(BBLSR)
Sitomegalovirus (CMV) merupakan infeksi virus kongenital yang paling sering
ditemukan di negara maju dan menjadi penyebab utama cedera neurologis,
termasuk ketulian dan gangguan perkembangan neurologis (NDI), pada masa
anak-anak. Menjadi salah satu anggota famili virus herpes, CMV sering
ditemukan, menginfeksi >90% populasi usia sekolah pada negara berkembang dan
50%-85% wanita usia subur di Amerika Serikat dan Eropa. Transmisi dari ibu ke
neonatus dapat terjadi melalui jalur transplasental, perinatal melalui sekret serviks
maupun vagina, atau postpartum melalui ASI. Infeksi kongenital terjadi pada
0.5%-1% kelahiran hidup di Amerika Serikat, dengan prevalensi yang lebih tinggi
pada bayi Afro-Amerika dan bayi dengan status sosioekonomi rendah. Mayoritas
infeksi kongenital asimptomatis, namum 10%-15% dapat bermanifestasi sebagai
Intra Uterine Growth Restriction (IUGR), bintik petekia, mikrosefali, kalsifikasi
intrakranial, korioretinitis, trombositopenia, neutropenia, dan hepatosplenomegali
disertai dengan hiperbilirubinemia dan transaminitis. Dari bayi yang menunjukkan
gejala sejak lahir, hampir seluruhnya mengalami gangguan neurologis, termasuk
di antaranya tuli sensorineural (SNHL) progresif, dan perkembangan neurologis
yang buruk. Tuli sensorineural, kadang muncul terlambat, juga dapat terjadi pada
10%-15% bayi baru lahir dengan infeksi kongenital yang asimptomatik saat lahir.
Di sisi lain, infeksi potnatal pada bayi aterm jarang menimbulkan konsekuensi
klinis yang signifikan. Bayi prematur yang mendapatkan infeksi dari ASI dapat
sakit akut, namun infeksi lebih sering bersifat asimptomatik dan jarang
menimbulkan kecacatan jangka panjang.
Prematuritas menjadi salah satu beban kesehatan bayi. Pada sebuah studi terkini
mengenai bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) dengan berat lahir 500-1500
gram di Amerika Serikat, mortalitas sebesar `~13%, dan >40% bayi yang bertahan
hidup menderita morbiditas berat, antara lain sepsis, necrotizing enterocolitis
(NEC), displasia bronkopulmonar (BPD), perdarahan intraventrikular
(IVH)
rumah sakit National Institute of Child Health and Human Development Neonatal
Research Network mengindikasikan bahwa bayi baru lahir yang bertahan hidup
pada usia kehamilan 27 minggu, ~10% akan mengalami
gangguan
CMV kongenital dengan kultur urine atau saliva cepat dalam dua minggu pertama
kehidupan. Hal ini berlaku pula untuk bayi yang ditransfer sebelum usia 2
minggu. Kriteria eksklusi dalam studi ini adalah usia kehamilan 37 minggu,
berat lahir >1500 gram, dan meninggal sebelum dilakukan tes untuk CMV. Pada
bayi yang memenuhi kriteria inklusi, kasus infeksi CMV kongenital diidentifikasi
melalui rekam medis elektronik UAB (Horizon); the UAB Neonatology Division
Database; the UAB Generic Database; yang berasal dari partisipasi UAB dalam
Eunice Kennedy Shriver National Institute of Child Health and Human
Development Neonatal Research Network; the UAB Infectious Disease Division
and Virology Laboratory Record; dan paper chart pasien. Selama pencarian
database, bayi tambahan diidentifikasi siapa yang memiliki infeksi CMV didapat
yang simptomatik bila CMV dalam urine positif setelah usia 2 minggu dan
setelah hasil skrining yang negatif pada saat masuk. Dua bayi dengan CMV
kongenital mendapat ganciclovir; tidak ada bayi dengan infeksi CMV didapat
menerima ganciclovir atau terapi antiviral lainnya.
Kami memilih kelompok kontrol dari UAB Generic Database untuk pengumpulan
dan analisis data secara mendetil dengan memilih 10 bayi yang memilik tanggal
lahir paling dekat dengan bayi yang menjadi kasus. Strategi pemilihan sampel ini
lebih dipilih daripada bayi yang sesuai umur kehamilannya atau berat lahirnya
karena CMV kongenital diketahui sebagai penyebab IUGR dan berat lahir rendah
dan faktor potensial lainnya yang dipelajari dalam studi ini. Seluruh kontrol
negatif untuk CMV pada saat skrining awal. Untuk setiap kasus dan kontrol, data
demografis dan data hasil didapatkan dari UAB Generic Database. Variable data
demografis yang dikumpulkan antara lain usia ibu, tingkat pendidikan, dan tingkat
pendapatan sebagai gambaran status sosioekonomi. Data pasien tambahan
termasuk berat lahir, usia kehamilan, jenis kelamin, dan ras. Informasi
perkembangan neurologis, termasuk pemeriksaan motorik dan evaluasi audiologis
pada bulan 18-24, juga dikumpulkan bila tersedia. Seluruh aspek studi ini telah
mendapat persetujuan dari UAB Institutional Review Board.
Hasil primer adalah kematian, dengan hasil sekunder adalah adanya bukti cedera
neurologis dalam bentuk abnormalitas temuan ultrasound kranial, SNHL, atau
perkembangan motorik abnormal. Temuan ultrasound kranial abnormal antara lain
IVH grade 2 (kriteria Papiles), perubahan kistik atau leukomalasia
periventrikular (PVL), atau kalsifikasi. Tersangka SNHL didefinisikan sebagai
kegagalan respon batang otak berulang pada skrining pendengaran pada periode
baru lahir. SNHL terkonfirmasi didefinisikan sebagai ketulian pada saat followup. Perkembangan motorik abnormal didefinisikan sebagai skor Gross Motor
Function System Classification (GMFSC) 3. Hasil tambahan yang dievaluasi
termasuk sindroma distress pernapasan, didefinisikan sebagai kebutuhan oksigen
>24 jam, BPD didefinisikan sebagai kebutuhan oksigen pada usia >36 minggu
postmenstruasi, NEC yang terdiagnosis stadium IIA (kriteria staging Bells), RoP
stadium 3 atau ditambah penyakit pada kedua mata, dan sepsis onset dini
maupun lambat yang terbukti melalui kultur.
Analisis statistik dilakukan dengan Strata 11 (Strata Corp, College Station, TX).
Variabel kategorikal dikomparasi menggunakan Fishers exact test. Variabel
kontinu seperti berat lahir dan usia kehamilan dikomparasi menggunakan
Students t test. Skor Apgar dan income dikomparasi menggunakan WilcoxonMann-Whitney
test.
Sebuah
nilai
P<0.05
2-tailed
didesain
untuk
tersedia untuk 6 bayi dengan CMV didapat, tidak berbeda secara signifikan
dengan kelompok kontrol.
DISKUSI
Baik CMV maupun prematuritas adalah penyebab signifikan morbiditas dan
mortalitas neonatal, namun interaksi antara infeksi CMV dengan prematuritas
belum sepenuhnya dipahami. Menggunakan database unik dari UAB Divisions of
Pediatric Infectious Disease and Neonatology, kami dapat menentukan insidensi
infeksi CMV kongenital pada BBLSR di institusi kami adalah sebesar 0.39%
(95% CI, 0.25%-0.62%). Anehnya, angka ini lebih kecil dari 0.5%-1% insidensi
yang dilaporkan pada bayi aterm pada daerah kami. Insidensi CMV kongenital
mungkin lebih rendah pada bayi preterm karena kesempatan transmisi
transplasental dipotong oleh persalinan dini. Insidensi yang lebih rendah dari
dugaan ini juga mengarahkan bahwa inflamasi plasenta yang dimediasi CMV
tidak selalu menginduksi persalinan preterm.
Meskipun tidak umum, CMV kongenital tampaknya memiliki konsekuensi
signifikan ketika bersilangan dengan prematuritas, seiring dengan penelitian kami
yang menunjukkan angka disabilitas yang lebih tinggi pada BBLSR dengan CMVpositif daripada yang sering terjadi baik pada bayi aterm yang terinfeksi maupun
pada BBLSR yang tidak terinfeksi. Pada BBLSR preterm tanpa infeksi CMV,
estimasi kejadian ketulian berkisar antara 0.7-2%. Pada bayi aterm dengan CMV
kongenital, diperkirakan 17-2-% bayi akan mengalami ketulian atau gangguan
perkembangan neurologis. Pada studi terbaru, kami menemukan bahwa BBLSR
dengan CMV-positif memiliki angka SNHL yang lebih tinggi (83% vs 2%) ,
abnormalitas neuroimaging (75% vs 25%), dan fungsi motorik yang buruk (43%
vs 9%) ketika dibandingkan dengan kontrol, yaitu BBLSR dengan CMV-negatif.
Akan tetapi, tidak ada perbedaan yang signifikan antara bayi CMV-positif dengan
kontrol pada hasil primer (kematian).
Penelitian randomized trial terkini menunjukkan bahwa ganciclovir efektif
mengurangi ketulian jangka panjang dan NDI pada bayi aterm dengan CMV
kongenital simptomatik yang melibatkan sistem saraf pusat. Pada bayi aterm,
tingginya frekuensi CMV asimptomatik (~90%) bersama dengan masa rawat inap
yang lama untuk mendapatkan pengobatan ganciclovir intravena membuat
skrining dan pengobatan seluruh bayi aterm dengan CMV kongenital bermasalah.
Pada bayi preterm, hasil penelitian kami mengarahkan bahwa CMV kongenital
memiliki konsekuensi neurologis jangka panjang lebih. Karena bayi preterm
sudah dirawat di rumah sakit, terapi antivirus, jika mampu ditoleransi, bisa
diberikan pada pasien-pasien ini. Namun tidak ada data untuk keamanan dan
efektivitas ganciclovir pada bayi preterm dari penelitian randomized kontrol trial.
Dua bayi dengan CMV kongenital pada studi ini menerima ganciclovir. Keduanya
menderita deficit pendengaran, tetapi tidak memungkinkan untuk mengambil
kesimpulan yang berarti mengenai efektivitas ganciclovir pada bayi preterm hanya
berdasarkan dua sampel saja.
Konsisten dengan studi lainnya, hasil kami menunjukkan bahwa CMV didapat
biasanya tanpa kecacatan jangka panjang, bahkan untuk bayi dengan infeksi
simptomatik sekalipun. RNICU UAB secara ekslkusif menggunakan darah CMVnegatif untuk transfusi, sehingga CMV pada bayi ini mungkin didapat dari ASI
atau sekret vagina saat melahirkan. Yang menarik adalah, riwayat kelahiran
pervaginam lebih sering ditemukan pada bayi dengan CMV didapat. Temuan
tambahan pada studi terbaru mengarah pada adanya hubungan antara CMV
didapat dengan perforasi gastrointestinal. Penyakit gastrointestinal yang
berhubungan dengan CMV termasuk perforasi telah dilaporkan sebelumnya.
Percobaan yang lebih besar dengan skrining prospektif dalam interval yang
regular untuk CMV didapat diperlukan untuk mengkonfirmasi atau membuktikan
hubungan potensial keduanya, khususnya karena mungkin di dalam studi kami
bayi dengan perforasi gastrointestinal memiliki gejala lain yang membuat mereka
harus dites untuk CMV.
Kekuatan studi ini adalah besarnya jumlah bayi yang berpartisipasi dan skrining
infeksi kongenital yang dilakukan. Keterbatasan penting pada penelitian ini
berasal dari jarangnya kasus infeksi. Sebelum studi dilakukan, berdasarkan
frekuensi infeksi CMV kongenital pada bayi aterm yang dilaporkan dari 0.5%1%, kami memperkirakan dari >4500 bayi akan ada 23-45 bayi yang dapat dilihat
hasil jangka panjangnya. Namun kami hanya mengidentifikasi 18 BBLSR dengan
CMV kongenital, walaupun skrining telah dilakukan secara adekuat, dengan
>95% bayi yang diskrining. Hal ini membatasi kekuatan studi kami: hanya
perbedaan sebesar >40% yang akan menghasilkan perbedaan yang signifikan
secara statistic. Jadi, meskipun tampaknya tidak ada perbedaan yang signifikan
pada angka kematian antara bayi dengan CMV positif dan CMV negatif (6% vs
12%, P = 0.5), studi ini mampu mendeteksi perbedaan kecil. Mirip dengan hal
tersebut, informasi follow-up menyeluruh hanya tersedia untuk 18 bayi, sehingga
kekuatan kami untuk mendeteksi hubungan antara CMV dengan hasil
perkembangan terbatas. Analisis mengenai bayi dengan CMV didapat terbatas
oleh fakta bahwa tidak semua bayi diskrining untuk CMV setelah usia 2 minggu.
Dibandingkan itu, tes untuk CMV dilakukan hanya pada bayi yang simptomatik
yang menjadi tersangka infeksi CMV; jadi, kami tidak bisa menentukan frekuensi
keseluruhan CMV didapat termasuk infeksi yang asimptomatik. Sebagai
tambahan, bayi yang asimptomatik dengan CMV didapat mungkin diklasifikasi
secara salah sebagai CMV negatif (kontrol) karena kontrol tidak dites untuk CMV
secara spesifik.
Sebagai simpulan, meskipun jarang terjadi pada BBLSR, CMV kongenital
berhubungan dengan tingginya angka SNHL dan gangguan perkembangan
neurologis. Skrining ibu dan BBLSR yang berisiko dan studi lebih lanjut
mengenai keamanan dan efektivitas terapi antivirus pada populasi risiko tinggi ini
mungkin dibutuhkan. Hal ini mungkin harus lebih bersifat studi multisenter yang
melibatkan follow-up perkembangan neurologis jangka panjang, mengingat
rendahnya angka kejadian CMV kongenital dan pentingnya kecacatan neurologis
jangka panjang akibat infeksi pada populasi ini.