BAB I
PENDAHULUAN
Arah kebijaksanaan dalam bidang kesehatan yang diamanatkan dalam
ketetapan MPRRI NO.IV/MPR/1999 tentang GBHN 1999/2004 salah satunya
adalah
meningkatkan mutu sumber daya manusia dan lingkungan yang saling
mendukung dengan pendekatan paradigma sehat, yang memberikan prioritas
pada upaya peningkatan kesehatan, pencegahan, penyembuhan, pemulihan dan
rehabilitasi sejak pembuahan dalam kandungan sampai Usia Lanjut.
Amanat tersebut dituangkan dalam undang-undang nomor 25 tahun 2000
tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000 - 2004 yang
merupakan penjabarannya. Salah satu tujuan khusus dari program upaya kesehatan
yang tercantum dalam PROPENAS adalah mencegah terjadinya dan tersebarnya
penyakit menular sehingga tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat,
menurunkan, angka kesakitan, kematian dan kecacatan. Program pemberantasan
penyakit infeksi saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada balita merupakan salah satu
pemberantasan penyakit yang termasuk dalam PROPENAS.
Di dalam Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010
(RPKMIS), masyarakat Indonesia di masa depan yang ingin dicapai melalui
pembangunan kesehatan adalah masyarakat, bangsa dan negara yang ditandai oleh
penduduknya hidup dalam lingkungan dan dengan prilaku hidup sehat, memiliki
kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan
merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi tingginya diseluruh wilayah
Republik Indonesia.
Untuk dapat Mewujudkan hal tersebut diatas telah disusun pokok-pokok
program pembangunan kesehatan yang salah satunya pokok program upaya
kesehatan yang antara lain mencakup program penyakit menular dan imunisasi.
Selain itu perlu dikembangkan pemberantasan penyakit menular dan
penyehatan lingkungan secara terpadu berbasis wilayah melalui peningkatan
surveilans, advokasi, kemitraan dan perencanaan, dan penganggaran, kesehatan
terpadu (P2KT).
Pelaksanaan program pemberantasan penyakit infeksi saluran pernapasan
akut adalah bagian dari pembangunan kesehatan, dan merupakan upaya yang
mendukung
peningkatan kualitas sumber daya
manusia serta merupakan
bagian dari upaya pemberantasan dan pencegahan penyakit menular.
Pemberantasan penyakit ISPA di Indonesia dimulai pada tahun 1984,
bersamaan dengan dilancarkannya Pemberantasan Penyakit ISPA di tingkat
Global oleh WHO. Dalam pola tatalaksana tahun 1984 penyakit ISPA
Diklasifikasikan dalam 3 (tiga) tingkat keparahan yaitu ISPA ringan ISPA sedang
dan ISPA berat, Klasifikasi ini menggabungkan penyakit infeksi akut paru, infeksi
akut ringan dan tenggorokan pada anak dalam satu kesatuan.. Dalam priode
pra implementasi telah dilaksanakan 2 dua kali Lokakarya ISPA nasional,
Yaitu
tahun
1984
dan
tahun
1988,. dalam
perjalanannya, program
pemberantasan penyakit ISPA telah mengalami beberapa perkembangan.
Pada tahun 1988 WHO mempublikasikan pola baru tatalaksana penderita
ISPA. Dalam pola baru ini disamping digunakan cara diagnosis yang praktis
dan sederhana dengan teknologi tepat guna juga dipisahkan antara tatalaksana
penyakit pneumonia dan tatalaksana penderita penyakit infeksi akut telinga dan
tenggorokan. Lokakarya Nasional III tahun 1990 diselenggarakan di Cimacan Jawa
Barat, telah membahas tatalaksana penderita ISPA pola baru ini.
Dalam lokakarya ini disepakati untuk menerapkan pola tatalaksana ini di
Indonesia telah diadaptasi sesuai dengan situasi dan kondisi setempat dengan
penerapan pola baru ini maka sejak tahun 1990 pemberantasan penyakit ISPA
menitik-beratkan
atau
memfokuskan
kegiatannya
pada
penanggulangan
pneumounia balita.
Dalam upaya meningkatkan cakupan penemuan dan
penderita pneumonia, telah diterapkan pendekatan manajemen
(MTBS) di unit pelayanan kesehatan. Disamping itu pula
kasus serta autopsy verbal untuk mengetahui kualitas dan
tatalaksana pada penderita pneumonia.
kualitas tatalaksana
terpadu balita sakit
dikembangkan audit
dampak pemberian
BAB II
PENGERTIAN DAN KLASIPIKASI
BAB III
SITUASI PEMBERANTASAN PENYAKIT ISPA DI
INDONESIA
A. Situasi
Data tentang hasil kegiatan program hingga tahun 2000 dan data tentang
morbilitas dan moralitas ISPA diperoleh dari hasil survei atau penelitian serta
hasil pencatatan dan pelaporan baik yang dilaksanakan oleh program P2 ISPA
maupun dari sektor terkait.
1. Data Mortalitas
Berdasarkan SKRT tahun 1992 dibuat ekstrapolasi bahwa angka kematian
pneumonia balita adalah 6/1000 balita. Hasil SKRT 1995 menunjukan
bahwa 32,1% di Jawa-Bali dan 28 % di luar Jawa-Bali kematian pada
umur dibawah satu tahun (bayi) disebabkan oleh penyakit sistem
pernapasan dan pada anak umur 1-5 tahun (anak balita) 38,8 % di JawaBali dan 33,3 % di luar Jawa-Bali disebabkan penyakit sistem pernapasan.
Angka kematian ISPA dan Pneumonia pada balita tidak dilaporkan pada
SKRT 1995, sedangkan penyakit sistem pernapasan mencakup jenis
penyakit yang lebih luas dari pneumonia, Hasil perhitungan ektrspolasi
menunjukan bahwa angka kematian balita akibat penyakit sistem
pernapasan adalah 4,9/1000 balita.
2. Data Morbiditas
a. Prevalensi dan insidens Batuk dengan napas cepat.
Dari survei Demografi Indonesia (SDKI) dilaporkan data tentang
prevalensi dan insiden balita batuk dengan napas cepat. Batasan
prevalensi dalam survei tersebut adalah persentase anak yang
menderita batuk dengan napas cepat dalam dua minggu sebelum
survei, sedang insiden adalah persentase anak yang menjadi batuk
dengan napas cepat dalam kurun waktu dua minggu sebelum survei
(penderita baru). Hasil survei menunjukan kelompok umur dengan
prevalensi tinggi cenderung bergeser ke kelompok umur yang lebih
muda. Sedangkan insiden menurun dengan angka yang kecil dari tahun
1997 dibandingkan dengan tahun 1994, seperti tampak pada tabel 1
Tabel 1.
Data Prevalensi, insiden dan kelompok Umur yang mempunyai
prevalensi tertinggi berdasarkan SDKI.
Krakteristik
Prevalens
Insidens
Kelompok umur dg
prev. tertinggi
1991
9,8 %
12-23 bl
1994
1997
10 %
9%
6-35 bl
9%
8%
6-11 bl
C. KECENDERUNGAN
1. Kondisi ekonomi
Keadaan ekonomi yang belum pulih dari krisis ekonomi yang
berkepanjangan berdampak peningkatan penduduk miskin disertai dengan
menurunnya kemampuan menyediakan lingkungan pemukiman yang sehat
mendorong peningkatan jumlah balita yang rentan terhadap serangan
berbagai penyakit menular termasuk ISPA. Pada akhirnyan akan
mendorong meningkatnya penyakit ISPA dan Pneumonia pada balita.
2. Kependudukan
Jumlah penduduk yang besar mendorong meningkatnya jumlah populasi
balita yang besar pula. Atau denmgan kata lain meningkatkan populasi
sasaran program P2 ISPA sehingga berimplikasi terhadap membengkaknya anggaran, sarana dan peralatan yang dibutuhkan. Ditambah lagi
dengan status kesehatan masyarakat yang masih rendah, akan menambah
berat beban kegiatan pemberantasan penyakit ISPA.
3. Geografi
Sebagai daerah tropis Indonesia memiliki potensi daerah endemik
beberapa penyakit infeksi yang setiap saat dapat menjadi ancaman bagi
kesehatan masyarakat. Pengaruh geografis dapat mendorong terjadinya
peningkatan kasus maupun kematian penderita akibat ISPA. Dengan
demikian pendekatan dalam pemberantasan ISPA perlu dilakukan dengan
mengatasi semua faktor resiko dan faktor-faktor lain yang mempengaruhinya.
4. Perilaku hidup bersih dan sehat.
Perilaku hidup bersih dan sehat merupakan modal utama bagi pencegahan
penyakit ISPA. Perilaku hidup bersih dan sehat sangat dipengaruhi oleh
budaya dan tingkat pendidikan penduduk. Dengan makin meningkatnya
tingkat pendidikan di masyarakat diperkirakan akan berpengaruh positif
terhadap pemahaman masyarakat dalam menjaga kesehatan balita agar
tidak terkena penyakit ISPA. Yaitu melalui upaya memperhatikan rumah
sehat, desa sehat dan lingkungan sehat.
5. Desentralisasi manajemen (UU No.22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun
1999)
Dengan diberlakukannya otonomi daerah pada Kabupaten/Kota
menyebabkan hubungan Kabupaten/Kota dengan Provinsi maupun Pusat
tidak lagi hirarki (hubungan atasan bawahan). Implikasinya terdapat
kecenderungan Kabupaten/Kota kurang disiplin memenuhi kewajiban
pelaporan yang diminta dari atas. Akibatnya kecendrungan Kabupaten/
Kota tidak memberikan data secara rutin akan menjadi hambatan terhadap
pencapaian sasaran pemberantasan penyakit ISPA.
6. Lingkungan dan iklim global
Pencemaran lingkungan seperti asap karena kebakaran hutan, gas buang
sarana transportasi dan populasi udara dalam rumah merupakan ancaman
BAB IV
ARAH DAN KEBIJAKAN
Pelaksanaan Pemberantasan Penyakit ISPA ditujukan pada kelompok usia
balita, yaitu bayi (0 - kurang 1 tahun) dan anak balita (1 - kurang 5 tahun)
dengan fokus penanggulangan pada penyakit pneumonia.
Pemilihan kelompok ini target populasi program didasarkan pada
kenyataan bahwa angka moralitas dan angka morbilitas ISPA pada
kelompok umur balita di Indonesia masih tinggi. Disamping itu
keberhasilan upaya Pemberantasan Penyakit P2 ISPA dapat mempunyai
daya ungkit dalam penurunan angka kematian bayi di indonesia.
A. Tujuan
1. Umum :
Turunnya angka kesakitan dan kematian pneumonia sehingga tidak
menjadi masalah kesehatan masyarakat.
2. Khusus
a) Turunnya angka kematian balita akibat pneumonia dari 5 per
1000 balita pada tahun 2000 menjadi 3 per 1000 balita pada
akhir tahun 2004
b) Turunnya angka kesakitan balita akibat pneumonia dari 10 %20% pada tahun 2000 menjadi 8%-16 % pada akhir tahun 2004.
B. Target
Direncanakan pada akhir tahun 2004
a) Cakupan penemuan penderita pneumonia balita sebesar 86 % dari
perkiraan penderita pneumonia Balita
b) Penderita pneumonia balita yang mendapat tatalaksana standard
sebesar 63 % dari target cakupan penemuan penderita pneumonia
balita.
c) Proporsi Puskesmas yang melaksnakan Program P2 ISPA
sekurang-kurangnya 90 %
C. Kebijakan.
Untuk mencapai tujuan program pemberantasan Penyakit ISPA balita
maka dirumuskan kebijakan sebagai berikut :
1. Melaksanakan promosi penanggulangan pneumonia balita sehingga
masyarakat, mitra kerja terkait dan mengambil keputusan
mendukung pelaksanaan penanggulangan pneumonia balita.
2. Melaksanakan penemuan penderita melalui sarana kesehatan dasar
(pelayanan kesehatan di desa, Puskesmas Pembantu, Puskesmas
dan Sarana Rawat Jalan Rumah Sakit) dibantu oleh kegiatan
Posyandu dan Kader Posyandu.
3. Melaksanakan tatalaksana standard penderita ISPA dengan deteksi
dini, pengobatan yang tepat dan segera, pencegahan komplikasi
dan rujukan ke sarana kesehatan yang lebih memadai.
4. Melaksanakan surveilans kesakitan dan kematian pneumonia balita
serta faktor resikonya termasuk faktor-faktor resiko lingkungan dan
kependudukan.
D. Strategi
Rumusan umum strategi Pemberantasan Penyakit ISPA adalah
seperti berikut :
1. Promosi penanggulangan pneumonia balita melalui advokasi,
bina suasana gerakan masyakarakat.
2. Penurunan angka kesakitan diklakukan dengan upaya
pencegahan atau penenggulangan faktor resiko melalui
kerjasama lintas program dan lintas sektor, seperti melalui
kerjasama dengan program imunisasi, program bina kesehatan
balita, program bina gizi masyarakat dan program penyehatan
lingkungan pemukiman.
3. Peningkatan penemuan penderita melalui upaya peningkatan
perilaku masyarakat dalam pencarian pengobatan yang tepat
(care seeking).
4. Melaksanakan
tatalaksana
kasus
melalui
pendekatan
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dan audit kasus
untuk peningkatan kualitas tatalaksana.
5. Peningkatan sistem survailans ISPA melalui kegiatan
surveilans rutin, autopsi verbal dan pengembangan informasi
kesehatan serta audit manajemen program.
E. Prioritas Kegiatan
Prioritas kegiatan Pemberantasan Penyakit ISPA ditujukan untuk
mendukung kebijakan dan strategi yang telah diterapkan. Prioritas
kegiatannya adalah sebagai berikut :
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)