Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Makanan
Makanan adalah hasil dari proses pengolahan suatu bahan pangan yang dapat
diperoleh dari hasil pertanian, perkebunan, perikanan dan adanya teknologi
(Moertjipto, 1993). Makanan dalam ilmu kesehatan adalah setiap substrat yang dapat
dipergunakan untuk proses di dalam tubuh. Terutama untuk membangun dan
memperoleh tenaga bagi kesehatan sel tubuh (Irianto, 2004).
Berdasarkan cara perolehannya, pangan dapat dibedakan menjadi tiga bagian
yaitu (Saparinto dan Hidayati, 2006):
1. Makanan segar, yaitu makanan yang belum mengalami pengolahan yang dapat
dikonsumsi langsung ataupun tidak langsung (bahan baku pengolahan pangan),
contoh: pisang dan lain-lain.
2. Makanan olahan, yaitu makanan hasil proses pengolahan dengan cara atau metode
tertentu, dengan atau tanpa bahan tambahan. Makanan olahan bisa dibedakan lagi
menjadi makanan olahan siap saji dan tidak siap saji.
a. Makanan olahan siap saji adalah makanan yang sudah diolah dan siap disajikan
di tempat usaha atau di luar tempat usaha atas dasar pesanan, contoh: pisang
goreng dan lain-lain.
b. Makanan olahan tidak siap saji adalah makanan yang sudah mengalami proses
pengolahan, akan tetapi masih memerlukan tahapan pengolahan lanjutan untuk
dapat dimakan atau diminum, contoh: makanan kaleng dan lain-lain.

Universitas Sumatera Utara

3. Makanan olahan tertentu


Pangan olahan tertentu adalah pangan olahan yang diperuntukkan bagi kelompok
tertentu dalam upaya memelihara dan meningkatkan kualitas kesehatan, contoh: susu
rendah lemak untuk orang yang menjalani diet lemak dan lain-lain.
Penanganan makanan yang tidak tepat dapat menyebabkan penyakit yang
disebut foodborne disease, yaitu gejala penyakit yang timbul akibat mengkonsumsi
pangan yang mengandung bahan/senyawa beracun atau organisme patogen.
Bahan/senyawa kimia beracun bisa berasal dari makanan itu sendiri maupun dari luar
makanan seperti kemasannya. Ketika masuk ke dalam tubuh manusia zat kimia akan
menimbulkan efek yang berbeda-beda, tergantung jenis dan jumlahnya. Penggunaan
bahan pengemas makanan yang dilarang dapat menyebabkan penyakit kanker, tumor
dan gangguan saraf (Yuliarti, 2007).
2.2. Kemasan Makanan
Kemasan

makanan

merupakan

suatu

bahan

untuk

mempermudah

pengangkutan, pemasaran dan pendistribusian makanan. Kemasan makanan harus


memperhatikan fungsi kesehatan, pengawetan, kemudahan, penyeragaman, promosi
dan informasi (Suyitno, 1990).
Kemasan makanan yang paling sering digunakan untuk membungkus
makanan adalah kertas, plastik dan styrofoam yang memiliki keunggulan masingmasing. Namun di balik keunggulannya, ternyata tersimpan bahaya terselubung bagi
kesehatan, terutama plastik dan styrofoam. Kemasan ini perlu diwaspadai
penggunaannya, terlebih dalam bisnis makanan, karena tidak sedikit penjual makanan

Universitas Sumatera Utara

yang tidak mengetahui penggunaannya secara tepat dan resiko yang ditimbulkan bagi
kesehatan (Koswara, 2006).
Menurut Buckle (1987), ada resiko-resiko tertentu sehubungan dengan bahanbahan pengemas, proses dan juga pendistribusian makanan yang telah dikemas.
Selain bahaya mikroorganisme yang kemungkinan terdapat pada bahan pengemas
makanan, resiko lain yang mungkin muncul adalah masuknya komponen beracun
yang berasal dari bahan pengemas ke dalam bahan makanan, seperti bahan-bahan
kimia dan bau yang berasal dari bahan pengemas tersebut.
Mutu dan keamanan makanan yang dikemas sangat tergantung dari mutu
kemasan yang digunakan, baik kemasan primer, sekunder maupun tertier. Oleh
karena itu diperlukan adanya peraturan-peraturan mengenai kemasan makanan, yang
bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen (Suyitno, 1990).
Menurut UU RI No.7 Tentang Pangan Tahun 1996, Pasal 16 ayat (1) Setiap
orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan apa
pun sebagai kemasan pangan yang dinyatakan terlarang dan atau yang dapat
melepaskan cemaran yang merugikan atau membahayakan kesehatan manusia dan
ayat (3) Pemerintah menetapkan bahan yang dilarang digunakan sebagai kemasan
pangan dan tata cara pengemasan pangan tertentu yang diperdagangkan dan menurut
Peringatan Publik BPOM Nomor: KH.00.02.1.55.2890 Tahun 2009 tentang Plastik
Kresek dan Keterangan Pers BPOM Nomor: KH.00.02.1.55.2888 Tahun 2009
tentang Kemasan Makanan Styrofoam (lampiran) ditambah dengan penelitianpenelitian yang pernah dilakukan terhadap bahaya palstik dan styrofoam, semakin

Universitas Sumatera Utara

memperjelas bahwa kemasan makanan plastik kresek dan styrofoam perlu diwaspadai
penggunaannya.
2.3. Kemasan Plastik
Plastik merupakan kemasan makanan yang sangat populer dan menjadi
pilihan favorit penjual makanan. Tidak sedikit penjual makanan yang menggunakan
plastik sebagai pengemas makanan, namun tidak sedikit juga penjual makanan yang
khawatir akan dampak penggunaan plastik terutama plastik kresek hitam dan
kemudian beralih menggunakan kertas cokelat sebagai pengemas makanan. Tapi
tanpa disadari, kertas cokelat tersebut juga sudah dilapisi plastik dan ini menunjukkan
betapa populernya penggunaan plastik dalam kehidupan sehari-hari. Kelebihan dari
kemasan plastik yang ringan, fleksibel, multiguna, kuat, tidak bereaksi, tidak
berkarat, dapat diberi warna dan harganya yang murah seakan membutakan
masyarakat tentang dampak yang ditimbulkan, seperti terjadinya perpindahan zat-zat
penyusun dari plastik ke dalam makanan, terutama jika makanan tersebut tidak cocok
dengan plastik yang mengemasnya. Zat-zat penyusun tersebut cukup tinggi
potensinya untuk menimbulkan penyakit kanker pada manusia (Koswara, 2006).
2.3.1. J enis dan Sifat Fisiko Kimia Plastik
A. Termoset
Plastik termoset adalah jenis plastik yang tidak bisa didaur-ulang atau dicetak,
contohnya: saran atau poliviniliden klorida (PVdC), akrilik yang sering digunakan
untuk botol-botol minuman, politetra fluoroetilen (PTFE) yang terdapat pada
peralatan dapur seperti Teflon dan Ediblefilm dari amilosa pati jagung untuk kemasan
permen dan sosis yang dapat dimakan (Wikipedia, 2009).

Universitas Sumatera Utara

B. Termoplastik
Plastik termoplastik adalah jenis plastik yang dipakai untuk mengemas atau
kontak dengan bahan makanan dan dapat didaur-ulang/dicetak kembali, contoh:
plastik kresek dan plastik lainnya (Wikipedia, 2009).
Untuk melindungi konsumen dari bahaya yang ditimbulkan oleh proses daur
ulang plastik ini, maka diciptakanlah sebuah standar penggunaan kemasan plastik.
Standar penggunaan ini telah dikembangkan oleh asosiasi industri plastik di Amerika
Serikat dengan melakukan pengkodean jenis plastik. Kode yang mengacu pada
standar penggunaan plastik tersebut biasanya ada di bagian bawah wadah plastik
berupa cetakan timbul bergambar panah yang membentuk segitiga dengan sebuah
angka di dalamnya (simbol daur ulang). Angka ini menunjukkan jenis plastik dan
keamanan penggunaannya (lampiran gambar.1) (2009).
1. Poliester atau Polietilen Treptalat (PET)
PET biasa terdapat pada botol plastik transparan seperti pada kemasan air
mineral atau minuman yang siap untuk diminum seperti minuman ringan yang
bersoda (terkarbonasi). Namun demi keamanan, plastik jenis ini tidak boleh
digunakan berulang-ulang (hanya sekali pakai) dan tidak boleh diisi dengan air panas,
karena hal ini dapat mengakibatkan lapisan polimer pada botol tersebut meleleh dan
mengeluarkan zat karsinogenik yang bisa memicu penyakit kanker dan sangat
berbahaya untuk kesehatan. Oleh karena itu, dalam penggunaan botol berbahan PET
disarankan untuk segera menghabiskan isi botol sesudah tutupnya dibuka, karena
semakin lama wadah dibuka, maka kandungan kimia yang terlarut juga semakin
banyak dan kebersihan botol juga semakin berkurang (Anonimous, 2008).

Universitas Sumatera Utara

2. Polietilen (PE)
Plastik PE dengan ketebalan 0.001 0.01 inchi banyak digunakan unttuk
mengemas bahan pangan. Plastik ini lunak dan cair pada suhu 110C sehingga dapat
dibentuk menjadi kantong plastik dengan derajat kerapatan yang baik. PE termasuk
jenis termoplastik yang digunakan secara luas oleh konsumen dan produknya sering
disebut sebagai kantong plastik (Wikipedia, 2009).
Kantong plastik atau plastik kresek adalah kantong pembungkus yang dibuat
dari plastik HDPE. Kantong plastik memiliki berbagai jenis sesuai dengan
kegunaannya, diantaranya kantong plastik untuk kemasan (makanan dan nonmakanan), kantong belanja, kantong sampah, kantong besar untuk keperluan industri
dan lain-lain (2009).
Berdasarkan densitasnya (derajat kerapatan), maka plastik PE dibedakan atas:
a. Polietilen densitas tinggi (HDPE = High Density Polyethylene)
HDPE merupakan kantong plastik berwarna yang sering digunakan sebagai
kemasan makanan. Namun demi keamanannya, BPOM menyarankan untuk tidak
menggunakan kantong plastik atau plastik kresek berwarna (terutama hitam) sebagai
bahan pengemas makanan siap saji, karena tidak diketahui pasti riwayat penggunaan
plastik sebelumnya dan bahan kimia yang digunakan ketika proses daur ulang.
Dikhawatirkan penggunaan kantung plastik tersebut sebelum didaur ulang adalah
sebagai pengemas bahan kimia beracun, seperti pestisida, logam berat dan lain-lain
(BPOM, 2009).

Universitas Sumatera Utara

b. Polietilen densitas rendah (LDPE = Low Density Polyethylene)


LPDE sering digunakan sebagai wadah atau kemasan untuk makanan seperti
sayuran, daging beku, pembungkus roti dan lain-lain. LPDE juga digunakan untuk
pelapis kaleng dan kertas yang sering digunakan sebagai pembungkus makanan
supaya tetap hangat (food wrapping). Plastik pembungkus makanan dengan kode ini
cukup aman digunakan. Sayangnya, plastik ini hampir tidak dapat dihancurkan
(terdegredasi) dan ini merupakan ancaman yang serius terhadap lingkungan
(Anonimous, 2008).
3. Polivinil Klorida (PVC)
PVC sering digunakan pada mainan anak-anak, bahan bangunan dan kemasan
untuk produk bukan makanan. PVC termasuk plastik yang sulit didaur ulang dan
dianggap sebagai jenis plastik yang paling berbahaya. Kandungan plastik ini bisa
lumer dan bercampur ke dalam makanan pada suhu -15C. Akibatnya berbahaya,
dapat menyebabkan kerusakan hati dan ginjal (Anonimous, 2008).
4. Polipropilen (PP)
Plastik PP ini termasuk yang aman dipakai membungkus makanan atau
minuman dan menjadi salah satu jenis plastik yang aman bagi manusia (BPOM,
2009). Biasanya plastik ini digunakan untuk packing makanan kering (snack),
sedotan, kantong obat, tempat makanan dan botol minum bayi. Plastik ini biasanya
berwarna transparan, bening, tembus pandang, tahan terhadap suhu tinggi (150C)
sehingga dapat dipakai untuk mensterilkan bahan pangan dan dapat pecah meski tidak

Universitas Sumatera Utara

melukai penggunanya sehingga cocok untuk peralatan makan bayi (Anonimous,


2008).
5. Polistiren (PS)
Polistiren termasuk kemasan sekali pakai, contoh: cup, sendok plastik dan
styrofoam. Kandungan kimia pada polistiren berbahaya bagi kesehatan manusia.
Styrene bisa bercampur dengan makanan saat makanan panas dan berminyak
dimasukkan ke dalam wadah ini (BPOM, 2009), hal ini disebabkan sifat styrene yang
lunak pada suhu 90-95C. Styrene berbahaya untuk jaringan otak, sistem saraf, dan
dianggap sebagai bahan pemicu kanker (karsinogenik) pada tubuh (Khomsan, 2003).
6. OTHER (Termoplastik selain kelompok etilen)
Polikarbonat (PC) biasanya digunakan untuk botol galon air minum dan
sebagai salah satu bahan untuk perlengkapan makanan dan minuman (melamin) yang
dapat digunakan sampai 140C (Wikipedia, 2009).
2.3.2. Pemilihan Kemasan Plastik Untuk Makanan
Tidak mudah untuk menentukan jenis plastik yang baik untuk wadah atau
kemasan makanan. Di pasaran diperkirakan banyak dijumpai bahan kemasan yang
sebetulnya tidak cocok dengan jenis makanan yang dikemas. Setiap jenis makanan
memiliki sifat yang perlu dilindungi, yang harus dapat ditanggulangi oleh jenis
plastik tertentu. Kesalahan material kemasan dapat mengakibatkan kerusakan bahan
makanan yang dikemas (Buckle, 1987).
Selain dengan melihat pengkodean yang telah ditetapkan, aman-tidaknya
wadah plastik (food grade dan non-food grade) bisa diketahui dari simbol atau

Universitas Sumatera Utara

pertanda khusus yang tertera di wadah plastik tersebut, diantaranya (Anonimous,


2010):
1.

Simbol Food Grade


Bergambar gelas dan garpu, artinya wadah tersebut aman digunakan untuk
makanan dan minuman.

2.

Simbol Non-Food Grade


Gambar garpu dan gelas dicoret, artinya wadah tersebut tidak didesain untuk
makanan karena kandungan zat kimia di dalamnya bisa membahayakan
kesehatan.

3.

Simbol Microwave Save


Gambar garis bergelombang, artinya wadah aman untuk digunakan sebagai
penghangat makanan di dalam microwave karena tahan suhu yang tinggi.

4.

Simbol Non-Microwave
Gambar garis bergelombang dicoret, artinya wadah tidak boleh digunakan
untuk menghangatkan makanan di dalam microwave karena tidak tahan suhu
yang tinggi atau panas.

5.

Simbol Oven Save


Gambar oven (dua garis horizontal), artinya aman digunakan sebagai
penghangat makanan di dalam oven. Meski terbuat dari plastik, wadah ini tahan
terhadap suhu tinggi.

6.

Simbol Non-Oven
Gambar dua garis horizontal dicoret, artinya wadah tidak tahan suhu tinggi.

Universitas Sumatera Utara

7.

Simbol Grill Save


Gambar pemanggang atau grill (tiga segitiga terbalik), artinya wadah aman
digunakan untuk suhu tinggi.

8.

Simbol Non-Grill Save


Gambar pemanggang dicoret, artinya wadah tidak boleh digunakan untuk
memanggang.

9.

Simbol Freezer Save


Gambar bunga salju, artinya wadah aman digunakan untuk menyimpan
makanan atau minuman dengan suhu rendah atau beku.

10.

Simbol Non-Freezer Save


Gambar bunga salju dicoret, artinya wadah tidak boleh untuk disimpan dalam
lemari pendingin.

11.

Simbol Cut Save


Gambar pisau, artinya wadah aman digunakan sebagai alas saat memotong
bahan-bahan makanan.

12.

Simbol Non-Cut Save


Gambar pisau dicoret, artinya tidak untuk wadah memotong.

13.

Simbol Dishwasher Save


Gambar gelas terbalik, artinya wadah aman untuk dicuci dalam mesin pencuci.

14.

Simbol Non-Dishwasher Save


Gambar gelas dicoret, artinya gelas harus dicuci manual.

Universitas Sumatera Utara

2.3.3. Dampak dan Bahaya Plastik Terhadap Kesehatan


Adapun zat-zat penyusun plastik yang berbahaya bagi kesehatan adalah
(Koswara, 2006):
1. Monomer vinil klorida, dapat bereaksi dengan guanin dan sitosin pada DNA dan
mengalami metabolisme dalam tubuh, sehingga memiliki potensi yang cukup tinggi
untuk menimbulkan tumor dan kanker pada manusia terutama kanker hati.
2. Monomer vinil sianida (akrilonitril), bereaksi dengan adenin pada DNA dan
memiliki potensi yang cukup tinggi untuk menimbulkan penyakit kanker. Dampak
akrilonitril sudah terbukti pada hewan percobaan yaitu menimbulkan cacat lahir pada
tikus yang memakannya.
3. Monomer vinil asetat, telah terbukti menimbulkan kanker tiroid, uterus dan hati
(liver) pada hewan.
4. Monomer lainnya, seperti akrilat, stirena, metakriat dan senyawa turunannya
seperti vinil asetat, polivinil klorida, kaprolaktam, formaldehida, kresol, isosianat
organik, heksa metilandiamin, melamin, epodilokkloridin, bispenol dan akrilonitril
yang dapat menimbulkan iritasi pada saluran pencernaan terutama mulut,
tenggorokan dan lambung.
Selain monomer, zat aditif yang berbahaya bagi kesehatan diantaranya:
1. Dibutil ptalat (DBP) dan Dioktil ptalat (DOP), merupakan zat aditif yang populer
digunakan dalam proses plastisasi, namun dibalik kepopuleran itu ternyata DBP dan
DOP ternyata menyimpan suatu zat kimia yaitu zat benzen. Benzen termasuk larutan
kimia yang sulit dicerna oleh sistem pencernaan. Benzen juga tidak dapat dikeluarkan
melalui feses atau urin. Akibatnya, zat ini semakin lama semakin menumpuk dan

Universitas Sumatera Utara

berbalut lemak. Hal tersebut bisa memicu kanker pada darah atau leukemia (Koswara,
2006).
2. Timbal (Pb) merupakan racun bagi ginjal dan kadmium (Cd) yang merupakan
pemicu kanker dan racun bagi ginjal dimana keduanya merupakan bahan aditif untuk
mencegah kerusakan pada plastik.
3. Senyawa nitrosamine, yang timbul akibat reaksi antara komponen dalam plastik
yang bersifat karsinogenik (Winarno, 1994).
4. Ester ptalat, yang digunakan untuk melenturkan ternyata dapat menggangu sistem
endokrin (Anonimous, 2009).
5. Bisphenol A (BPA) yang terdapat pada plastik polikarbonat (PC) merupakan zat
aditif yang dapat merangsang pertumbuhan sel kanker dan memperbesar resiko pada
kehamilan (Anonimous, 2008).
6. Bahan aditif senyawa penta kloro bifenil (PCB) yang ditambahkan sebagai bahan
untuk membuat plastik tahan panas. PCB berfungsi sebagai satic agent dan ikut
menentukan kualitas plastik. Plastik tahan panas sangat dimungkinkan mengandung
PCB lebih banyak. Tanda dan gejala keracunan PCB ini berupa pigmentasi pada kulit
dab benjolan-benjolan, gangguan pencernaan, serta tangan dan kaki lemas. Pada
wanita hamil PCB dapat mengakibatkan kematian bayi dalam kandungan serta bayi
lahir cacat. Pada keracunan menahun, PCB dapat menyebabkan kematian jaringan
hati dan kanker hati (Anonimous, 2009).
7. Ancaman lain kemasan plastik adalah pigmen warna pada kantong plastik kresek
yang bisa bermigrasi ke dalam makanan. Pada kantong plastik yang berwarna-warni
sering tidak diketahui bahan pewarna yang digunakan. Begitu juga dengan plastik

Universitas Sumatera Utara

yang tidak berwarna, perlu diwaspadai penggunaanya. Semakin jernih, bening dan
bersih plastik tersebut, semakin sering terdapat kandungan zat kimia yang berbahaya
dan tidak aman bagi kesehatan manusia (Koswara, 2006).
2.4. Kemasan Styrofoam
Kemasan styrofoam adalah kemasan makanan dari merek dagang Dow
Chemichals yang berbahan dasar expandable polystyrene atau foamed polystyrene
(FPS) yang tergolong dalam plastik polistiren (PS) atau yang memiliki kode-6 dalam
pengkodean plastik (BPOM, 2009).
Styrofoam terbuat dari polystyrene yaitu polimer yang tersusun dari banyak
monomer (styrene). Untuk menjadi styrofoam, maka ditiupkan udara ke dalam
polystyrene dengan menggunakan blowing agents yang disebut khloroflourokarbon
(CFC) sehingga membentuk buih (foam) (Khomsan, 2003).
Dalam penggunaannya sebagai kemasan makanan, styrofoam memiliki
beberapa sifat yang menjadi keunggulannya, diantaranya relatif tahan bocor, praktis
dan mampu menjaga suhu makanan dengan baik, jadi makanan panas akan tetap
panas di dalam styrofoam (Khomsan, 2003).
2.4.1. Dampak dan Bahaya Styrofoam Terhadap Kesehatan
Menurut

Khomsan (2003),

masyarakat

khususnya konsumen sering

beranggapan bahwa bila sesuatu itu sudah ada dimana-mana dan dipakai oleh banyak
orang, maka sesuatu tersebut pasti aman. Demikian pula dengan penggunaan
styrofoam yang semakin meluas saat ini, sedikitpun tidak memunculkan kekhawatiran
apakah penggunaan styrofoam aman atau tidak untuk kesehatan.

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan berbagai penelitian yang dilakukan sejak tahun 1930-an,


diketahui bahwa bahan dasar styrofoam (styrene) dan bahan aditif lainnya seperti
butadien yang berfungsi sebagai bahan penguat juga DOP ataupun BHT yang
berfungsi sebagai pemlastis (plasticizer) ternyata bersifat mutagenik (mampu
mengubah gen) dan potensial karsinogen (merangsang pembentukan sel kanker)
(Yuliarti, 2007).
Penelitian di Rusia pada tahun 1975 menemukan adanya gangguan menstruasi
pada wanita yang bekerja dan selalu menghirup styrene dalam konsentrasi rendah.
Gangguan menstruasi tersebut menyangkut siklus menstruasi yang tidak teratur dan
terjadinya pendarahan berlebihan (hypermenorrhea) ketika menstruasi. Styrene juga
dapat menyebabkan gangguan pada sistem reproduksi wanita (penurunan kesuburan
bahkan mandul) (Khomsan, 2003).
Pada tahun 1986, National Human Adipose Tissue Survey di Amerika Serikat
(AS) mengungkapkan bahwa 100% jaringan lemak penduduk Amerika mengandung
styrene dan pada tahun 1988 kandungan styrene tersebut mencapai 8-350 ng/g.
Konsentrasi styrene 350 ng/g adalah sepertiga dari ambang batas yang dapat
memunculkan gejala neurotoxic (gangguan syaraf). Neurotoxicakan menimbulkan
gejala-gejala seperti kelelahan, nervous dan kadar hemoglobin rendah. Hemoglobin
(Hb) adalah bagian dari sel darah merah yang memiliki peran sangat penting yaitu
mengangkut dan mengedarkan oksigen ke seluruh tubuh. Penurunan kadar
hemoglobin pada tubuh (anemia) akan menyebabkan kekurangan oksigen (O2) pada
sel-sel tubuh dan menimbulkan gejala letih, lesu dan lemah (3L). Anemia kronis
dapat berakibat fatal seperti kematian (2003).

Universitas Sumatera Utara

Studi di New Jersey (AS) menemukan bahwa 75% air susu ibu (ASI) telah
terkontaminasi styrene dan dapat dibayangkan bahwa bayi-bayi yang belum pernah
makan atau minum menggunakan wadah styrofoam ternyata dapat mengkonsumsi
(terpapar) styrene melalui ASI ibunya. Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa
pada ibu-ibu yang sedang mengandung, styrene dapat bermigrasi ke janin melalui
plasenta, sedangkan pada anak-anak, styrene dapat mengakibatkan kehilangan
kreativitas (pasif) dan karsinogenik (2003).
Sifat styrene yang memiliki titik lebur rendah dan lunak pada suhu 90-95C
menyebabkan styrofoam dapat lunak pada suhu 102-106C. Penggunaan styrofoam
sebagai wadah untuk memanaskan makanan yang mengandung vitamin A akan
melarutkan styrene yang ada di dalamnya. Pemanasan akan memecah vitamin A
menjadi toluene dan toluene ini adalah pelarut styrene (2003).
Keterpaparan benzena dalam jangka waktu yang panjang dapat menimbulkan
penyakit pada kelenjar tiroid, kerusakan sum-sum tulang belakang, anemia,
penurunan sistem imun tubuh, kehilangan kesadaran bahkan kematian. Pada wanita,
zat ini dapat berakibat buruk terhadap siklus menstruasi, mengancam kehamilan, dan
menyebabkan kanker payudara juga kanker prostat (Anonimous, 2009).
2.5. Kesehatan
Menurut WHO yang dikutip oleh Mukono (2006), yang dikatakan sehat
adalah suatu keadaan yang lengkap meliputi kesempurnaan fisik, mental dan sosial,
bukan semata-mata bebas dari penyakit dan cacat atau kelemahan.

Universitas Sumatera Utara

Dalam konsep sehat WHO tersebut diharapkan adanya keseimbangan yang


serasi dalam interaksi antara manusia dan mahluk hidup lain di lingkungannya.
Sebagai konsekuensi dari konsep sehat WHO tersebut, maka yang dikatakan manusia
sehat yang ideal adalah tidak sakit, tidak cacat, tidak lemah, bahagia secara rohaniah,
sejahtera secara sosial dan sehat secara jasmani (2006).
Berdasarkan Undang-Undang Kesehatan No.23 Tahun 1992, kesehatan adalah
keadaan sejahtera badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup
produktif secara sosial dan ekonomi. Pada batasan ini kesehatan mencakup 4 aspek,
yaitu: fisik (badan), mental (jiwa), sosial dan ekonomi. Keempat dimensi tersebut
saling mempengaruhi dalam mewujudkan tingkat kesehatan pada seseorang,
kelompok atau masyarakat. Itulah sebabnya kesehatan itu bersifat holistik atau
menyeluruh.
2.6. Perilaku
2.6.1. Defenisi Perilaku
Perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang
dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Perilaku
manusia itu sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas
(Notoatmodjo, 2003).
Perilaku manusia berasal dari dorongan yang ada dalam diri manusia, sedang
dorongan merupakan usaha untuk memenuhi kebutuhan yang ada dalam diri manusia.
Terdapat berbagai kebutuhan diantaranya kebutuhan dasar dan kebutuhan tambahan.
Kebutuhan dasar adalah kebutuhan yang menentukan kelangsungan hidup manusia

Universitas Sumatera Utara

seperti makan, minum, perlindungan diri dan jenis kelamin. Sedangkan kebutuhan
yang lainnya hanyalah kebutuhan tambahan.
Menurut Skiner yang dikutip oleh Notoatmodjo (2005), perilaku adalah
respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Dengan
demikian perilaku manusia terjadi melalui proses: Stimulus Organisme Respon,
sehingga teori Skiner ini disebut teori S-O-R
Berdasarkan teori ini, maka perilaku manusia dikelompokkan menjadi dua,
yaitu (Notoatmodjo, 2005):
1. Perilaku tertutup (covert behavior)
Perilaku tertutup terjadi apabila respon terhadap stimulus tersebut masih belum dapat
diamati oleh orang lain (dari luar) secara jelas.
2. Perilaku terbuka (overt behavior)
Perilaku terbuka ini terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut sudah berupa
tindakan atau praktik yang dapat diamati oleh orang lain dari luar atau observable
behavior.
Determinan perilaku dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (Notoatmodjo,
2003):
1. Determinan atau faktor internal, yaitu karakteristik orang yang bersangkutan,
misalnya: tingkat kecerdasan, emosional, jenis kelamin dan sebagainya.
2. Determinan atau faktor eksternal, yaitu lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial,
budaya, politik dan sebagainya.
Beberapa ahli lain juga membedakan bentuk-bentuk perilaku. Misalnya
Bloom yang membedakan antara perilaku kognitif (yang menyangkut kesadaran atau

Universitas Sumatera Utara

pengetahuan), afektif (emosi) dan psikomotor (tindakan/gerakan). Ki Hajar


Dewantoro menyebutkan perilaku sebagai cipta (peri akal), rasa (peri rasa) dan karsa
(peri tindak). Ahli-ahli lain umumnya menggunakan istilah pengetahuan, sikap dan
tindakan, yang acapkali disingkat dengan KAP (knowledge, attitude, practice)
(Sarwono, 1997).
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara pendahuluan yang dilakukan
oleh peneliti terhadap beberapa penjual makanan yang menggunakan plastik dan
styrofoam di USU dan sekitarnya pada tanggal 13 Maret 2010, perilaku penggunaan
plastik dan styrofoam pada penjual makanan lebih didasari pada alasan trend dan
kepraktisan (kemudahan) untuk digunakan sebagai pembungkus makanan dibanding
dengan daun atau kertas.
2.6.2. Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (Notoatmodjo, 2005). Penginderaan
terjadi melalui panca indera manusia, yaitu: indera penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa dan raba, yang sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan
persepsi terhadap objek dalam menghasilkan pengetahuan. Namun sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh melalui indera penglihatan (mata) dan indera
pendengaran (telinga). Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior) (Notoatmodjo, 2003).
Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada
perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Purwanto, 1998). Manusia berani
bertindak atas dasar pengetahuannya dan itu tidak hanya berguna secara kebetulan

Universitas Sumatera Utara

saja, melainkan demikian mutlaknya, hingga manusia tidak ragu-ragu lagi dalam
bertindak (Poedjawijatna, 1998).
Penelitian

Rogers

(1974)

mengungkapkan

bahwa

sebelum

manusia

mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), di dalam diri orang tersebut terjadi
proses berurutan, yaitu:
a. Awareness (kesadaran), adalah ketika orang tersebut (subjek) menyadari atau
mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu.
b. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut dan sikap subjek
sudah mulai timbul.
c. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik atau tidaknya stimulus tersebut
bagi dirinya. Hal ini berarti sikap subjek sudah lebih baik lagi.
d. Trial, adalah ketika subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa
yang dikehendaki oleh stimulus.
e. Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,
kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus (Notoatmodjo, 2003).
Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkatan
yang berbeda-beda. Secara garis besarnya pengetahuan dibagi dalam 6 tingkatan
pengetahuan, yaitu (Notoatmodjo, 2005):
a. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.
Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall)
sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang
telah diterima setelah mengamati sesuatu.

Universitas Sumatera Utara

b. Memahami (comperhension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar
tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi mengenai
objek tersebut secara benar.
c. Aplikasi (aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan atau mengaplikasikan
prinsip atau materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi lain atau
sebenarnya (real condition).
d. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan dan atau memisahkan
materi/objek ke dalam komponen-komponen lain tetapi masih di dalam satu
struktur organisasi atau masalah/objek yang diketahui dan masih ada kaitannya
satu sama lain.
e. Sintesis (synthesis)
Sintesis adalah kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasiformulasi yang telah ada.
f. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi berkaitan denegan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi
atau penilaian terhadap suatu materi atau objek tertentu.
2.6.3. Sikap
Secara umum sikap dapat dirumuskan sebagai kecenderungan untuk
berespons (baik secara positif atau negatif) terhadap orang, objek, atau situasi
tertentu. Sikap mengandung suatu penilaian emosional/afektif (senang, benci, sedih

Universitas Sumatera Utara

dan sebagainya) di samping komponen kognitif (pengetahuan mengenai objek


tersebut) serta aspek konatif (kecenderungan bertindak). Sikap seseorang dapat
berubah dengan diperolehnya tambahan informasi tentang objek tersebut, melalui
tindakan persuasif serta tekanan dari kelompok sosialnya (Sarwono, 1997).
Sikap mencerminkan kesenangan atau ketidaksenangan seseorang terhadap
sesuatu. Sikap berasal dari pengalaman, atau dari orang yang dekat dengan kita.
Mereka dapat mengakrabkan kita kepada sesuatu, atau menyebabkan kita
menolaknya. Sikap dapat juga ditumbuhkan dari pengalaman yang amat terbatas. Kita
dapat mengambil suatu sikap, tanpa mengerti situasinya yang lengkap (1997).
Menurut Allport (1945), sikap itu terdiri dari tiga komponen pokok, yaitu
(Notoatmodjo, 2005):
1. Kepercayaan atau keyakinan, ide dan konsep terhadap objek, artinya bagaimana
keyakinan dan pendapat atau pemikiran seseorang terhadap objek.
2. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek, artinya bagaimana
penilaian orang tersebut terhadap objek.
3. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave) artinya sikap adalah komponen
yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka.
Newcomb, salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap itu
merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan
pelaksanaan motif tertentu.

Universitas Sumatera Utara

Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap itu terdiri dari beberapa tingkatan,
yaitu:
1. Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang
diberikan (objek).
2. Merespon (responding)
Merespon berarti memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan
menyelesaikan tugas yang diberikan.
3. Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain
terhadap suatu masalah dan merupakan suatu indikasi sikap tingkat tiga.
4. Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko
yang merupakan indikasi sikap yang paling tinggi.
Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan
predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi
terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek
(Notoatmodjo, 2003)
2.6.4. Tindakan atau Praktik
Suatu sikap belum tentu secara otomatis dapat terwujud menjadi suatu bentuk
tindakan (overt behavior). Oleh karena itu untuk mewujudkan sikap menjadi tindakan
atau suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau faktor lain, yaitu adanya

Universitas Sumatera Utara

fasilitas atau saran dan prasarana. Namun di samping faktor fasilitas, juga diperlukan
faktor dukungan (support) dari pihak lain.
Tindakan atau praktik dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan menurut
kualitasnya, yaitu (Notoatmodjo, 2005):
1. Praktik terpimpin (guided response)
Apabila subjek atau seseorang telah melakukan sesuatu tetapi masih tergantung
pada tuntunan atau menggunakan panduan.
2. Praktik secara mekanisme (mechanism)
Apabila subjek atau seseorang telah melakukan atau mempraktikkan sesuatu hal
secara otomatis.
3. Adopsi (adoption)
Adopsi adalah suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang. Artinya apa
yang dilakukan tidak sekadar runitinas saja, tetapi sudah dilakukan modifikasi,
atau tindakan/prilaku yang berkualitas.
2.7. Kerangka Konsep Penelitian

Tingkat Pendidikan
Penjual Makanan

Paparan Informasi:
- Media Cetak
- Media Elektronik

Gambar 1:

Pengetahuan

Tindakan / Penggunaan
Plastik dan Styrofoam
Sikap

Kerangka konsep kaitan antara variabel-variabel pendukung dalam


penggunaan plastik dan styrofoam oleh penjual makanan

Universitas Sumatera Utara

Keterangan :
Tingkat pendidikan dan paparan informasi yang merupakan faktor-faktor pendukung
dalam pengetahuan dan sikap yang dimiliki oleh penjual makanan sangat menentukan
dalam tindakannya/penggunaan plastik dan styrofoam.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai