Oke, mungkin ada satu atau dua orang yang saat sekolah benar-benar rajin. Tidak pernah
sekali pun menyontek, selalu rajin belajar. Saya juga punya teman seperti itu dulu.
Sekarang jadi apa dia? Entah, hahahaha
Terus terang, saya tidak termasuk yang itu. Sekolah saya ''sukses'' karena 60 persen belajar,
20 persen menyontek, dan 20 persen keberuntungan.
AZRUL ANANDA
Dirut Jawa Pos Koran
Persentase terbesar, tentu harus belajar. Namanya saja sekolah. Waktu kuliah, saya selalu
berusaha tidak bolos. Selalu berusaha bawa buku catatan. Selalu berusaha membaca semua
buku teks.
Walau kadang bolos, kadang minta kertas dan pinjem pulpen dari teman, dan kadang lupa
bawa buku. Dan kadang ketika seharusnya mencatat, saya malah menulis cerita pendek atau
puisi. Wkwkwkwk
Maklum, masa kuliah saya rada nge-punk. Sering celana pendek atau jins bolong-bolong,
rambut diwarna-warni, dan telinga bertindik.
Untung saya punya orang tua yang berani ''melepas'' dan jarang melarang, walau mungkin
sering deg-degan dan mengelus dada.
Untung pula, saya lumayan pintar (atau hoki?) memilih dosen mata pelajaran yang wajib
diikuti.
Ada dosen yang selalu mengizinkan kami membuka buku (open book) saat ujian. Alasannya
sangat-sangat logis: Dalam kehidupan nyata, kita boleh membuka buku!
Toh, untuk bisa mencari jawaban, kita harus pernah membaca bukunya, dan tahu persis di
bab mana harus mencari jawabannya.
Kalau tidak pernah baca bukunya yang tebal-tebal, waktu ujian tidak akan cukup untuk
menemukan jawaban dari semua soal yang disajikan.
Kadang, saya dan teman-teman juga beruntung. Menemukan soal atau jawaban dari ujian
Kalau sudah begitu, jangan terlalu ambil pusing. Mau kita pelototi itu soal ujian sampai
yang segera dihadapi. Mungkin urutan soalnya tidak sama, bahkan diacak. Tapi, itu modal
tujuh hari tujuh malam, jawaban tidak akan ketemu kalau kita memang tidak bisa. Apalagi
yang baik.
kalau cuman punya waktu satu jam. Jadi, ya selesaikan saja apa yang bisa diselesaikan,
setelah itu improvisasi.
Meski demikian, soal apa pun yang kami dapat, tetap harus dibaca dan dipelajari
jawabannya. Just in case urutannya diacak lebih ruwet dari perkiraan.
Kalau soal esai, ya dikarang saja jawabannya selogis kita bisa. Mungkin tidak bisa dapat nilai
Dan kalau sudah begitu, kami punya kesepakatan serius: Jangan sampai dapat nilai
penuh, tapi yang penting ada poinnya. Ini strategiminimizing the damage.
sempurna (100). Cukup maksimal 91 atau 93. Atau bahkan 87 (setara B+) saja cukup. Nanti
Kalau multiple choice, saya lihat saja jawaban di sekeliling soal yang buntu itu. Kalau terlalu
banyak C, maka tidak mungkin C. Kalau sampai soal itu masih jarang B, mungkin
tambahan).
Tujuannya bukan hanya supaya tidak mencolok. Tapi juga memberi kesempatan kepada
Kadang-kadang, kita mungkin merasa tidak percaya diri menghadapi ujian yang jatuh pada
adik-adik kelas, atau teman-teman yang mengambil kelas selanjutnya, untuk mendapatkan
keesokan hari. Mau baca catatan dan buku teks sepuluh kali, mungkin tetap tidak percaya
diri.
Menghadapi ini, ada yang pernah menganjurkan belajar sistem osmosis. Taruh buku teks
Pernah, ada anak dari Hongkong, terus mendapatkan nilai 100. Alhasil, sang dosen
atau catatan di bawah bantal saat tidur, kemudian biarkan jawaban ''meresap'' ke kepala kita
mengubah total ujian-ujian selanjutnya. Membuat kami semua supersebal karena harus
saat tidur.
***
Ternyata, dia malah dapat nilai 57. Usut punya usut, urutan jawaban saya tulis ke kanan,
dalam sepuluh baris ke bawah. Saat ujian, dia membaca urutannya ke bawah
Kadang kita sudah belajar maksimal. Kadang kita sudah berniat mengerjakan tugas dengan
sebaik-baiknya. Dan kadang, kita benar-benar diberi mukjizat oleh Tuhan.
Pernah suatu waktu, saya mengerjakan tugas akhir kelas Business Englishsampai pagi pukul
04.00. Bukan karena rajin kok. Ini karena salah saya sendiri mencoba mengerjakan tugas 30
Tidak lama setelah tugas itu selesai dikerjakan, saya tertidur. Baru bangun pukul 11, padahal
tugas sudah harus dikumpulkan pukul 9 pagi. Dan itu adalah hari terakhir semester!
CATATAN TAMBAHAN PENULIS: Tulisan ini tidak bermaksud mengajari orang untuk
menyontek. Kalau Anda menganggap demikian, tolong baca lagi dari atas. Kalau belum
Masih pakai kaus putih polos dan celana boxer, saya lari keluar apartemen. Ada teman
sesama anak Indonesia saya minta ngebut mengantarkan saya ke kampus.
Sesampai di kampus, suasana begitu sepi. Pintu gedung tempat kelas saya berada dikunci.
Gedung administrasi juga sepi.
Saya coba telepon nomor kampus, ternyata ada pemberitahuan: Karena hujan badai begitu
keras tadi pagi, maka kampus hari itu ditutup dengan alasan keselamatan. Segala tugas dan
kewajiban bisa disusulkan
Terima kasih Tuhan.
***
Saya yakin Anda juga punya cerita seru menghadapi ujian. Bahkan mungkin jauh lebih seru
daripada cerita-cerita saya di atas.
Saya mungkin bukan pelajar paling jujur, tapi saya juga yakin banyak yang lebih parah dari
saya, hehehe... Dan pelajar yang lebih jujur juga belum tentu lebih baik dari saya, hehehe...
Pembagian 60 persen belajar, 20 persen nyontek, dan 20 persen keberuntungan, menurut
saya, termasuk paling balance. Dan paling aplikatif untuk menghadapi kehidupan nyata,
yang jauh lebih penting dan menantang dari dunia sekolah/perkuliahan.
Coba pikirkan:
Seratus persen belajar belum tentu sukses.
Seratus persen menyontek tentu bukan hal yang baik.