Anda di halaman 1dari 12

Lampiran I

Keputusan Menteri Kesehatan


Nomor
: 1537.A / MENKES/ SK/XII/ 2002
Tanggal : 5 Desember 2002

BAB I
PENDAHULUAN
Arah kebijaksanaan dalam bidang kesehatan yang diamanatkan dalam
ketetapan MPRRI NO.IV/MPR/1999 tentang GBHN 1999/2004 salah satunya
adalah
meningkatkan mutu sumber daya manusia dan lingkungan yang saling
mendukung dengan pendekatan paradigma sehat, yang memberikan prioritas
pada upaya peningkatan kesehatan, pencegahan, penyembuhan, pemulihan dan
rehabilitasi sejak pembuahan dalam kandungan sampai Usia Lanjut.
Amanat tersebut dituangkan dalam undang-undang nomor 25 tahun 2000
tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000 - 2004 yang
merupakan penjabarannya. Salah satu tujuan khusus dari program upaya kesehatan
yang tercantum dalam PROPENAS adalah mencegah terjadinya dan tersebarnya
penyakit menular sehingga tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat,
menurunkan, angka kesakitan, kematian dan kecacatan. Program pemberantasan
penyakit infeksi saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada balita merupakan salah satu
pemberantasan penyakit yang termasuk dalam PROPENAS.
Di dalam Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010
(RPKMIS), masyarakat Indonesia di masa depan yang ingin dicapai melalui
pembangunan kesehatan adalah masyarakat, bangsa dan negara yang ditandai oleh
penduduknya hidup dalam lingkungan dan dengan prilaku hidup sehat, memiliki
kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan
merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi tingginya diseluruh wilayah
Republik Indonesia.
Untuk dapat Mewujudkan hal tersebut diatas telah disusun pokok-pokok
program pembangunan kesehatan yang salah satunya pokok program upaya
kesehatan yang antara lain mencakup program penyakit menular dan imunisasi.
Selain itu perlu dikembangkan pemberantasan penyakit menular dan
penyehatan lingkungan secara terpadu berbasis wilayah melalui peningkatan
surveilans, advokasi, kemitraan dan perencanaan, dan penganggaran, kesehatan
terpadu (P2KT).
Pelaksanaan program pemberantasan penyakit infeksi saluran pernapasan
akut adalah bagian dari pembangunan kesehatan, dan merupakan upaya yang
mendukung
peningkatan kualitas sumber daya
manusia serta merupakan
bagian dari upaya pemberantasan dan pencegahan penyakit menular.
Pemberantasan penyakit ISPA di Indonesia dimulai pada tahun 1984,
bersamaan dengan dilancarkannya Pemberantasan Penyakit ISPA di tingkat
Global oleh WHO. Dalam pola tatalaksana tahun 1984 penyakit ISPA

Diklasifikasikan dalam 3 (tiga) tingkat keparahan yaitu ISPA ringan ISPA sedang
dan ISPA berat, Klasifikasi ini menggabungkan penyakit infeksi akut paru, infeksi
akut ringan dan tenggorokan pada anak dalam satu kesatuan.. Dalam priode
pra implementasi telah dilaksanakan 2 dua kali Lokakarya ISPA nasional,
Yaitu
tahun
1984
dan
tahun
1988,. dalam
perjalanannya, program
pemberantasan penyakit ISPA telah mengalami beberapa perkembangan.
Pada tahun 1988 WHO mempublikasikan pola baru tatalaksana penderita
ISPA. Dalam pola baru ini disamping digunakan cara diagnosis yang praktis
dan sederhana dengan teknologi tepat guna juga dipisahkan antara tatalaksana
penyakit pneumonia dan tatalaksana penderita penyakit infeksi akut telinga dan
tenggorokan. Lokakarya Nasional III tahun 1990 diselenggarakan di Cimacan Jawa
Barat, telah membahas tatalaksana penderita ISPA pola baru ini.
Dalam lokakarya ini disepakati untuk menerapkan pola tatalaksana ini di
Indonesia telah diadaptasi sesuai dengan situasi dan kondisi setempat dengan
penerapan pola baru ini maka sejak tahun 1990 pemberantasan penyakit ISPA
menitik-beratkan
atau
memfokuskan
kegiatannya
pada
penanggulangan
pneumounia balita.
Dalam upaya meningkatkan cakupan penemuan dan
penderita pneumonia, telah diterapkan pendekatan manajemen
(MTBS) di unit pelayanan kesehatan. Disamping itu pula
kasus serta autopsy verbal untuk mengetahui kualitas dan
tatalaksana pada penderita pneumonia.

kualitas tatalaksana
terpadu balita sakit
dikembangkan audit
dampak pemberian

Peningkatan pelaksanaan program P2 ISPA akan meningkatkan beban kerja


program yang dengan sendirinya harus ditunjang dengan peningkatan dukungan
sumber daya termasuk dana. Semua sumber dana pendukung program yang tersedia
baik APBN, dana kerja sama pemerintah RI dengan Organisasi Internasional,
maupun sumber dana lainnya, seperti APBD I, APBD II , DAU dan bantuan serta
pinjaman luar negeri harus dimanfaatkan sebaik baiknya.
Sejalan dengan UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU
No 25 tahun Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah serta peraturan
Pemerintah No 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Propinsi sebagai Daerah Otonom yang mempengaruhi upaya pemberantasan
penyakit dan penyehatan lingkungan baik di Tingkat pusat, propinsi, dan
Kabupaten/Kota. Daerah otonom harus mempunyai kemampuan menentukan skala
prioritas pembangunan didaerahnya masing-masing sesuai dengan kebutuhan
setempat dan mencari sumber-sumber pembiayaan disamping memperhatikan
berbagai komitmen global, internasional, nasional.
Dalam pelaksanaanya Program Pemberantasannya Penyakit ISPA perlu
dukungan dari lintas program, lintas sektor serta peran serta masyarakat
termasuk dunia usaha. Dalam rangka peningkatan sumber daya pendukung dan
peningkatan pencapaian hasil upaya Program P2 ISPA maka perlu dirumuskan
pedoman program yang mantap dan jelas. Buku ini diharapkan dapat dijadikan
pedoman bagi pelaksanaan Program pemberantasan ISPA untuk menanggulangi
Pneumonia pada balita di Indonesia.

BAB II
PENGERTIAN DAN KLASIPIKASI

Sejak dilaksanakan Pemberantasan Penyakit ISPA untuk penanggulangan


pneumonia pada balita tahun 1990 sering timbul kerancuan dan kesimpangsiuran pemahaman antara ISPA dan Pneumonia. Untuk mencegah
berlanjutnya kerancuan pemahaman tersebut maka dalam bab ini diupayakan
untuk menjelaskan tentang ISPA dan Pneumonia secara rinci.
A. Pengertian Infeksi Saluran Pernafasan Akut dan Pneumonia
Istilah ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernapasan Akut dan
mulai diperkenalkan pada tahun 1984 setelah dibahas dalam lokakarya
Nasional ISPA di Cipanas, istilah ini merupakan padanan istilah bahasa
inggris Acute Respiratory infection (ARI). Dalam Lokakarya Nasioanal ISPA
tersebut terdapat dua pendapat berbeda, pendapat pertama memilih istilah
ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) dan pendapat kedua memilih istilah
ISNA (Infeksi Saluran Napas Akut) Pada akhir Lokakarya diputuskan untuk
memilih istilah ISPA dan sampai sekarang istilah ini yang digunakan.
1. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
Infeksi Saluran Pernapasan Akut adalah penyakit infeksi yang menyerang
salah satu bagian dan atau lebih dari saluran napas, mulai dari hidung
(saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan
adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura.
2. Pneumonia
Pnoumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paruparu (alveoli).
Terjadinya Pneumonia pada anak sering kali bersamaan dengan terjadinya
proses infeksi akut pada bronkhus yang disebut bronkopneumonia. Dalam
pelaksanaan Pemberantasan Penyakit ISPA semua bentuk Pneomonia
(baik Pneumonia maupun bronkopneumonia) disebut Pneumonia saja.
B. Klasifikasi Penyakit ISPA
a. Klasifikasi betuk dan kesukaran bernapas
Kriteria atau entry untuk menggunakan pola tatalaksana penderita
ISPA adalah : balita, dengan gejala batuk dan atau kesukaran bernapas.
Pola tatalaksana penderita ini terdiri dari 4 bagian yaitu :
- Pemeriksaan
- Penentuan ada tidaknya tanda bahaya
- Penentuan klasifikasi penyakit
- Pengobatan dan tindakan
Dalam penentuan klasifikasi dibedakan atas dua kelompok, yaitu
kelompok untuk umur 2 bulan -<5 tahun dan kelompok untuk umur <
2 bulan.

?? Untuk kelompok umur 2 bulan -<5 tahun klasifikasi dibagi atas :


Pneumonia berat, Pneumonia dan bukan Pneumonia.
?? Untuk kelompok umur <2 bulan klasifikasi dibagi atas : Pneumonia
berat dan bukan Pneumonia. Dalam pendekatan manajemen
terpadu balita sakit (MTBS) klasifikasi pada kelompok umur <2
bulan adalah infeksi yang serius dan infeksi bakteri lokal.
Klasifikasi Pneumonia berat didasarkan pada adanya batuk dan atau
kesukaran bernapas disertai sesak atau tarikan dinding dada bagian
bawah ke dalam (Chest indrawing) pada anak usia 2 bulan -< 5 tahun.
Untuk kelompok umur < 2 bulan diagnosis Pneumonia berat ditandai
dengan adanya napas cepat (fast breathing), yaitu kuat pada dinding
dada bagian bawah kedalam (severe chest indrawing)
Klasifikasi Pneumonia didasarkan pada adanya batuk dan atau
kesukaran bernapas disertai adanya napas sesuai umur, batas napas
cepat (fast brething) pada anak usia 2 bulan -<1 tahun adalah 50 kali
per menit dan 40 kali per menit untuk anak usia 1-<5 tahun.
Klasifikasi bukan-Pneumonia mencakup kelompok penderita balita
dengan batuk yang tidak menunjukan gejala peningkatan frekuensi
nafas dan tidak menunjukan adanya tarikan dinding dada bagian bawah
kedalam. Dengan demikian klasifikasi bukan Pneumonia mencakup
penyakit-penyakit ISPA lain diluar Pneumonia seperti batuk pilek
bukan Pneumonia (Common cold, pharyngitis, tonsilitis, otitis).
Pada tatalaksana ISPA hanya dimaksudkan untuk tatalaksana penderia
Pneumonia berat, Pneumonia dan bartuk bukan Pneumonia. Sedangkan
penyakit ISPA lain seperti pharingitis, tonsilitis dan otitis belum
dicakup program.
b. Etiologi
1) Etiologi ISPA
Etiologi ISPA terdiri dari lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan
riketsia. Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus
streptokokus. Stafilokokus, Pnemokokus, Hemofilus, Bordetella dan
Korinebakterium. Virus Penyebab ISPA antara lain adalah golongan
Miksovirus, Adenovirus, Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma,
Herpesvirus dan lain-lain.
2) Etiologi Pneumonia
Etiologi Pneumonia pada balita sukar untuk ditetapkan karena dahak
biasanya sukar diperoleh. Sedangkan prosedur pemeriksaan imunologi
belum memberikan hasil yang memuaskan untuk menentukan adanya
bakteri sebagai penyebab Pneumonia. Hanya biakan dari aspirat paru serta
pemeriksaan spesimen darah yang dapat diandalkan untuk membantu
penetapan etiologi Pneumonia. Meskipun pemeriksaan spesimen aspirat
paru merupakan cara yang sensitif untuk mendapatkan dan menentukan
bakteri penyebab Pneumonia pada balita akan tetapi fungsi paru

merupakan prosedur yang berbahaya dan bertentangan dengan etika,


terutama jika hanya dimaksudkan untuk penelitian.
Oleh karena alasan tersebut diatas maka penetapan etiologi Pneumonia di
Indonesia masih didasarkan pada hasil penelitian di luar Indonesia.
Menurut publikasi WHO, penelitian di berbagai negara menunjukan
bahwa di negara berkembang Streptokokus pneumonia dan Hemofilus
influenza merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada dua pertiga dari
hasil isolasi, yaitu 73,9 % aspirat paru dan 69,1% hasil isolasi dari
spesimen darah. Sedangkan di negara maju, dewasa ini Pneumonia pada
anak umumnya disebabkan oleh virus.
c. Faktor Resiko Pneumonia
Berdasarkan hasil penelitian dari berbagai negara termasuk Indonesia
dan berbagai publikasi ilmiah, dilaporkan berbagai faktor risiko baik
yang meningkatkan insiden (morbiditas) maupun kematian (mortalitas)
akibat Pneumonia :
a) Faktor resiko yang meningkatkan insiden Pneumonia :
?? Umur < 2 bulan
?? Laki-laki
?? Gizi kurang
?? Barat badan lahir rendah
?? Tidak mendapat ASI memadai
?? Polusi udara
?? Kepadatan tempat tinggal
?? Imunisasi yang tidak memadai
?? Membedung anak (selimut berlebihan)
?? Defisiensi Vitamin A
?? Pembarian makanan tambahan terlalu dini.
b) Faktor risiko yang meningkatkan angka kematian Pneumonia
?? Umur < 2 bulan
?? Tingkat sosio ekonomi rendah
?? Kurang gizi
?? Berat badan lahir rendah
?? Tingkat pendidikan ibu yang rendah
?? Tingkat jangkauan pelayanan kesehatan yang rendah
?? Kepadatan tempat tinggal
?? Imunisasi yang tidak memadai
?? Menderita penyakit kronis
?? Aspek kepercayaan setempat dalam praktek pencarian
pengobatan yang salah.

BAB III
SITUASI PEMBERANTASAN PENYAKIT ISPA DI
INDONESIA

A. Situasi
Data tentang hasil kegiatan program hingga tahun 2000 dan data tentang
morbilitas dan moralitas ISPA diperoleh dari hasil survei atau penelitian serta
hasil pencatatan dan pelaporan baik yang dilaksanakan oleh program P2 ISPA
maupun dari sektor terkait.
1. Data Mortalitas
Berdasarkan SKRT tahun 1992 dibuat ekstrapolasi bahwa angka kematian
pneumonia balita adalah 6/1000 balita. Hasil SKRT 1995 menunjukan
bahwa 32,1% di Jawa-Bali dan 28 % di luar Jawa-Bali kematian pada
umur dibawah satu tahun (bayi) disebabkan oleh penyakit sistem
pernapasan dan pada anak umur 1-5 tahun (anak balita) 38,8 % di JawaBali dan 33,3 % di luar Jawa-Bali disebabkan penyakit sistem pernapasan.
Angka kematian ISPA dan Pneumonia pada balita tidak dilaporkan pada
SKRT 1995, sedangkan penyakit sistem pernapasan mencakup jenis
penyakit yang lebih luas dari pneumonia, Hasil perhitungan ektrspolasi
menunjukan bahwa angka kematian balita akibat penyakit sistem
pernapasan adalah 4,9/1000 balita.
2. Data Morbiditas
a. Prevalensi dan insidens Batuk dengan napas cepat.
Dari survei Demografi Indonesia (SDKI) dilaporkan data tentang
prevalensi dan insiden balita batuk dengan napas cepat. Batasan
prevalensi dalam survei tersebut adalah persentase anak yang
menderita batuk dengan napas cepat dalam dua minggu sebelum
survei, sedang insiden adalah persentase anak yang menjadi batuk
dengan napas cepat dalam kurun waktu dua minggu sebelum survei
(penderita baru). Hasil survei menunjukan kelompok umur dengan
prevalensi tinggi cenderung bergeser ke kelompok umur yang lebih
muda. Sedangkan insiden menurun dengan angka yang kecil dari tahun
1997 dibandingkan dengan tahun 1994, seperti tampak pada tabel 1

Tabel 1.
Data Prevalensi, insiden dan kelompok Umur yang mempunyai
prevalensi tertinggi berdasarkan SDKI.

Krakteristik
Prevalens
Insidens
Kelompok umur dg
prev. tertinggi

1991
9,8 %
12-23 bl

1994

1997

10 %
9%
6-35 bl

9%
8%
6-11 bl

b. Data Penemuan Penderita Pneumonia Balita


Data cakupan penemuan penderita pneumonia balita dari tahun ke tahun
tampak tidak menunjukan adanya peningkatan yang berarti, hal ini dapat
dilihat pada grafik penemuan penderita pneumonia dari tahun 1995-2000.
Penghitungan cakupan penemuan penderita balita pertahun sebelumnya
berdasarkan tahun anggaran (april-maret), tetapi mulai tahun 2000
berdasarkan tahun kalender (januari-desembar).
Grafik 1.
Selama 5 tahun terakhir (1995/1996-1999/2000), cakupan penemuan
penderita Pneumonia hanya berkisar antara 25% - 34%. Naik turunnya
cakupan penemuan penderita tersebut bukan disebabkan karena turunnya
kinerja penemuan penderita di sarana pelayanan kesehatan, namun lebih
banyak disebabkan karena rendahnya kualitas sistem pencatatan dan
kepatuhan pelaporan dari daerah (Provinsi) ke Pusat.
Melihat situasi diatas, kinerja penemuan penderita pnemonia secara
nasional masih jauh dari target yang diharapkan (86%). Dengan demikian
untuk mencapai penurunan kesakitan dan kematian balita akibat Pnemonia
sesuai dengan target program, perlu upaya ektra keras disamping
meningkatkan intensitas penemuan dan kualitas tatalaksana disarana
pelayanan kesehatan, yang tak kalah pentingnya adalah dukungan
surveilans epidemilogi ISPA termasuk pencatatan dan pelaporan penderita
Pneumonia di berbagai tingkatan administrasi kesehatan.
B. Masalah ISPA dan Pnemonia
1. Keterbatasan Data
Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam menentukan masalah ISPA
dan Pneumonia di Indonesia adalah masih terbatasnya data yang sahih,
dapat dipercaya dan mutakhir tentang penyakit ini. Hal ini disebabkan luas
dan kompleksnya masalah ISPA yany merupakan kelompok penyakit dan
beragamnya masyarakat dan geografi Indonesia. Disamping itu Program
P2 ISPA adalah Program yang relatif baru. Secara umum diketahui bahwa
penyakit ISPA dan Pneumonia dikalangan balita masih merupakan

masalah kesehatan penting di Indonesia. Dengan demikian sebagian data


tentang ISPA masih ditentukan berdasarkan perkiraan atau ektrapolasi.
Sebagai kelompok penyakit, ISPA juga merupakan salah satu penyebab
utama kunjungan pasien disarana kesehatan. Sebanyak 40%-60%
kunjungan berobat di Puskesmas dan 15% - 30% kunjungan berobat
dibagian rawat jalan dan rawat inap rumah sakit disebabkan oleh ISPA.
2. Masalah ISPA di Indonesia
Penyakit ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak. Episode
penyakit batuk pilek pada balita di Indonesia diperkirakan sebesar 3
sampai 6 kali per tahun. Ini berarti seorang balita rata-rata mendapat
serangan batuk pilek sebanyak 3 sampai 6 kali setahun. Ini berarti seorang
balita rata-rata mendapat serangan batuk pilek sebanyak 3 sapai 6 kali
setahun.
3. Masalah Pneumonia di Indonesia
WHO memperkirakan kejadian (insidens) Pneumonia dinegara dengan
angka kematian bayi diatas 40 per 1.000 kelahiran hidup adalah 15%-20%
per tahun pada golongan usia balita. Kejadian Pneumonia di Indonesia
pada balita diperkirakan antara 10%-20% per tahun. Program P2 ISPA
menetapkan angka 10% balita sebagai target penemuan penderita
Pneumonia balita per tahun pada suatu wilayah kerja. Secara teoritis
diperkirakan bahwa 10% dari penderita Pneumonia akan meninggal bila
tidak diberi pengobatan.
Bila hal ini benar maka diperkirakan tanpa pemberian pengobatan akan
didapat 250.000 kematian balita akibat Pneumonia setiap tahunnya.
Perkiraan angka kematian Pneumonia secara nasional pada Pelita V ialah 6
per 1000 balita atau berkisar 150.000 balita per tahun. Perkiraan tersebut
didasarkan pada perhitungan ektrapolasi sebagai berikut.
?? Jumlah total populasi balita 23.300.000 (bayi= 4.300.000 anak balita=
19.000.000)
?? Insidens Pneumonia pada balita 10% per tahun
?? Angka kematian bayi 60 per 1000 kelahiran hidup dan anak balita 10,6
per 1000 anak balita
?? Proporsi kematian ISPA pada balita 30%
Maka dapat dihitung
a. Morbiditas Pneumonia : 10 % X 23.300.000 = 2.330.000 balita
b. Mortalitas Pneumonia :
?? Bayi
: 60/1000 X 4.300.000 X 30 % = 77.400 bayi
?? Anak balita : 10,6/1000 X 19.000.0000 X 30 % = 60.000 anak
balita
?? Total (bayi dan anak balita) 77.400+60.000
= 138.000 balita
?? Angka kematian Pneumonia pd balita 138.000X1.000=5,9/1000->6/1000
23.000.000

C. KECENDERUNGAN
1. Kondisi ekonomi
Keadaan ekonomi yang belum pulih dari krisis ekonomi yang
berkepanjangan berdampak peningkatan penduduk miskin disertai dengan
menurunnya kemampuan menyediakan lingkungan pemukiman yang sehat
mendorong peningkatan jumlah balita yang rentan terhadap serangan
berbagai penyakit menular termasuk ISPA. Pada akhirnyan akan
mendorong meningkatnya penyakit ISPA dan Pneumonia pada balita.
2. Kependudukan
Jumlah penduduk yang besar mendorong meningkatnya jumlah populasi
balita yang besar pula. Atau denmgan kata lain meningkatkan populasi
sasaran program P2 ISPA sehingga berimplikasi terhadap membengkaknya anggaran, sarana dan peralatan yang dibutuhkan. Ditambah lagi
dengan status kesehatan masyarakat yang masih rendah, akan menambah
berat beban kegiatan pemberantasan penyakit ISPA.
3. Geografi
Sebagai daerah tropis Indonesia memiliki potensi daerah endemik
beberapa penyakit infeksi yang setiap saat dapat menjadi ancaman bagi
kesehatan masyarakat. Pengaruh geografis dapat mendorong terjadinya
peningkatan kasus maupun kematian penderita akibat ISPA. Dengan
demikian pendekatan dalam pemberantasan ISPA perlu dilakukan dengan
mengatasi semua faktor resiko dan faktor-faktor lain yang mempengaruhinya.
4. Perilaku hidup bersih dan sehat.
Perilaku hidup bersih dan sehat merupakan modal utama bagi pencegahan
penyakit ISPA. Perilaku hidup bersih dan sehat sangat dipengaruhi oleh
budaya dan tingkat pendidikan penduduk. Dengan makin meningkatnya
tingkat pendidikan di masyarakat diperkirakan akan berpengaruh positif
terhadap pemahaman masyarakat dalam menjaga kesehatan balita agar
tidak terkena penyakit ISPA. Yaitu melalui upaya memperhatikan rumah
sehat, desa sehat dan lingkungan sehat.
5. Desentralisasi manajemen (UU No.22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun
1999)
Dengan diberlakukannya otonomi daerah pada Kabupaten/Kota
menyebabkan hubungan Kabupaten/Kota dengan Provinsi maupun Pusat
tidak lagi hirarki (hubungan atasan bawahan). Implikasinya terdapat
kecenderungan Kabupaten/Kota kurang disiplin memenuhi kewajiban
pelaporan yang diminta dari atas. Akibatnya kecendrungan Kabupaten/
Kota tidak memberikan data secara rutin akan menjadi hambatan terhadap
pencapaian sasaran pemberantasan penyakit ISPA.
6. Lingkungan dan iklim global
Pencemaran lingkungan seperti asap karena kebakaran hutan, gas buang
sarana transportasi dan populasi udara dalam rumah merupakan ancaman

kesehatan terutama penyakit ISPA. Demikian pula perubahan iklim global


terutama suhu, kelembaban, curah hujan, merupakan beban ganda dalam
pemberantasan penyakit ISPA. Untuk tercapainya tujuan pemberantasan
penyakit ISPA, maka salah satu upaya adalah dengan memperhatikan atau
menanggulangi faktor resiko lingkungan.

BAB IV
ARAH DAN KEBIJAKAN
Pelaksanaan Pemberantasan Penyakit ISPA ditujukan pada kelompok usia
balita, yaitu bayi (0 - kurang 1 tahun) dan anak balita (1 - kurang 5 tahun)
dengan fokus penanggulangan pada penyakit pneumonia.
Pemilihan kelompok ini target populasi program didasarkan pada
kenyataan bahwa angka moralitas dan angka morbilitas ISPA pada
kelompok umur balita di Indonesia masih tinggi. Disamping itu
keberhasilan upaya Pemberantasan Penyakit P2 ISPA dapat mempunyai
daya ungkit dalam penurunan angka kematian bayi di indonesia.
A. Tujuan
1. Umum :
Turunnya angka kesakitan dan kematian pneumonia sehingga tidak
menjadi masalah kesehatan masyarakat.
2. Khusus
a) Turunnya angka kematian balita akibat pneumonia dari 5 per
1000 balita pada tahun 2000 menjadi 3 per 1000 balita pada
akhir tahun 2004
b) Turunnya angka kesakitan balita akibat pneumonia dari 10 %20% pada tahun 2000 menjadi 8%-16 % pada akhir tahun 2004.
B. Target
Direncanakan pada akhir tahun 2004
a) Cakupan penemuan penderita pneumonia balita sebesar 86 % dari
perkiraan penderita pneumonia Balita
b) Penderita pneumonia balita yang mendapat tatalaksana standard
sebesar 63 % dari target cakupan penemuan penderita pneumonia
balita.
c) Proporsi Puskesmas yang melaksnakan Program P2 ISPA
sekurang-kurangnya 90 %
C. Kebijakan.
Untuk mencapai tujuan program pemberantasan Penyakit ISPA balita
maka dirumuskan kebijakan sebagai berikut :
1. Melaksanakan promosi penanggulangan pneumonia balita sehingga
masyarakat, mitra kerja terkait dan mengambil keputusan
mendukung pelaksanaan penanggulangan pneumonia balita.
2. Melaksanakan penemuan penderita melalui sarana kesehatan dasar
(pelayanan kesehatan di desa, Puskesmas Pembantu, Puskesmas
dan Sarana Rawat Jalan Rumah Sakit) dibantu oleh kegiatan
Posyandu dan Kader Posyandu.
3. Melaksanakan tatalaksana standard penderita ISPA dengan deteksi
dini, pengobatan yang tepat dan segera, pencegahan komplikasi
dan rujukan ke sarana kesehatan yang lebih memadai.
4. Melaksanakan surveilans kesakitan dan kematian pneumonia balita
serta faktor resikonya termasuk faktor-faktor resiko lingkungan dan
kependudukan.

D. Strategi
Rumusan umum strategi Pemberantasan Penyakit ISPA adalah
seperti berikut :
1. Promosi penanggulangan pneumonia balita melalui advokasi,
bina suasana gerakan masyakarakat.
2. Penurunan angka kesakitan diklakukan dengan upaya
pencegahan atau penenggulangan faktor resiko melalui
kerjasama lintas program dan lintas sektor, seperti melalui
kerjasama dengan program imunisasi, program bina kesehatan
balita, program bina gizi masyarakat dan program penyehatan
lingkungan pemukiman.
3. Peningkatan penemuan penderita melalui upaya peningkatan
perilaku masyarakat dalam pencarian pengobatan yang tepat
(care seeking).
4. Melaksanakan
tatalaksana
kasus
melalui
pendekatan
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dan audit kasus
untuk peningkatan kualitas tatalaksana.
5. Peningkatan sistem survailans ISPA melalui kegiatan
surveilans rutin, autopsi verbal dan pengembangan informasi
kesehatan serta audit manajemen program.
E. Prioritas Kegiatan
Prioritas kegiatan Pemberantasan Penyakit ISPA ditujukan untuk
mendukung kebijakan dan strategi yang telah diterapkan. Prioritas
kegiatannya adalah sebagai berikut :
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)

Promosi Penanggulangan Pneumonia Balita


Kemitraan
Peningkatan penemuan kasus
Peningkatan kualitas Tatalaksana Kasus ISPA
Peningktan kualitas Sumber Daya Manusia
Surveilans kesakitan dan kematian
Pemantauan dan Evaluasi
Pengembangan program P2 ISPA

Anda mungkin juga menyukai