Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 31 Oktober 2014
M1P-04
Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Jl.Grafika No.2 Bulaksumur,
Yogyakarta, Indonesia, Tel. 0274-513668, *Email: peterpratistha@gmail.com
Diterima 20 Oktober 2014
Abstrak
Analisis kinematika dilakukan untuk mengetahui tipe longsor yang berpotensi terjadi pada lereng
batuan yang terkekaran dan terlapukkan secara intensif di Desa Mojosari - Trembono, Kecamatan
Bayat, Provinsi Jawa Tengah. Lereng tersusun oleh batupasir kuarsa, batulanau, dan perselingan
batupasir - batulanau yang merupakan anggota Formasi Butak. Hasil pengukuran menunjukkan
lereng berpotensi mengalami keruntuhan planar (plane failure) dan keruntuhan baji (wedge failure)
Rekomendasi perlu diberikan kepada masyarakat yang tinggal disekitar lokasi pengamatan agar
resiko bencana longsor dapat diminimalisasikan.
Kata Kunci: analisis kinematika, Formasi Butak, kekar, kestabilan lereng, longsor
Pendahuluan
Bencana longsor merupakan salah satu bencana alam yang sering terjadi di Indonesia.
Tercatat selama tahun 2011-2014 telah terjadi sekitar 583 bencana longsor di Indonesia
(BNPB, 2014). Indonesia memiliki 918 lokasi rawan longsor yang dapat menyebabkan
kerugian mencapai Rp 800 miliar dan mengancam sekitar 1 juta jiwa setiap tahunnya
(PIBA, 2010). Oleh karena itu, masalah bencana tanah longsor ini harus ditanggapi dengan
serius dan dicegah agar tidak menimbulkan kerugian yang tidak diinginkan.
Longsor adalah gerakan material penyusun lereng (tanah, batuan, atau bahan rombakan
batuan) menuruni lereng akibat terganggunya kestabilan material penyusun lereng. Secara
umum, kestabilan lereng dikontrol oleh beberapa faktor, antara lain geometri lereng,
kondisi geologi (sifat fisik material penyusun lereng, struktur geologi), kondisi
hidrogeologi, dan sifat keteknikan material penyusun lereng. Kestabilan lereng yang
tersusun oleh massa batuan yang terkekarkan secara intensif terutama dikontrol oleh
orientasi kekar dan kekuatan bidang kekar. Tipe longsor yang berpotensi terjadi pada
lereng batuan yang terkekarkan dapat ditentukan melalui analisis kinematika.
Analisis kinematika menggunakan parameter orientasi struktur geologi, orientasi
lereng, dan sudut geser batuan yang diproyeksikan dalam analisis stereografis sehingga
dapat diketahui tipe dan arah longsoran. Proyeksi stereografis menyajikan orientasi data 3
dimensi menjadi data 2 dimensi yang kemudian dianalisis (Hoek dan Brown, 1989). Data
yang diplotkan pada proyeksi stereografis merupakan data pengukuran orientasi lereng
yang diproyeksikan menjadi garis lengkung dan data pengukuran orientasi struktur geologi
yang diproyeksikan menjadi garis lengkung atau titik (Gambar 2).
Makalah ini menyajikan hasil penelitian sementara kondisi kestabilan lereng yang
tersusun oleh batupasir kuarsa, batulanau, dan perselingan batupasir - batulanau anggota
Formasi Butak. Lereng batuan yang dianalisis berada di Desa Mojosari-Trembono,
Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah dengan koordinat UTM 4623319137218 (Gambar 1). Aktivitas penambangan batupasir yang dilakukan secara tradisional
242
oleh masyarakat sekitar dapat menjadi salah satu faktor yang dapat memicu terjadinya
longsor pada lereng yang memiliki kemiringan yang relatif curam dan tersusun oleh batuan
dengan kekar yang intensif di lokasi ini.
Geologi Regional
Daerah Bayat, Kabupaten Klaten, termasuk ke dalam Zona Fisiografi Pegunungan Selatan.
Pegunungan Selatan merupakan pegunungan struktural yang memanjang dari barat ke
timur dan terbagi menjadi dua, yaitu Pegunungan Selatan Jawa Timur dan Pegunungan
Selatan Jawa Barat (Van Bemmelen, 1949). Pada umumnya, pegunungan ini tersusun atas
batuan sedimen klastik, karbonat dan batuan produk vulkanisme. Stratigrafi regional Bayat
dari paling tua ke umur yang paling muda menurut Surono (2008) terdiri dari Batuan
Malihan, Formasi Wungkal Gamping, Formasi Kebo, Formasi Butak, Formasi Semilir,
Formasi Nglanggran, Formasi Sambipitu, Formasi Oyo-Wonosari, dan Formasi Kepek. Di
lokasi penelitian tersingkap formasi Butak dengan litologi berupa batupasir kuarsa dan
batulanau yang dijadikan objek penelitian. Struktur geologi di daerah Bayat terdiri dari
foliasi, sesar, lipatan dan kekar. Menurut Sudarno (1997), arah umum sesar yang terdapat
di daerah Bayat dikelompokkan menjadi empat arah yaitu arah timur laut-barat daya, utaraselatan, barat laut- tenggara, dan timur laut-barat daya. Kekar-kekar yang ditemukan di
daerah ini merupakan kekar gerus yang mempunyai arah sejajar dengan sesar. Struktur
geologi berupa kekar yang dominan berarah timur laut-barat daya dan barat laut-tenggara
banyak dijumpai pada lokasi penelitian.
Metode Penelitian
Metode penelitian mencakup tahap pengambilan data lapangan dan tahap analisis data
lapangan. Tahap pengambilan data lapangan mencakup pengukuran azimut lereng
menggunakan kompas geologi, pengukuran jarak struktur geologi dari titik awal
pengukuran menggunakan mistar, pengukuran orientasi dip dan dip direction dari struktur
geologi, maupun kontak antar jenis batuan dan urat, identifikasi jenis struktur geologi,
dapat berupa bidang sesar, kekar, zona hancuran (shear zone), serta identifikasi nama
batuan berdasarkan karakteristik fisik batuan tersebut. Data data tersebut disusun dalam
Tabel 1. Tahap analisis data lapangan meliputi pengolahan data lapangan menggunakan
software Dips dan studi parametrik lebih lanjut mengenai kemungkinan perubahan
kelerengan yang mungkin terjadi. Data lapangan berjumlah 80 data dip dan dip direction
dari struktur geologi berupa kekar dan perlapisan batuan dimasukkan ke dalam software
Dips tersebut, sehingga didapatkan titik titik pengeplotan berdasarkan analisis
stereografis Schmidt Net. Metode contouring dilakukan berdasarkan kerapatan titik titik
hasil pengeplotan tersebut, didasarkan pada analisis stereografis Kalsbeek Net. Pada
analisis kinematika ini digunakan software Dips untuk melakukan metode contouring ini
untuk menentukan tipe longsoran yang berpotensi terjadi (Gambar 3). Perubahan nilai dip
dan dip direction kelerengan singkapan akibat proses penambangan yang terjadi
membutuhkan perhatian lebih lanjut, sehingga penulis mengajukan studi parametrik untuk
membandingkan skenario perubahan nilai dip dan dip direction kelerengan singkapan
dengan kestabilan lereng singkapan tersebut. Studi parametrik tersebut digunakan pada
skenario model kedua dengan nilai dip 70o (Gambar 6 dan 7) dan skenario model ketiga
dengan nilai dip 75o (Gambar 8 dan 9).
Gambar 7 Gambar 10, bahwa semakin besar kemiringan lereng, maka semakin luas zona
daylight envelope sebagai akibat semakin besar lingkaran slope aspect, sehingga semakin
banyak data kekar yang masuk pada zona daylight envelope untuk plane failure. Semakin
besar kemiringan lereng, zona daylight envelope semakin luas, sehingga perpotongan
bidang lemah minor (joint set) semakin mendekati zona daylight envelope untuk wedge
failure. Berdasarkan dua model analisis kinematika probabilitas diatas, maka perlu
dilakukan suatu langkah nyata untuk mengurangi potensi keterjadian longsor yang semakin
besar pada singkapan tersebut, akibat penambangan yang dilakukan. Rekomendasi utama
yang dapat diajukan adalah dengan menghentikan kegiatan penambangan pada singkapan
tersebut. Apabila tetap dilakukan proses penambangan, maka perlu diperhatikan untuk
tetap menjaga proporsionalitas nilai dip lereng tersebut agar masih memiliki nilai kurang
dari 60o. Penambangan secara lateral juga perlu diperhatikan agar nilai dip direction lereng
berkisar antara kurang dari N30oE dan/atau lebih besar dari N90oE. Rekomendasi ini perlu
diperhatikan dan dilakukan untuk meminimalkan potensi keterjadian longsor tipe planar
dan longsor tipe baji.
Kesimpulan
1. Lokasi penelitian memiliki potensi longsor dengan tipe longsoran planar (plane
failure) dan tipe longsoran baji (wedge failure).
2. Potensi longsoran tipe baji (wedge failure) didasarkan pada perpotongan bidang
lemah minor (joint set) dengan orientasi garis perpotongan plunge/trend yaitu
79o/N44oE.
3. Potensi longsoran tipe planar (plane failure) didasarkan pada beberapa data kekar
pada zona non-daylight envelope yaitu berarah N333oE/81o.
4. Rekomendasi untuk mengurangi keterjadian longsor adalah menghentikan
kegiatan penambangan. Jika kegiatan penambangan tetap dilakukan, keamanan
lereng harus diperhatikan dengan nilai dip lereng harus kurang dari 60o dan nilai
dip direction lereng berkisar antara kurang dari N30oE dan/atau lebih besar dari
N90oE.
Daftar Pustaka
Aprilia, F., 2014. Analisis Tipe Longsor dan Kestabilan Lereng Berdasarkan Orientasi Struktur di
Dinding Utara Tambang Batu Hijau, Sumbawa Barat. Skripsi di Jurusan Teknik Geologi
Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada.
Hoek, E. Dan Bray, J. W.,1981, Rock Slope Engineering, 3rd Edition, The Institution of Mining
and Metallurgy, London, 356 h.
Prasetyadi,C., Sudarno, Ign., Indranadi V.B., Surono, 2011. Pola dan Genesa Stuktur Geologi
Pegunungan Selatan, Provinsi Daerah istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah. Jurnal
Sumber Daya Geologi, Vol. 20, h. 91-107
Lisle, R. J. Dan Leyshon, P.R., 2004. Stereographic Projection Technique: for Geologist and Civil
Engineers. Cambridge University Press, United Kingdom, 2nded., 112h.
Surono, 2008. Litostratigrafi dan Sedimentasi Formasi Kebo dan Formasi Butak do Pegunungan
Baturagung, Jawa Tengah Bagian Selatan. Jurnal Geologi Indonesia, Vol 3,h. 183-193
Surono, 2009. Litostratigrafi Pegunungan Selatan Bagian Timur Daerah Istimewa Yogyakarta dan
Jawa Tengah. Jurnal Sumber Daya Geologi, Vol 19, h. 31-43
Wyllie, D.C. dan Mah, Ch.W., 2004. Rock Slope Engineering: Civil and Mining. Spon Press,
London dan New York, 4th ed., 431 h
Data Longsor, dalam http://geospasial.bnpb.go.id/pantauanbencana/data/datalongsorall.php
(diakses tanggal 12 Oktober 2014)
Pengenalan Gerakan Tanah, dalam http://www.esdm.go.id/batubara/doc_download/489pengenalan-gerakan-tanah.html (diakses tanggal 12 Oktober 2014)
245
Dis.(m)
Type
Dip
Strike
Dip
Dir.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
0
0,2
0,7
1,3
1,4
1,6
1,65
1,67
1,7
2
2
2
2
2,1
2,1
2,3
2,4
2,4
2,4
2,5
2,5
2,5
2,6
2,7
3
3,2
3,4
3,5
3,6
3,6
3,7
3,8
3,8
3,9
4
4,5
4,6
4,7
4,7
4,8
4,8
J
J
J
J
J
J
J
J
J
J
J
J
J
J,SZ
J,SZ
J,SZ
J
J
J,SZ
J,SZ
J,SZ
J
J
J,SZ
J,SZ
J
SZ
J,SZ
J,SZ
J
J,SZ
J
J
J
J
J
J
J
J
J
J
65
75
65
70
68
65
62
75
85
86
85
70
80
86
78
70
80
80
78
62
85
73
82
60
83
75
90
68
65
78
75
85
80
80
78
70
70
80
85
75
80
10
355
335
340
355
10
340
0
340
310
115
20
285
270
285
315
285
325
330
330
340
313
330
335
310
345
270
310
280
333
93
355
338
210
270
300
305
320
290
358
295
100
85
65
70
85
100
70
90
70
40
205
110
15
0
15
45
15
55
60
60
70
43
60
65
40
75
0
40
10
63
183
85
68
300
0
30
35
50
20
88
25
Length
2m
4m
3,5 m
4m
4,5 m
1,5 m
5m
1m
1,7 m
3,1 m
2,5 m
1m
2m
4m
1m
1,5 m
1m
1m
1m
1m
1m
1,8 m
1m
2,5 m
2m
2m
1,5 m
0,8 m
1m
1,8 m
2,5 m
2,2 m
0,8 m
2m
2m
1,5 m
1,5 m
4m
4m
2m
2,5 m
Lithology
0
1
1
2
2
0
2
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
1
2
1
0
1
0
2
2
2
1
0
0
1
2
1
1
1
1
1
1
1
1
0
1
Batupasir Kuarsa
Batupasir Kuarsa
Batupasir Kuarsa
Batupasir Kuarsa
Batupasir Kuarsa
Batupasir Kuarsa
Batupasir Kuarsa
Batupasir Kuarsa
Batupasir Kuarsa
Batupasir Kuarsa
Batupasir Kuarsa
Batupasir Kuarsa
Batupasir Kuarsa
Batupasir Kuarsa
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
246
4,8
4,8
5
5
5,2
5,2
5,3
5,4
5,4
5,4
5,4
5,5
5,5
5,5
5,6
5,6
5,6
5,7
5,7
5,7
5,8
5,8
5,9
5,9
6,0
6,0
6,0
6,1
6,2
6,2
6,2
6,2
6,3
6,3
6,4
6,4
6,5
6,5
3,7
J
J
J
J
J
J
J
J
J
J
J
J
J
J
J
J
J
J
J
J
J
J
J
J
J
J
J
J
J
J
J
J
J
J
J
J
J
J
B
80
79
85
80
83
83
90
80
83
85
80
84
85
80
83
83
90
82
78
85
86
85
83
80
80
80
85
82
90
86
82
78
83
76
68
74
76
80
10
288
300
300
340
330
290
295
300
330
255
230
310
280
300
270
295
310
288
320
344
350
280
300
310
255
285
330
325
310
255
310
330
280
275
290
225
230
220
90
18
30
30
70
60
20
25
30
60
345
320
40
10
30
0
25
40
18
50
74
80
10
30
40
345
15
60
55
40
345
40
60
10
5
20
315
320
310
180
2m
1,5 m
4,5 m
4m
4m
4,3 m
4,1 m
4,3 m
4,3 m
2m
2,5 m
4m
4,5 m
6m
6,3 m
6,2 m
6m
7m
5,5 m
6m
6,3 m
6,4 m
7m
6,6 m
6,8 m
5,5 m
5m
6m
6,5 m
6m
4m
4,5 m
3,5 m
4m
4,5 m
4,7 m
5m
5m
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
1
1
1
1
1
1
1
1
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
Batupasir
247
Gambar 3. Hubungan hasil proyeksi orientasi struktur dan lereng terhadap tipe longsoran
(Hoek dan Bray, 1981 dengan modifikasi)
249
250
251
252
253