Anda di halaman 1dari 12

Riba ..

antara Keharaman dan Kebolehan (2)


(Mengkaji tulisan Dr. Muh. Sayyid Thanthawi)
Oleh : Muhammada al-Banna
Sumber : Web site Islam online (20/12/2002).

Penerjemah : Tim Pakeis


Ada beberapa motivasi yang mendorong saya untuk menjawab
tulisan Syekh al-Azhar.. karena tulisan tersebut memuat dalil-dalil yang
menjadi sandaran fatwa Majma al-Buhuts al-Islamiyah (Lembaga Riset
Islam).
Dalil-dalil yang dipakai oleh Dr. Sayyid Thantawi lebih lengkap,
maka tulisannya yang menjadi bahan kajian ini karena dengan
mengkajianya berarti telah mengkaji fatwa Majma al-Buhuts al-Islamiyah
(Lembaga Riset Islam). Adapun dalil-dalil tesebut sebagai berikut :
Dalil Pertama : Masalah keuntungan ditentukan di muka ataupun
tidak bukan masalah-masalah ibadah atau akidah yang tidak bisa
dirubah-rubah, tetapi masalah ini termasuk muamalat (ekonomi)
yang berlandaskan kerelaan kedua belah pihak dalam akad.
Jika masalah penentuan keuntungan di muka termasuk muamalat
(ekonomi) yang bisa berubah-rubah, maka ada beberapa point dalam dalil
ini yang harus dijelaskan yaitu :
1. Maksud penentuan keuntungan di muka.
2. Muamalat yang bisa berubah-rubah.
3. Kerelaan kedua belah pihak dalam akad.
1. Maksud penentuan keuntungan di muka.
Jika yang dimaksud oleh Dr. Thanthawi adalah penentuan
keuntungan dalam akad mudharabah atau qiradh artinya menentukan
keuntungan seperti setengah atau sepertiga sesuai dengan kesepakatan,
maka itu saya setuju.
Jika yang dimaksud adalah presentase seperti 10% atau 15% atau
lebih besar atau lebih sedikit yang diambil dari individu atau bank atau
negara atau yang lainnya dengan menjamin modalnya, maka tambahan
ini berarti tanpa ada imbalan dan jaminan 1. Ini termasuk pinjaman yang
diambil manfaatnya (qardun jarro nafan) dengan disyaratkan pada waktu
akad yaitu riba dengan alasan bahwa peminjam (muqridh) tidak pernah
berpikir dalam usaha apa dananya diinvestasikan? tapi yang terpenting
baginya adalah dalam setiap tahun atau dalam waktu tertentu ia akan
mengambil bunganya dalam jumlah tertentu baik dana yang
diinvestasikan itu untung ataupun rugi. Oleh karena itu penentuan
keuntungan seperti ini termasuk riba.
Dalil yang menunjukan bahwa tambahan yang ada dari penentuan
keuntungan di muka- yang disyaratkan antara peminjam dengan kreditor
itu riba banyak sekali diantaranya :
a. Frman Allah swt :


2
.
Yang artinya : Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba)
maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika

kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu;


kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS. 2:279)
Maksudnya kamu hanya berhak mendapatkan modal tanpa ada
tambahan baik disyaratkan ataupun tidak. Hal ini dikatakan oleh al-Imam
al-jashash dalam tafsir Ahkamu al-Quran : Sudah maklum bahwa riba
jahiliyah adalah pinjaman jatuh tempo dengan bunga yang disyaratkan,
maka bunga tersebut sebagai imbalan dari tempo yang diberikan maka
Allah swt melarangnya.3
Di samping itu ia juga mengatakan : riba jahiliyah adalah pinjaman
yang disyaratkan ada tempo dan bunga terhadap peminjam. 4
Ibnu Qudamah menukil dalam kitabnya al-Mughni ijma ulama
tentang keharaman tambahan yang disyaratkan, ia mengatakan : Setiap
pinjaman yang disyaratkan ada tambahannya itu haram tanpa ada
perbedaan di antara para ulama.5
Ibnu al-Mundzir mengatakan : Para ulama telah ijma jika kreditor
mensyaratkan kepada peminjam berupa tambahan atau hadiah kemudian
atas dasar itu ia meminjamkan, maka jika ia mengambilnya itu termasuk
riba.
Hal ini menunjukan bahwa penentuan bunga dimuka berarti kreditor
mensyaratkan kepada peminjam bunga dari modal dalam masa tertentu
seperti beberapa hari atau beberap tahun dengan jumlah presentase
tertentu itu adalah riba yang diharamkan oleh syara.
Muamalat yang bisa berubah-rubah.
Yaitu setiap bentuk muamalat yang tidak pernah dijelaskan hukum
baik keharamannya atau kebolehannya. Dalam hal ini saya sependapat
dengan Dr. Thanthawi selama hal itu tidak keluar dari ruh syariah artinya
setiap muamalat yang tidak tercampuri dengan penipuan, kedzoliman,
pencurian, riba dan hal-hal lain yang diharamkan oleh Allah swt.
Kerelaan kedua belah pihak dalam akad.
Ini adalah batasan yang diberikan oleh beliau agar bentuk-bentuk
transaksi ekonomi sah. Saya ingin bertanya : apakah setiap muamalat
yang ridha kedua belah pihak dalam akad itu dibolehkan oleh syara?
apakah setiap bentuk transaksi yang menjadi keridhoan pihak akad itu
berati boleh?. Tentu saja jawabannya tidak.
Sesungguhnya syariah ini juga menjelaskan hukum akadnya. Dr.
Qardhawi telah memberikan permisalan yang tepat yaitu kesepakatan itu
sangat penting sekali menurut syariah, ia mengatakan : Jika seorang
laki-laki berkata kepada seseorang didepan orang banyak dengan
mengatakan: ambillah uang ini dan izinkan saya berzina dengan anak
perempuanmu, kemudian anak perempuannya menerimanya maka
keduanya telah melakukan perbuatan yang paling keji. Tetapi jika yang
dikatakan : Nikahkan saya dengan anak perempuanmu dengan uang ini
sebagai mahar kemudian orang itu menerimanya dan kemudian anak
perempuannya menerimanya pula maka ketiga-tiganya telah berbuat
baik.6
Bagi yang meneliti definisi-definisi para ulama tentang riba,
nampak bahwa ridha dengan tambahan dari modal tidak merubah
substansi riba.
Imam al-Jashash mengatakan : riba yang diketahui dan dilakukan
oleh bangsa arab menghutangi beberapa dirham dan dinar dengan atas
dasar saling ridha diantara mereka. 7

Apakah kesepakatan dengan bank untuk untuk menaruh uang


didalamnya dengan bunga dalam jumlah tertentu pada waktu tertentu
sebagai tambahan dari modal itu telah keluar dari riba?
Jika beliau mengkhususkan saling ridha ini dalam batas-batas
syariat Islam untuk menjaga kemashlahatan hamba.8 Maka apakah
syariat membolehkan muamalah ini walaupun dengan saling ridha?, Dan
beliau sendiri telah menyebutkan perkataan Imam al-Jashsash dalam
kitabnya ahkamu al-Quran9 seperti halnya ia menukil dari buku ar-Riba
wa al-Muaamalat fi al-Islam karangan Muhammad Rasyid Ridha sebagai
dalil bahwa ini adalah riba jahiliyah.
Bukankah ungakapan yang dinukil ini menunjukan bahwa
peminjam meminjam sampai masa tertentu dengan bunga pinjaman
dengan keridhaan itu riba? dan ini yang dilakukan oleh bank-bank ribawi.
Dalil yang kedua : Beliau mengqiaskan penentuan keuntungan di muka
atas perintah pemerintah dengan pematokan harga (tasir), jika
mashlahat menuntut hal tersebut, juga menjaga harta masyarakat dan
hak-hak mereka serta menghindari terjadinya persengketaan antar bankbank dan para nasabahnya.10
Beliau memulai penjelasan dalil ini dengan pernyataan yang
aksioma bahwa syariah ini diturunkan untuk kemaslahatan manusia
dalam setiap waktu dan tempat,11walaupun nampak secara sekilas
mashlahat ini dzohir menyalahi nash-nash dari Nabi asaw.
Beliau berdalil dengan hadits tasir yaitu Rosulullah saw mematok
harga barang, kemudian dengan tuntutan mashlahat bagi manusia dan
menghilangkan mafsadat para pedagang, maka para fuqaha
membolehkannya.
Ini adalah penjelasan yang baik, tetapi jika sudah sampai pada
penentuan keuntungan dalam presentase tertentu sebagai keuntungan
modal atas perintah negara dengan mengqiaskan pendapat para puqaha,
ini adalah qiyas yang salah karena maqis alaih (yang diqiaskan) bukan
termasuk al-Quran ataupun as-Sunnah. Dan Qiyas yang diperlonggar itu
dibatasi jika maqis alaih (yang diqiyaskan) termasuk al-Quran atau asSunnah.
Adapun maqis (yang diqiyaskan) diqiyaskan dengan maqis alaih
(yang diqiyaskan) dengan tanpa illat yang sama (al illat al jamiah)12
kemudian maqis ini menjadi maqis alaih karena diqiyaskan dengan
masalah lain (maqis) dengan tanpa illat yang sama (al illat al jamiah)
juga tetapi hanya punya kesamaan dalam beberapa hal antara maqis
yang kedua dengan maqis alaih yang pertama.13
Jika kita menerapkan rukun-rukum qiyas dalam masalah ini, kita
akan menemukan bahwa yang menjadi ashl qiyas menurut beliauadalah pendapat para fuqaha tentang bolehnya membatasi penentuan
harga untuk menghilangkan kesewenang-wengan. Dan yang menjadi
farun (cabang) adalah negara membatasi keuntungan bank sedangakan
yang menjadi illat adalah -seperti yang ia katakan- adalah menghilangkan
kedzoliman dan hukumnya adalah ibahah (boleh).
Jika kita melihat rukun yang ketiga yaitu illat, kita akan
menemukan masalah ini masih diperdebatkan. Dr. Muhammad Baltaji
Hasan mengatakan : betapapun kita merenungi ayat-ayat riba dalam alQuran dan hadits-hadits beserta asbab an-nuzul yang berkenaan
dengannya, kita tidak akan menemukan walaupun tersirat bahwa Allah
swt mengharamkan riba jahiliyah itu karena mengandung
mengeksploitasi fakir dan mendzoliminya.

Akal manusi boleh jadi melihat bahwa ini termasuk maksud


diharamkannya riba ini, tetapi tidak ada seorangpun yang memastikan
bahwa illat keharamannya riba adalah mencegah mengeksploitasi fakir
dan mendzoliminya. Dan yang mengkaji kitab-kitab tafsir akan
menemukan bahwa kedzaliman yang dimaksud dalam ayat adalah
tambahan dari hak (modal) terlepas dari kondisi kreditor dan peminjam
dan mashlahatnya dalam akad ribawi, -dan menegaskan hal sebelemnyabahwa kedzaliman ada pada tambahan dari hak (modal) dengan imbalan
tempo.14
Dr. Fathi Lasyin (Mantan mustasyar di pengadilan negara Mesir)
mengatakan : Perbuatan riba adalah lebihan yang dilahirkan dari
pinjaman, dan karakteristik pinjaman itu adalah sifat dalam tanggung
jawabnya dan dalam jaminannya untuk dikembalikan barang sejenisnya. 15
Sudah jelas illat eksploitasi (istighlal) dan kedzaliman (dzulm) yang
dipakai oleh Dr. Thantawi untuk mengqiyaskan antara menerapkan
penentuan keuntungan di muka atas perintah waliyyu al-amri dengan
kebolehan tasir atas pendapat para fuqaha itu berbeda.
Di antara syarat illat yang di terima illat yang ada dalam ashl itu
juga illat yang ada dalam far. Oleh karena itu harus ada kesamaan illat
dalam ashl yang hukumnya berlandaskan nash atau ijma dengan illat
dalam far, jika tidak sama maka qiyasnya tidak sah menurut mayoritas
ulama bahkan ashhab ar-royu mensyaratkan adanya kesamaan dalam
illat.16
Dengan penjelasan ini, kita bisa menilai qiyas yang dipakai oleh Dr.
Thanthawi itu tidak benar atau dalam ungkapan para ahli ilmu ushul qiyas
la yunqas (qiyas yang tidak benar).
Di samping itu dharurat dalam permasalahan tasir itu nampak jelas
dan mendesak sekali karena monopli dan meningkatnya harga barang itu
berhubungan dengan kebotohan pokok manusia. Oleh karena itu para
fuqaha membolehkan tasir untuk menghindari dharar yang kan menimpa
manusia.
Maka di mana letak dharuratnya jika seseorang menyimpan
uangnya di sebuah bank untuk mendapatkan keuntungan dengan ada
jaminan kerugian?
Menjaga mashlahat manusia
Dalam ungkapan beliau : jika pemerintah memandang setelah
bermusyawarah dengan para ahli- bahwa ada kemashlahatan yang
menuntut bank-bank untuk menentukan keuntungan di muka bagi para
nasabahnya, maka merka boleh melakukannya... 17
Pendapat ini mengarah pada pendapatnya muktazilah yang
mengedepankan akal dari syara. Tidak boleh menghukumi syariah
dengan pengalaman dan ilmu manusia tetapi syariah yang menghukumi
sah atau tidaknya mereka.
Tidak boleh beralasan dengan pendapat para ahli ekonomi bahwa
riba harus dilakukan untuk meningkatkan perdagangan. Dan jika ini
dilakukan maka berarti menghukumi syariah dengan pengalaman dan
ilmu manusia, dan karena mashlahat adalah bagian dari agama yang
menjadi standar keeradaannya. 18
Betapapun manusia mengira kemashlahatan satu masalah, tetapi ia
harus mengmbalikannya kepada nash-nash syariah dan maqashidnya,
jika sesuai maka diambil jika tidak maka sebaliknya.
Tetapi ini tidak berarti syariah merintangi mashlahat manusia
dalam ilmu dan pengalamannya. Tetapi sebaliknya nash-nash syariah

banyak mengajak manusia untuk memiliki ilmu dan berpikir. Di samping


itu Allah swt. mengetahui apa yang tidak kita ketahui. Mungkin para
ulama mengira sesuatu itu ada mashlahat manusia dalam satu perkara
tetapi Allah swt mengetahui sebaliknya dan melarangnya karena menjaga
kemashlahatan manusia. Kita tidak mempermasalahkan nash tetapi yang
kita permasaahkan adalah pemahaman manusia terhadap nash tersebut
yang dalam banyak kondisi berdasarkan kepada hawa nafsu dan
pandangan parsial tidak menyeluruh.
Dalil ketiga
Dr. Thantawi mengatakan: Tidak ada satu nashpun yang melarang
pihak akad untuk menentukan keuntungan di muka dalam akad
mudharabah. Maka bank sebagai penanam modal boleh menentukan
keuntungan di muka dalam akad mudharabah dengan para nasabahnya
yang menyimpan uangnya di bank dengan maksud investasi dalam
usaha-usaha yang dihalalkan oleh Allah swt. 19
Pertama-tama perlu dijelaskan bahwa transaksi antara bank dengan
nashabah bukan akad mudharabah. Karena prinsip mudharabah berbeda
dengan prinsip qardh (pinjaman) yang terjadi antara bank dengan
nasabah. Bank berinteraksi dengan riba dengan kredit berbunga
sedangkan mudharabah berbeda dengan praktek riba. Supaya
gambaranmasalahnya jelas, saya akan menjelaskan perbedaan antara
qardh dengan mudharabah.
Perbedaan dalam substansi
Dalam pinjaman ditentukan bunga sesuai dengan jumlah pinjaman
dan masanya seperti 10% atau sedikit atau lebih banyak dalam pertahun,
terlepas apakah pinjaman ini untung atau rugi, dan ini yang dilakukan oleh
bank.
Adapun dalam mudharabah keuntungan riil dibagi antara pemilik
modal dengan mudharib (pengelola) sesuai dengan presentase yang telah
disepakati bersama. Sedangkan kerugian diambil dari modal dan
mudharib tidak menanggung kerugian.
Perbedaan dalam hubungan antara kedua belah pihak
Dalam qardh hubungan antara kreditor dan peminjam bukan akad
syirkah, karena kreditor yang memiliki sejumlah uang dan ia
berkepentingan dengan usaha peminjam, begitu pula dengan peminjam
ia menginvestasikannya untuk keperluannya sendiri, ia memiliki harta dan
menjamin untuk mengembalikannya beserta bunganya, jika untung maka
hasilnya untuk dirinya dan jika rugi maka ia menanggung sendiri kerugian
tersebut.
Adapun mudharabah adalah sebuah syirkah dimana keuntungan
dan kerugian ditanggung oleh kedua belah pihak. Pengelola tidak memiliki
modal tetapi hanya mengelolanya saja sebagai wakil dari pemilik modal.
Dan keuntungan berapapun besarnya- dibagikan diantara mereka sesuai
dengan kesepakatan. Dan ketika kerugian pemilik modal menanggung
kerugian modal dan pengelola menanggung kerugian tenaga 20dan ia
tidak menanggung kerugian kecuali jika disebabkan oleh kelalaiannya.
Dalil yang disebutkan oleh Dr. Thanthawi bisa dijawab dalam 2 point
:
1. Bahwa syara tidak melarang penentuan keuntungan di muka
dalam akad mudharabah.
2. Para nasab h menyimpan uangnya di bank dengan tujuan investasi.
Point pertama bahwa syara tidak melarang penentuan keuntungan di
muka dalam akad mudharabah.

Banyak para fuqaha menyebutkan ketidak bolehan menentukan


atau mensyaratkan keuntungan tertentu dalam akad mudharabah. Bahkan
Ibn al-Mundzir menyebutkan ijma ulama tentang mudharabahnya menjadi
bathil jika salah satu atau setiap pihak akad mensyaratkan kepada
seseorang bagian keuntungan tanpa melibatkan yang lain. Ia
mengatakan : Para ulama yang saya hapal telah ijma batalnya qiradh jika
salah satu atau setiap pihak akad mensyaratkan untuk dirinya beberapa
dirham.21 Ijma bisa kita temukan dalam penejelasan para fuqaha seperti
yang dikemukakan oleh Imam Malik22 dan Imam Syafii.23
Paont yang kedua, Apapun nama yang mengikatkan antara bank dengan
nasabah dengan bunga, imbalan tempo termasuk riba. Karena illat
keharamannya adalah tambahan yang ditentukan dimuka dengan tempo
pinjaman baik akadnya berupa pinjaman ataupun jual beli, selama ada
tambahan yang ditentukan dengan tempo itu adalah riba terlepas dari
jenis transaksinya dan tambahan itu ditentukan dari awal akad atau
ditentukan ketika peminjam tidak mampu membayar pinjaman pada
waktunya.24 Perubahan niat itu tidak merubah hukum selama illatnya
adalah tambahan yang ditentukan dimuka itu ada.
Dalil yang keempat
Dalam dalil-dalilnya Dr. Thanthawi melihat bahwa bank sebagai
pihak yang membayar bunga yang menjadi tanggung jawabnya- tidak
menentukan kuntungan di muka kecuali setelah pengkajiaan yang teliti
terhadap kondisi pasar dunia dan pasar setempat serta kondisi ekonomi
di masyarakat dan kondisi setiap transaksi dan keuntungan
umummnya.dst.
Selain itu penentuan ini juga berdasarkan intruksi dari bank central
yang merupakan pemegang kebijakan antara bank dengan nasabahnya. 25
Pengkajiaan yang teliti untuk menentukan keuntungan di muka ini
di mana pemilik modal mengambil bunga dan tidak menanggung kerugian
sedikitpun, ini adalah pendapat yang tidak sesuai dengan realita. Bank
central sendiri yang memberik intruksi jumlah presentase bunga ini tidak
bisa membayar deposito bank seluruhnya ketika bank mengalami pailit.
Sudah maklum bahwa bank central melarang untuk melakukan
investasi langsung kecuali dibeberapa negara dan itupun dalam jumlah
yang sedikit sekali. Bank central mengmbil dana cadangan sebesar 25%.
Maka dari mana bank centrak bisa membayar seluruh deposito bank jika
terjadi pailit?.
Realitanya sendiri mendukung hal ini, bahkan di Amerika sendiri
sebagai pusat sistem kapitalis yang berlandaskan pada riba. Bank central
menyususn langkah-langkah dan menentukan bunga dan tidak bisa
menutupi kerugian satu bankpun, karena undang-undang yang
melarangnya untuk melakukan investasi langsung. Di samping itu
keberadaan bank sebagai perantara dan mengandalkan 2,5% dana
cadangan di bank lain. Jika bank central tidak bisa menutupi kerugian satu
bankpun, bagaimana kita bisa percaya dengan kemampuan dan
intruksinya!
Kemudian apakah intruksi dan pengkajian yang teliti ini yang
menjamin keuntungan- apakah merubah bentuk muamalat dan transaksi
riba? Juga kajian ini tidak selamanya teliti, terbukti banyak sekali bank
ribawi yang tidak bisa menjamin deposito beserta keuntungan. Diantara
contohnya :
No

Jumlah bank yang pailit

Tahun

1.
2.
3.
4.
5.
6.

4000 bank
77 bank
19 bank
120 bank
131 bank
141 bank

1933
1983
1984
1985
1986
1987

Adapun jumlah kerugian beberap bank-bank di Amerika pada tahun


1987 sbb:
No
Nama bank
Jumlah kerugian
1.
Stero Coorporation
3 Milyar $
2.
Bank Amerika
1,1 Milyar $
3.
CIS
1,6 Milyar $
4.
Manhattan
1,7 Milyar $
5.
Manufacture Hanofer
3 Milyar $
6.
City Coorp
3 Milyar $
Ini terjadi pada paruh awal tahun 1987.26
Di negara Mesir sendiri banyak bank-bank yang mengalami
kerugian, di antaranya yang terkenal yang dialami oleh mashrif tanmiyah
wa at tijarah pada tahun 1995. Dari sini jelas bahwa alasan bahwa
keuntungan itu di jamin karena bank melakukan pengkajian seperti yang
dikemukakan oleh Dr. Thanthawi adalah alasan yang tidak relistis.
Di sisi lain, ada pertentangan antar dalil ini dengan dalil yang
keenam. Di sini beliau mengatakan bahwa kajian yang teliti ini telah
menjamin keuntungan yang lebih besar karena tidak ada kerugian, ini
dipahami dari perkataannya. Sedangkan pada dalil yang ke enam ia
mengatakan bahwa penentuan keuntungan tidak bertentangan dengan
kemungkinan kerugian.
Dalil yang kelima
Dr. Thanthawi melihat pada saat ini penentuan keuntungan di muka
memberi manfaat terhadap pemilik modal juga pengelola.
Bagi pemilik modal ia akan mengetahui haknya dengan pasti tanpa
ada kebohongan, dengan begitu ia bisa mengatur kehidupannya.
Dan bagi pengelola, ini menuntutnya untuk bekerja dengan
sungguh-sungguh supaya berhasail mendapatkan keuntungan melebihi
jumlah yang ditentukan untuk pemilik modal. Juga agar sisa keuntungan
yang diberikan kepada pemilik modal itu menjadi bagian murni
keuntungannya sebagai balasan dari tenaga dan kesunguhannya. 27
Jika penentuan yang dimaksud oleh beliau adalah penentuan
presentase keuntungan bersih dalam akad mudharabah, maka itu tidak
ada masalah. Tetapi nampaknya yang beliau maksud adalah penentuan
presentase keuntungan tertentu yang diambil oleh nasabah dari bank
setelah beberapa waktu sebagai bunga dari modal, dan ini adalah riba.
Kemudian ia mengatakan bahwa ini ada manfaatnya bagi pemilik
modal dan pengelola, tapi apakah setiap mashlahat itu menurut
pandangan manusia itu dibolehkan oleh syara.
Kenyataannya, syara banyak menyebutkan hal-hal yang memiliki
manfaat tetapi diharamkannya seperti khamr dan maisir (judi). Allah swt.
berfirman :



Yang artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi.
Katakanlah:"Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa

manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari


manfaatnya". (QS. 2:219)
Firman Allah swt. menunjukan bahwa ada manfaat
yang bisa mereka dapatkan, tetapi tidk ada seorangpun yang bisa
mengatakan bahwa khomr dan maisir itu halal.
Kemudian Dr. Thantawi mengatakan : dengan penentuan ini,
pemilik modal mengetahui bagiannya.
Apakah riba menjadi bagiannya dan sumber kehidupannya dan
mata pencahariannya ?.
Dalil keenam
Dr. Thanthawi memandang bahwa penentuan keuntungan di muka
yang tidak bertentangan dengan kerugian yang mungkin terjadi oleh pihak
pengelola, bank atau yang lainnya. Sudah menjadi kelaziman bahwa
dalam proyek-proyek perdagangan yang bermacam-macam jika salah
seorang mengalami kerugian dalam salah satu proyeknya dan
memperoleh keuntungan dalam proyek yang lain, maka keuntungan
tersebut akan menutupi kerugian yang ada.
Beliau berdalil dengan perkataan Ibnu Quddamah dalam kitabnya
al-Mughni : seorang pengelola dalam mudharabah jika membeli dua
barang kemudian untung dalam salah satu barang dan rugi dalam barang
yang lain, maka kerugian ditutupi dengan keuntungan. 28
Dalil ini bertentangan dengan dalil yang ke empat. Di samping itu
alasan keenam ini berarti dana yang disimpan di bank itu bercampur,
Nasabah yang menyerahkan jumlah dana yang besar disamakan dengan
yang menyerahkan dengan jumlah kecil dalam presentase keuntungan.
Apa kesalahan orang yang beruntung modalnya hingga bagian dari
keuntungannya harus menutupi kerugian orang lain?.
Dalam kajian ekonomi sudah menjadi kelaziman bahwa tidak ada
hubungan antara harga bunga dengan keuntungan peminjam dan
kerugiannya, antara harga bunga dengan invlasi, bahkan bunga menjadi
sebab terjadinya invlasi.29
Harga bunga ini tidak dipengaruhi oleh presentase keuntungan atau
kerugian, tetapi dipengaruhi oleh beberapa faktor:
1. Undang-undang negara.
2. Kepentingan pemilik bank dan lembaga keungan.
3. Para penjual valas di pasar modal yang mempengaruhi harga di
pasar.
4. Kondisi keuntungan dan pailit.
5. Kondisi penawaran dan permintaan 30
Maka bunga tidak dipengaruhi oleh kondisi dana kreditor baik
untung ataupun rugi tetapi dipengaruhi oleh undang-undang negara,
kepentingan pemilik bank dan lembaga keungan dll. Boleh jadi bagian
presentase seseorang tinggi sedangkan yang lainnya rendah sesuai
dengan faktor-faktor di atas.
Jika semua harta di simpan dalam satu bank misalnya, apakah
mereka memisahkan setiap deposito atau mencampurkannya?.
Sebenarnya bank menerima deposito dan mencampurnya dalam satu
proyek usaha atau meminjamkan kepada pihak lain.
Sekarang ada pertanyaan apakah boleh mencampur dana yang
kelola oleh dua orang dengan keuntungan yang berbeda?. Menurut para
fuqaha muamalah ini tidak sah kecuali modal, pihak usaha, dan bidang
usaha diketahui dengan jelas.31
Maka hendaknya diketahui bahwa harta yan dikelola dalam bidang
usaha tertentu ini miliki seseorang dan keuntungan tertentu pula sesuai

dengan kesepakatan, begitu pula dengan harta-harta lain yang dalam


bidang usaha tertentu. juga harus membedakan antara dua usaha, tidak
mencampur harta mudharabah dengan hartanya sendiri, jika itu terjadi
maka ia menjaminnya.32
Perkataan Ibnu Quddamah yang dijadikan dalil oleh Dr. Thanthawi
berkaitan dengan masalah mudharabah antara seorang pemilik modal dan
seorang mudharib.
Adapaun masalah dalam makalah ini dijelaskan oleh Ibnu
Quddamah dalam judul wal-wadiah ala qadri al-mal (kerugian
disesuaikan dengan jumlah modal) ia mengatakan : Jadi kerugian
ditanggung oleh kedua belah pihak sesuai dengan jumlah modal yang
milikinya, jika modal keduanya sama maka kerugian dibagi dua, jika
modalnya keduanya 3/3 maka kerugian yang ditanggung juga 3/3, kami
tidak mengetahui perbedaan dalam masalah ini. 33
Hukum ini lebih tepat untuk perbankan dan jika sudah terbukti
bahwa dana yang terkumpul dibank itu tidak jelas di kelola dalam
investasi apa,34 karena keuntungan tidak dibagi antara pihak akad tetapi
mereka pasti mendapatkan peresentase keuntungan baik uasaha tersebut
untung ataupun rugi. Jika masalahnya seperti ini maka maka
mudharabahnya fasid (tidak sah).
Dalil ke tujuh
Dr. Thanthawi mengatakan : Hilangnya sadar tanggung jawab
(khorrob dzimam) mengakibatkan pemilik modal mendapatkan perhatian
khusus dari pengelola yaitu bank atau yang lainnya yang mungkin tidak
terpercaya (ghairu amin). Ia menyatakan misalnya : saya tidak untung
sedikitpun.., padahal ia beruntung banyak yang menyebabkan
kedzaliman yang dilarang oleh syariah. 35
Alasan ini bisa dijelaskan dalam dua hal :
1. Kaidah fikih menyebut al-ashlu baraatu adz-dzimmah36 (asalnya
setiap orang bebas taggung jawab), kalau memang begitu mengapa
kita memperkirakan sebaliknya.
2. Jika misalnya- bank ghairu amin, mana yang lebih baik tidak
investasi di bank atau sebaliknya?.
Dalil ke delapan
Dr. Thanthawi mengatakan : Negara dan para fuqaha bisa
intervensi kepada para shunna (para pembuat barang) agar menjamin
barang yang ada pada mereka dari setiap kerusakan yang disebabkan
oleh kelalaian mereka. Begitu pula negara boleh intervensi dalam akad
mudharabah untuk menentukan presentasi keuntungan di muka, dan
modal dijamin yang masuk dalam kategori mashalih mursalah. 37
Betul bahwa para fuqaha intervensi kepada para shunna (para
pembuat barang) agar menjamin barang yang ada pada mereka dengan
illat ihmal (kelalaian). Ini adalah jaminan bagi para pemilik modal dari
orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Di sisi lain shunna bekerja
dengan sungguh-sungguh dan menjaga barang yang ada padanya
dengan amanah. Dan jika terjadi kerusakan di luar kemampuannya, maka
di luar bertanggung jawabnya.38
Dan hal ini berbeda dengan deposito di bank, di mana bank
menentukan keuntungan di muka, menjamin seluruh modal dari kerugian,
dan deposan sangat yakin bahwa ia akan mengambil bunga sesuai
dengan kesepakatan.
Bentuk ini walaupun ada mashlahatnya tetapi bertentangan dengan
al-Quran yang qothiyyu ats-tsubut qothiyyu ad-dilalah yaitu firman Allah
swt :

39

yang artinya : Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba),


maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula)
dianiaya. (QS. 2:279(
Allah swt. berfirman : maksudnya dengan
mengambil tambahan dan dengan menitip modal juga, bahkan
kamu mendapatkan hasil dari usaha dan kerjamu tanpa ada kelebihan
ataupun ada kekurangan.40
Sedangkan Dr. Thanthawi mengatakan boleh menentukan
keuntungan di muka sebagai tambahan dari modal yang dijamin.
Pendapat mana yang kita ambil, perkataan al-Quran atau pendapat Dr.
Thanthawi?.
Dr. Thanthawi mengkategorikan ini sebagai mashlahat mursalah.
Sudah maklum bahwa jika nash al-Quran dan as-Sunnah berupa
qothiyyu ad-dilalah maka persepsi adanya mashlahat mursalah hilang
pula walaupun maslahat tersebut dengan landasan qiyas. 41 Tetapi qiyas
bertentangan dengan nash qothiyyu ats-tsubut qothiyyu ad-dilalah, maka
mashlahat tidak bisa dijadikan landasan lagi.
Yang menjadi ashl dalam illat ini adalah para shunna (para
pembuat barang) yang menjamin barang yang ada pada mereka dari
setiap kerusakan yang disebabkan oleh kelalaian. Kemudian saat ini
hilangnya sadar tanggung jawab (khorrob dzimam) diqiyaskan dengan
ihmal (kelalaian). Apakah ada kesamaan anatara illat khorrob dzimam
dengan illat ihmal dari setap sisi?.
Tentu saja jawabannya tidak, disamping itu sesuai dengan kaidah
al-ashlu baraatu adz-dzimmah (asalnya setiap orang bebas taggung
jawab) bukan sebaliknya.
Jika kita mengkaji syarat-syarat illat, kita akan menemukan bahwa
illat ini berbeda dengan teori syarat-syarat illat yang dikaji oleh para
ulama. Diantaranya syarat : tidak ada muarid ar-rajih (dalil rajih yang
menentang) terhadap illat ini. Sedangkan illat ini bertentangan dengan
nash dan ijma.42
Tidak ada nash yang lebih jelas selain nash al-Quraan yang
mengatakan :
43

yang artinya : Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba),


maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula)
dianiaya. (QS. 2:279(
Di samping itu juga kesepakat para ulama dalam lembaga kajian
fikih.
Di antara syarat illat yang tidak ada adalah qiyas di atas adalah
kesamaan illat dalam ashl dan far.44
Juga syarat illat yang tidak ada adalah qiyas di atas illat yang ada
dalam far tidak melahirkan hukum lain yang berbeda dengan hukum
ashl.45 Hilangnya sadar tanggung jawab (khorrob dzimam) yang ada pada
bank menuntuk kita menunggu sampai membaik dan stabil dan sesuai
dengan syariat. Adapun menjamin shunna (para pembuat barang)
barang yang ada pada mereka dari setiap kerusakan yang disebabkan
oleh kelalaian tidak menuntut meninggalkan mereka, tetapi minimal
dengan menjamin mereka dengan cara yang baik. Berbeda dengan bank
yang mengambil harta bukan haknya bahkan berupa tambahan dari
modal.

Di samping itu di antara syarat illat yang lain adalah kejelasan illat
(wudhuh al-illat) yang tidak ada dalam qiyas di atas, karena hilangnya
sadar tanggung jawab (khorrob dzimam) itu illat yang tidak jelas,
Sedangkan ketentuannya illat itu tertentu dab jelas. 46
Dalil ke sembilan
Dr. Thantawi mengatakan : Tidak ada seorang Imampun yang
mengatakan bahwa penentuan keuntungan di muka dalam akad
mudharabah merubahnya menjadi akad ribawi sekaligus keuntungan yang
dihasilkan dari investasi menjadi haram. Tetapi para fuqaha hanya ijma
bahwa akad mudharabahnya fasid (tidak sah) karena penentuan
keuntungan tersebut.47
Jika para fuqaha sudah ijma bahwa akad mudharabahnya fasid
(tidak sah), apakah itu maksudnya akad tersebut harus dilanjutkan
walaupun fasid. Karena akad yang fasid itu menunjukan akad tersebut
telah berakhir, oleh karena itu tidak ada riba atau yang lainnya karena
akad sudah selesai, karenannya mereka menghukuminya setiap akad
mudharabah yang salah satu pihak akadnya mensyaratkan tambahan itu
fasid.
Para fuqaha sejauh pengetahuan kami- tidak pernah menyinggung
akad itu tetap berlangsung seperti ini, karena sudah jelas bahwa pendapat
mereka adalah hukum yang harus diamalkan. Tidak logis jika dilanggar
karena pendapat mereka berdasarkan syariat.
Jika akadanya fasid, apakah kita membolehkannya kemudian
menjadikannya ashl dalam mengqiyaskan far ( menjamin keuntungan
dan modal di bank) kemudian menghukuminya dengan sah juga?
Seharusnya minimal kita menghukuminya dengan fasid dan
mengharamkannya tidak dengan mengatakan akad tersebut terus
berlangsung dan mengqiyaskannya.

() Ustadz Said Hawa mengatakan bahwa modal tidak menghasilkan keuntungan dengan sendirinya tetapi bagi yang lain itu menghasilkan keuntungan. Setelah itu modal tidak menghasilkan keuntungan
dengan kesiapannya dalam menanggung kerugian. Jadi sekedar modal hanya mengakibatkan berkurang dengan zakat dan tidak melahirkan keuntungan jika tanpa imbalan. Lihat al-Islam, Said Hawa juz I hal.
96, cet. Wahbah Kairo, Syawwal 1407/Juni 1987.
Lihat juga Haqoiq wa Syubuhat haula Wadai al Bunuk wa Syahadatu al Istitsmar wa Shonadiq at-Taufir , Syekh Muhammad Abdullah al-Khotib dan yang lainnya, hal. 53

2
3
4

)) Surat al-Baqarah ayat 279.


)) Ahkamu al-Quran, Abu Bakar Ahmad ar-Rozi al-Jashosh (wafat tahun 370 H) Jilid I hal. 637 638, cet. Dar al-Fikr 1313 H/1993 M.
)) Opcit, hal 641.

)) al-Mughni dan Syarh al-Kabir Matn al-Muqni fi fiqh al-Imam Ahmad Ibn Hanbal karangan Muwaffiquddin Ibnu Quddamah dan Syamsuddin Ibnu Quddamah, jilid IV hal. 390, Cet. Dar al-Fikr al-Arabi
Beirut 1414 H/1994 M.

() Bai al-Murabahah li al-Amir bi asy-Syira kama Tujrihi al-Masharif al-Islamiyah fi Dhoui an-Nushush wa al-Qawaid asy-Syariyyah karangan Dr. Yusuf

Qardhawi hal. 29, 111, Maktabatu wahbah cet. II

1407/1987.
7
8

() Ahkamu al-Quran, Abu Bakar Ahmad ar-Rozi al-Jashosh (wafat tahun 370 H) Jilid I hal. 635, cet. Dar al-Fikr 1313 H/1993 M.
() Muamalatu al-Bunuk wa Ahkamuha asy-Syariyyah hal. 126.

(( Opcit hal. 98.


10
(( Lihat Muamalatu al-Bunuk wa Ahkamuha asy-Syariyyah hal. 137 - 138.
11
() Lihat Ilamu al-Muqiin karangan Ibnu alQayyim juz I hal. 14.
12
() Illat dalam tasir itu dzulm (kedzaliman) dan istighlal (eksploitasi), sedangkan dalam riba adalah tambahan dan dzulm (kedzaliman) dan istighlal (eksploitasi) adalah diantara hikmah diharamkannya riba.
13() al-Majmu syarh al-Muhadzab takmilatu asy-Syekh muhammad Najib Muthii juz XII hal. 359, cet. Makatabat al-Irsyad Jeddah Saudi Arabia tanpa tanggal.
14
15

() Uqud at-Tamin, Prof. Dr. Muhammad Baltaji Hasan hal. 36


() Haqaiq wa asy-Syubuhat wadai al-Bunuk karangan Syekh Khotib dan yang lainnya hal. 52, Dar al-Manar cet. II 1410/1990. Lihat juga Majalah Iqtishad al-Islami edisi 101 hal.63 Rabiu ast-tsani

1410/Nopember 1989.
16
() Lihat : al-Anwar as-Sathiah fi Thuruqi Itsbati al-Illat al-Jamiah karangan Prof. Dr. Ramadhan Abdul Wadud Abdu at-Tawwab (Guru besar Ushul Fiqh Fakultas Syariah Qanun Univ. Al-Azhar) hal.51, darAlhuda 1406/1986.
17
() Muamalatu al-Bunuk wa Ahkamuha asy-Syariyyah hal. 137.
18
() Dhawabith al-Mashlahat fi asy-Syariah al-Islamiyah karangan Dr. Muhammad Said Ramadhan al-Buthi hal. 62,63, Muassasatu ar-Risalah, cet. VI 1412/1992.
19
( (Muamalatu al-Bunuk wa Ahkamuha asy-Syariyyah hal. 138, 139.
20
() Haqaiq wa asy-Syubuhat wadai al-Bunuk karangan Syekh Khotib dan yang lainnya hal. 84, Dar al-Manar cet. II 1410/1990. Lihat juga tulisan Syekh Muhammad Mushtafa Syalabi (Anggota Majma Buhuts
al-Islamiyah dan Guru besar Univ. Kairo) dalam majalah Iqtishad al-Islami edisi 101 hal. 38 Rabiu ast-tsani 1410/Nopember 1989.
21
() Fiqh as-Sunnah karangan Sayyid Sabiq Juz III hal. 213.
22
() Al-Mudawwanah al-Kubra karangan Imam Malik juz XII hal 86, al-Bab al-Halabi tanpa tanggal- dengan riwayat Imam Sahnun bin Said at-Tunukhi dari Imam Abdurrahman bin Qasim dari Imam Malik r.a.
23
() Al-Majmu Syarh al-Muhadzab karangan Asy-Syairazi takmilatu asy-Syekh muhammad Najib Muthii juz V hal. 160, cet. Makatabat al-Irsyad Jeddah Saudi Arabia tanpa tanggal. Lihat juga : Fath al-Qadir juz
VII hal.417 dalam kitab ibi diterangkan bahwa akad mudharabah menjadi fasid dengan disyaratkannya beberapa dirham kepada salah stu pihak akad.
24
() Uqud at-Tamin, Prof. Dr. Muhammad Baltaji Hasan hal. 38 40.
25
() Muamalatu al-Bunuk wa Ahkamuha asy-Syariyyah hal. 138.
26
() Lihat juga tulisan Said Bin Ahmad al-Lutah (President Direktur Isamic Bank Dubai) dalam majalah Iqtishad al-Islami edisi 97 hal. 15 Dzulhijjah 1409/Nopember 1988.
27
() Muamalatu al-Bunuk wa Ahkamuha asy-Syariyyah hal. 139 - 138.
28
() Muamalatu al-Bunuk wa Ahkamuha asy-Syariyyah hal. 139.
29
() Haqaiq wa asy-Syubuhat wadai al-Bunuk karangan Syekh Abdullah Khotib dan yang lainnya hal. 56, lihat juga Majalah Iqtishad al-Islami edisi 101 hal.66 Rabiu ast-tsani 1410/Nopember 1989.
30
() Haqaiq wa asy-Syubuhat wadai al-Bunuk karangan Syekh Abdullah Khotib dan yang lainnya hal. 56, lihat juga Majalah Iqtishad al-Islami edisi 101 hal.66 Rabiu ast-tsani 1410/Nopember 1989.
31
() al-Majmu Syarh al-Muhadzab karangan Asy-Syairazi Takmilatu asy-Syekh Muhammad Najib Muthii juz XV hal. 156, cet. Makatabat al-Irsyad Jeddah Saudi Arabia tanpa tanggal
32
() al-Mughni dan Syarh al-Kabir Matn al-Muqni fi Fiqh al-Imam Ahmad Ibn Hanbal karangan Muwaffiquddin Ibnu Quddamah dan Syamsuddin Ibnu Quddamah, jilid V hal. 162 - 163, Cet. Dar al-Fikr alArabi Beirut 1414 H/1994 M.
33
() Opcit Juz V hal. 147.
34
() Jika digunakan untuk keperluan ini bukan untuk kredit berbunga.
35
() Muamalatu al-Bunuk wa Ahkamuha asy-Syariyyah hal. 139 - 140.
36
() Syar al-qawaid al-Fiqhiyyah karangan Syekh Ahamad Bin Syekh Muhammad az-Zarqa hal. 105, dar Alqolam, cet. kedua 1409/1989.
37
() Muamalatu al-Bunuk wa Ahkamuha asy-Syariyyah hal. 140 141.
38
() Lihat : Dhaman al-Udwan fi al-Fiqh al-Islami karangan Dr. Muhammad Ahmad Siraj hal.319, dar ats-Tsaqafah, cet pertama 1409/1989.
39
() Surat al-Baqarah ayat 279.
40
() Lihat : Tafsir Ibnu al-Katsir Juz I hal 355.
41
() Dhawabith al-Mashlahat fi asy-Syariah al-Islamiyah karangan Dr. Muhammad Said Ramadhan al-Buthi hal. 120, Muassatu ar-Risalah, cet. VI 1412/1992.
42
()Lihat : al-Anwar as-Sathiah fi Thuruqi Itsbati al-Illat al-Jamiah karangan Prof. Dr. Ramadhan Abdul Wadud Abdu at-Tawwab (Guru Besar Ushul Fiqh Fakultas Syariah Qanun Univ. Al-Azhar hal. 43, darAlhuda 1406/1986.
43
() Surat al-Baqarah ayat 279
44
((Lihat : al-Anwar as-Sathiah fi Thuruqi Itsbati al-Illat al-Jamiah karangan Prof. Dr. Ramadhan Abdul Wadud Abdu at-Tawwab (Guru Besar Ushul Fiqh Fakultas Syariah Qanun Univ. Al-Azhar hal. 51, darAlhuda 1406/1986.
45
() Opcit hal. hal. 52
46
() Opcit hal. 55.
47
() Muamalatu al-Bunuk wa Ahkamuha asy-Syariyyah hal. 142.

Anda mungkin juga menyukai