Anda di halaman 1dari 5

Modul 7: Shalat dan Filosofinya

1.1 Kedudukan Shalat dalam Islam


1.Shalat merupakan salah satu rukun Islam yang lima, ia adalah amal yang paling
utama setelah dua kalimah syahadat, hal itu didasarkan kepada hadits Rasulullah SAW,







.
Islam itu dibangun di atas lima pondasi, yaitu, persaksian bahwa tidak ada ilah kecuali
Allah dan Muhammad itu adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan shalat, haji
dan shaum Ramadhan. (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi Ahmad dan yang lainnya.)
2. Sholat merupakan tiang agama, ketika sholat itu didirikan, maka kesilaman
seseorang akan menjadi kuat, akan tetapi manakala shalat itu ditinggalkan atau dilalaikan
(pelaksanaan dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya), maka keislaman seseorang
pun akan hancur.













.

Barangsiapa yang masuk Islam, maka ia akan selamat, dan tiangnya (Islam) adalah sholat,
sedangkan yang meninggikan martabatnya adalah jihad fi sabilillah." (HR. Tirmidzi, Ibnu
Majah Ahmad, Hakim Thabrani dan Baihaqi)
3. Shalat merupakan amalan pertama kali yang akan dihisab pada hari kiamat,
sebagaimana dalam sabda Nabi SAW,














.
Sesungguhnya amal hamba yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat adalah
shalatnya, jika ia menyempurnakannya, maka dituliskan baginya pahala yang sempurna,
dan jika tidak menyempurnakannya, maka Allah berfirman kepada para
Malaikat,Apakah kalian mendapati pada hamba-Ku itu amalan sunnah, sehingga kalian
menyempurnakan dengannya apa-apa yang kurang dari amalah yang wajibnya.(HR.
Ahmad dan Baihaqi)
4. Shalat merupakan penghapus dosa, Rasulullah SAW bersabda,












.
Tidak ada seorang Muslim yang datang menghadiri shalat wajib, lalu ia membaguskan
(menyempurnakan) wudlunya, kekhusyuannya dan rukunya, melainkan shalatnya itu akan
menjadi kifarat (penghapus) atas dosa-dosa yang telah dilakukan sebelumnya, selama ia
tidak mengerjakan dosa besar, dan hal itu berlaku untuk sepanjang zaman. (HR. Muslim,
Ahmad dan yang lainnya)
1.2 Filosofi Shalat
1.2.1 Untuk Mengingat Allah
Shalat merupakan sarana untuk mengingat-ingat karunia Allah yang sedemikian banyak,
termasuk diri kita sebagai makhluk ciptaan-Nya. Maka sebagai rasa terima kasih atau rasa
syukur kita kepada-Nya.
Allah SWT berfirman,

.

.


Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Ilah (yang hak) selain Aku, maka
sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (QS. Thaha (20) :14)
1.2.2 Mencegah dari Perbuatan Keji dan Munkar



Dan dirikanlah shalat.Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji
dan mungkar.(QS. Al-Ankabut (29) : 45)
1.3 Makna-makna Batin dalam Shalat
Yang dimaksud makna bathin dalam shalat adalah menghadirkan hati atau khusyu di
dalam shalat. Menghadirkan hati dalam shalat merupakan penyempurna untuk nilai shalat
di hadapan Allah SWT, sehingga shalat yang hanya memenuhi syarat dan rukun saja
tanpa menghadirkan hati di dalamnya, maka shalat tersebut hanya berstatus sah saja
secara hukum. Adapun kualitas nilainya akan sangat ditentukan dengan sampai sejauh
mana kehadiran hati di dalam shalat tersebut. Semakin sanggup seorang hamba
menghadirkan hati dalam shalatnya, maka shalat tersebut akan semakin bernilai di sisi
Allah SWT, demikian pula sebaliknya.
Di antara ayat al-Quran yang mengharuskan kehadiran dalam shalat, di antaranya :


.



Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan
dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk
orang-orang yang lalai. (QS. Al-Araf (7) :205)
Dari ayat di atas, terlihat jelas bahwa orang yang melaksanakan shalat dituntut untuk
senantiasa berupa menghadirkan bathin atau hati dalam shalat,; karena ketika hati itu lalai
dalam shalat, berarti makna, hakikat dan kekhusyuan shalat tersebut tidak tercapai. Dan
itu semua tidak bisa terealisasi, maka akan berdampak kepada kerusakan prilaku seharihari. Imam Al-Ghazali mengatakan,Apabila hati itu khusyu dalam shalat, maka anggota
badan atau tingkah laku sehari-hari akan menjadi baik..
Ketika tingkah laku seseorang dalam kesehariannya belum baik, berarti kualitas
kekhuysuan shalatnya harus ditingkatkan; karena shalat yang sesungguhnya harus mampu
memberikan pengaruh positif dalam kehidupan sehari-hari.
1.4 Sebab-Sebab Makna Bathin
Di antara sebab-sebab yang dapat menghadirkan makna bathin dalam shalat adalah ;
Memahami bacaan shalat setelah menghadirkan hati di dalamnya, akan ditentukan
dengan keseriusan dalam memalingkan pikiran dan ingatan untuk mengetahui makna
bacaan shalat tersebut, dan berupaya untuk mengendalikan hati yang telah dihadirkan
dalam shalat itu dari hal-hal yang dapat memalingkannya.
Mengagungkan Allah. Mengagungkan Allah merupakan keadaan hati yang muncul dari

dua kesadaran, yaitu : pertama, menyadari keagungan Allah SWT dan ketinggian-Nya, di
mana itu merupakan dasar keimanan; karena sesungguhnya orang yang tidak menyadari
keagungan Allah SWT, maka akan sangat sulit untuk menundukkan dirinya agar
mengagungkan-Nya. Kedua, menyadari kehinaan diri dan kekotorannya, karena dengan
kesadaran itu seorang hamba akan terdorong untuk mengagungka Allah SWT, setelah
menyadarai betapa Allah itu maha agung dan maha tinggi.
Al-khouf atau takut akan adzab Allah SWT, ini adalah keadaan hati seorang hamba

yang muncul setelah hamba tersebut mengetahui dan meyakini kekuasaan Allah SWT,
dan menyadari pula bahwa kekuasaan Allah itu tidak akan pernah berkurang.
Ar-Raja` (mengharap rahmat Allah SWT). Penyebab munculnya ar-Raja` adalah

meyakini dan menyadari kelembutan Allah dan kemuliaan-Nya serta nikmat-Nya yang
menyeluruh, termasuk janji Allah Allah SWt bagi hamba-hamba-Nya yang melaksanakan
shalat (surga). Apabila keyakinan tersebut telah didapatkan, melalui janji dan
pengetahuan akan kelembutan-Nya, niscaya keduanya akan melahirkan ar-Raja` dalam
hati.
Al-Hayaa` (merasa malu). Perasaan malu akan muncul dalam hati seseorang apabila

mengetahui dan menyadari kekurangan diri dalam ibadah, termasuk dalam menjalankan
shalat. Munculnya rasa malu juga diperkuat oleh kesadaran diri terhadap aib dan
kelalaian-kelalaian yang dilakukannya serta ketidak-ikhlasan dalam beramal. Maka

semakin sering orang melakukan kemaksiatan berarti ia semakin tidak menyadari


kekurangannya, dan pada gilirannya akan semakin tidak malu untuk melakukan berbagai
kemaksiatan, dan ketika itu terjadi, berarti ia tidak malu lagi dengan Yang Maha Kuasa.
1.5 Hal-hal yang Dimakruhkan dalam Shalat
Untuk mendapatkan kesempurnaan shalat dari sisi hukum, bukan hanya syarat, rukun atau
sunnah-sunnah yang harus diperhatikan, akan tetapi hal-hal yang dimakruhkan di dalam
shalat juga harus diperhatikan. Adapun hal-hal yang dimakruhkan dalam shalat itu di
antaranya :
1. Menengadahkan pandangan ke atas. Hal ini ber-dasarkan sabda Rasulullah SAW

"Apa yang membuat orang-orang itu mengangkat peng-lihatan mereka ke langit dalam
shalat mereka? Hendak-lah mereka berhenti dari hal itu atau (kalau tidak), nis-caya akan
tersambar penglihatan mereka." (HR. Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkannya dengan
makna yang sama)
2. Menoleh atau melirik, terkecuali apabila diperlukan. Hal ini berdasarkan perkataan
Aisyah radhiallaahu anha. Aku ber-tanya kepada Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam
tentang seseorang yang me-noleh dalam keadaan shalat, beliau menjawab:










.
"Itu adalah pencurian yang dilakukan syaitan dari shalat seorang hamba." (HR. AlBukhari dan Abu Daud, lafazh ini dari riwayatnya)
3. Menyapu kerikil yang ada di tempat sujud (dengan tangan) dan meratakan tanah
lebih dari sekali. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah SAW


























"Dari Mu'aiqib, ia berkata, 'Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam menyebutkan tentang
menyapu di masjid (ketika shalat), maksudnya menyapu kerikil (dengan telapak tangan).
Beliau bersabda, 'Apabila memang harus berbuat begitu, maka hendaklah sekali saja'."
(HR. Muslim)

4. Shalat sambil menahan buang air kecil atau besar, dan sebagainya yang
mengganggu ketenangan hati. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW






.

"Tidak sempurna shalat (yang dikerjakan setelah) makanan dihidangkan dan shalat
seseorang yang menahan buang air kecil dan besar." (HR. Muslim)
1.6 Cara untuk Menghadirkan Hati dalam Shalat
Sesungguhnya, seorang Mukmin harus senantiasa mengagungkan Allah SWT, takut akan
adzab-Nya, selalu mengharap rahmat-Nya dan merasa malu atas kelalaian dirinya.
Keadaan ini tidak akan hilang setelahnya seorang hamba memiliki sebuah keyakinan
yang kuat, karena semuanya muncul dari sebuah keimanan, maka keimanan yang kuat
akan menjadi dasar untuk memunculkan semua sikap tersebut. Ketika itu semua
(mengagungkan Allah, takut kepada-Nya, mengharap rahmat-Nya dan rasa malu kepadaNya) tidak ada didalam sholat, maka akan mengakibatkan lalainya hati dari shalat itu
sendiri, dan tidak ada yang melalaikan hati dari shalat, kecuali urusan-urusan yang
bersifat duniawi.
Maka tidak ada obat lain untuk dapat menghadirkan hati dalam shalat, kecuali
membentengi hati dari urusan-urusan duniawi, khususnya ketika akan melaksanakan
shalat, termasuk ditengah-tengah pelaksanaan shalat; karena hati ini terkadang
dipermulaan amal khusyu, akan tetapi di tengah-tengah pelaksanaan amal menjadi
berubah. Sehingga pengawasannya pun harus dilakukan sejak awal, ditengah-tengah dan
di akhir pelaksanaan amal, hal tersebut diungkapkan oleh Imam Al-Ghazali.
1.7 Kisah Teladan Seputar Shalat
Said bin Al-Musayyab, seorang pembesar Tabiin, ia memiliki perhatian yang sangat
besar terhadap shalat lima waktu, ia tidak pernah mendengar adzan kecuali dirinya telah
siap untuk sholat berjamaah di mesjid. Pada suatu ketika ia ditimpa sakit dan
menghantarkannya keharibaan Allah AWT, pada saat ia sakarotul maut , putrinya
menangisi keadaan beliau, akan beliau masih sempat memberikan semangat kepada
putrinya dengan perkataannya: wahai putriku janganlah engkau menangisi kematianku,
karena sesungguhnya aku sejak empat puluh tahun tidak pernah mendengar seorang
muadzin melantunkan adzan di mesjid, kecuali aku telah berada di dalam mesjid untuk
sholat berjamaah.
Dikisahkan, seorang zahid yang ahli ibadah (Al-Ahmasy), ia selalu memotivasi
puterinya untuk selalu memelihara shalat dengan melaksanakannya diawal waktu. Pada
suatu hari, ia berkata kepada puterinya,Demi Allah, wahai puteriku! Aku tidak pernah
ketinggalah takbiratul ihram untuk shalat berjamaah selama empat puluh tahun.
Dari kisah-kisah di atas, kita bisa melihat semangat Ulama Salaf dalam melakukan
ibadah (shalat) diawal waktu. Bagi mereka shalat bukan hanya sebagai kewajiban, akan
tetapi mereka menganggapnya sebagai kebutuhan yang tidak bisa ditunda, sehingga
mereka tidak rela kalau harus ketinggalan shalat berjamaah di mesjid.

Anda mungkin juga menyukai