Anda di halaman 1dari 13

RESENSI

Darine, baik-baik ya di sana. Cepat pulang nak!


Aku terbangun. Ah, ibu.
Aku lahir dan dibesarkan di tempat yang damai. Setiap jengkal pertumbuhanku tak pernah
sedikit pun aku kehilangan kehangatan dari orang tua, saudara, dan orang-orang yang kusayang.
Aku memang orang yang beruntung. Tak bisa kubayangkan jika aku hidup di tempat yang bahkan
kata damai saja tabu untuk diucapkan. Bagiku hidup di tempat seperti itu hanya memiliki dua
pilihan. Gugur di tangan bangsa sendiri atau gugur di tangan bangsa lain.
Enam bulan yang lalu aku datang ke Palestina dengan tujuan menjadi relawan medis.
Namun ternyata di masa gencatan senjata relawan medis tidak banyak dibutuhkan. Akhirnya
kuputuskan untuk menjadi relawan pengajar. Hari ini aku harus mengajar di kamp pengungsian
Gaza. Tempat dimana anak-anak yang orang tuanya masih berkalut dalam perang yang tak pernah
usai tetap semangat melanjutkan pendidikannya.
Sesampainya di kamp pengungsian Gaza aku terduduk untuk melepas lelah. Sebenarnya
jarak dari asrama ke tempatku mengajar tidak terlalu jauh, namun jika harus berjalan kaki cukup
menguras tenaga. Hah! Aku tidak bisa beristirahat lebih lama lagi. Mereka pasti sudah
menyedekapkan tangan, memasang muka manis, dan tersenyum memperlihatkan deretan giginya
untuk menyambutku pagi ini. Untunglah aku orang yang tepat waktu. Jika tidak, betapa
berdosanya aku membiarkan mereka menunggu sembari melakukan hal-hal yang melelahkan itu.
Assalamualaikum adik-adik, sapaku.
Waalaikumsalam kak Darine, balas mereka dengan sikap yang sudah bisa kutebak.
Bagaimana kabar kalian hari ini? Masih semangat untuk belajar? tanyaku seperti biasa.
Alhamdulillah, kami semangat untuk belajar, jawab mereka kompak.
Hari ini kita akan belajar bahasa Inggris. Ayo keluarkan buku tulis kalian!
Kami belajar di kamp pengungsian Gaza 5 hari dalam seminggu. Sedangkan 2 hari lainnya
adalah hari libur dan hari bermain bersama atau berbagi cerita tentang cita-cita di masa depan.
Meskipun aku hanya mengajari 15 orang anak yang rata-rata baru berumur 6 tahun, tapi aku
merasa seperti mengajar di sebuah kelas besar dan dipenuhi oleh banyak anak. Sepanjang pelajaran
tidak henti-hentinya aku berteriak untuk menenangkan mereka. Meski demikian, aku tidak pernah
kesal dan menganggap hari yang kulalui bersama mereka adalah hari yang membosankan. Di akhir
pelajaran kami selalu menyimpulkan apa yang telah kami pelajari. Hari ini kami belajar tentang
satu kata, peace.
_RESENSI_

Terkadang terdapat suatu kondisi dimana kita dengan sadar mengabaikan batas-batas yang
mengatur kehidupan ini. Ketika celaan datang bertubi-tubi dari orang-orang yang bahkan tidak
mengetahui latar belakang kita maka kekuatan yang mampu membuat kita bertahan sampai detik
ini adalah meyakini bahwa apa yang kita lakukan demi suatu panggilan suci. Hal ini dialami oleh
Michal Raziel, seorang Yahudi berkebangsaan Israel yang mengahabiskan sisa hidupnya untuk
bekerja sebagai relawan pengajar di Palestina, sahabatku. Kami sedang berjalan pulang menuju
asrama ketika kemudian ia memecah suasana.
Darine, sepertinya besok kau akan kedatangan murid baru, kata Raziel, membuyarkan
lamunanku tentangnya.
Benarkah? Siapa namanya?, tanyaku dengan raut muka penasaran.
Namanya Izzedine Khairzan. Dia dari Beirut. Sekarang dia tinggal bersama pamannya di
Gaza.
Di mana orang tuanya?
Orang tuanya sudah meninggal, dibantai ketika mereka sekeluarga tinggal di kamp
pengungsian Sabra dan Shatila. Kakaknya menjadi anggota Hamas dan sampai saat ini tidak
diketahui keberadaannya.
Mengapa dia pindah ke Gaza?
Entahlah, mungkin sang paman mendapatkan pekerjaan baru di Gaza dan dia membawa
pergi keluarganya dan Izzedine dari Beirut.
Wah, aku jadi tidak sabar menunggu esok. Anak-anak yang lain pasti senang memiliki
teman baru.
Oh iya, ada yang harus kau ingat, Izzedine menjadi bisu karena trauma pembantaian itu
merusak sistem lingual di otaknya.
Lalu?
Jangan khawatir Darine, mungkin dia akan menjadi satu-satunya muridmu yang
pendiam.
Ya, jawabku singkat.
_RESENSI_

Malam ini begitu hening. Hanya sesekali terdengar suara truk barang yang lewat di dekat
asrama untuk mengantarkan bahan makanan dan obat-obatan ke barak pengungsian. Alarm
handphone yang membangunkanku setiap malam untuk melaksanakan shalat tahajjud kalah fungsi
dibandingkan suara truk-truk tersebut. Sebenarnya bukan suara truk maupun alarm, tetapi karena
aku telah meniatkan untuk bangun malam ini. Aku mencoba khusuk.
Ya Allah, panjangkanlah malam-malam yang penuh kedamaian ini bagi rakyat Palestina.
Tegarkanlah hati mereka menghadapi segala cobaan dari-Mu karena apa yang telah Engkau
gariskan dalam Alquran dan hadist tidak bisa mereka hindari. Aku yakin Engkau telah
menyiapkan tempat yang indah di sisi-Mu bagi mereka yang senantiasa bersabar. Amin.
Ku tutup doaku dan ku usapkan kedua tangan pada wajahku. Meski baru 6 bulan aku
tinggal di sini, aku merasa sudah seutuhnya menjadi rakyat Palestina. Entah mengapa aku turut
merasakan kegetiran hati para orang tua yang melihat tumbuh kembang anak-anak mereka di
tempat penuh tekanan batin ini, kemarahan para pengunjuk rasa yang teriakan hatinya tidak cukup
memekakkan telinga pemerintah Israel, dan ketakutan masyarakat Palestina terhadap teror yang
menghantui aktivitas mereka setiap hari. Kedewasaan dan kepekaanku merasakan setiap peristiwa
yang terjadi semakin bertambah semenjak aku tinggal di sini. Namun apa yang aku rasa mungkin
tidak sedalam apa yang rakyat Palestina rasakan. Aku tidak pernah melihat dan mengalami
peristiwa pembantaian, pengeboman, serta embargo bahan-bahan pokok secara langsung. Aku
menganggap diriku paling tahu dan paling prihatin terhadap kondisi rakyat Palestina padahal
pengetahuanku tentang Palestina tidak lebih dari pemberitaan di media, itulah yang ayah katakan
padaku ketika aku menyampaikan keinginanku untuk pergi ke Palestina.
Handphoneku berdering. Ada panggilan masuk. Ibu.
Darine, sehat nak di sana? Sudah sarapan?
Pelan-pelan bu. Darine disini sehat kok, ibu tenang aja. Ibu lupa ya, disini masih jam 2
dini hari lho bu, Darine gak sarapan jam segini.
Yak ampun, kok ibu lupa terus yo nak, pokoke kamu jangan telat makan yo, ibu ingat lho
berat badanmu pas kamu ninggalin Jogja, kalau sampek turun awas yo.
Ya bu. Di sini berat Darine malah nambah lho bu, Darine gak pernah telat makan, wong
makanannya enak-enak kayak bikinan Ibu.
Ah, beneran? Jangan bohong!
Mboten Nyai!
Percakapan pun berlanjut dengan penuh candaan. Ibu sangat dekat denganku.. Aku adalah
anak bungsu dari 5 bersaudara. Semua kakakku laki-laki dan berprofesi sebagai tentara. Ibuku
adalah ibu rumah tangga dan ayah adalah mantan tentara. Dia seorang perokok berat dan penikmat
setia kopi. Sebelum pergi ke Palestina aku mengetahui bahwa ayah mengidap emfisema paru-paru.
Aku lupa menanyakan kabarnya.
Ibu, ayah mana? Darine pengen ngomong, kangen.
Bapakmu sedang tidur nak, lain kali yo.
Oh.
Sudah dulu yo Darine. Jangan lupa shalat lima waktu.
Ya bu.
Seperti biasa, ayah tidak mau berbicara denganku. Mungkin waktu 6 bulan tidak cukup
untuk meredakan kemarahannya terhadapku. Aku harus lebih bersabar. Entah energi apa yang
membuat mulut ayah sulit membuka untuk mengeluarkan kata-kata sayangnya kepadaku. Namun
aku yakin ayah merindukanku dan sangat ingin mendengarkan suaraku meski hanya lewat
handphone. Kasih sayangnya padaku tidak akan pernah berubah. Itulah ayahku.
_RESENSI_
Raziel benar. Aku mendapatkan seorang murid baru. Dia datang lebih pagi dariku dan
langsung mengambil tempat duduk paling belakang. Anak-anak yang lain memperhatikannya
dengan heran. Bahkan, mereka tidak memperhatikan kedatanganku dan melewatkan sapaan manis
mereka untukku. Izzedine telah mencuri perhatian.
Assalamualaikum adik-adik, sapaku. Ternyata hanya beberapa anak yang menjawab.
Kuulangi salamku.
Assalamualaikum adik-adik, sapaku dengan nada meninggi.
Waalaikumsalam kak Darine, balas mereka serempak.
Hari ini kita dapat teman baru. Namanya Izzedine Khairzan. Dia berasal dari Beirut. Ayo
kita sapa Izzedine! Hai Izzedine!
Hai Izzedine!, dengan tampang manis mereka menyapa Izzedine.
Izzedine terdiam tanpa ekspresi. Aku dan yang lain mematung. Suasana menjadi hening.
Ayo kita bermain bola di lapangan!, sorakku memecah keheningan.
Jadwal hari ini adalah bermain bersama. Aku memutuskan untuk membawa mereka ke
lapangan yang terletak di sebelah timur kamp pengungsian. Kami pun larut dalam permainan yang
penuh kegembiraan. Suasana kocak mewarnai pertandingan kecil-kecilan kami. Kadang ada yang
lupa dimana gawangnya dan bahkan siapa teman satu timnya. Wafa Idris, seorang anak perempuan
yang pemberani ketika di kelas, tetapi ternyata penakut ketika bermain di lapangan. Sebagai
seorang kiper tidak seharusnya ia berlari ketika anak-anak yang lain menggiring bola ke arahnya.
Ulah Wafa membuatku tertawa.
Lebih dari setahun Israel dan Palestina mengadakan gencatan senjata. Lebih dari setahun
pula anak-anak di Palestina bisa bermain di halaman rumah mereka tanpa harus bersembunyi
ketakutan ketika mendengar suara pesawat yang lewat di atas langit rumah mereka atau suara tank-
tank besar Israel yang melindas jalanan berdebu di dekat kamp pengungsian mereka. Aku jadi
teringat masa kecilku. Pesawat dan tank adalah benda yang langka di mataku. Aku sangat
menantikan kedatangan mereka di dekat rumahku. Ironisnya, hal itu sangat kontras dengan apa
yang dialami oleh anak-anak Palestina. Mereka benci pesawat dan tank. Malahan permainan yang
menyenangkan buat mereka adalah bermain lempar-lemparan batu. Sasarannya tentu saja tentara
Israel. Tidak ada hadiah bagi lemparan yang tepat sasaran. Membuat teman yang lain tertawa
karena lemparannya menyebabkan tentara Israel mengaduh kesakitan memberikan kebanggaan
tersendiri bagi mereka. Mereka tidak merasa takut jika suatu saat lemparan itu dibalas dengan
tembakan senapan yang menyakitkan. Itulah harga paling mahal yang harus dibayar seorang anak
kecil hanya untuk tertawa sebentar saja. Setidaknya cukup di tempat ini.
Aku melihat Izzedine tidak bermain seperti halnya anak yang lain. Dia hanya duduk di
pinggir lapangan dengan wajah memandang ke langit. Aku pun mendongak dan mengamati apa
yang terjadi. Tidak ada apa-apa. Apa yang ada di pikiran anak sekecil ini? Mungkinkah ia berpikir
bahwa orang tuanya melihatnya dari sana? Aku pun mendekatinya. Ternyata Izzedine merasakan
kedatanganku dan tanpa menoleh ia menundukkan kepalanya.
Hai!, kusapa Izzedine dengan ramah. Ia tidak bergeming.
Izzedine, main dengan anak-anak yang lain yuk. Mereka ingin bermain dengan Izzedine
lho. Izzedine tetap menunduk. Sedikit pun ia tidak berniat mendongakkan kepalanya atau
membalas ucapanku.
Baiklah, kakak mengerti Izzedine gak ingin main. Eh, Izzedine suka pesawat ya? Kok
kakak perhatiin Izzedine lihat ke langit terus. Aku mengharapkan jawaban darinya. Tidak perlu
bicara, ia cukup menganggukkan atau menggelengkan kepalanya. Tetapi ia tetap diam.
Ya sudah, Izzedine gak usah jawab, pasti bener deh Izzedine suka pesawat. Izzedine
lantas pergi meninggalkanku. Sambil menunduk ia kembali ke ruangan tempat kami belajar. Suka
atau tidak ia dengan pesawat aku tak tahu pasti. Namun ada satu hal yang pasti. Trauma telah
mengubah Izzedine.
Sikap Izzedine yang pendiam dan tidak pernah merespon ketika diajak berbicara tidak
lantas membuat teman-temannya menyerah untuk mendekatinya. Aku bersyukur mereka justru
tidak mengucilkan Izzedine. Belakangan aku menyadari ternyata Izzedine adalah seorang anak
yang rajin dan cerdas. Ia selalu memperhatikan pelajaran dan dengan sigap mengerjakan setiap
tugas yang aku berikan. Tidak cukup banyak yang aku tahu tentangnya meski sudah beberapa
minggu aku mengenalnya. Yang aku tahu ia sangat suka kanguru. Aku sering memergokinya
menggambar kanguru ketika ia telah menyelesaikan soal yang aku berikan lebih cepat dari yang
lain.
_RESENSI_

Terdengar suara tembakan meriam menggema di langit Gaza malam ini. Aku terbangun
dan melihat dari jendela kamarku di lantai 3. Asap telah mengepul di kejauhan. Ledakan itu tidak
berhenti sampai di situ. Kemudian terdengar rentetan ledakan yang lebih hebat di tempat yang
berbeda. Api pun berkobar. Langit Gaza yang indah kini memerah dan berasap. Perlahan terdengar
suara sirine ambulans dan mobil polisi mendekat menuju lokasi ledakan yang jaraknya hanya 5 km
dari asramaku. Tangisan bayi dan anak kecil pun mulai menyeruak. Ada apa ini? Apa masa
gencatan senjata sudah berakhir? Aku takut bukan main. Aku teringat seseorang, Raziel. Ketika
kubuka pintu kamarnya, dia sedang berlari lalu terduduk di lantai sambil memeluk Alkitabnya.
Israel! Mereka mencari PLO!, desahnya sambil ketakutan.
_RESENSI_

Tidak seperti biasanya, pagi ini jalanan di sekitar kamp pengungsian sangat sepi. Tak
banyak warga yang melakukan aktivitas di luar rumah. Mungkin mereka memilih tetap tinggal di
kamp pengungsian selama belum ada kejelasan tentang peristiwa semalam. Hari ini aku berangkat
sendirian karena Raziel tidak pergi mengajar. Dia ingin berbaring di ranjangnya seharian. Aku mau
saja menerima ajakannya untuk tetap berdiam di asrama jika hari ini libur. Tapi aku harus tetap
mengajar. Walau pun aku yakin para orang tua tidak akan membiarkan anak-anaknya pergi dari
rumah, aku khawatir masih ada beberapa anak yang menungguku di kelas dan tidak ingin
melewatkan pelajaranku hari ini.
Assalamualaikum adik-adik.
Sepi. Tidak ada jawaban. Hanya ada satu orang tengah duduk di bangku paling belakang.
Izzedine.
_RESENSI_

Menurut media massa setempat serangan Israel tadi malam dianggap sebagai suatu bentuk
pelanggaran terhadap perjanjian gencatan senjata antara Israel dan Palestina. Israel dengan sengaja
telah meluncurkan beberapa kali tembakan meriam dan meledakkan sebuah rumah demi melacak
keberadaan anggota PLO (Organisasi Pembebasan Palestina). Serangan acak tersebut telah
menewaskan beberapa orang, termasuk anak kecil dan wanita. Diperkirakan akan muncul
demonstrasi besar-besaran dari rakyat Palestina menuntut agar pemerintah melakukan perundingan
dengan DK PBB untuk menghukum aksi pelanggaran Israel.
Sepertinya suasana makin tidak kondusif. Setelah menyimak berita di televisi aku pergi ke
kamar Raziel. Aku khawatir kondisinya semakin memburuk.
Raziel, kataku sambil mengetuk pintu.
Ya, masuk saja Darine!
Ternyata Raziel sedang mengemas pakaiannya ke dalam sebuah koper. Dia terlihat lebih
sehat. Namun, dia agak gugup dan terburu-buru.
Kau mau ke mana?
Aku harus pulang ke Israel Darine, di sini tidak aman lagi bagiku.
Kau pikir di sini aman bagiku? Semua orang juga merasa bahwa kondisi di sini semakin
tidak aman bagi mereka, tidak hanya kau Raziel!
Maaf Darine, aku harus tetap pergi.
Lalu, siapa yang akan mengajari anak-anak itu jika kau pergi?
Tidak akan ada anak-anak yang bersekolah selama kondisi belum aman. Darine, jaga
dirimu baik-baik. Kalau perlu cepatlah pulang ke Indonesia sebelum semua bandara di Palestina
ditutup dan semua saluran komunikasi diputus.
Raziel mendekat dan memelukku. Maaf Darine, aku tak bisa menemanimu. Tapi harus
kau tahu, aku sangat senang memiliki sahabat sepertimu.
Dia melepaskan pelukannya dariku. Kemudian menjinjing kopernya keluar dari kamar.
Ketika dia hendak pergi tiba-tiba tanganku refleks memegang pergelangan tangannya dan apa yang
aku katakan sungguh tidak aku sangka.
Dari mana kau tahu?
Apa?
Serangan tadi malam untuk melacak keberadaan PLO.
Kami terdiam. Sorot mata kami bertemu.
Kau tidak sedang mencurigaiku kan Darine? Aku tahu, aku adalah seorang Israel. Apa
tujuanku berada di sini kalau bukan sebagai mata-mata untuk negaraku? Begitu maksudmu
Darine?
Maaf!
Selamat tinggal Darine, dia tersenyum kepadaku yang sedang mematung menyesali apa
yang baru saja keluar dari mulutku. Mestinya kutarik saja lidahku sebelum sempat kukatakan
sesuatu yang menyinggung perasaannya. Aku menyesal Raziel. Maaf.
Tiba-tiba handphoneku berdering.
Darine, ibu barusan lihat berita di televisi. Kamu gak kenapa-kenapa kan nak?
Darine baik-baik aja kok bu.
Lain kali kalo ada serangan kayak gitu jangan lupa kabari ibu yo Darine. Ibu di Jogja
khawatir nak.
Ya bu. Ibu tenang aja. Darine udah besar bu, insyaAllah Darine bisa jaga diri.
Ya sudah. Oh iyo, sekarang ayahmu sedang dirawat di Rumah Sakit nak.
Penyakit ayah kambuh lagi bu?
Iyo Darine. Tapi Darine gak usah khawatir, pokoknya doakan aja.
Ya bu.
_RESENSI_

Masa gencatan senjata selama lebih dari setahun ternyata cepat berlalu. Tidak kenal
waktu. Entah pagi, siang, atau malam tembakan meriam tidak pernah absen dari telingaku. Kini,
puluhan kompi tentara Israel telah diterjunkan untuk menjaga setiap sudut kota Gaza, termasuk di
kamp pengungsian Gaza. Tempatku mengajar.
Izzzedine, kau bisa libur jika kau mau. Pamanmu pasti khawatir jika kau selalu pergi ke
sekolah saat kondisi belum aman. Tapi jika kau tidak mau libur, kakak juga tidak akan libur.
Izzedine hanya diam. Aku mengamati wajah lugunya yang sedang tertunduk. Apa dia
tidak merasa takut? Aku pun mulai bercerita banyak hal padanya meski ia sama sekali tidak berniat
merespon ceritaku. Aku mencoba menguatkan hatinya meskipun aku tahu dia lebih kuat dari
kelihatannya.
_RESENSI_

Aksi demonstrasi menuntut penghentian serangan oleh Israel selalu berakhir ricuh.
Fasilitas dan pertokoan milik warga menjadi sasaran kemarahan para pengunjuk rasa. Mereka
menginjak-injak bendera Israel dan Amerika lalu membakarnya. Tentara Israel pun merasa terhina
dan bentrokan antara kedua kubu tidak bisa dihindari.
Aku mulai merasakan hidup terseok di tempat ini. Setiap toko dan supermarket yang
kukunjungi terbengkalai tiada bertuan. Pemiliknya memilih mengungsi ke tempat yang lebih aman
ketimbang bertahan dengan penuh resiko. Untuk bertahan hidup aku pergi membeli kebutuhan ke
tempat yang letaknya belasan kilometer dari asramaku. Selain itu, saluran komunikasi juga tidak
bisa berfungsi dengan normal. Aku bingung harus bagaimana lagi memberi kabar pada keluarga di
Jogja dan menanyakan kondisi ayah yang sedang sakit. Aku tidak bisa pulang karena semua
bandara di Palestina telah ditutup demi menghindari aksi pembajakan dan pengeboman pesawat.
Aku ingin pulang untuk menjenguk ayah, tapi masih ada yang mengganjal kepulanganku yaitu
tugasku sebagai relawan dan Izzedine.
Namun tiba-tiba Izzedine menghilang. Sudah seminggu dia tidak masuk sekolah dan tidak
memberi tahu alasannya padaku. Aku tidak menyerah. Aku terus mencarinya meski pencarian
alamat rumah pamannya pun berakhir sia-sia. Aku hanya terduduk menatap bangku-bangku kosong
yang ditinggal penghuninya. Mungkin dia menuruti perkataanku untuk libur. Entah kusebut diriku
menyerah atau apalah, akhirnya aku berhenti mencari dan kuputuskan untuk kembali ke tujuan
awalku datang ke Palestina, menjadi relawan medis. Aku pun ditempatkan di Rumah Sakit Bulan
Sabit Merah.
Tempat kerjaku yang baru cukup jauh letaknya dari asrama yang selama ini aku tinggali.
Jarak yang cukup jauh ini tentunya dapat mengurangi efisiensiku dalam bekerja. Aku akan
terlambat sampai di rumah sakit saat banyak pasien berbaring lemah di ranjang IGD menunggu
pelayanan kesehatan dari tenaga medis. Selain itu, aku juga membutuhkan banyak biaya untuk
pergi ke rumah sakit, padahal uang yang aku bawa mulai menipis dan aku sudah semaksimal
mungkin memprioritaskan segala kebutuhanku. Tidak lucu rasanya jika hanya untuk biaya
transportasi aku harus mengorbankan biaya bertahan hidup. Detail pertimbangan aku pikirkan
matang-matang dan akhirnya ku putuskan untuk mencari tempat tinggal yang baru, tepatnya di
dekat Rumah Sakit Bulan Sabit Merah.
_RESENSI_

Ruangan ini menjadi saksi kisah singkatku di Palestina. Aku pandangi sejenak sudut-sudut
kamar yang temboknya hampir coklat tak terawat. Ranjang lusuh yang menjadi tempat
bersemayam mimpi-mimpi indahku. Lantai tak berporselen tempatku terduduk di atas sajadah
bercengkrama dengan Sang Khalik. Meja dan kursi dari kayu yang sudah lapuk tempatku membaca
novel dan tulisan murid-muridku. Semuanya tak dapat terlupakan olehku meski aku memiliki yang
lebih baik dari ini di Jogja. Kutarik gagang pintu kamarku dan kuucapkan Assalamualaikum.
Tiba-tiba terlintas di benakku seorang Raziel. Dia pergi membawa luka hati karena
kecurigaanku yang tidak beralasan. Aku ingin meminta maaf padanya namun dia tidak bisa
kuhubungi lagi. Kami benar-benar hilang komunikasi.
Aku menyempatkan pergi ke kamar Raziel. Kulihat isi kamarnya yang tidak berubah
semenjak ia tinggalkan. Masih ada seperangkat komputer tua yang teronggok di sudut kamarnya.
Raziel sengaja meninggalkannya. Keluarga Raziel memiliki toko elektronik yang cukup maju di
Jalan King George, Israel. Dia sering menyombongkan diri bahwa komputer yang ada di kamarnya
itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang dia punya di tokonya. Dasar Raziel, tapi di
mataku dia tetap rendah hati.
Setelah puas melepaskan kerinduan pada Raziel meski hanya memandang sisa-sisa isi
kamarnya aku pun beranjak pergi. Tatkala melangkahkan kaki keluar kamar, hatiku tersentil untuk
sejenak melihat-lihat isi komputernya. Siapa tahu ada foto Raziel yang bisa aku simpan sebagai
kenang-kenangan, atau kalau aku beruntung mungkin ada nomor telepon toko elektronik milik
Raziel yang bisa kuhubungi. Aku pun membuka lokasi file dan ternyata tidak ada yang tersisa
kecuali foto-foto hasil rekaman CCTV. Tunggu dulu! Foto apa ini?
Aku langsung mengirimkan foto-foto tersebut pada handphoneku dan bergegas pergi. Aku
harus menemui Raziel dan meminta penjelasan darinya. Satu-satunya jalur menuju Jalan King
George adalah melewati perbatasan Ramallah.
_RESENSI_

Assalamualaikum, seorang pria yang tidak kukenal menyapaku.


Waalaikumsalam, balasku. Ada perlu apa?
Bisa minta tolong? Tolong bawakan koper obat-obatan ini hingga ke perbatasan sisi
Israel. Saya membawa banyak koper dan saya lihat anda hanya membawa tas kecil. Tetapi jika
anda keberatan tidak masalah.
Oh tidak, saya tidak keberatan.
Terimakasih. Oh iya, saya Mahmoud.
Darine.
Darine, tolong hati-hati ya membawanya. Isi koper itu sangat penting.
Ya.
Setelah tiba di Israel, aku mengembalikan koper berisi obat-obatan itu pada Mahmoud.
Kami pun berpisah. Aku melanjutkan perjalanan dengan taksi. Setibanya di Jalan King George, aku
berjalan kaki menuju ke sebuah toko elektronik yang cukup besar.
Permisi, bisa bertemu dengan Raziel?, tanyaku pada pria penjaga toko.
Siapa?
Darine.
Raziel keluar dari dalam toko. Tampaknya dia tidak terkejut pada kedatanganku. Tanpa
bicara dia menarik tanganku menjauh dari tempat itu. Kami berhenti di sebuah restaurant. Lalu dia
memelukku. Pelukan yang hambar, beda rasanya seperti waktu itu.
Apa kabar Darine?
Ba baik Raziel.
Tidak mungkin kau jauh-jauh datang kemari hanya untuk melepas rindu denganku. Pasti
ada yang ingin kau sampaikan, iya kan?
Ya.
Apa kau tahu sesuatu? Tentangku?
Maksudmu?
Raziel membisu.
Raziel, maaf aku lancang membuka file pribadimu. Aku hanya ingin meminta penjelasan
darimu tentang foto ini. Ini bukannya
Ya, itu adalah lokasi serangan Israel yang pertama sejak gencatan senjata.
Bisakah kau jelaskan? Kenapa foto ini ada padamu?
Karena aku yang mengintai.
Mengintai apa?
Apa lagi? PLO
Aku tersentak. Tubuhku melemas. Kecurigaanku padanya ternyata benar.
Aku ingat, malam itu ada beberapa kali tembakan meriam, tapi tidak menyebabkan
kebakaran, hanya kepulan asap. Mungkin Israel tidak berniat mengarahkannya ke lokasi itu..
Mereka hanya mengalihkan perhatian. Tetapi selanjutnya muncul ledakan besar yang menyebabkan
kebakaran. Aku tidak melihat satu pun pesawat yang menjatuhkan bom itu dari langit. Bom sudah
terpasang di tempat itu sejak awal kan? Iya kan? Lalu saat aku masuk ke kamarmu, kau sedang
berlari dan terduduk di lantai. Kau tidak berlari dari ranjangmu, tapi dari tempat itu, meja
komputermu.
Benar Darine, Raziel memegang lenganku. Air matanya mulai menggenang. Semua
yang kau katakan benar. Ternyata aku tidak lihai menyembunyikannya darimu, katanya sambil
berusaha tertawa meski air mata mengalir di pipinya.
Raziel, kau?
Ya, aku yang meledakkan tempat itu dari jauh.
Kulepaskan tangannya yang bergelayut di lenganku. Aku tidak sanggup berdiri. Benarkah
yang aku dengar? Namun sebisa mungkin aku tegar.
Kenapa Raziel?
Dua tahun lalu ayahku tertembak dan orang-orang itu berebutan mengakui aksi
penembakan terhadap ayahku adalah tanggung jawab mereka. Mereka bangga melakukannya dan
pamer di televisi. Ke mana hati mereka? Tidakkah ada rasa kasihan sedikit saja kepadaku? Aku
benci mereka.
Lalu, lihat! Apa yang kau ledakkan? Apa itu mereka? Ya, mereka anak-anak, dan
mungkin di antaranya adalah muridmu.
Tidak, aku meledakkan seorang anggota PLO. Dia yang ada di televisi.
Tapi kau mengorbankan yang lain, yang tidak bersalah, yang tidak terlibat atas
penembakan ayahmu. Kau kenapa? Kau berubah Raziel.
Aku tidak berubah Darine. Bahkan sebelum aku kenal denganmu misi ini telah aku
jalankan bersama Israel. Seperti inilah aku, sahabatmu.
Kau bukan lagi sahabatku, aku berkata lirih. Siapa kau? Kau bukan Raziel. Kebencian
telah menutup hati dan akal sehatmu. Lihat sekarang! Lalu apa bedanya kau dengan mereka yang
menembak ayahmu? Aku kira kau berbeda, ternyata sama saja.
Aku langkahkan kaki meninggalkannya meski tubuhku terasa berat. Aku tak tahu beban
apa yang bertaut di kepalaku. Semua berputar di hadapanku. Sayup kudengar Raziel memanggilku.
Darine, maafkan aku!
Aku pergi dengan tidak menoleh lagi ke arahnya. Aku terus menangis. Aku
membayangkan masa-masa yang kulalui bersama Raziel. Senyum dan kehangatannya padaku,
keikhlasan dan semangatnya ketika mengajari murid-muridnya, lalu apa semua itu? Apakah hanya
kedok?
Duarrrrrr!
Suara ledakan yang sangat keras hampir membuat tuli telingaku. Orang-orang pun
berebutan melintasi pos perbatasan. Untungnya, aku berjalan lebih cepat dari mereka. Pikiranku
yang kalut memacuku berjalan sangat cepat meski tubuh seakan terhempas bom berkekuatan seribu
Newton. Raziel, dialah bom yang menghempaskanku.
Raziel!, aku tersentak.
Raziel mungkin masih menangis di restaurant itu. Aku berbalik arah dan berlari menuju
pos perbatasan yang sedang kacau. Pagar pembatas telah ditutup, tidak ada yang boleh lewat. Aku
berusaha menerobos kerumunan. Aku ingin memastikan Raziel baik-baik saja. Kami terus
berdesakan memaksa tentara Israel membuka pagar pembatas. Tiba-tiba dia mengacungkan
senapannya ke langit dan menembakkannya. Duarrrrrr! Kami terdiam.
Jangan ada yang lewat jika tidak ingin aku tembak. Kami telah kecolongan. Ini bom
bunuh diri! katanya dengan bengis.
_RESENSI_

Aku melanjutkan tugasku di Rumah Sakit Bulan Sabit Merah. Belum ada pemberitaan
tentang kejadian kemarin, belum juga aku mendapatkan kabar tentang kondisi Raziel, serta
keberadaan Izzedine. Kepalaku pening. Handphoneku berdering.
Darine, ayahmu tut tut tut, sinyal terputus. Sial! Kupukul-pukul handphone
yang miskin sinyal ini. Aku coba menghubungi ibu, namun sia-sia. Aku harap ibu menelpon balik
ke nomor telepon rumah sakit yang pernah aku beri.
Darine, ada panggilan untukmu, seorang perawat memanggilku.
Ya, sahutku pada perawat itu. Ibu, ada apa?
Darine, ayahmu, ayahmu meninggal nak.
Duarrrrrr!
Tut tut tut, telepon terputus.
Ayah, ayah meninggal? Aku terduduk di lantai rumah sakit. Apa aku ini? Ke mana aku di
saat ayah meregang nyawa? Ayah, maafkan Darine. Aku bangkit dan mencoba menghubungi ibu
berulang kali. Nihil. Aku harus pulang. Aku tidak tidak ingin melewatkan pemakaman ayah. Aku
ingin pergi meninggalkan rumah sakit dan mengambil barang-barangku di asrama lalu pergi dari
Palestina, entah dengan apa, aku sudah cukup lelah mengorbankan semuanya. Aku lelah.
Darine, mau ke mana?, seorang perawat menarik lenganku. Kita harus pergi ke
Ramallah. Israel telah meledakkan tempat itu.
Aku tidak bisa berbuat banyak. Lagi-lagi aku hanya bisa menangis. Sirine ambulans yang
membawaku ke Ramallah bagaikan diputar dengan mode hening. Mataku terus berair dan aku tidak
bisa menahannya. Aku menatap hampa teman-teman yang terus menguatkanku.
_RESENSI_

Ramallah telah hancur. Mayat-mayat berserakan bersama puing-puing bangunan. Orang-


orang menangis melihat kondisi keluarga mereka. Tangisku terhenti. Aku tertegun. Baru kali ini
aku mengalami peristiwa yang menurutku telah merobek batas nurani manusia. Sampai kapan
mereka akan puas? Sampai semuanya hancur tidak bersisa?
Aku mulai melakukan tugasku menyelamatkan orang-orang yang lolos dari maut dan
membawanya ke rumah sakit dengan ambulans. Sebenarnya aku tidak tega melihat mereka, hidup
dengan bagian tubuh yang tidak lagi lengkap. Darah bercucuran tiada henti. Teriakan dan tangisan
bagaikan irama yang sahut-menyahut membentuk nada yang mengiris hati, sungguh miris.
Ketika aku sedang melakukan tugasku di Rumah Sakit Bulan Sabit Merah, tiba-tiba
televisi lokal menyiarkan sebuah video pengakuan dari seorang pelaku bom bunuh diri.
Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Hidup Palestina! Alhamdulillah, saya telah
berhasil menjalankan misi. Saatnya saya bergabung dengan mereka yang telah gugur lebih dahulu,
di sisi Allah. Hidup Palestina!
Sementara pekerjaanku terhenti. Aku menyaksikan siaran berita tentang pelaku bom
bunuh diri itu. Dia meledakkan dirinya di sebuah restaurant di Jalan King George, serta
menyebabkan 15 orang tewas dan ratusan orang luka serius. Dia bernama Mahmoud Khairzan.
Mahmoud? Khairzan? Izzedine, Izzedine Khairzan?
Tolong selamatkan seorang anak di perbatasan Ramallah. Dia bersikeras untuk
menyeberang ke Israel meski tentara Israel mengacungkan senapan ke arahnya. Tiba-tiba, suara
lantang seorang pria mengagetkanku. Dia bisu!
Izzedine! Entah mengapa aku merasa bahwa anak yang dimaksud pria itu adalah Izzedine.
Aku berlari ke arah ambulans dan menyuruh sang sopir untuk mengantarkanku ke perbatasan
Ramallah. Kuharap Izzedine baik-baik saja hingga aku tiba.
Setibanya disana aku melihat Izzedine. Benar, itu Izzedine, dia tengah berdiri mematung.
Tentara Israel mengacungkan senapan ke kepalanya. Orang-orang berkerumun, namun tidak ada
yang berani mencegah aksi brutal tentara itu. Tanpa pikir panjang aku berlari ke arah Izzedine dan
melindunginya. Aku memeluknya. Tidak kubiarkan tentara itu menyakitinya sedikit pun.
Minggir!, sentaknya.
Turunkan senjatamu! Aku akan membawa anak ini menjauh.
Hai nona, ia telah melempariku dengan batu hingga kepalaku berdarah. Jadi, lepaskan
dia!
Kau menyuruhku melepaskannya agar kau bisa menembaknya. Apa yang kau harapkan?
Dia hanya anak kecil.
Aku tidak ingin melukaimu nona, tolong minggir! Tentara itu membentakku.
Tidak!
Dia menembakkan senapannya ke udara. Duarrrrrr!
Minggir atau kau yang akan kutembak.
Dulu, aku pernah berpikir bahwa hidup di tempat seperti Palestina hanya memiliki dua
pilihan. Gugur di tangan bangsa sendiri atau gugur di tangan bangsa lain. Tak apa jika aku harus
gugur di tangan mereka meski sebenarnya aku ingin gugur tidak di tangan mana pun, aku ingin
gugur dengan damai, jika pilihan itu ada .
Tembaklah aku!
Tangannya mulai menarik pelatuk senapan. Aku terpejam sambil tetap memeluk Izzedine.
Namun tiba-tiba Izzedine berlari melepaskan pelukanku. Duarrrrrr!
Aku membuka mata. Hal yang tidak ingin aku lakukan karena aku akan tahu kalau tidak
aku maka Izzedine yang tertembak. Kubuka mata perlahan. Siapa itu? Siapa yang tersungkur
penuh darah di dekatku? Ternyata, bukan aku!
Tidak, Izzedine! Bertahan, bertahan Izzedine!
Dia mencoba bicara, hal yang dari dulu aku nanti-nanti darinya. Tapi kuharap itu bukan
kata-kata terakhir yang ia ucapkan. Kak Darine, aku ingin ke Australia, naik pesawat dengan
kakak, ayah, dan ibu. Kak Darine, terimakasih. Matanya perlahan menutup.
Izzedine!
Hening. Semua orang terdiam. Tentara itu pun menjatuhkan senjatanya.
_RESENSI_

Aku kembali ke Indonesia bersama para WNI yang dievakuasi oleh pemerintah. Setibanya
di Jogja aku disambut haru oleh keluarga yang masih berkabung atas kematian ayah. Semua
kisahku selama di Palestina tidak cukup untuk aku ceritakan meski harus lewat buku yang tebalnya
hingga ratusan halaman. Resensi, mungkin bukan judul yang tepat. Karena kisahku tidak dapat
terwakili oleh kata apa pun.

Anda mungkin juga menyukai