Anda di halaman 1dari 11

TINJAUAN PUSTAKA

INFEKSI SALURAN KEMIH

DEFINISI
Infeksi saluran kemih adalah suatu infeksi yang melibatkan ginjal, ureter, buli-buli, ataupun
uretra. Infeksi saluran kemih (ISK) adalah istilah umum yang menunjukkan keberadaan
mikroorganisme dalam urin. Bakteriuria bermakna: bakteriuria bermakna menunjukkan
pertumbuhan mikroorganisme murni lebih dari 105 colony forming unit (cfu/ml) pada biakan
urin. Bakteriuria bermakna mungkin tanpa disertai presentasi klinis ISK dinamakan
bakteriuria asimtomatik (convert bacteriuria). Sebaliknya bakteriuria bermakna disertai
persentasi klinis ISK dinamakan bakteriuria bermakna simtomatik. Pada beberapa keadaan
pasien dengan persentasi klinis tanpa bekteriuria bermakna. Piuria bermakna (significant
pyuria), bila ditemukan netrofil >10 per lapangan pandang. 30

EPIDEMIOLOGI
25-35% wanita dewasa pernah mengalami ISK.
ISK tergantung pada banyak faktor seperti usia, gender, prevalensi bakteri serta faktor faktor
predisposisi yang menyebabkan perubahan struktur saluran kemih, termasuk ginjal. Selama
periode usia beberapa bulan dan lebih dari 65 tahun,perempuan cenderung menderita ISK
dibanding laki laki. 30

ETIOLOGI
Mikroorganisme umunya disebabkan mikroorganisme tunggal :
Escherichia coli merupakan penyebab tersering.
Yang lainnya seperti proteus spp, klebsiella spp, proteus spp, enterobacter spp, stafilokokus
dengan koasgulase negatif, pseudomonas aeroginosa. 30

FAKTOR RESIKO
Adanya obstruksi pada saluran kemih, bisa berupa lithiasis, dan gangguan lainnya.
Penyakit ginjal polikistik, pasca kateterisasi, pasca senggama, pada pasien DM, pada wanita
hamil juga memiliki faktor resiko yang tinggi untuk mengalami ISK. 30

PATOFISIOLOGI
Pada pasien normal, urin selalu steril karna jumlah dan frekuensi normal selalu
dipertahankan. Bagian ureterodistal adalah bagian dimana terjadi kolonisasi bakteri non
patogen. Jika terdapat faktor resiko tersebut, bakteri ini bisa menginfeksi saluran kemih dan
akan naik secara scending ke saluran kemih diatasnya, bahkan bisa sampai ke ginjal dan
terjadilah gejala ISK. 30
Pathogenesis bakteriuria asimtomatik dengan presentasi klinis ISK tergantung dari
patogenitas dan status pasien sendiri (host).
A. Peran patogenisitas bakteri. Sejumlah flora saluran cerna termasuk Escherichia coli
diduga terkait dengan etiologi ISK. Patogenisitaas E.coli terkait dengan bagian
permukaan sel polisakarida dari lipopolisakarin (LPS). Hanya IG serotype dari 170
serotipe O/ E.coli yang berhasil diisolasi rutin dari pasien ISK klinis, diduga strain E.coli
ini mempunyai patogenisitas khusus. 30
B. Peran bacterial attachment of mucosa. Penelitian membuktikan bahwa fimbriae
merupakan satu pelengkap patogenesis yang mempunyai kemampuan untuk melekat pada
permukaan mukosa saluran kemih. Pada umumnya P fimbriae akan terikat pada P blood
group antigen yang terdpat pada sel epitel saluran kemih atas dan bawah.

30

C. Peranan faktor virulensi lainnya. Sifat patogenisitas lain dari E.coli berhubungan
dengan toksin. Dikenal beberapa toksin seperti -hemolisin, cytotoxic necrotizing factor1(CNF-1), dan iron reuptake system (aerobactin dan enterobactin). Hampir 95% hemolisin terikat pada kromosom dan berhubungan degan pathogenicity island (PAIS)
dan hanya 5% terikat pada gen plasmio. Virulensi bakteri ditandai dengan kemampuan
untuk mengalami perubahan bergantung pada dari respon faktor luar. Konsep variasi fase
MO ini menunjukan ini menunjukkan peranan beberapa penentu virulensi bervariasi di

antara individu dan lokasi saluran kemih. Oleh karena itu, ketahanan hidup bakteri
berbeda dalam kandung kemih dan ginjal. 30

D. Peranan Faktor Tuan Rumah (host)


i. Faktor Predisposisi Pencetus ISK. Penelitian epidemiologi klinik mendukung
hipotensi peranan status saluran kemih merupakan faktor risiko atau pencetus ISK.
Jadi faktor bakteri dan status saluran kemih pasien mempunyai peranan penting
untuk kolonisasi bakteri pada saluran kemih. Kolonisasi bacteria sering mengalami
kambuh (eksasebasi) bila sudah terdapat kelainan struktur anatomi saluran kemih.
Dilatasi saluran kemih termasuk pelvis ginjal tanpa obstruksi saluran kemih dapat
menyebabkan gangguan proses klirens normal dan sangat peka terhadap infeksi.
Endotoksin (lipid A) dapat menghambat peristaltik ureter. Refluks vesikoureter ini
sifatnya sementara dan hilang sendiri bila mendapat terapi antibiotika. Proses
pembentukan jaringan parenkim ginjal sangat berat bila refluks visikoureter terjadi
sejak anak-anak. Pada usia dewasa muda tidak jarang dijumpai di klinik gagal ginjal
terminal (GGT) tipe kering, artinya tanpa edema dengan/tanpa hipertensi 30

ii. Status Imunologi Pasien (host). Penelitian laboratorium mengungkapkan bahwa


golongan darah dan status sekretor mempunyai konstribusi untuk kepekaan terhadap
ISK. Pada tabel di bawah dapat dilihat beberapa faktor yang dapat meningkatkan
hubungan antara berbagai ISK (ISK rekuren) dan status secretor (sekresi antigen
darah yang larut dalam air dan beberapa kelas immunoglobulin) sudah lama
diketahui. Prevalensi ISK juga meningkat terkait dengan golongan darah AB, B dan
PI (antigen terhadap tipe fimbriae bakteri) dan dengan fenotipe golongan darah
Lewis. Kepekaan terhadap ISK rekuren dari kelompok pasien dengan saluran kemih
normal (ISK tipe sederhana) lebih besar pada kelompok antigen darah nonsekretorik dibandingkan kelompok sekretorik. Penelitian lain melaporkan sekresi
IgA urin meningkat dan diduga mempunyai peranan penting untuk kepekaan
terhadap ISK rekuren. 30

KLASIFIKASI

ISK bawah pada perempuan bisa berupa cystitis dan sindroma uretra akut. Sedangkan pada
laki laki bisa berupa sistitis, prostatitis, epidimidis, uretritis. ISK atas bisa berupa pielonefritis
akut (proses inflamasi parenkim ginjal yang disebabkan infeksi bakteri) dan pielonefritis
kronik (lanjutan dari pielonefritis akut yang berkepanjangan diikuti pembentukan jaringan
ikat parenkim ginjal yang ditandai pielonifritis kronik yang spesifik. Bakteriuria
asimptomatik kronik pada orang dewasa tanpa faktor predisposisi tidak pernah menyebabkan
pembentukan jaringan ikat parenkim ginjal. 30

GEJALA KLINIS
Pada PNA bisanya pasien mengeluhkan panas tinggi (39,5 -40,5 C), disertai menggigil, sakit
pinggang. Pada sistitis terdapat sakit suprapubik, polakisuria, nokturia, disuria, stranguria.
Pada sindroma uretra akut, gejalanya mirip dengan sistitis, namun lebih sering berupa disuria
dan polakisuria. Ada 3 macam pasien dengan SUA: kelompok pertama pasien dengan piuria,
biakan urin dapat diisolasi E coli dengan cfu/ml urin 1000- 100.000. kelompok ini
memberikan respon baik terhadap terapi antibiotik standar seperti ampisilin. Kelompok kedua
pasien leukosituri 10-50/lp dan kultur urin steril. Kultur khusus ditemukan chlamydia
trachomatis atau bakteri anaerobik. Kelompok ketiga pasien tanpa piuria dan biakan urin
steril. ISK rekuren terdiri dari 2 kelompok : pertama, reinfeksi, dengan mikroorganisme
berlainan pada interval >6 mgg setelah episode infeksi. Kelompok kedua berupa relapsing
infection, yakni infeksi yang disebakna oleh mikroorganisme yang sama disebabkan sumber
infeksi tidak mendapat terapi adekuat. 30
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Analisa urin rutin.
Pengambilan dan koleksi urin , suhu dan teknik transportasi sampel urin harus sesuai dengan
protokol yang dianjurkan. Didapatkan hasil berupa
-Leukosuria atau piuria merupakan salah satu petunjuk penting terhadap dugaan adalah ISK.
Dinyatakan positif bila terdapat > 5 leukosit/lapang pandang besar (LPB) sedimen air kemih.
Adanya leukosit silinder pada sediment urin menunjukkan adanya keterlibatan ginjal. Namun
adanya leukosuria tidak selalu menyatakan adanya ISK karena dapat pula dijumpai pada

inflamasi tanpa infeksi. Apabila didapat leukosituri yang bermakna, perlu dilanjutkan dengan
pemeriksaan kultur 30.
-hematuria Dipakai oleh beberapa peneliti sebagai petunjuk adanya ISK, yaitu bila dijumpai
5-10 eritrosit/LPB sedimen urin. Dapat juga disebabkan oleh berbagai keadaan patologis baik
berupa kerusakan glomerulus ataupun oleh sebab lain misalnya urolitiasis, tumor ginjal, atau
nekrosis papilaris30

Baktriologi
- Pemeriksaan mikroskop urin segar tanpa putar serta kultur urin juga dianjurkan untuk
menunjang diagnosa ISK. Dinyatakan positif bila dijumpai 1 bakteri /lapangan pandang
minyak emersi. 30
- biakan bakteri.
Sedangkan renal imaging procedures berupa USG, foto polos abdomen, pielografi IV
dilakukan dengan indikasi : ISK kambuh, ISK Berulang dengan interval <= 6 minggu, pasien
laki laki, gejala urologik (kolik ginjal, piuria, hematuria), hematuria persisten,
mikroorganisme jarang (pseudomonas spp dan proteus spp) 30

- tes kimiawi.
Yang paling sering dipakai ialah tes reduksi griess nitrate. Dasarnya adalah sebagian besar
mikroba kecuali enterokoki, mereduksi nitrat bila dijumpai lebih dari 100.000 - 1.000.000
bakteri. Konversi ini dapat dijumpai dengan perubahan warna pada uji tarik. Sensitivitas
90,7% dan spesifisitas 99,1% untuk mendeteksi Gram-negatif. Hasil palsu terjadi bila pasien
sebelumnya diet rendah nitrat, diuresis banyak, infeksi oleh enterokoki dan asinetobakter. 30
- plat celup.

Lempeng plastik bertangkai dimana kedua sisi permukaannya dilapisi perbenihan padat
khusus dicelupkan ke dalam urin pasien atau dengan digenangi urin. Setelah itu lempeng
dimasukkan kembali ke dalam tabung plastik tempat penyimpanan semula, lalu dilakukan
pengeraman semalaman pada suhu 37 C. Penentuan jumlah kuman/ml dilakukan dengan
membandingkan pola pertumbuhan pada lempeng perbenihan dengan serangkaian gambar
yang memperlihatkan keadaan kepadatan koloni yang sesuai dengan jumlah kuman antara
1000 dan 10.000.000 dalam tiap ml urin yang diperiksa. Cara ini mudah dilakukan, murah
dan cukup akurat. Tetapi jenis kuman dan kepekaannya tidak dapat diketahui. 30

TATA LAKSANA
ISK bawah
Prinsip manajemen ISK bawah meliputin intake cairan banyaj, antibiotika adekuat dan kalau
perlu terapi simptomatik untuk alkalinisasi urin seperti antibiotika tunggal seperti ampisilin 3
gram, trimetropin 200 mg. Dan terapi untuk etiologi dari ISK tersebut. Jika rekurensi terjadi,
lakukan terapi selama 6 bulan. Jika infeksi disebabkan clamydia, berikan tetrasiklin, Untuk
mikroba anaerob berikan golongan kuinolon. 30

ISK atas
Pada aumumnya pasien harus dirawat untuk memelihara status hidrasidan terapi antibiotika
secara iv paling sedikit 48 jam berupa florokuinolon, aminoglikosida dengan atau tanpa
ampisilin. Sefalosporin dengan spektrum luas dengan atau tanpa aminoglikosida. Indikasi
rawat inap pasien ISK atas berupa kegagalan untuk mempertahankan hidrasi normal atau
toleransi terhadap antibiotika oral, pasien sakit berat, terapi oral gagal, faktor predisposisi
ISK berupa tipe berkomplikasi, koorbiditas berupa kehamilan, DM, usia lanjut. 30

PENCEGAHAN

Pencegahan terutama dilakukan pda pasien bakteriuria positif, namun gejala kklinis negatif
agar tidak bergejala klinis dan mengeleminasi bakteri pada urin. Uji saring bakteriuria juga
dilakukan pad apasien perempuan hamil, pasien DM, pasca transplantasi ginjal perempuan
dan laki laki, pada kateterisasi.
-Pada perempuan hamil tanpa gejala ISK :
Biasanya organismenya berupa ureplasma urealyticum dan gardne lla vaginalis
Jika bakteriuria negatif : tidak diperlukan antimikroba, hanya rehidrasi
Jika bakteriuria positif : antimikroba dan rehidrasi.

-pada pasien DM tanpa gejala ISK :


Patogenesis kepekaan terhadap ISK pada pasien DM tidak diketahui secara pasti. Diduga
karena disfungsi saraf otonom dan gangguan leukosit PMN pada DM, DAN bakterial
adhesion yang llebih kuat sehingga memudahkan terjadinya ISK. 30

KOMPLIKASI
Pada ISK sederhana :
ISK akut sederhana yaitu non obstruksi dan bukan perempuan hamil. Jenis ini tidak
menimbulkan akibat lanjut dalam jangka lama.
Pada ISK tipe berkomplikasi :
Isk selama kehamilan baik yang tidak diobati (pielonefritis, bayi prematur, anemia) , maupun
yang terjadi pada trimester III (bayi mengalami retardasi mental, pertumbuhan bayi
terhambat, Cerebral palsy, fetal death).
ISK pada DM :

Komolikasi emphysematous cystitis, pielonefritis yang terkait spesies kandida dan infeksi
gram negativ pada pasien DM. Dari penelitian, dianjurkan memberikan antimiroba pada
pasien asimptomatik sekalipun. 30

DAFTAR PUSTAKA
1 Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, et al. Lupus Eritematosus Sistemik. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, et al, editor. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi kelima. Jakarta:
Interna Publishing, 2009 ; 2565-2579.
2. Bartels CM, Krause RS, Lakdawala VS, et al. Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
2011. [cited 2011 Oct 6]. Available from : http://emedicine.medscape.com/article/332244overview
3. NN. Lupus dan Penatalaksanaannya. 2010. [cited 2011 Oct 14]. Available from :
http://www.research.ui.ac.id/v1/images/stories/lupus/Lupus%20dan
%20penatalaksanaannya.pdf
4. Khanna S, Pal H, Panday RM, Handa R. The Relationship Between Disease Activity and
Quality of Life in Systemic Lupus Erythematosus. 2004 [cited 2012 Jan 4]. Available from :
http://rheumatology.oxfordjournals.org/content/43/12/1536.full
5. NN. How to Score the RAND SF-36 Questionnaire. [cited 2012 Jan 4]. Available From :
http://www.chiro.org/LINKS/OUTCOME/How_to_score_the_SF-36.pdf
6. Ware JE. SF-36 Health survey update. Spine; 2000; Vol.25;No. 24:3130-9.
7. Matulessy, Tirza G. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien Lupus
Eritematosus Sistemik ( LES ) ( Tesis ). Jakarta ( Indonesia ) : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2010.
8. Sutcliffe N, Clarke AE, Levinton C, Frost C, Gordon C, Isenberg DA. Associates of
health status in patients with systemic lupus erythematosus. 2000. [cited 2011 Oct 8].
Available from : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10555890
9. Chaiamnuay S, Lomaratana V, Sumransurp S, et al. Health-related quality of life and
disease severity of SLE patients in Phramongkutklao Hospital. 2009 [ cited 2011 Dec
7 ].Available from : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21280525
10. Joyce K, Berkebile C, Hastings C, Yarboro C, Yocum D. Health status and disease
activity in systemic lupus erythematosus. 1989 [ cited 2011 Dec 7 ]. Available from :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?
Db=pubmed&Cmd=Retrieve&list_uids=2487695&dopt=abstractP
11. Kiani AN, Petri M. Quality-of-life measurements versus disease activity in systemic
lupus

erythematosus.

2010

cited

:http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20586000

2011

Dec

].

Available

from

12. DCruz D, Espinoza G, Cervera R. Systemic lupus erythematosus: pathogenesis, clinical


manifestations, and diagnosis.

2010 [ cited 2011 Dec 7 ]. Available from

:http://www.eular.org/myuploaddata/files/Compendium_sample_chapter.pdf
13. Eisenberg H. SLE-Rituximab in lupus. 2010 [ cited 2011 Dec 29 ]. Available from :
http://www.ncbi.nlm.gov/pmc/articles/PMC165056
14. Silva C, Isenberg DA. Aetiology and pathology of systemic lupus erythematosus. Hospt
Pharm 2001;7:1-7.
15.

Mok CC, Lau CS. Pathogenesis of systemic lupus erythematosus.

J Clin Pathol

2003;56:481-490.
16. Manson JJ, Isenberg DA. The Pathogenesis of systemic lupus erythematosus. J Netherl
Med 2003;61(11):343-346.
17. Zvezdanovic L, Dordevic V, Cosic V, Cvetkovic T, Kundalic S, Stankovic A. The
significance of cytokines in diagnosis of autoimmune diseases.

Jugoslov Med Biohem

2006;25:363-372.
18. Sequeira JF, Keser G, Greenstein B, et al. Systemic lupus erythematosus: sex hormones
in male patients. Lupus 1993;2:31517.
19.

Mok CC, Lau CS. Profile of sex hormones in male patients with systemic lupus

erythematosus. Lupus 2000;9:2527.


20.

McMurry RW, May W (2003) Sex hormones and systemic lupus erythematosus.

Arthritis Rheum 2003;48:2100-10.


21.

Kanda N, Tamaki K.

Estrogen enhances immunoglobulin production by human

peripheral blood mononuclear cells. J Allergy Clin Immunol1999;103:2828.


22. Kanda N, Tsuchida T, Tamaki K. Estrogen enhancement of anti-double-stranded DNA
antibody and immunoglobulin G production in peripheral blood mononuclear cells from
patients with systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum 1999;42:32837.
23. NN. 1997 Update of the 1982 American College of Rheumatology Revised Criteria for
Classification of Systemic Lupus Erythematosus. 1997 [cited 2011 Dec 9]. Available from
:http://www.rheumatology.org/practice/clinical/classification/SLE/1997_update_of_the_1982
_acr_revised_criteria_for_classification_of_sle.pdf 63
24. Zandmann-Goddard G, Levy Y, Shoenfeld Y. Intravenous immunoglobulin therapy and
systemic

lupus

erythematosus.

2005

[cited

2011

Dec

29].

Available

from

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16391397
25. Sahin A. Mycophenolate Mofetil in the Treatment of Systemic Lupus Erythematosus.
2009 [cited 2011 Dec 29]. Available from :http://www.eajm.org/pdf/pdf_EAJM_304.pdf

26. Freire EAM, Souto LM, Chiconelli RM. Assesments Measures in Systemic Lupus
Erythematosus

[cited

2012

Jan

12].

Available

from

http://www.scielo.br/pdf/rbr/v51n1/en_v51n1a06.pdf
27. Estiasari, Riwanti. Disfungsi Kognitif pada penderita Lupus Eritematosus Sistemik
(Tesis). Jakarta ( Indonesia ) : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009.
28. NN. Anxiety And Depression Lower Quality of Life In Majority Of Systemic Lupus.
2009 [cited 2012 July 30]. Available from : http://www.eular.org/
29. Bakta IM, Suega K, Dharmayuda TG. Anemia Defisiensi Besi. In: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simandibarata M, and Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2009.p.1127-36
30. Tessy A, Ardayo, Suwanto. Infeksi salauran kemih dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid 3. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2001. h .369 2. Achmad IA, dkk.
Guidelines

Penatalaksanaan

Jakarta.2007.hal.1

Infeksi

Saluran

Kemih

(ISK)

dan

Genetalia

Pria.

Anda mungkin juga menyukai