

beberapa komponen yang dianggap terlibat dalam mekanisme tersebut, seperti


CD8+ yang bersifat sitotoksik, sel NK, aktivitas sel NK-T, antibody dependent
cell-mediated cytotoxicity (ADCC), apoptosis folikel rambut melalui interaksi
Fas-Fas ligand, atau inhibisi siklus pertumbuhan rambut yang diinduksi oleh
sitokin.4
Selain itu, perlu diketahui bahwa pada folikel rambut yang normal hanya sedikit
ditemukan adanya MHC class I sedangkan sitokin imunosupresif, seperti TGF-,
IGF-1, -MSH, dan sel NK sering dijumpai dan berfungsi sebagai pertahanan
melawan antigen. Sebaliknya pada kondisi-kondisi tertentu, seperti infeksi,
mikrotrauma folikuler, atau antigen mikroba dapat merangsang pelepasan sitokin
proinflamasi seperti IFN- yang mampu menginduksi ekspresi molekul MHC
class I dan II secara tidak wajar ke dalam follicular bulb cells sedangkan jumlah
sitokin imunosupresif menurun atau fungsinya terganggu.4
Selanjutnya kondisi di atas akan mengakibatkan infiltrasi sel T CD8+ dan CD4+ ke
dalam folikel rambut yang terjadi selama fase akut (Gambar 3 dan 4). Infiltrasi ini
disebabkan oleh adanya peningkatan ekspresi molekul-molekul adhesi seperti
intercellular adhesion molecules 2 (ICAM-2) dan ELAM-1 di area perivaskuler
dan peribulbar pada kulit. Molekul-molekul adhesi ini kemudian berikatan dengan
sel T kemudian membawanya menuju ke sel endotel pembuluh darah dan
akhirnya ke dermis. Sel T CD8+ menginfiltrasi area dermis pada folikel rambut
(intrafolikuler) dan sel T CD4+ pada area sekitar folikel rambut (perifolikuler) pada
fase anagen. Dengan bantuan sel T CD 4+ molekul-molekul MHC ini kemudian
dikenali sebagai antigen oleh sel T CD8+ yang autoreaktif.4,5
Pada akhirnya folikel rambut akan mengalami miniaturisasi kemudian diikuti
dengan terhentinya siklus pertumbuhan rambut secara prematur pada fase anagen
awal. Folikel rambut dalam kondisi ini disebut folikel rambut nanogen. Proses
keratinisasi juga menjadi tidak lengkap, sehingga pertumbuhan rambut digantikan
menjadi anagen distrofik yang berarti bahwa meskipun fase anagen tetap ada,
kemampuan folikel rambut untuk memproduksi rambut dengan ukuran dan

integritas yang sesuai mengalami gangguan. Pada fase kronis, telogen akan
berlangsung lebih lama dan tidak terjadi tanda-tanda akan memasuki fase anagen.4
Selain mekanisme di atas stres juga dianggap dapat mengakibatkan alopesia areata
dengan melibatkan nerve growth factor (NGF), substance P, dan mast cell. Saat
stres NGF akan menstimulasi sintesis substansi P di dalam dorsal root ganglia
dan menginduksi fase catagen lebih awal. Selanjutnya neuropeptida ini akan
ditranspor melalui serabut saraf sensorik peptidergik menuju ke kulit yang
kemudian mengakibatkan timbulnya peradangan neurogenik perifolikuler yang
dapat mengganggu pertumbuhan rambut.4

Gambar 2. Imunopatogenesis Alopesia Areata.3


9

Gambar 3. Folikel Rambut pada Fase Anagen Normal dan pada Alopesia Areata.8

Gambar 4. Mekanisme Presentasi Antigen dalam Folikel Rambut pada Penderita


Alopesia Areata.8
2.3 Manifestasi Klinis
Perjalanan penyakit alopesia areata tidak dapat diprediksikan. Alopesia areata
lebih sering asimtomatis, tetapi dapat terjadi sensasi terbakar atau gatal di area
kebotakan pada sekitar 14% pasien. Pada pasien alopesia areata, 80% hanya
memiliki satu lesi, 12,5% memiliki 2 lesi, dan 7,7% memiliki lebih dari 2 lesi.
Alopesia areata paling banyak mengenai kulit kepala (66,8-95%), akan tetapi
dapat juga mengenai area berambut lainnya, seperti pada wajah/jambang (28%,
laki-laki), alis (3,8%), dan ekstremitas (1,3%). Penyakit ini dapat mengenai lebih
dari 2 area pada waktu bersamaan (Gambar 5).(2,10)

(A)

(B)

Gambar 5. Alopesia Areata pada Ekstremitas (A) dan Wajah (B).(10)

Lesi alopesia areata stadium awal paling sering ditandai oleh bercak kebotakan
yang bulat atau lonjong dan berbatas tegas. Permukaan lesi tampak halus, licin,
serta tanpa tanda sikatriks, atrofi, maupun skuamasi. Pada tepi lesi terkadang
terdapat exclamation-mark hairs yang mudah dicabut. Exclamation-mark hairs
jika dilihat menggunakan kaca pembesar akan nampak bagian pangkal rambut
yang lebih kecil dari ujung rambut, yang terlihat seperti tanda seru (exclamation
mark).(11)
Gambaran klinis alopesia areata berupa bercak atipikal kemudian menjadi bercak
berbentuk bulat atau lonjong yang terbentuk karena rontoknya rambut, dengan
onset yang cepat.Kulit kepala tampak berwarna merah muda mengkilat, licin dan
halus, tanpa tanda sikatriks, atrofi, maupun skuamasi. Kadang dapat disertai
dengan eritema ringan dan edema. Gejala lain yang terlihat adalah perubahan
kuku, misalnya pitting (burik), onikilosis (pelonggaran), splitting (terbelah), garis
Beau (cekungan-cekungan transversal), koilonikia (cekung), atau leukonikia
(bercak putih di bawah kuku). Perubahan kuku ini dapat menjadi indikator yang
bagus untuk mendeteksi adanya penyakit imun. Kuku juga mengandung protein
keratin yang juga terdapat pada folikel rambut.6
Pada beberapa penderita, terjadi perubahan pigmentasi pada rambut di daerah
yang akan berkembang menjadi lesi, atau terjadi pertumbuhan rambut baru pada
lesi atau pada rambut terminal sekitar lesi. Hal ini disebabkan oleh kerusakan
keratinosit pada korteks yang menimbulkan perubahan pada rambut fase anagen
III/IV dengan akibat kerusakan mekanisme pigmentasi pada bulbus rambut.7
Gambaran klinis spesifik lainnya adalah bentuk ophiasis yang biasanya terjadi
pada anak, berupa kerontokan rambut di bagian occipital yang dapat meluas ke
anterior dan bilateral 1-2 inci di atas telinga dan prognosisnya buruk. Gejala
subyektif biasanya pasien mengeluh gatal, rasa terbakar atau parastesi seiring
timbulnya lesi.
Berdasarkan tingkat luasnya penyakit, alopesia areata dapat dibagi menjadi 2:

1.

Alopesia areata lokal: Lesi alopesia lokal yang melibatkan <50% permukaan
kulit kepala. Penyakit ini biasanya self-limited, rambut akan tumbuh kembali
setelah beberapa bulan, dengan atau tanpa perawatan.

2.

Alopesia areata ekstensif (luas): Lesi melibatkan >50% permukaan kulit


kepala. Kejadiannya lebih jarang.(8)

Berdasarkan jumlah lesi dan area yang terkena, alopesia areata dapat
diklasifikasikan sebagai berikut (Gambar 6):
1.

Alopesia areata monokuler: Hanya terdapat satu lesi kebotakan pada kulit
kepala

2.

Alopesia areata multikuler: Terdapat banyak lesi pada kulit kepala

3.

Alopesia areata total: Pasien mengalami kebotakan pada seluruh kulit kepala

4. Alopesia areata universalis: Lesi tidak hanya terdapat pada kulit kepala, tetapi
juga bagian tubuh yang lain, termasuk rambut pubis.
5. Alopesia areata barbae: Lesi hanya terdapat pada daerah jambang
6. Alopesia traksi: Kebotakan pada daerah frontal dan temporal, karena tekanan
konstan akibat seringnya mengikat rambut dengan kuat.(7,8)

Alopecia areata universalis


Gambar 6. Berbagai Tipe Alopesia Areata.6
2.4 Diagnosis
Untuk mendiagnosis penyakit alopesia areata diperlukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang cermat serta pemeriksaan penunjang bila perlu karena
penyakit ini memiliki kemiripan dengan beberapa penyakit lain pada rambut.

10

Diagnosis ditegakan berdasarkan anamnesis pasien, mengalami kebotakan,


lesi kebotakan lebih dari 1 atau multiple, keluhan gatal atau terbakar. Dapat dilihat
dari umur pasien, riwayat atopi, riwayat kerontokan rambut, riwayat keluarga,
riwayat autoimun.
Pada pemeriksaan fisik didapat gambaran klinis rambut, warna rambut
kepala, tanda-tanda alopecia pada rambut, dan adanya perubahan kuku.
Pemeriksaan pull test dilakukan untuk menilai adanya kerontokan yang aktif.
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan, darah lengkap, pemeriksaan kulit
kepala dan kultur, pemeriksaan serologi, serta biopsi kulit.
1. Anamnesis
Selama anamnesis pasien biasanya mengeluhkan kebotakan rambut pada area
tertentu yang terjadi secara mendadak, pada area kulit kepala, alis, bulu mata, atau
jambang. Lesi kebotakan bisa satu atau multipel. Terasa gatal, tidak nyaman, atau
seperti terbakar pada area kebotakan. Selain itu, beberapa faktor lain juga harus
dipertimbangkan untuk mendukung diagnosis, antara lain umur pasien, pola dan
penyebaran lesi, tingkat kerontokan rambut, riwayat kebotakan atau kerontokan
rambut sebelumnya, riwayat keluarga, riwayat penyakit atopi atau autoimun,
riwayat penyakit sebelumnya (termasuk infeksi atau penyakit lain dalam kurun
waktu 6 bulan), riwayat pengobatan (penyakit lain dan penyakit ini), perawatan
rambut, diet, dan dari segi psikologi berupa pandangan dan ekspektasi pasien
terhadap kondisi yang dialami, serta apakah ada tanda-tanda depresi atau
gangguan psikologis lainnya.
2. Pemeriksaan fisik
Dari pemeriksaan fisik biasanya ditemukan tanda-tanda sebagai berikut.
a. Gambaran klinis alopesia areata yang berbentuk khas, bulat berbatas tegas,
pada kulit kepala atau rambut pada wajah, biasanya tidak memberikan
kesulitan untuk menegakkan diagnosisnya
b. Kulit kepala pada lesi berwarna kemerahan atau normal, tanpa jaringan parut
(pori folikel masih terlihat)

11

c. Exclamation mark hairs (rambut dengan bagian pangkal rambut yang lebih
kecil dari ujung rambut serta mudah dicabut) dapat ditemukan di sekitar tepi
lesi saat fase aktif penyakit(12)
d. Dapat pula terjadi perubahan pada kuku, misalnya pitting (burik), onikilosis
(pelonggaran),

splitting

(terbelah),

garis

Beau

(cekungan-cekungan

transversal), koilonikia (cekung), atau leukonikia (bercak putih di bawah kuku)


(11)

e. Bisa terdapat skuama, akan tetapi harus dipikirkan juga kemungkinan diagnosis
lain, misalnya infeksi jamur pada Tinea kapitis.
f. Inspeksi juga area lesinya untuk mengetahui adanya trauma fisik seperti luka,
terbakar, jaringan parut. Jika terdapat tanda tersebut, kebotakan dicurigai tidak
disebabkan oleh alopesia areata.
g. Perhatikan lokasi lesi dan penyebarannya.
Selain itu, pemeriksaan pull test dapat dilakukan pada tepi lesi untuk mengetahui
adanya kerontokan rambut yang aktif. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara
menarik sekitar 60 rambut dengan lembut tapi mantap. Tes ini positif jika terdapat
kerontokan 2-10 rambut atau lebih.(10) Perkiraan jumlah kerontokan rambut juga
harus diperhitungkan.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang tidak begitu diperlukan pada mayoritas kasus alopesia
areata.(13) Jika gejala dan tanda klinis mengarah pada suatu penyakit autoimun
(misalnya kerontokan pada hipotiroidisme), maka pemeriksaan lanjutan dapat
digunakan untuk menentukan penyebabnya. Jika terdapat keraguan dalam
menegakkan diagnosis, maka pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara
lain(10,11):
a. Darah lengkap: Peningkatan eosinofil atau sel mast
b. Pemeriksaan kulit kepala dan kultur
c. Pemeriksaan serologi untuk sifilis dan SLE
d. Biopsi kulit (histopatologi): Potongan horizontal lebih dipilih karena dapat
menganalisa lebih banyak folikel rambut di level berbeda. Biopsi pada tempat
yang terserang menunjukkan infiltrat limfosit peribulbar pada sekitar folikel
anagen atau katagen yang terlihat seperti gerombolan lebah. Infiltrat tersebar

12

dan hanya terdapat pada beberapa rambut yang berpenyakit. Penurunan jumlah
rambut terminal yang signifikan berhubungan dengan peningkatan jumlah
rambut vellus dengan perbandingan 1,1:1 (normalnya 7:1). Penampakan
lainnya adalah terlihat inkontinensia pigmen di bulbus rambut dan folikel.
Perubahan juga terjadi pada rasio anagen-telogen. Pada keadaan normal,
rasionya sekitar 90% anagen dan 10% telogen. Pada alopesia areata, ditemukan
73% rambut pada fase anagen dan 27% pada fase telogen. Pada kasus yang
sudah berlangsung lama persentase rambut telogen dapat mencapai 100%.
Perubahan degeneratif pada matriks rambut dapat ditemukan tetapi jarang.
Dapat ditemukan eosinofil pada jalur fibrosa dan dekat bulbus rambut.
Terdapat rambut distrofi dan exclamation mark hairs.(14)

Pada stadium akut ditemukan distrofi rambut anagen yang disertai dengan
exclamation mark hair pada bagian proksimal. Sedangkan pada stadium kronis
akan ditemukan peningkatan jumlah rambut telogen, perubahan lain meliputi
berkurangnya diameter serabut rambut, miniaturisasi, serta pigmentasi rambut
yang tidak teratur. Sikatriks pada lesi alopesia areata yang kronis dapat pula
terjadi oleh karena berbagai manipulasi sehingga perlu dilakukan pemeriksaan
biopsy kulit.(11,12) Alopesia areata episode berat dapat menyebabkan perhentian
siklus anagen disertai formasi exclamation mark hair. Rambut yang terserang bisa
diganti oleh rambut normal atau rambut kecil. Alopesia areata episode sedang
menyebabkan inhibisi fase anagen, menimbulkan rambut distrofi, yang dapat
digantikan oleh rambut normal, kecil, atau nanogen (Gambar 7).(14)

13

Gambar 7. Siklus Rambut pada Alopesia Areata yang Terlihat pada Pemeriksaan
Histopatologi.(14)
2.5 Diagnosis Banding
Diagnosis banding yang paling sering adalah Tinea Kapitis dan Trikotilomania.3,10
1.Alopecia Nonscaring
Alopesia androgenetik: Terdapat pola tipikal pada kebotakan akan tetapi
kerontokan tidak terlalu keras dan pull test negatif.10
Tinea kapitis: Infeksi jamur pada kulit kepala yang sering ditemukan
pada anak-anak (umur 4-14 tahun), yang ditandai dengan adanya lesi
kebotakan disertai gatal dan kulit yang bersisik (skuama). Pada pemeriksaan,
lesi tidak teratur disertai adanya eritema, bersisik, dan rambut patah, akan
tetapi tidak disertai adanya exclamation mark hairs dan perubahan pada kuku
yang merupakan karakteristik alopesia areata. Dapat pula terdapat kerion, yaitu
nodul radang dan nyeri pada kulit kepala.10
Trikotilomania: Suatu kondisi psikiatri yang dapat dikaitkan dengan
gangguan obsesif-kompulsif dimana pasien sering mencabut rambutnya sendiri

14

akan tetapi tidak mengakuinya. Pada anak-anak sering terjadi pada anak lakilaki, akan tetapi pada remaja sering terjadi pada perempuan, kebotakan terlihat
asimetris dan memiliki bentuk yang tidak teratur, dan rambut sekitar lesi tidak
mudah dicabut. Tidak terdapat inflamasi.10
Alopesia traksi: Kebotakan rambut yang disebabkan oleh teknik
pemodelan rambut (misalnya belahan rambut, ikatan yang kuat).10
2.Alopesia dengan jaringan parut
Sifilis stadium II: Kebotakan yang berbentuk moth-eaten dan muncul 2-8
bulan setelah munculnya lesi sifilis primer. Cara membedakan diagnosisnya
adalah dengan melakukan tes serologi sifilis
Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
Telogen effluvium: Alopesia difus, terjadi kebotakan rambut pada seluruh
kulit kepala yang terjadi 3 bulan setelah kejadian signifikan misalnya stres fisik
dan psikologis. Resesi bitemporal merupakan gejala tersering pada wanita.
Kebotakan terjadi selama 3-6 bulan sampai rambut mulai tumbuh kembali.
a. Alopesia androgenik: Merupakan penyebab tersering kebotakan pada wanita.

A.

B.

C.

D.
E.
F.
Gambar 8. Diagnosis Banding Alopesia Areata. Tinea Kapitis (A); Alopesia
Androgenetik pada Pria (B) dan Wanita (C); Alopesia pada Systemic Lupus
Erythematosus (D); Telogen Effluvium (E); Anagen Effluvium (F).6

15

2.5 Terapi
Pada alopesia areata ringan, pemberian terapi tidak menjadi suatu kewajiban,
karena remisi spontan dan rekurensi adalah hal yang umum terjadi. Terapi sendiri
umumnya ditujukan untuk menstimulasi pertumbuhan rambut, namun hingga saat
ini belum ditemukan bukti yang menunjukkan bahwa hal ini dapat mempengaruhi
perjalanan alamiah penyakit ini. Sementara untuk alopesia areata berat,
pengobatan umumnya sulit dilakukan, sehingga saat ini jenis dan sistem
pengobatan baru yang memberi hasil yang lebih baik masih terus dicari dan
dikembangkan. Metode pengobatan yang dilakukan saat ini masih berupa
pemberian terapi topikal, terapi sistemik, fototerapi PUVA dan psoralen,
pemberian vitamin dan mineral, interferon, dapsone, serta cryoterapi11,15.
1. Terapi Topikal
a. Formula Helsinki
Merupakan penemuan DR. Screck Purola dkk, yang berupa formulasi
pengobatan topikal yang terdiri dari sampo, kondisioner dan tablet vitamin
yang dikenal dengan nama formula Helsinki. Bahan utama dari formula ini
adalah polysorbate 60 yang bekerja dengan cara menghapus kolesterol
berlebihan pada membran sel di kepala dan membantu pembelahan sehingga
memberi kemungkinan rambut tumbuh kembali.
b. Pilo-Genics Biotin Products
Berupa krim dengan bahan khusus yang dapat membuat krim berpenetrasi
ke dalam sel-sel dari folikel rambut secara langsung sehingga dapat
mengurangi kerontokan.
c. Larutan progesteron
Pemberian progesteron dengan kadar 2-4% sebanyak 1 cc 2 kali sehari pada
pria dan pada wanita diberikan dosis yang lebih kecil (< 2%) pada daerah
kebotakan dapat mengurangi kerontokan. Hal ini dikarenakan progesteron
yang

diberikan

dapat

bersaing

dengan

5-alfareduktase,

sehingga

menurunkan kadar dihidrotestoteron (DHT) dan mengubah keseimbangan


hormonal dalam folikel, sehingga mengakibatkan berkurangnya rambut
yang rontok.

16

d. Kortokisteroid topikal
Merupakan imunosupresor yang nonspesifik yaitu kortikosteroid kelas II
(Clobatasol propionate) dalam bentuk larutan dengan cara pemakaian 1 ml 2
kali sehari dioles pada seluruh kepala. Terapi dikurangi secara bertahap bila
alopesia membaik. Pada triple therapy digunakan kortikosteroid potensi
tinggi dalam bentuk krim, yang dipakai 30 menit sesudah pengolesan
dengan larutan minoxidil, disertai dengan penyuntikan kortikosteroid 1 kali
sebulan. Dalam suatu penelitian digunakan flucinolone acetonide cream
0,2% dua kali sehari dan didapatkan hasil bahwa 61% sampel menunjukkan
adanya

respon.

Pemberian

kortikosteroid

topikal

potensi

tinggi

(betametasone dipropionactere cream 0,05%) 2 kali sehari selama 3 bulan


berturut-turut diketahui memberi hasil yang baik.
e. Antralin
Antralin merupakan bahan iritan yang dapat merangsang pertumbuhan
rambut kembali dengan sifat-sifat iritannya. Pada short contact anthralin
therapy digunakan krim antralin 1-3%, dioleskan pada daerah kebotakan
hanya untuk beberapa jam sampai terjadi iritasi kulit kemudian dicuci
dengan air dan sabun, pemakaian ini dilakukan selama 6 bulan.
f. Minoxidil (2,4-diamino-6 piperidinopyrimidine-3-oxide)
Mekanisme kerja minoxidil untuk merangsang pertumbuhan rambut belum
diketahui secara pasti, meskipun ditemukan bukti-bukti yang menunjukkan
adanya kemungkinan efek folikuler yang langsung (efek mitogenik) dan
vasodilator periferal yang poten. Minoxidil mempunyai efek mitosis secara
langsung pada sel epidermis dan memperpanjang kemampuan hidup
keratinosit. Selain itu, mekanisme kerjanya juga diduga berhubungan
dengan penghambatan masuknya kalsium ke dalam sel. Masuknya kalsium
ke dalam sel dapat meningkatkan jumlah epidermis growth factor (EGF)
yang dapat menghambat pertumbuhan rambut. Minoxidil 5% harus
dioleskan 2 kali sehari selama 2-3 bulan sebelum terjadi peningkatan jumlah
rambut. Pertumbuhan rambut paling cepat dapat terlihat dalam 2 bulan
sampai 1 tahun sejak dimulainya pengobatan.

17

2. Terapi sistemik
a. Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid sistemik pada pengobatan alopesia areata masih
kontroversial. Hal ini dikarenakan angka pertumbuhan rambut yang
bervariasi (27%-89%) dan perbedaan dosis pemberian yang digunakan
dalam beberapa penelitian. Dosis kortikosteroid yang paling sering
diberikan adalah prednison 80-120 mg/hari selama 8-42 bulan, dimana
kekambuhan dapat terjadi dan waktunya bervariasi antara 6-15 bulan setelah
prednison diberikan.
b. Isoprinosin
Isoprinosin berfungsi untuk menurunkan kadar autoantibodi yang sering
didapatkan pada penderita alopesia areata seperti nuclear antibody, smooth
muscle antibody, striated muscle antibody serta epidermal/gastric parietal
cell antibody. Dosis yang digunakan adalah 50 mg/kgBB/hari, dengan dosis
maksimal antara 3-5 gram per hari. Lama pemberian bervariasi, berkisar
antara 20 minggu sampai 6 bulan. Dosis yang diberikan tidak menetap,
tetapi diturunkan setelah minggu ketiga sampai minggu kedelapan.
c. Siklosporin
Siklosporin memiliki efek menghambat infiltrasi sistem imunitas ke dalam
dan sekitar folikel rambut, menghambat ekspresi HLA DR di epitel folikel,
ekspresi ICAM-1, set T CD4, CD8 dan sel Langerhans serta menurunkan
rasio CD4/CD8. Pemberian siklosporin dengan dosis 6 mg/kgBB/hari
selama 12 minggu dapat mengakibatkan pertumbuhan rambut yang mulai
terjadi antara minggu kedua sampai keempat.
3. Fototerapi PUVA (Psoralen+UVA)
Pemberian fototerapi PUVA pada penderita alopesia areata memiliki peran
sebagai imunosupresor pada kulit. PUVA dapat menurunkan jumlah sel T serat
jumlah reseptor interleukin-2 (IL-2) pada kulit. Fototerapi PUVA dilakukan
dengan pemberian metoksalen 10-60 mg 2 jam sebelum radiasi PUVA ke
seluruh badan. Frekuensi radiasi 3 kali seminggu dengan energi 8-8,5 J/cm 2.

18

Kekambuhan dapat terjadi dan biasanya terjadi antara 8 bulan sampai 2 tahun
setelah penghentian pengobatan.
4. Vitamin dan mineral
Pemberian vitamin terutama dilakukan pada keadaan defisiensi vitamin yang
bersangkutan. Kerontokan rambut dapat merupakan salah satu gejala defisiensi
beberapa jenis vitamin misalnya B12, biotin dan vitamin D. Vitamin B12
diberikan dengan dosis 1 mg/minggu IM pada bulan pertama, yang dilanjutkan
dengan 1 mg/bulan, dan perbaikan biasanya terjadi setelah 1 tahun. Biotin
diberikan dengan dosis 150 mg/hari yang memberikan perbaikan setelah 1
minggu, sementara vitamin D diberikan dengan dosis 100-400 IU/hari.
5. Interferon 2
Interferon 2 dengan dosis 1,5 juta IU diberikan sebanyak 3 kali seminggu
selama 3 minggu.
6. Dapsone
Dapsone diberikan dengan dosis 50 mg sebanyak 2 kali sehari selama 6 bulan.
7. Cryoterapi
Bekerja dengan menstimulasi pertumbuhan rambut pada alopesia areata. Pada
suatu penelitian pada anak dan dewasa, terjadi pertumbuhan kembali pada
>60% area alopesia areata pada 70 dari 72 pasien yang diteliti.

19

BAB III
SIMPULAN
Alopesia areata merupakan penyakit yang ditandai dengan kerontokan rambut
akibat proses inflamasi kronis dan berulang yang terjadi pada rambut terminal.
Penyakit ini dapat terjadi pada semua kelompok umur dengan prevalensi yang
sama antara pria dan wanita. Alopesia areata disebabkan oleh berbagai faktor
terutama autoimun dan genetik. Dalam kondisi normal pertumbuhan rambut
mengalami siklus yang terdiri dari fase anagen, catagen, dan telogen. Pada
alopesia areata siklus ini mengalami gangguan terutama pada fase anagen III/IV.
Kondisi ini terjadi melalui mekanisme autoimun yang melibatkan berbagai
komponen seperti timus, perifer, jaringan target berupa folikel rambut, sel T CD 8+,
sel T CD4+, MHC class I dan II, ICAM-2, ELAM-1, dan berbagai sitokin
proinflamasi yang secara keseluruhan berperan dalam mengakibatkan terhentinya
fase anagen secara prematur dan digantikan dengan anagen distrofik.
Alopesia areata paling banyak terjadi pada rambut di kepala meskipun pada lokasi
lain seperti wajah dan ekstremitas juga dapat terjadi. Alopesia areata ditandai
dengan adanya bercak kebotakan yang bulat atau lonjong dan berbatas tegas.
Permukaan lesi tampak halus, licin, serta tanpa tanda sikatriks, atrofi, maupun
skuamasi yang disertai terasa gatal. Lesi kebotakan dapat berjumlah satu atau
multipel bahkan dapat menjadi totalis hingga universalis. Selain itu juga dapat
ditemukan adanya exclamation mark hair serta terjadi perubahan pada kuku.
Untuk mendiagnosis lebih pasti dapat dilakukan pemeriksaan darah lengkap, kulit
kepala, serologi, atau biopsi kulit bila diperlukan untuk menyingkirkan penyakit
lain seperti tinea kapitis, alopesia androgenetik, anagen effluvium, telogen
effluvium, dan lain sebagainya. Penataksanaan alopesia areata meliputi terapi
topikal seperti formula helsinki, pilo-genics biotin products, larutan progesteron,
kortikosteroid

topikal, antralin,

minoxidil, atau

terapi

sistemik

seperti

kortikosteroid, isoprenosin, atau siklosporin. Terapi lainnya dapat berupa tindakan


fototerapi PUVA (Psoralen+UVA), pemberian vitamin dan mineral, interferon 2,
dapson, atau cryoterapy.

20

DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardiman L. Kelainan Rambut. In: Djuanda A., Hamzah M., dan Aisah
S.(eds). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kee m. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2011: page .
2. Hull D, wood, Hutchinson et all. Guidelines core management of
whatevea. 17 april 2003. British journal of dermatology 2003; 149: 692-9
3. Edwind P, Dinto D, et all. Guidelines of whateva bye bye. 11 September
2013. Koja journal of dermatology 2015. Yass betch.
4.
5. McElwee KJ, Freyschmidt-Paul P, Sundberg JP, Hoffmann R. 2003. The
pathogenesis of alopecia areata. J Investig Dermatol Symp Proc. 8(1):6-11.
6. Wasserman D. et.al. Alopecia Areata. International Journal of
Dermatology. 2007; 46:121-131.
7. Alexis A.F., Duddasubramanya R. and Sinha A.A. Alopecia Areata:
Autoimmune Basis of Hair Loss. Eur J Dermatol. 2004; 14: 364-70.
8. Soepardiman L. Kelainan Rambut. Dalam: Djuanda A., Hamzah M., dan
Aisah S.(eds.). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Keenam. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010: hlm.
303-305.
9. Randall V.A. and Botchkareva N.V. The Biology of Hair Growth. Centre
of Skin Sciences, School of Life Sciences, University of Bradford,
Bradford, UK. William Andrew Inc. 2009; p. 3-35.
10. Wolff K. and Johnson R.A. Fitzpatricks Color Atlas and Synopsis of
Clinical Dermatology 6th Edition. New York: McGrawHill; 2009: p. 96275.
5. Wang E. and McElwee K.J. Etiopathogenesis of Alopecia Areata: Why
Do Our Patients Get It?. Dermatologic Therapy. 2011; 24: 337-347.
11. Gilhar A., Paus R., and Kalish R.S. Lymphocytes, Neuropeptides, and
Genes Involved in Alopecia Areata. J. Clin. Invest. 2007; 117(8): 2019-27.
12. Gregoriou S. et.al. Cytokines and Other Mediators in Alopecia Areata.
Andreas Sygros Hospital, University of Athens Medical School. 2010; p.
1-5.
13. Madani, S. and Shapiro, J. 2000. Alopecia areata update. Journal of the
American Academy of Dermatology. 42(4), 549-66.

21

14. Putra I.B. 2008. Alopesia Areata. Universitas Sumatera Utara. Hal. 1-30.
15. Bertolino, A.P. 2000. Alopecia areata: a clinical overview. Postgraduate
Medicine 107(7), 81-90
16. MacDonald Hull et al. 2003. Guidelines for the management of alopecia
areata. British Journal of Dermatology 149(4), 692-99
17. Whiting D. A. 2003. Histopathologic Features of Alopecia Areata: A New
Look. Arch Dermatol. 139:1555-59.
18. S.P. McDonald Hull, M.L. Wood, P.E. Hutchinson, M. Sladden, A.G.
Messenger. 2003. Guidelines for the management of alopecia areata.
British Journal of Dermatology 149: 692699.

22

Anda mungkin juga menyukai