PENDAHULUAN
Bells palsy merupakan lesi pada nervus VII (n.fasialis) perifer, yang mengakibatkan
kelumpuhan otot-otot wajah, bersifat akut, dimana penyebabnya tidak diketahui dengan pasti
(idiopatik). Pada sebagian besar penderita Bells Palsy kelumpuhannya dapat menyembuh,
namun pada beberapa diantara mereka kelumpuhannya sembuh dengan meninggalkan gejala
sisa. Gejala sisa ini berupa kontraktur, dan spasme spontan.1
Permasalahan yang ditimbulkan Bells palsy cukup kompleks, diantaranya masalah
fungsional, kosmetika dan psikologis sehingga dapat merugikan tugas profesi penderita,
permasalahan kapasitas fisik (impairment) antara lain berupa asimetris wajah, rasa kaku dan
tebal pada wajah sisi lesi, penurunan kekuatan otot wajah pada sisi lesi, potensial terjadi
kontraktur dan perlengketan jaringan, potensial terjadi iritasi pada mata sisi lesi. Sedangkan
permasahan fungsional (fungsional limitation) berupa gangguan fungsi yang melibatkan otototot wajah, seperti makan dan minum, berkumur, gangguan menutup mata, gangguan bicara
dan gangguan ekspresi wajah. Semua hal ini dapat menyebabkan individu tersebut menjadi
tidak percaya diri.
BAB II
STATUS PASIEN
I
IDENTITAS
Nama
: Tn. H
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Umur
: 57 tahun
Pekerjaan
: Pegawai Swasta
Pendidikan
: Tamat SLTA
Agama
: Islam
Status Pernikahan
: Menikah
Alamat
No. RM
II
: 0129961
PEMERIKSAAN FISIK
A Keadaan Umum
Kesadaran
: Compos Mentis
Sikap
: Duduk
Kooperasi
: Kooperatif
Keadaan Gizi
: Baik
: afebris
Nadi
: 80x/menit
Pernafasan
: 20x/menit
B Keadaan Lokal
Traumata Stigmata
: Tidak ada.
: Lurus di tengah
C Status Generalis
Keadaan umum
: Baik
Kesadaran
Kepala
: Normocephali
Wajah
Mata
: CA -/-, SI -/3
Leher
Thorax
Abdomen
: I= datar
P= nyeri tekan (-), tidak ada pembesaran hepar dan lien
P= shifting dullness (-)
A= bising usus (+) normal
PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
GCS: E4V5M6
Mata: Pupil bulat isokor, 3mm/3mm RCL +/+, RCTL +/+
A Tanda Rangsang Meningeal
Kanan
Kiri
Kaku Kuduk
: (-)
Laseque
> 70
> 70
Kernig
> 135
> 135
Brudzinski I
(-)
(-)
Brudzinski II
(-)
(-)
: (-)
Sakit kepala
: (-)
Edema papil
: tidak diperiksa
C Saraf-saraf Kranialis
N. I
: Tidak dilakukan
N.II
Kanan
Kiri
Acies Visus
Baik
Baik
Visus Campus
Baik
Baik
Melihat Warna
Baik
Baik
Funduskopi
: Tidak dilakukan
N. III, IV, VI
Kedudukan Bola Mata
Kanan
:
Ortoposisi
Kiri
Ortoposisi
Baik
Baik
Ke Temporal
Baik
Baik
Ke Nasal Atas
Baik
Baik
Ke Nasal Bawah
Baik
Baik
Ke Temporal Atas
Baik
Baik
Ke Temporal Bawah
Baik
Baik
Eksothalmus
(-)
(-)
Nistagmus
(-)
(-)
Pupil
Isokor
Isokor
Bentuk
Bulat, 3mm
Bulat, 3mm
(+)
(+)
(+)
(+)
Akomodasi
Baik
Baik
Konvergensi
Baik
Baik
Kanan
Kiri
Baik
Baik
Opthalmik
Baik
Baik
Maxilla
Baik
Baik
Mandibularis
Baik
Baik
N. V
Cabang Motorik
Cabang Sensorik
N. VII
Motorik Orbitofrontal
sempurna/ baik
Motorik Orbicularis oris
saat
tersenyum,
bibir
tertarik
ke
arah
kiri,
: tidak dilakukan
N. VIII
Vestibular
Vertigo
: (-)
Nistagmus
: (-)
Cochlear
Tuli Konduktif : tidak dilakukan
Tuli Perspeptif : tidak dilakukan
N. IX, X
Motorik
Sensorik
: Baik
N. XI
Kanan
Kiri
Mengangkat bahu
Baik
Baik
Menoleh
Baik
Baik
N. XII
Pergerakan Lidah
Saat Dijulurkan
Saat istirahat
Atrofi
: (-)
Fasikulasi
: (-)
6
Tremor
: (-)
D Sistem Motorik
5555
5555
5555
5555
E Gerakan Involunter
Tremor
: (-)
Chorea
: (-)
Atetose
: (-)
Mioklonik
: (-)
Tics
: (-)
F Trofik
: Eutrofik
G Tonus
: Normotonus
H Sistem Sensorik
Proprioseptif
: Baik
Eksteroseptif
: Baik
: (-)
Tes Rhomberg
: (-)
Disdiadokinesia
: (-)
Jari-Jari
: Baik
Jari-Hidung
: Baik
Tumit-Lutut
: Baik
Fungsi Luhur
Astereognosia
: (-)
Apraksia
: (-)
Afasia
: (-)
K Fungsi Otonom
7
Miksi
: Baik
Defekasi
: Baik
Sekresi Keringat
: Baik
L Refleks-refleks Fisiologis
Kanan
Kiri
Kornea
(+)
(+)
Bisep
(++)
(++)
Trisep
(++)
(++)
Radius
(++)
(++)
Lutut
(++)
(++)
Tumit
(++)
(++)
M Refleks-refleks Patologis
Kanan
Kiri
Hoffman Tromner
(-)
(-)
Babinsky
(-)
(-)
Chaddock
(-)
(-)
Gordon
(-)
(-)
Gonda
(-)
(-)
Schaeffer
(-)
(-)
Klonus Lutut
(-)
(-)
Klonus Tumit
(-)
(-)
N Keadaan Psikis
IV
Intelegensia
: Baik
Tanda regresi
: (-)
Demensia
: (-)
RESUME
Seorang pria 57 tahun, datang ke poliklinik saraf RSUP Fatmawati dengan mulut
mencong ke kiri sejak 1 bulan yang lalu. Pasien datang ke poliklinik untuk kontrol
setelah 1bulan yang lalu berobat. Sebelumnya pasien pergi naik motor dari tempat
kerja, lalu sorenya mulut mencong ke kiri, mata kanan tidak bisa menutup sempurna
sehingga terasa perih dan berair, lalu pipi terasa kencang. Sisi wajah sebelah kanan
terasa tebal, kaku dan bergerak sendiri. Makan baik, bila minum air sering keluar dari
sisi mulut sebelah kanan. Pasien mengeluh bicara menjadi pelo. Gangguan
penglihatan, gangguan pengecapan, gangguan pendengaran, sering tersedak ketika
8
makan dan minum disangkal pasien. Keluhan pasien tidak didahului oleh demam atau
nyeri pada daerah belakang telinga. Pasien mempunyai riwayat hipertensi dan
diabetes. 3 kakak pasien menderita hal yang sama. Ayah pasien menderita hipertensi.
Pasien mengaku sering pergi ke tempat kerja tidak menggunakan helm dan di rumah
nya sering menggunakan kipas angin langsung ke badan. Pasien merokok setengah
bungkus perhari. Pada pemeriksaan fisik TD:140/80mmHg. Status Neurologis
didapatkan GCS 15 dan parese N. VII dextra perifer.
V
VI
DIAGNOSIS
Diagnosis klinis
Diagnosis etiologik
: idiopatik
Diagnosis topik
PENATALAKSANAAN
Non-Medikamentosa
Latihan penguatan otot pipi dan wajah dengan kerut dahi, tutup mata, tersenyum,
meringis meniup bola pingpong, berkumur
Latihan makan dengan mengunyah di sisi yang lemah
Gunakan kacamata untuk melindungi mata
Konsul Fisioterapi
Medikamentosa
VII
Amlodipin 1x10mg
Simvastatin 1x1
Asam Folat 1x1
PROGNOSIS
Ad Vitam
: ad bonam
Ad Functionam : ad bonam
Ad Sanationam : ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Kelumpuhan wajah adalah suatu bentuk kecacatan yang memberikan dampak yang
kuat pada seseorang. Kelumpuhan nervus facialis dapat disebabkan oleh bawaan lahir
(kongenital), neoplasma, trauma, infeksi., paparan toksik ataupun penyebab iatrogenik. Yang
paling sering menyebabkan kelumpuhan unilateral pada wajah adalah Bells palsy.1
Bells palsy ditemukan oleh dokter dari inggris yang bernama Charles Bell. Bells
palsy didefinisikan sebagai suatu keadaan paresis atau kelumpuhan yang akut dan idiopatik
akibat disfungsi nervus facialis perifer.2
Epidemiologi
Bells palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut.
Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah
ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bells palsy setiap tahun
sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bells palsy
rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih
tinggi, dibanding non-diabetes. Bells palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan
perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan
terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai
semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan
trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bells palsy lebih
tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.1
Etiologi
Diperkirakan, penyebab Bells palsy adalah edema dan iskemia akibat penekanan
(kompresi) pada nervus fasialis. Penyebab edema dan iskemia ini sampai saat ini masih
diperdebatkan. Dulu, paparan suasana/suhu dingin (misalnya hawa dingin, AC, atau menyetir
mobil dengan jendela yang terbuka) dianggap sebagai satu-satunya pemicu Bells palsy. Akan
tetapi, sekarang mulai diyakini HSV sebagai penyebab Bells palsy, karena telah
diidentifikasi HSV pada ganglion geniculata pada beberapa penelitian otopsi. Murakami et all
juga
penderita Bells palsy berat yang menjalani pembedahan dan menemukan HSV dalam cairan
endoneural. Virus ini diperkirakan dapat berpindah secara axonal dari saraf sensori dan
10
menempati sel ganglion, pada saat adanya stress, akan terjadi reaktivasi virus yang akan
menyebabkan kerusakan local pada myelin.1,3
Anatomi Nervus Fasialis
Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :
1. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m. levator palpebrae
(N.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga
tengah.
2. Serabut visero-motorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius superior.
Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus
paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.
3. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga bagian
depan lidah.
4. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba dari
sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.
Nervus VII terutama terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi seluruh otot mimik
wajah. Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus intermedius Wrisberg yang mengantarkan
rasa pengecapan dari 2/3 bagian anterior lidah dan sensasi kulit dari dinding anterior kanalis
auditorius eksterna. Serabut-serabut rasa pengecapan pertama-tama melintasi nervus lingual,
yaitu cabang dari nervus mandibularis lalu masuk ke korda timpani dimana ia membawa
sensasi pengecapan melalui nervus fasialis ke nukleus traktus solitarius. Serabut-serabut
sekretomotor menginervasi kelenjar lakrimal melalui nervus petrosus superfisial major dan
kelenjar sublingual serta kelenjar submaksilar melalui korda tympani.1,3
11
Nukleus (inti) motorik nervus VII terletak di ventrolateral nukleus abdusens, dan
serabut nervus fasialis dalam pons sebagian melingkari dan melewati bagian ventrolateral
nukleus abdusens sebelum keluar dari pons di bagian lateral traktus kortikospinal. Karena
posisinya yang berdekatan (jukstaposisi) pada dasar ventrikel IV, maka nervus VI dan VII
dapat terkena bersama-sama oleh lesi vaskuler atau lesi infiltratif. Nervus fasialis masuk ke
meatus akustikus internus bersama dengan nervus akustikus lalu membelok tajam ke depan
dan ke bawah di dekat batas anterior vestibulum telinga dalam. Pada sudut ini (genu) terletak
ganglion sensoris yang disebut genikulatum karena sangat dekat dengan genu. Nervus fasialis
terus berjalan melalui kanalis fasialis tepat di bawah ganglion genikulatum untuk
memberikan percabangan ke ganglion pterygopalatina, yaitu nervus petrosus superfisial
major, dan di sebelah yang lebih distal memberi persarafan ke m. stapedius yang
dihubungkan oleh korda timpani. Lalu nervus fasialis keluar dari kranium melalui foramen
stylomastoideus kemudian melintasi kelenjar parotis dan terbagi menjadi lima cabang yang
melayani otot-otot wajah, m. stilomastoideus, platisma dan m. digastrikus venter posterior.1,3
Patofisiologi
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bells palsy terjadi proses inflamasi akut pada
nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bells palsy
hampir selalu terjadi secara unilateral. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori
12
13
Kelumpuhan pada Bells palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot wajah
seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada
usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak
bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena
lagoftalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun. Gejalagejala pengiring seperti ageusia dan hiperakusis tidak ada karena bagian nervus fasialis yang
terjepit di foramen stilomastoideum sudah tidak mengandung lagi serabut korda timpani dan
serabut yang mensyarafi muskulus stapedius. 4
Gejala Klinis
Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat didiagnosa
dengan inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat bergerak. Lipatan-lipatan di dahi
akan menghilang dan Nampak seluruh muka sisi yang sakit akan mencong tertarik ke arah
sisi yang sehat. Gejala kelumpuhan perifer ini tergantung dari lokalisasi kerusakan. 5,6
a. Kerusakan setinggi foramen stilomastoideus
Gejala : kelumpuhan otot-otot wajah pada sebelah lesi
Sudut mulut sisi lesi jatuh dan tidak dapat diangkat
14
Diagnosis
Diagnosis Bells palsy dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisis. Pada pemeriksaan nervus kranialis akan didapatkan adanya parese dari
nervus fasialis yang menyebabkan bibir mencong, tidak dapat memejamkan mata dan adanya
rasa nyeri pada telinga. Hiperakusis dan augesia juga dapat ditemukan. Harus dibedakan
antara lesi UMN dan LMN. Pada Bells palsy lesinya bersifat LMN. 1
A. Pemeriksaan Fisis
Kelumpuhan nervus fasialis mudah terlihat hanya dengan pemeriksaan fisik tetapi yang
harus diteliti lebih lanjut adalah apakah ada penyebab lain yang menyebabkan
kelumpuhan nervus fasialis. Pada lesi supranuklear, dimana lokasi lesi di atas nukleus
15
fasialis di pons, maka lesinya bersifat UMN. Pada kelainan tersebut, sepertiga atas nervus
fasialis normal, sedangkan dua pertiga di bawahnya mengalami paralisis. Pemeriksaan
nervus kranialis yang lain dalam batas normal. 1
B. Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan diagnosis Bells
palsy. Namun pemeriksaan kadar gula darah atau HbA1c dapat dipertimbangkan untuk
mengetahui apakah pasien tersebut menderita diabetes atau tidak. Pemeriksaan kadar
serum HSV juga bisa dilakukan namun ini biasanya tidak dapat menentukan dari mana
virus tersebut berasal.1
C. Pemeriksaan Radiologi
Bila dari anamneses dan pemeriksaan fisik telah mengarahkan ke diagnosea Bells palsy
maka pemeriksaan radiologi tidak diperlukan lagi, karena pasien-pasien dengan Bells
palsy umumnya akan mengalami perbaikan dalam 8-10 minggu. Bila tidak ada perbaikan
ataupun mengalami perburukan, pencitraan mungkin akan membantu. MRI mungkin
dapat menunjukkan adanya tumor (misalnya Schwannoma, hemangioma, meningioma).
Bila pasien ada riwayat trauma CT Scan harus dilakukan.1
Diagnosa Banding
Kondisi lain yang dapat menyebabkan kelumpuhan nervus fasialis diantaranya
tumor, infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay Hunt syndrom), penyakit
Lyme, AIDS, infeksi Tuberculosa pada mastoid ataupun telinga tengah, Guillen Barre
syndrome.1,3
Penatalaksanaan
Melindungi mata pada saat tidur dan pemberian tetes mata metilselulosa, memijat
otot-otot yang lemah dan mencegah kendornya otot-otot di bagian bawah wajah merupakan
kondisi yang dapat dikelola secara umum. Belum ada bukti yang mendukung bahwa tindakan
pembedahan
efektif
terhadap
nervus
fasialis,
bahkan
kemungkinan
besar
dapat
membahayakan.
Pemberian kortikosteroid (prednison dengan dosis 40 -60 mg/hari per oral atau 1
mg/kgBB/hari selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari kemudian), dimana
pemberiannya dimulai pada hari kelima setelah onset penyakit, gunanya untuk meningkatkan
peluang kesembuhan pasien.1,2,3
Dasar dari pengobatan ini adalah untuk menurunkan kemungkinan terjadinya
kelumpuhan yang sifatnya permanen yang disebabkan oleh pembengkakan nervus fasialis di
dalam kanal fasialis yang sempit. Penemuan genom virus disekitar nervus fasialis
16
Komplikasi
Kira-kira 30% pasien Bells palsy yang sembuh dengan gejala sisa seperti fungsi
motorik dan sensorik yang tidak sempurna, serta kelemahan saraf parasimpatik. Komplikasi
yang paling banyak terjadi yaitu disgeusia atau ageusia, spasme nervus fasialis yang kronik
dan kelemahan saraf parasimpatik yang menyebabkan kelenjar lakrimalis tidak berfungsi
dengan baik sehingga tampak seperti air mata buaya (crocodile tears).1
Prognosis
Penderita Bells palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa. Faktor resiko
yang memperburuk prognosis Bells palsy adalah:1
(1) Usia di atas 60 tahun
(2) Paralisis komplit
(3) Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh,
(4) Nyeri pada bagian belakang telinga dan
(5) Berkurangnya air mata.
Pada umumnya prognosis Bells palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh dalam
waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur 60 tahun
atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi meninggalkan gejala
sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya punya perbedaan peluang 10-15
persen antara sembuh total dengan meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu
4 bulan, maka penderita cenderung meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears
dan kadang spasme hemifasial. 1
Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita
nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM. Hanya 23 %
kasus Bells palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bells palsy kambuh pada 10-15 %
penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral menderita tumor N. VII atau tumor
kelenjar parotis.1
17
Daftar Pustaka
1. Monnel, K., Zachariah, S., Khoromi, S. 2009. Bells Palsy. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/1146903. Accessed June 1, 2010.
2. Holland, J. Bells Palsy. Brithis Medical Journal. 2008;01;1204.
3. Ropper AH, Brown RH. Bells Palsy Disease Of The Cranial Nerve. Adams and
Victors Principles of Neurology, 8th ed. New York : McGraw Hill, 2005. 1181-1184.
18
19