Anda di halaman 1dari 47

LEMBAR PENGESAHAN

Nama

: Nadia Alwainy

NIM

: 030.08.171

Universitas

: Universitas Trisakti

Fakultas

: Kedokteran

Tingkat

: Kepanitraan Klinik

Bidang Pendidikan

: Ilmu Kesehatan Anak

Periode Kepaniteraan Klinik : Periode 25 Mei 10 Agustus 2015


Judul Laporan Kasus

: Dengue Shock Syndrome

TELAH DIPERIKSA dan DISETUJUI TANGGAL :

Menyetujui,

Dr. Hj. Siti Rahmah, Sp.A

BAB I
LAPORAN KASUS
I

IDENTITAS
Data
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Alamat
Agama
Suku bangsa
Pendidikan
Pekerjaan
Penghasilan
Keterangan

Pasien
An. W
10 tahun
Perempuan

Ayah
Ibu
Tn. A
Ny. S
38 tahun
35 tahun
Laki-laki
Perempuan
Binatara 17 RT. 06/ 013 Bekasi Barat
Islam
Islam

Islam
Sunda
Pelajar
Hubungan dengan

SMA
Wiraswasta
-

SMA
IRT
-

orang tua : Anak


Tanggal Masuk

Kandung
24 Juni 2015

RS

II

ANAMNESIS

Dilakukan sacara auto dan alloanamnesis kepada pasien dan Ibu pasien.
a

Keluhan Utama :
Demam sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit

b Keluhan Tambahan :
Sakit kepala, mual, muntah, nyeri perut.
c

Riwayat Penyakit Sekarang :


Seorang anak datang diantar orang tuanya dengan keluhan demam
sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam tinggi dirasakan terus
menerus siang dan malam. Pasien juga mengeluh sakit kepala dan badan terasa
lemas. Selain itu pasien juga mengeluh mual dan muntah. Muntah 3 kali
berisi makanan bercampur cairan. Pasien juga mengeluh nyeri perut. Keluhan
seperti batuk, pilek, diare disangkal. Buang air besar (BAB) lancar dengan
frekuensi 1 kali per hari, konsistensi lunak, warna kuning kecokelatan dan
tidak ada darah. Buang air kecil (BAK) lancar, berwarna kuning jernih dan
tidak nyeri.

Pasien sudah berobat ke dokter dan di beri paracetamol, setelah minum


obat panas menjadi berkurang namun tidak beberapa lama panas muncul
kembali. Selain itu pasien juga mengeluh keluar darah dari hidung (mimisan)
1 kali. Selama sakit nafsu makan pasien berkurang dan tampak lemas. Tidak
ada riwayat bepergian keluar kota, alergi makanan maupun alergi obat.
d Riwayat Penyakit Dahulu
Penyakit
Alergi
Cacinga

Umur
-

Penyakit
Difteria
Diare

Umur
-

Penyakit
Jantung
Ginjal

Umur
-

n
DBD
Thypoid
Otitis
Parotis

Kejang
Maag
Varicela
Asma

Darah
Radang paru
Tuberkulosis
Morbili

Riwayat Penyakit Keluarga :

Di dalam keluarga pasien tidak ada yang mengalami hal yang sama seperti pasien.
Tetangga ada yang sakit dbd, teman sekolah tidak ada yng sakit dbd.
f

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran :

KEHAMILAN
KELAHIRAN

Morbiditas kehamilan
Perawatan antenatal
Tempat kelahiran
Penolong persalinan
Cara persalinan
Masa gestasi

Tidak ada
Periksa ke bidan 1 kali tiap bulan
Rumah
Bidan
Spontan
37 minggu
BBL : 3200 gram

Keadaan bayi

PB : 48 CM
Langsung menangis, merah
Apgar score tidak tahu

Tidak ada kelainan bawaan


Kesan : Riwayat kehamilan dan riwayat Kelahiran pasien baik
g

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan :

Pertumbuhan gigi I

: Usia 9 bulan (normal: 5-9 bulan)

Psikomotor
Tengkurap

Kesan : Riwayat
: Usia 4 bulan

(normal: 3-4 bulan)

pertumbuhan
dan
perkembangan
pasien baik

Duduk

: Usia 6 bulan

(normal: 6 bulan)

Berdiri

: Usia 10 bulan

(normal: 9-12 bulan)

Bicara

: Usia 11 bulan

(normal: 9-12 bulan)

Berjalan

: usia 12 bulan

(normal: 13 bulan)

h Riwayat Makanan
Umur

ASI/PASI

Buah/biscuit

Bubur susu

Nasi tim

(bulan)
0-2
+/2-4
+/4-6
+/6-7
+/+
+
+
8-10
10-12
Kesan : Pasien selalu minum ASI sampai umur 7 bulan ini, tidak pernah minum
susu formula, pasien mulai makan makanan buah atau biskuit sejak berumur 6
bulan.
i

Riwayat Imunisasi :

Vaksin
Dasar (umur)
Ulangan (umur)
BCG
1 bln
DPT
2 bln
4 bln
6 bln
POLIO
Lahir 2 bln
4 bln
6 bln
CAMPAK
9 bln
HEPATITIS B Lahir 1 bln
6 bln
Kesan : Riwayat imunisasi pasien menurut PPI lengkap, ibu pasien tidak ingat
jadwal imunisasi ulangan pasien.
J. Riwayat Keluarga
Ayah
Ibu
Nama
Tn. A
Ny. S
Perkawinan ke
1
1
Umur
38
35
Keadaan kesehatan Sehat
Sehat
Kesan : Keadaan kesehatan kedua orang tua dalam keadaan baik
k. Riwayat Perumahan dan Sanitasi :
Pasien tinggal di rumah kontrakan bersama kedua orang tua, dinding terbuat dari
tembok. atap terbuat dari genteng, ventilasi cukup. Menurut pengakuan ibu pasien, keadaan
lingkungan rumah padat, ventilasi dan pencahayaan kurang baik serta pada malam hari

banyak nyamuk. sumber air bersih berasal dari air PAM. Ibu pasien menyatakan tetangganya
banyak mengalami sakit yang serupa dan dirawat di RS.

III
PEMERIKSAAN FISIK
a Keadaan umum
: Tampak sakit sedang
b PAT
o A

: Interactivity (-) look (+), speech (-), tonus (+), consolability (-)

o B

: nafas spontan, napas cuping hidung (-), retraksi (-)

o C

: pucat (+), mottled (-), sianosis (-)

Tanda Vital
- Kesadaran
- Tekanan darah
- Frekuensi nadi
- Frekuensi pernapasan
- Suhu tubuh
d Data antropometri

: Compos mentis
: tidak dapat dinilai
: tidak teraba (a. Radialis & a. Tibialis Anterior)
: 24x/menit
: 37,6 o C

Berat badan

: 59,5 kg

Tinggi badan

: 149 cm

o BB / U : 59.5 / 33 x 100 % = 180 % gizi lebih


o TB / U : 144/138 x 100 % = 104 % gizi baik
o BB/TB : 59.5/ 46 x 100 % = 129% gizi lebih

Kepala

Bentuk

: Normocephali

Rambut

: Rambut hitam, tidak mudah dicabut, distribusi merata

Mata

: Conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil bulat isokor, subconjungtival
bleeding (-)

Telinga

: Normotia, serumen -/-

Hidung

: Bentuk normal, sekret -/-, nafas cuping hidung -/-, mimisan (+)

Mulut

: bibir kering (+) , lidah kotor (-), gusi berdarah (-), faring hiperemis (-)

Leher

: KGB tidak membesar, kelenjar tiroid tidak membesar

Thorax
Paru-paru
Inspeksi
Palpasi

: Gerak napas kedua hemithoraks simetris, retraksi sela iga (-)


: Vocal fremitus sama kuat kanan dan kiri

Perkusi
Auskultasi
Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi

: sonor pada kedua lapang paru


: suara napas vesikuler, ronchi (-/-), wheezing (-/-)
: Ictus cordis tidak terlihat, tidak ada pulsasi abnormal
: Tidak teraba pulsasi abnormal
: batas jantung dan paru paru dalam batas normal
: S1-S2 regular, murmur (-), gallop (-).

Abdomen
- Inspeksi
- Auskultasi
- Palpasi
- Perkusi
h Kulit
i Ekstremitas
IV

: Perut datar
: Bising usus (+) normal 3x/menit
: Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba.
: shifting dullness (-), nyeri ketok (-)
: ikterik (-), petechie (+)
: akral hangat (-/-), oedem (-),CRT >3detik

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium (24 Juni 2015, 11:25 wib)


Pemeriksaan
Leukosit
Hb
Ht
Trombosit

Hasil
6.9
15.7
43.8
41

Laboratorium (24 Juni 2015, 17:06 wib)


Pemeriksaan
Hasil
Leukosit
5.7
Hb
14,2
Ht
38,7
Trombosit
32

Nilai normal
5-10
13-17
40-54
150-400

Satuan
ribu/uL
g/dL
%
ribu/uL

Nilai normal
5-10
13-17
40-54
150-400

Satuan
ribu/uL
g/dL
%
ribu/uL

Laboratorium (24 Juni 2015, 22:49 wib)


Pemeriksaan
Hasil
Nilai normal
Hematologi
Leukosit
5.4
5-10
Hb
14,0
13-17
Ht
39,7
40-54
Trombosit
27
150-400
Eritrosit
6.06
45
MCV
65.6
75 87
MCH
23.1
24 30
MCHC
35.2
31 37
Imunoserologi
CRP Kualitatif
Reaktif
Non reaktif

Satuan
ribu/uL
g/dL
%
ribu/uL
Juta/uL
fL
Pg
%

Protein total
Albumin
Globulin
GDS

5.80
3.24
2.56
102

Ureum
Kreatinin

28
0.73

Natrium (Na)
Kalium (K)
Clorida (Cl)

135
3.7
90

Kesan

Kimia Klinik
6.6 8.0
g/dL
3.5 4.5
g/dL
1.5 3.0
g/dL
60 110
mg/dL
Fungsi Ginjal
20 40
mg/dL
0.5 1.3
mg/dL
Elektrolit
135 145
mmol/L
3.5 - 5.0
mmol/L
94 111
mmol/L
Gambaran Darah Tepi
Trombositopenia dengan limfosit plasma biru sesuai
dengan infeksi dengue.
Mikrositik dengan RetHE rendah, kemungkinan
hemoglobinopati atau kelainan membran eritrosit belum
dapat disingkirkan.

Laboratorium (25 Juni 2015, 07:22 wib)


Pemeriksaan
Hasil
Leukosit
7.6
Hb
13.8
Ht
39.0
Trombosit
14

Nilai normal
5-10
13-17
40-54
150-400

Satuan
ribu/uL
g/dL
%
ribu/uL

Laboratorium (25 Juni 2015, 22:54 wib)


Pemeriksaan
Hasil
Leukosit
4.9
Hb
11.6
Ht
31.3
Trombosit
11

Nilai normal
5-10
13-17
40-54
150-400

Satuan
ribu/uL
g/dL
%
ribu/uL

Laboratorium (26 Juni 2015, 16:04 wib)


Pemeriksaan
Hasil
Leukosit
5.3
Hb
12.0
Ht
32.0
Trombosit
41

Nilai normal
5-10
13-17
40-54
150-400

Satuan
ribu/uL
g/dL
%
ribu/uL

Laboratorium (27 Juni 2015, 06:00)


Pemeriksaan
Hasil
Leukosit
5.3
Hb
11.5
Ht
32.2
Trombosit
64

Nilai normal
5-10
13-17
40-54
150-400

Satuan
ribu/uL
g/dL
%
ribu/uL

Laboratorium (28 Juni 2015, 06:54 wib)


Pemeriksaan
Hasil
Leukosit
5.3
Hb
11.8
Ht
31.9
Trombosit
169

Nilai normal
5-10
13-17
40-54
150-400

Satuan
ribu/uL
g/dL
%
ribu/uL

FOTO THORAX (25 Juni 2015)


Skeletal normal.
Cor, sinuses dan diafragma
normal.
Pulmo : corakan normal. Tak
tampak infiltrat, sudut
costofrenikus kanan dan kiri
tampak menumpul
Kesan : Thorax normal, susp efusi

DIAGNOSIS KERJA
Dengue Shock Syndrome

VI

PENATALAKSANAAN
Rawat intensive
Tirah baring
Asupan cairan yang cukup
Pengawasan tanda vital dan perdarahan
Pemeriksaan lab H2TL /8jam
Nasal kanul O2 3 Lpm
Inj Sanmol 500 mg
Ranitidin 2 x 1 amp
Khusus :

Loading RL (10-20ml/ KgBB/ 30 menit) 600cc / 30menit dalam 2

jalur IV observasi TNSP/ 10mnt + Balance Cairan.


Dilanjutkan dengan RL (10 ml/ KgBB/ 1 Jam) 600cc/ jam selama

24jam observasi TNSP + Balance Cairan + tanda perdarahan.


Dilanjutkan dengan RL (5 ml/ KgBB/ 1 Jam) 300cc/ jam selama 24jam
observasi TNSP + Balance Cairan + tanda perdarahan.

Dilanjutkan dengan RL (3 ml/ KgBB/ 1 Jam) 180cc/ jam selama 24jam


observasi TNSP + Balance Cairan + tanda perdarahan.

VII
PROGNOSIS
- Ad vitam
- As fungsionam
- Ad sanationam

VIII

: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam

FOLLOW UP
Tanggal

Follow up

25/6/2015

S/ mual (+), sakit kepala(+), demam (-)


O/ TD : 100/70mmHg
Nadi : 78 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 37,2oC
Kepala : normocephali, CA -/-, SI -/Leher : KGB tidak teraba membesar
Thoraks : suara napas vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/BJ I&II reguler, murmur -, gallop
Abdomen : Supel, BU + 4x/menit
Ekstremitas : Akral hangat, sianosis -, CRT < 2dtk

A/ DSS
P/
-

IVFD RL 120 cc/jam

IVFD Sanbe Hest 50 cc/jam


26/6/2015

S/ demam(-), mual(+)
O/ TD : 110/80mmHg
Nadi : 94x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,6oC
Kepala : normocephali, CA -/-, SI -/Leher : KGB tidak teraba membesar
Thoraks : suara napas vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/BJ I&II reguler, murmur -, gallop
Abdomen : Supel, BU + 3x/menit
Ekstremitas : Akral hangat, sianosis -, CRT < 2dtk
A/ DSS
P/
- IVFD RL 50 cc/jam
- IVFD Sanbe Hest 25 cc/jam

27/6/2015

S/ mual (-), demam(-)


O/ TD : 110/70mmHg
Nadi : 92x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,8oC
Kepala : normocephali, CA -/-, SI -/-

Leher : KGB tidak teraba membesar


Thoraks : suara napas vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/BJ I&II reguler, murmur -, gallop
Abdomen : Supel, BU + 3x/menit
Ekstremitas : Akral hangat, sianosis -, CRT < 2dtk
A/ DSS
P/
-

IVFD RL 50 cc/jam

IVFD Sanbe Hest 25 cc/jam

Cek DHF / 12 jam

Motivasi minum 1000 cc/hari

Rawat ruang biasa


28/6/2015

S/ mual (-), demam(-)


O/ TD : 120/80mmHg
Nadi : 88x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,5oC
Kepala : normocephali, CA -/-, SI -/Leher : KGB tidak teraba membesar
Thoraks : suara napas vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/BJ I&II reguler, murmur -, gallop
Abdomen : Supel, BU + 3x/menit
Ekstremitas : Akral hangat, sianosis -, CRT < 2dtk
A/ DSS

P/

LEKO
HB
HT
TROM

Motivasi minum 1000 cc/hari

Boleh Pulang

24/6/1

24/6/1

24/6/1

25/6/1

25/6/1

26/6/1

26/6/1

27/6/1

28/6/1

11:25

17:06

22:49

07:22

22:54

16:04

19:41

06:00

07:06

wib

wib

wib

wib

wib

wib

wib

wib

wib

6.9

5.7

5.4

7.6

4.9

5.3

4.6

5.3

5.3

15.7

14,2

14,0

13.8

11.6

12.0

11.6

11.5

11.8

43.8

38,7

39,7

39.0

31.3

32.0

33.4

32.2

31.9

41

32

27

14

11

41

52

64

169

BAB II
ANALISA KASUS

Pasien ini didiagnosis Dengue Shock Syndrome ditegakkan berdasarkan anamnesis,


pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Seorang anak datang dengan keluhan demam
sejak 4 hari. Demam tinggi dirasakan terus menerus siang dan malam. Pasien juga mengeluh
sakit kepala dan badan terasa lemas. Selain itu pasien juga mual dan muntah. Muntah 3 kali
berisi makanan bercampur cairan. Pasien juga mengeluh nyeri perut.
Pasien sudah berobat ke dokter dan di beri paracetamol, setelah minum obat panas
menjadi berkurang namun tidak beberapa lama panas muncul kembali. Selain itu pasien juga
mengeluh keluar darah dari hidung (mimisan) 1 kali. Selama sakit nafsu makan pasien
berkurang dan tampak lemas. Tidak ada riwayat bepergian keluar kota, alergi makanan
maupun alergi obat.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, compos
mentis, TD 100/70 mmHg, nadi tidak teraba, RR 24x/m, suhu 37,6C. Nyeri tekan abdomen
(+). Akral dingin, CRT > 3detik. Pemeriksaan lab trombositopeni dengan nilai 41 ribu/uL.
Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal dibawah
ini dipenuhi:
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2 7 hari, biasanya bifasik
Pada pasien demam sudah 4 hari.
2. Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:
o Uji bendung positif
o Petekie, ekimosis, atau purpura
o Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi)
o Hematemesis atau melena
Pada pasien terdapat riwayat mimisan.
3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul)
Pada pasien trombositopeni dengan nilai 41 ribu/uL
4. Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai
berikut:
o Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan
jenis kelamin
o Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan
dengan nilai hematokrit sebelumnya
[Ht tertinggi ( 43.8 )Ht terendah(31.3)]
x 100 =39.9
Ht terendah(31.3)
o Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites atau hipoproteinemi.
Pada foto thorax pasien didapatkan gambaran efusi pleura.

WHO (1997) membagi DBD menjadi 4 (Vasanwala dkk, 2011):


a. Derajat 1
Demam tinggi mendadak (terus menerus 2-7 hari) disertai tanda dan gejala klinis
(nyeri

ulu

hati,

mual,

muntah,

hepatomegali),

tanpa

perdarahan

spontan,

trombositopenia dan hemokonsentrasi, uji tourniquet positif.


b. Derajat 2
Derajat 1 dan disertai perdarahan spontan pada kulit atau tempat lain seperti mimisan,
muntah darah dan berak darah.
c. Derajat 3
Ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan darah rendah
(hipotensi), kulit dingin, lembab dan gelisah, sianosis disekitar mulut, hidung dan jari
(tanda-tand adini renjatan).
d. Renjatan berat (DSS) / Derajat 4
Syok berat dengan nadi tak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Demam Berdarah Dengue/DBD (dengue haemorrhagic fever/DHF) adalah penyakit


infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot
dan/atau nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan
diatesis

hemoragik.

Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh

hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh.


Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang
ditandai oleh renjatan/syok.2
Epidemiologi
Sejak tahun 1994, seluruh propinsi di Indonesia telah melaporkan kasus DBD dan
daerah tingkat II yang melaporkan kasus DBD juga meningkat, namun angka kematian
menurun tajam dari 41,3% pada tahun 1968, menjadi 3% pada tahun 1984 dan menjadi <3%
pada tahun 1991.3
Pada awal terjadinya wabah di sebuah negara, pola distribusi umur memperlihatkan
proporsi kasus terbanyak berasal dari golongan anak berumur <15 tahun (86-95%). Namun
pada wabah selanjutnya, jumlah kasus golongan usia dewasa muda meningkat. Di Indonesia
pengaruh musim terhadap DBD tidak begitu jelas, namun secara garis besar jumlah kasus
meningkat antara September sampai Februari dengan mencapai puncaknya pada bulan
Januari.3

Gambar 1.1 Negara dengan resiko transmisi dengue (WHO, 2011)

Selama 5 tahun terakhir, insiden DBD meningkat setiap tahun. Insiden tertinggi pada
tahun 2007 yakni 71,78 per 100.000 pddk, namun pada tahun 2008 menurun menjadi 59,02
per 100.000 penduduk. Walaupun angka kesakitan sudah dapat ditekan namun belum
mencapai target yang diinginkan yakni <20 per 100.000 penduduk.

Gambar 1.2 Angka kesakitan dan kematian demam berdarah dengue di Indonesia (Depkes,
2008)

Gambar 2. Distribusi Dengue di Dunia. CDC 2009.7


Keterangan : Biru : area infestasi Aedes aegypti.Merah : area infestasi Aedes aegyptidan
epidemic dengue
DHF/ DSS lebih sering terjadi pada daerah endemis virus dengue dengan beberapa
serotype. Penyakit ini biasanya menjadi epidemic tiap 2-5 tahun. DHF/DSS paling banyak
terjadi pada anak di bawah 15 tahun, biasanya pada umur 4-6 tahun. Frekuensi kejadian DSS
paling tinggi pada dua kelompok penderita : a. anak-anak yang sebelumnya terkena infeksi

virus dengue, b. bayi yang darah ibunya mengandung anti dengue antibody. Transmisi
penyakit biasanya meningkat pada musim hujan.Suhu yang dingin memungkinkan waktu
survival nyamuk dewasa lebih panjang sehingga derajat tranmisi meningkat.2
Case Fatality Rate yang dilaporkan adalah 1%, tetapi di India, Indonesia dan
Myanmar, telah dilaporkan adanya outbreak lokal di daerah perkotaan dengan laporan Case
Fatality Rate sebesar 3-5%. Di Indonesia, dengan 35% populasi yang bertempat tinggal di
daerah perkotaan, 150.000 kasus dilaporkan pada tahun 2007 (kasus tertinggi diantara semua
negara) dengan lebih dari 25.000 kasus dilaporkan berasal dari Jakarta dan Jawa Barat
dengan Case Fatality Rate sebesar 1%.4
Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD sangat
kompleks, yaitu (1) Pertumbuhan penduduk yang tinggi, (2) Urbanisasi yang tidak terencana
dan tidak terkendali, (3) Tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis,
dan (4) Peningkatan sarana transportasi.1

Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang
termasuk dalam group B arthropod borne virus (arbovirus) dan sekarang dikenal sebagai
genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm
terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106.

Gambar 1.3 Virus Dengue (Smith, 2002)

Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya
dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotype
ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Infeksi dengan salah
satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan
tetapi tidak ada perlindungnan terhadap serotipe yang lain. Seseorang yang tinggal di daerah
endemis dengue dapat terinfeksi dengan 3 atau bahkan 4 serotipe selama hidupnya. Keempat
jenis serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia.5
Virus Dengue dapat ditularkan oleh Nyamuk Aedes aegypti dan nyamuk Aedes
albopictus. Nyamuk Aedes aegypti merupakan nyamuk yang paling sering ditemukan.
Nyamuk Aedes aegypti hidup di daerah tropis, terutama hidup dan berkembang biak di
dalam rumah, yaitu tempat penampungan air jernih atau tempat penampungan air sekitar
rumah. Nyamuk ini sepintas lalu tampak berlurik, berbintik bintik putih, biasanya
menggigit pada siang hari, terutama pada pagi dan sore hari. Jarak terbang nyamuk ini 100
meter. Sedangkan nyamuk Aedes albopictus memiliki tempat habitat di tempat air jernih.

Patogenesis
Virus merupakan mikrooganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel hidup. Maka
demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel manusia sebagai pejamu (host)
terutama dalam mencukupi kebutuhan akan protein. Persaingan tersebut sangat tergantung
pada daya tahan pejamu, bila daya tahan baik maka akan terjadi penyembuhan dan timbul
antibodi, namun bila daya tahan rendah maka perjalanan penyakit menjadi makin berat dan
bahkan dapat menimbulkan kematian.2
Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom Syok Dengue) masih merupakan masalah yang
kontroversial.Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD adalah hipotesis infeksi
sekunder

(teori

secondary

heterologous

infection)

atau

hipotesis

immune

enhancement.Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami
infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog mempunyai risiko
berat yang lebih besar untuk menderita DBD/Berat. Antibodi heterolog yang telah ada
sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk
kompleks antigen antibodi yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel

leukosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan
oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag. Dihipotesiskan
juga mengenai antibody dependent enhancement (ADE), suatu proses yang akan
meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai
tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan
hipovolemia dan syok.2
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary heterologous
infection dapat dilihat pada Gambar 1 yang dirumuskan oleh Suvatte, tahun 1977. Sebagai
akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respons
antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi
dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue.
Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi
dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan
terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya
akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3
dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya
plasma dari ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular.Pada pasien dengan syok berat,
volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam.
Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan
kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Syok
yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat
berakhir fatal; oleh karena itu, pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian.2
Secondary heterologous dengue infection
Replikasi virus

Anamnestic antibody response


Kompleks virus-antibody
Aktivasi komplemen
Anafilatoksin (C3a, C5a)

Komplemen
Histamin dalam urin
meningkat

Permeabilitas kapiler

Ht

> 30% pada

Perembesan plasma

Natrium

kasus syok 24-48 jam


Hipovolemia

Cairan dalam rongga


serosa

Syok
Anoksia

Asidosis
Meninggal

Gambar 1. Patogenesis terjadinya syok pada DBD2


Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi selain
mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivitasi
sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah (gambar 2). Kedua faktor
tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat
dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan
pengeluaran ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini
akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga
terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet
faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi intravaskular
deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation product) sehingga
terjadi penurunan faktor pembekuan.2

Secondary heterologous dengue infection


Replikasi virus

Anamnestic antibody

Kompleks virus antibody

Agregasi trombosit

Aktivasi koagulasi Aktivasi komplemen

Penghancuran

Pengeluaran

trombosit oleh RES

Aktivasi faktor Hageman

platelet faktor III


Anafilatoksin

Trombositopenia

Koagulopati

Sistem kinin

konsumtif
Gangguan

Kinin

fungsi trombosit

penurunan faktor

Peningkatan
permeabilitas

pembekuan

kapiler
FDP meningkat

Perdarahan massif

syok

Gambar 2. Patogenesis Perdarahan pada DBD2


Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga
walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi
koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem kinin
sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya
syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh trombositpenia, penurunan faktor
pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dankerusakan dinding endotel kapiler.
Akhirnya, perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.1
Diagnosis
Perubahan patofisiologis pada DBD adalah kelainan hemostasis dan perembesan
plasma. Kedua kelainan tersebut dapat diketahui dengan adanya trombositopenia dan
peningkatan hematokrit.2
Bentuk klasik dari DBD ditandai dengan demam tinggi, mendadak 2-7 hari, disertai
dengan muka kemerahan. Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala, nyeri otot, tulang, sendi,
mual, dan muntah sering ditemukan. Beberapa penderita mengeluh nyeri menelan dengan
faring hiperemis ditemukan pada pemeriksaan, namun jarang ditemukan batuk pilek.

Biasanya ditemukan juga nyeri perut dirasakan di epigastrium dan dibawah tulang iga.
Demam tinggi dapat menimbulkan kejang demam terutama pada bayi.2
Bentuk perdarahan yang paling sering adalah uji tourniquet (Rumple Leede) positif,
kulit mudah memar dan perdarahan pada bekas suntikan intravena atau pada bekas
pengambilan darah. Kebanyakan kasus, petekia halus ditemukan tersebar di daerah
ekstremitas, aksila, wajah, dan palatum mole, yang biasanya ditemukan pada fase awal dari
demam. Epistaksis dan perdarahan gusi lebih jarang ditemukan, perdarahan saluran cerna
ringan dapat ditemukan pada fase demam. Hati biasanya membesar dengan variasi dari just
palpable sampai 2-4 cm di bawah arcus costae kanan. Sekalipun pembesaran hati tidak
berhubungan dengan berat ringannya penyakit namun pembesaran hati lebih sering
ditemukan pada penderita dengan syok.2
Masa kritis dari penyakit terjadi pada akhir fase demam, pada saat ini terjadi
penurunan suhu yang tiba-tiba yang sering disertai dengan gangguan sirkulasi yang bervariasi
dalam berat-ringannya. Pada kasus dengan gangguan sirkulasi ringan perubahan yang terjadi
minimal dan sementara, pada kasus berat penderita dapat mengalami syok.2
Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal dibawah
ini dipenuhi:2
5. Demam atau riwayat demam akut, antara 2 7 hari, biasanya bifasik
6. Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:
o Uji bendung positif
o Petekie, ekimosis, atau purpura
o Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi)
o Hematemesis atau melena
7. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul)
8. Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai
berikut:
o Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan
jenis kelamin
o Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan
dengan nilai hematokrit sebelumnya
o Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites atau hipoproteinemi.

WHO (1997) membagi DBD menjadi 4 (Vasanwala dkk, 2011):


e. Derajat 1

Demam tinggi mendadak (terus menerus 2-7 hari) disertai tanda dan gejala klinis
(nyeri

ulu

hati,

mual,

muntah,

hepatomegali),

tanpa

perdarahan

spontan,

trombositopenia dan hemokonsentrasi, uji tourniquet positif.


f. Derajat 2
Derajat 1 dan disertai perdarahan spontan pada kulit atau tempat lain seperti mimisan,
muntah darah dan berak darah.
g. Derajat 3
Ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan darah rendah
(hipotensi), kulit dingin, lembab dan gelisah, sianosis disekitar mulut, hidung dan jari
(tanda-tand adini renjatan).
h. Renjatan berat (DSS) / Derajat 4
Syok berat dengan nadi tak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur

Manifestasi Klinis
a. Demam5
Demam berdarah dengue biasanya ditandai dengan demam yang mendadak tanpa sebab yang
jelas, continue, bifasik. Biasanya berlangsung 2-7 hari (Bagian Patologi Klinik, 2009). Naik
turun dan tidak berhasil dengan pengobatan antipiretik. Demam biasanya menurun pada hari
ke-3 dan ke-7 dengan tanda-tanda anak menjadi lemah, ujung jari, telinga dan hidung teraba
dingin dan lembab. Masa kritis pda hari ke 3-5. Demam akut (38-40 C) dengan gejala yang
tidak spesifik atau terdapat gejala penyerta seperti , anoreksi, lemah, nyeri punggung, nyeri
tulang sendi dan kepala.

Gambar: Kurva suhu pada DHF


b. Perdarahan
Manifestasi perdarahan pada umumnya muncul pada hari ke 2-3 demam. Bentuk perdarahan
dapat berupa: uji tourniquet positif yang menandakan fraglita kapiler meingkat (Bagian
Patologi Klinik, 2009). Kondisi seperti ini juga dapat dijumpai pada campak, demam
chikungunya, tifoid, dll. Perdarahan tanda lainnya ptekie, purpura, ekomosis, epitaksis dan
perdarahan gusi, hematemesisi melena. Uji tourniquet positif jika terdapat lebih dari 20 ptekie
dalam diameter 2,8 cm di lengan bawah bagian volar termasuk fossa cubiti.
c. Hepatomegali
Ditemukan pada permulaan demam, sifatnya nyeri tekan dan tanpa disertai ikterus.
Umumnya bervariasi, dimulai dengan hanya dapat diraba hingga 2-4 cm di bawah
lengkungan iga kanan (Bagian Patologi Klinik, 2009). Derajat pembesaran hati tidak sejajar
dengan beratnya penyakit namun nyeri tekan pada daerah tepi hati berhubungan dengan
adanya perdarahan.
d. Renjatan (Syok)
Syok biasanya terjadi pada saat demam mulai menurun pada hari ke-3 dan ke-7 sakit. Syok
yang terjadi lebih awal atau periode demam biasanya mempunyai prognosa buruk (Bagian
Patologi Klinik, 2009). Kegagalan sirkulasi ini ditandai dengan denyut nadi terasa cepat dan
lemah disertai penurunan tekanan nadi kurang dari 20 mmHg. Terjadi hipotensi dengan
tekanan darah kurang dari 80 mmHg, akral dingin, kulit lembab, dan pasien terlihat gelisah.

Pemeriksaan Penunjang
a. Darah5
1) Kadar trombosit darah menurun (trombositopenia) ( 100000/I)
2) Hematokrit meningkat 20%, merupakan indikator akan timbulnya renjatan.
Kadar trombosit dan hematokrit dapat menjadi diagnosis pasti pada DBD dengan
dua kriteria tersebut ditambah terjadinya trombositopenia, hemokonsentrasi serta
dikonfirmasi secara uji serologi hemaglutnasi (Brasier, Ju, Garcia, Spratt, Forshey,
Helsey, 2012).

Gambar: Perubahan Ht, Trombosit, dan LPB dalam perjalanan DHF

3) Hemoglobin meningkat lebih dari 20%.


4) Lekosit menurun (lekopenia) pada hari kedua atau ketiga
5) Masa perdarahan memanjang
6) Protein rendah (hipoproteinemia)
7) Natrium rendah (hiponatremia)
8) SGOT/SGPT beisa meningkat
9) Asidosis metabolic
10) Eritrosit dalam tinja hampir sering ditemukan

b. Urine
Kadar albumine urine positif (albuminuria) (Vasanwala, Puvanendran, Chong, Ng, Suhail,
Lee, 2011).
c. Foto thorax
Pada pemeriksaan foto thorax dapat ditemukan efusi pleura. Umumnya posisi lateral
dekubitus kanan (pasien tidur di sisi kanan) lebih baik dalam mendeteksi cairan dibandingkan
dengan posisi berdiri apalagi berbaring.
d. USG
Pemeriksaan USG biasanya lebih disukai pada anak dan dijadikan sebagai pertimbangan
karena tidak menggunakan system pengion (Sinar X) dan dapat diperiksa sekaligus berbagai
organ pada abdomen. Adanya acites dan cairan pleura pada pemeriksaan USG dapat
digunakan sebagai alat menentukan diagnose penyakit yang mungkin muncul lebh berat
misalnya dengan melihat ketebalan dinding kandung empedu dan penebalan pancreas.
e. Diagnosis Serologis
1) Uji hemaglutinasi inhibisi (Uji HI)
Tes ini adalah gold standard pada pemeriksaan serologis, sifatnya sensitive namun
tidak spesifik artinya tidak dapat menunjukkan tipe virus yang menginfeksi.
Antibody HI bertahan dalam tubuh lama sekali (>48 tahun) sehingga uji ini baik
digunakan pada studi serologi-epidemioligi. Untuk diagnosis pasien, Kenaikan
titer konvalesen 4x lipat dari titer serum akut atau titer tinggi (> 1280) baik pada
serum akut atau konvalesen daianggap sebagai presumtif (+) atau di dugan keras
positif infeksu dengue yang baru terjadi (Vasanwala dkk, 2011).

2) Uji komplemen fiksasi (uji CF)


Jarang digunakan secara rutin karena prosedur pemeriksaannya rumit dan butuh
tenaga berpengalaman. Antibodi komplemen fiksasi bertahan beberapa tahun saja
(sekitar 2-3 tahun).
3) Uji neutralisasi

Uji ini paling sensitif dan spesifik untuk virus dengue. Biasanya memamkai cara
Plaque Reduction Neutralization Test (PNRT) yaitu berdasarkan adanya reduksi
dari plaque yang terjadi. Anti body neutralisasi dapat dideteksi dalam serum
bersamaan dengan antibody HI tetapi lebih cepat dari antibody komplemen fiksasi
dan bertahan lama (>4-8 tahun). Prosedur uji ini rumit dan butuh waktu lama
sehingga tidak rutin digunakan (Vasanwala dkk, 2011).
4) IgM Elisa (Mac Elisa, IgM captured ELISA)
Banyak sekali dipakai. Uji ini dilakukan pada hari ke-4-5 infeksi virus dengue
karena IgM sudah timbul kamudian akan diikuti IgG. Bila IgM negative uji ini
perlu diulang. Apabila hari sakit ke-6 IgM msih negative maka dilaporkan sebagai
negative. IgM dapat bertahan dalam darah samapi 2-3 bulan setelah adanya
infeksi. Sensitivitas uji Mac Elisa sedikit di bawah uji HI dengan kelebihan uji
Mac Elisa hanya memerlukan satu serum akut saja dengan spesifitas yang sama
dengan uji HI (Vasanwala dkk, 2011).
5) Identifikasi Virus
Cara diagnostic baru dengan reverse transcriptase polymerase chain reaction
(RTPCR) sifatnya sangat sensitive dan spesifik terhadap serotype tertentu, hasil
cepat didapat dan dapat diulang dengan mudah. Cara ini dapat mendeteksi virus
RNA dari specimen yang berasal dari darah, jaringan tubuh manusia, dan nyamuk.
Sensitifitas PCR sama dengan isolasi virus namun PCR tidak begitu dipengaruhi
oleh penanganan specimen yang kurang baik bahkan adanya antibody dalam darah
juga tidak mempengaruhi hasil dari PCR (Vasanwala dkk, 2011).

Diagnosis Banding
a. Pada awal perjalanan penyakit, diagnosis banding mencakup infeksi bakteri virus,
atau infeksi parasit seperti demam tifoid,campak, influenza hepatitis, demam,
chikungunya, leptospirosis, dan malaria. Adanya trombositopenia yang jelas disertai
hemokonsentrasi dapat membedakan antara DBD dengan penyakit lain.6
b. Demam berdarah dengue harus dibedakan dengan demam chikungunya (DC). Pada
DC biasanya seluruh anggota keluarga dapat terserang dan penularannya mirip
dengan influenza. Bila dibandingkan dengan DBD, DC memperlihatkan serangan

demam mendadak, masa demam lebih pendek, suhu lebih tinggi, hamper selalu
disertai ruam makulopapular,injeksi konjungtiva, dan lebih sering dijumpai nyeri
sendi. Proporsi uji tourniquet positif, petekie epistaksis hampir sama dengan DBD.
Pada DC tidak ditemukan perdarahan gastrointestinal dan syok.
c. Perdarahan seperti petekie dan ekimosis ditemukan pada beberapa penyakit infeksi,
misalnya sepsis, meningitis meningokokus. Pada sepsis, sejak semula pasien tampak
sakit berat, demam naik turun, dan ditemukan tanda-tanda infeksi. Disamping itu jelas
terdapat leukositosis disertai dominasi sel polimorfonuklear (pergeseran kekiri pada
hitung jenis) pemeriksaan LED dapat dipergunakan untuk membedakan infeksi
bakteri dengan virus. Pada meningitis meningokokus, jelas terdapat gejala rangsangan
meningeal dan kelainan pada pemeriksaan cairan serebrospinal
d. Idiophatic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DBD derajat II,
oleh karena didapatkan demam disertai perdarahan dibawah kulit. Pada hari-hari
pertama, diagnosis ITP sulit dibedakan dengan penyakit DBD, tetapi pada ITP demam
cepat menghilang, tidak dijumpai leukopeni, tidak dijumpai hemokonsentrasi, tidak
dijumpai pergeseran kekanan pada hitung jenis. Pada fase penyembuhan DBD jumlah
trombosit lebih cepat kembali normal dari pada ITP
e. Perdarahan dapat juga terjadi pada leukemia atau anemia aplastik. Pada leukemia
demam tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan anak sangat anemis. Pemeriksaan
darah tepi dan sumsum tulang akan memperjelasdiagnosis leukemia. Pada anemia
aplastik akan sangat anemic, demam timbul karena infeksi sekunder. Pada
pemeriksaan

darahditemukan

pansitopenia

(leukosit,

hemoglobin,

trombosit

menurun). Pada pasien dengan perdarahan hebat pemeriksaan foto toraks dan atau
kadar protein dapat membantu menegakkan diagnosis. Pada DBD ditemukan efusi
pleura dan hipoproteinemia sebagai tanda perembesan plasma

Penatalaksanaan
a. Pre Hospital7
Penatalaksanaan prehospital DBD bisa dilakukan melalui 2 cara yaitu
pencegahan dan penanganan pertama pada penderita demam berdarah.
DinasKesehatan Kota Denpasar menjelaskan pencegahan yang dilakukan meliputi
kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN), yaitu kegiatan memberantas jentik
ditempat perkembangbiakan dengan cara 3M:

1) Menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air, seperti bak mandi /


WC, drum, dan lain-lain seminggu sekali (M1).
2) Menutup rapat-rapat tempat penampungan air, seperti gentong air/tempayan,
dan lain-lain (M2).
3) Mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menampung
air hujan (M3).
Pada orang yang menderita demam berdarah pada awalnya mengalami demam
tinggi. Kondisi demam dapat mengakibatkan tubuh kekurangan cairan karena
penguapan, apalagi bila gejala yang menyertai adalah muntah atau intake tidak
adekuat (tidak mau minum), akhirnya jatuh dalam kondisi dehidarasi. Pertolongan
pertama yang dapat diberikan adalah mengembalikan cairan tubuh yaitu
meberikan minum 2 liter/hari (kira kira 8 gelas) atau 3 sendok makan tiap 15
menit. Minuman yang diberikan sesuai selera misalnya air putih, air teh manis,
sirup, sari buah, susu, oralit, shoft drink, dapat juga diberikan nutricious diet yang
banyak beredar saat ini. Untuk mengetahui pemberian cairan cukup atau masih
kurang, perhatikan jumlah atau frakuensi kencing. Frekuansi buang air kecil
minimal 6 kali sehari menunjukkan pemberian cairan mencukupi
Ada cara yang bisa ditempuh tanpa harus diopname di rumah sakit, tapi butuh
kemauan yang kuat untuk melakukannya. Cara itu adalah sebagai berikut (WHO,
1999):
1) Minumlah air putih minimal 20 gelas berukuran sedang setiap hari (lebih
banyak lebih baik)
2) Cobalah menurunkan panas dengan minum obat penurun panas. Parasetamol
sebagai pilihan, dengan dosis 10 mg/BB/kali tidak lebih dari 4 kali sehari.
Jangan memberikan aspirin dan brufen/ibuprofen, sebab dapat menimbulkan
gastritis dan atau perdarahan.
3) Beberapa dokter menyarankan untuk minum minuman ion tambahan (pocari
sweet)
4) Minuman lain yang disarankan: Jus jambu merah untuk meningkatkan
trombosit
5) Makanlah makanan yang bergizi dan usahakan makan dalam kuantitas yang
banyak
6) Cara penghitung kebutuhan cairan dapat berdasarkan rumus berikut ini :
a) Dewasa: 50 cc/kg BB/hari

b) Anak:Untuk 10 kg BB pertama: 100cc/kg BB/ hari


Untuk 10 kg BB kedua: 50 cc/kg BB/ hari
Untuk 10 kg BB ketiga dan seterusnya: 20 cc/kg BB/hari
Pada pasien anak yang rentan mempunyai riwayat kejang demam maka perlu
diwaspadai gejala kejang demam. Seiring dengan kehilangan cairan akibat demam
tinggi, kondisi demam tinggi juga dapat mencetuskan kejang pada anak sehingga
harus diberikan obat penurun panas. Untuk menurunkan demam, berilah obat
penurun panas. Untuk jenis obat penurun panas ini harus dipilih obat yang berasal
dari golongan parasetamol atau asetaminophen, jangan diberikan jenis asetosal
atau aspirin oleh karena dapat merangsang lambung sehingga akan memperberat
bila terdapat perdarahan lambung. Kompres dapat membantu bila anak menderita
demam terlalu tinggi sebaiknya diberikan kompres hangat dan bukan kompres
dingin, oleh karena kompres dingin dapat menyebabkan anak menggigil. Sebagai
tambahan untuk anak yang mempunyai riwayat kejang demam disamping obat
penurun panas dapat diberikan obat anti kejang.
IDAI (2009) menjelaskan tanda-tanda syok harus dikenali dengan baik karena
sangat berbahaya. Apabila syok tidak tertangani dengan baik maka akan menyusul
gejala berikutnya yaitu perdarahan. Pada saat terjadi perdarahan hebat penderita
akan tampak sangat kesakitan, tapi bila syok terjadi dalam waktu yang lama,
penderita sudah tidak sadar lagi. Dampak syok dapat menyebabkan semua organ
tubuh akan kekurangan oksigen dan akhirnya menyebabkan kematian dalam
waktu singkat. Oleh karena itu penderita harus segera dibawa kerumah sakit bila
terdapat tanda gejala dibawah ini:
1) Demam tinggi (lebih 39oc atau lebih)
2)
3)
4)
5)
6)
7)

Muntah terus menerus


Tidak dapat atau tidak mauminum sesuai anjuran
Kejang
Perdarahan hebat, muntah atau berak darah
Nyeri perut hebat
Timbul gejala syok, gelisah atau tidak sadarkan diri, nafas cepat, seluruh
badan teraba lembab, bibir dan kuku kebiruan, merasa haus, kencing

berkurang atau tidak ada sama sekali


8) Hasil laboratorium menunjukkan peningkatan kekentalan darah atau
penurunan jumlah trombosit

Peran serta keluarga dan masyarakat sangat penting untuk membantu dalam
menangani penyakit demam berdarah. Dinas Kesehatan Kota Denpasar
mengarahkan apabila ada penderita yang terkena demam berdarah maka harus
segera melaporkan Kadus/Kaling/Kades/Lurah atau sarana pelayanan kesehatan
terdekat bila ada anggota masyarakat yang terkena DBD.
b. Intra Hospital di Unit Gawat Darurat 7
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan
cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dansebagai akibat
perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di
ruang perawatan biasa. Tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi diperlukan
perawatan intensif.
Perbedaan patofisilogik utama antara DD/DBD/SSD dan penyakit lain adalah
adanya peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma
dangangguan hemostasis. Gambaran klinis DBD/SSD sangat khas yaitu demam
tinggi mendadak, diastesis hemoragik, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi.
Maka keberhasilan tatalaksana DBD terletak pada bagian mendeteksi secara dini
fase kritis yaitu saat suhu turun (the time of defervescence) yang merupakan ease
awal terjadinya kegagalan sirkulasi, dengan melakukan observasi klinis disertai
pemantauan perembesan plasma dan gangguan hemostasis. Prognosis DBD
terletak pada pengenalan awal terjadinya perembesan plasma, yang dapat
diketahui dari peningkatan kadar hematokrit
Fase kritis

pada umumnya mulai terjadi pada hari ketiga sakit.

Penurunanjumlah trombosit sampai <100.000/pl atau kurang dari 1-2 trombosit/


Ipb (rata-rata dihitung pada 10 Ipb) terjadi sebelum peningkatan hematokrit
dansebelum terjadi penurunan suhu. Peningkatan hematokrit 20% atau lebih
mencermikan perembesan plasma dan merupakan indikasi untuk pemberian
caiaran. Larutan garam isotonik atau ringer laktat sebagai cairan awal pengganti
volume plasma dapat diberikan sesuai dengan berat ringan penyakit. Perhatian
khusus pada kasus dengan peningkatan hematokrit yang terus menerus dan
penurunan jumlah trombosit < 50.000/41. Secara umum pasien DBD derajat I
danII dapat dirawat di Puskesmas, rumah sakit kelas D, C dan pada ruang rawat
sehari di rumah sakit kelas B dan A

1) Fase Demam
Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD,
bersifat simtomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah
dehidrasi. Apabila cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau
minum, muntah atau nyeri perut yang berlebihan, maka cairan intravena
rumatan perlu diberikan. Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi perlu
diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat mengurangi lama demam pada
DBD. Parasetamol direkomendasikan untuk pemberian atau dapat di
sederhanakan seperti tertera pada Tabel 1. Rasa haus dan keadaan dehidrasi
dapat timbul sebagai akibat demam tinggi, anoreksia danmuntah. Jenis
minuman yang dianjurkan adalah jus buah, air teh manis, sirup, susu, serta
larutan oralit. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/kg BB dalam 4-6 jam
pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi anak diberikan cairan
rumatan 80-100 ml/kg BB dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang masih minum
asi, tetap harus diberikan disamping larutan oiarit. Bila terjadi kejang demam,
disamping antipiretik diberikan antikonvulsif selama demam 8
Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi.
Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari
ke 3-5 fase demam. Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan
pemeriksaan laboratorium yang terbaik untuk pengawasan hasil pemberian
cairan yaitu menggambarkan derajat kebocoran plasma danpedoman
kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum
dijumpai perubahan tekanan darah dantekanan nadi. Hematokrit harus
diperiksa minimal satu kali sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal
kembali. Bila sarana pemeriksaan hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan
hemoglobin dapat dipergunakan sebagai alternatif walaupun tidak terlalu
sensitif. Untuk Puskesmas yang tidak ada alat pemeriksaan Ht, dapat
dipertimbangkan dengan menggunakan Hb. Sahli dengan estimasi nilai Ht = 3
x kadar Hb
a) Penggantian Volume Plasma
Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada
fase penurunan suhu (fase a-febris, fase krisis, fase syok) maka dasar
pengobatannya adalah penggantian volume plasma yang hilang. Walaupun

demikian, penggantian cairan harus diberikan dengan bijaksana dan


berhati-hati. Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2-3 jam pertama,
sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit).
Tetesan dalam 24-28 jam berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda
vital, kadar hematokrit, danjumlah volume urin.
Penggantian volume cairan harus adekuat, seminimal mungkin
mencukupi kebocoran plasma. Secara umum volume yang dibutuhkan
adalah jumlah cairan rumatan ditambah 5-8%. Cairan intravena
diperlukan, apabila (1) Anak terus menerus smuntah, tidak mau minum,
demam tinggi sehingga tidak rnungkin diberikan minum per oral,
ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok. (2)
Nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala. Jumlah
cairan yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dankehilangan
elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di dalam larutan NaCl 0,45%.
Bila terdapat asidosis, diberikan natrium bikarbonat 7,46% 1-2 ml/kgBB
intravena bolus perlahan-lahan8
Apabila terdapat hemokonsentrasi 20% atau lebih maka komposisi
jenis cairan yang diberikan harus sama dengan plasma. Volume
dankomposisi cairan yang diperlukan sesuai cairan untuk dehidrasi pada
diare ringan sampai sedang, yaitu cairan rumatan + defisit 6% (5 sampai
8%), seperti tertera pada tabel 2 dibawah ini.
Mengingat pada saat awal pasien datang, kita belum selalu dapat
menentukan diagnosis DD/DBD dengan tepat, maka sebagai pedoman
tatalaksana awal dapat dibagi dalam 3 bagian, yaitu:2
1. Tatalaksana kasus tersangka DBD, termasuk kasus DD, DBD derajat I dan DBD derajat II
tanpa peningkatan kadar hematokrit. (Bagan 1 dan 2)
2. Tatalaksana kasus DBD, termasuk kasus DBD derajat II dengan peningkatan kadar
hematokrit. (Bagan 3)
3. Tatalaksana kasus sindrom syok dengue, termasuk DBD derajat III dan IV. (Bagan 4)
Bagan 1. Tatalaksana kasus tersangka DBD[2]
Tersangka
DBD

Tersangka DBD
Demam tinggi, mendadak
terus menerus <7 hari
tidak disertai infeksi saluran nafas bagian atas,
badan lemah/lesu
Ada kedaruratan
Tanda syok
Muntah terus menerus
Kejang
Kesadaran menurun
Muntah darah
Berak darah
Jumlah trombosit
<100.000/l

Tidak ada kedaruratan


Periksa uji torniquet
Uji torniquet (+)
(Rumple Leede)

Uji torniquet (-)


(Rumple Leede)

Jumlah trombosit
>100.000/l

Tatalaksana
disesuaikan,
(Lihat bagan 3,4,5)
Rawat Inap
(lihat bagan 3)

Rawat Jalan
Parasetamol
Kontrol tiap hari
sampai demam hilang

Rawat Jalan
Minum banyak 1,5 liter/hari
Parasetamol
Kontrol tiap hari
sampai demam turun
periksa Hb, Ht, trombosit tiap
kali

Nilai tanda klinis &


jumlah trombosit, Ht
bila masih demam
hari sakit ke-3

Perhatian untuk orang tua


Pesan bila timbul tanda syok:
gelisah, lemah, kaki/tangan
dingin, sakit perut, BAB hitam,
BAK kurang
Lab : Hb & Ht naik
Trombosit turun
Segera bawa ke rumah sakit
Bagan 2. Tatalaksana kasus DBD derajat I dan II
tanpa peningkatan hematokrit[2]
DBD derajat I atau II tanpa peningkatan
hematokrit

Gejala klinis:
Demam 2-7 hari
Uji torniquet (+) atau
perdarahan spontan
Laboratorium:
Hematokrit tidak meningkat
Trombositopenia (ringan)

Pasien masih dapat minum


Beri minum banyak 1-2 liter/hari
Atau 1 sendok makan tiap 5 menit
Jenis minuman; air putih, teh manis,
Sirup, jus buah, susu, oralit
Bila suhu >39oC beri parasetamol
Bila kejang beri obat antikonvulsi
Sesuai berat badan

Monitor gejala klinis dan laboratorium


Perhatikan tanda syok
Palpasi hati setiap hari
Ukur diuresis setiap hari
Awasi perdarahan
Periksa Ht, Hb tiap 6-12 jam
Perbaikan klinis dan laboratoris

Pasien tidak dapat minum


Pasien muntah terus menerus

Pasang infus NaCl 0,9%:


dekstrosa 5% (1:3)
tetesan rumatan sesuai berat badan
Periksa Ht, Hb tiap 6 jam,trombosit
Tiap 6-12 jam

Ht naik dan atau trombosit turun

Infus ganti RL
(tetesan disesuaikan, lihat Bagan 4)

Pulang (Kriteria memulangkan pasien)


Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
Nafsu makan membaik
Secara klinis tampak perbaikan
Hematokrit stabil
Tiga hari setelah syok teratasi
Jumlah trombosit >50.000/l
Tidak dijumpai distress pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)

Bagan 3. Tatalaksana kasus DBD derajat II dengan peningkatan


hematokrit >20%[2]
DBD
derajatI Iatau
atau IIII dengan
dengan peningkatan
hematokrit
>20%
DBD
derajat
peningkatan
hematokrit

Cairan awal
>20% 0,9% atau RLD5/NaCl 0,9%+D5
RL/RA/NaCl
6-7 ml/kgBB/jam
Monitor tanda vital/Nilai Ht & Trombosit tiap 6 jam

Perbaikan

Tidak ada perbaikan

Tidak gelisah
Nadi kuat
Tek.darah stabil
Diuresis cukup
tetap tinggi/naik
(12 ml/kgBB/jam)
Ht turun
(2x pemeriksaan)

Gelisah
Distress pernafasan
Frek.nadi naik
Ht

Tanda vital memburuk


Ht meningkat

Tek.nadi <20 mmHg


Diuresis </tidak ada

Tetesan dikurangi

Tetesan dinaikkan
10-15 ml/kgBB/jam
Perbaikan

5 ml/kgBB/jam

Evaluasi 12-24 jam


Tanda vital tidak stabil

Perbaikan
Sesuaikan tetesan
Distress pernafasan
Ht naik
Tek.nadi < 20 mmHg

3 ml/kgBB/jam
IVFD stop setelah 24-48 jam
Apabila tanda vital/Ht stabil dan
segar
diuresis cukup

Ht turun

Koloid

Transfusi darah

20-30 ml/kgBB

Perbaikan

10 ml/kgBB
Indikasi Transfusi pd
Anak
- Syok yang belum teratasi
- Perdarahan masif

Bagan 4. Tatalaksana kasus DBD derajat III dan IV


(Sindrom Syok Dengue/SSD)[6,2]
DBD
derajat
DBD
derajatIIIIII&&IVIV

1. Oksigenasi (berikan O2 2-4 liter/menit


2. Penggantian volume plasma segera (cairan kristaloid isotonis)
Ringer laktat/NaCl 0,9%
20ml/kgBB secepatnya (bolus dalam 15 menit)

Evaluasi 30 menit, apakah syok teratasi ?


Pantau tanda vital tiap 10 menit
Catat balance cairan selama pemberian cairan intravena
Syok teratasi
Kesadaran membaik
Nadi teraba kuat
Tekanan nadi >20 mmHg
Tidak sesak nafas/sianosis
Ekstrimitas hangat
Diuresis cukup 1 ml/kgBB/jam

Syok tidak teratasi


Kesadaran menurun
Nadi lembut/tidak teraba
Tekanan nadi <20 mmHg
Distress pernafasan/sianosis
Kulit dingin dan lembab
Ekstrimitas dingin
Periksa kadar gula darah

Cairan dan tetesan disesuaikan


10 ml/kgBB/jam
Evaluasi ketat
Tanda vital
Tanda perdarahan
Diuresis
Pantau Hb, Ht, Trombosit

1. Lanjutkan cairan
15-20 ml/kgBB/jam

Stabil dalam 24 jam


Tetesan 5 ml/kgBB/jam
Ht stabil dalam 2x
Pemeriksaan
tinggi/naik
Tetesan 3 ml/kgBB/jam

2. Tambahkan koloid/plasma
Dekstran/FFP
3. Koreksi asidosis
Evaluasi 1 jam
Syok belum teratasi
Syok teratasi
Ht turun
Transfusi darah segar
10 ml/kgBB

Ht tetap

Koloid 20

ml/kgBB
Infus stop tidak melebihi 48 jam
setelah syok teratasi

dapat diulang sesuai


kebutuhan

Komplikasi Neurologis
Frekuensi perubahan neurologis sebagai tanda yang muncul saat infeksi dengue tidak
diketahui jumlahnya, namun komplikasi neurologis terkait dengan infeksi dengue telah
diketahui sejak permulaan abad ke-20 dan dilaporkan terjadi pada hampir setiap Negara di
Asia dan banyak Negara di Amerika. Pada suatu studi di Vietnam diketahui bahwa sekitar 4%
dari pasien yang dirawat pada unit neurologi dengan kecurigaan infeksi susunan saraf pusat

mengalami infeksi akibat virus dengue dan di Thailand, 18% anak-anak yang dirawat di
rumah sakit dengan penyakit seperti encephalitis dikonfirmasi mempunyai infeksi dengue.9
Keterlibatan susunan saraf pusat diperkirakan terjadi akibat Dengue Hemorrhagic
Fever yang berkepanjangan, vaskulitis dan leaky capillary syndrome yang mengakibatkan
eksavasasi cairan, edema serebri, hipoperfusi, hiponatremia, gagal hati dan/atau gagal ginjal.
Hal ini biasa disebut sebagai dengue encephalopathy. Laporan mengenai isolasi virus pada
otak dan cairan serebrospinal menunjukkan adanya invasi virus secara langsung pada susunan
saraf pusat menembus sawar darah-otak. Semua serotype virus dapat terlibat, namun DEN-2
dan DEN-3 adalah yang paling sering dilaporkan sebagai penyebab penyakit neurologis berat.
Ada tiga tipe manifestasi neurologis yang berkaitan dengan infeksi dengue, yaitu:
1. Tanda klasik dengan infeksi akut : sakit kepala, pusing, delirium, restlessness, iritabilitas
mental dan depresi
2. Encephalitis dengan infeksi akut : penekanan saraf sensoris, lethargy, confusion, somnolens,
koma, kejang, leher kaku dan paresis
3. Kelainan post-infeksi : epilepsi, tremor, amnesia, demensia, manik psikosis, Bells palsy,
Reyes syndrome, meningoencephalitis, Guilain-Barre Syndrome
Mortalitas akibat komplikasi neurologis ini termasuk rendah, sekitar 22%, dengan bukti
pemulihan total kesadaran dan gejala neurologis pada pasien yang dapat bertahan hidup
terjadi dalam waktu maksimum 7 hari.
Waktu dari onset penyakit sampai timbulnya komplikasi neurologis diperkirakan
sekitar 3-9 hari, umumnya 6 hari setelah onset. Dengan pemeriksaan penunjang
menggunakan Magnetic Resonance Imaging (MRI) pada 18 pasien ditemukan adanya edema
cerebri pada 12 orang, perubahan seperti encephalitis pada 2 orang, dan tidak adanya
kelainan pada 4 orang. Pada anak-anak usia < 1 tahun, pemindaian ultrasonografi serebri
terlihat normal tanpa kelainan. Data yang didapat dari lumbar pungsi menunjukkan tidak
adanya kelainan pada protein, glukosa, dan sel di cairan serebrospinal, namun semua enzim
hati (AST, ALT, dan alkaline phosphatase) dan level bilirubin meningkat secara signifikan
mengindikasikan adanya disfungsi hati. Selain itu, tidak terdapat perbedaan yang signifikan
pada platelet, serum kalium, serum kalsium yang terionisasi, kreatinin, dan ammonia. Pada
pasien ditemukan adanya bukti infeksi virus dengue, yaitu hasil hemagglutination inhibition
test yang positif dan IgM spesifik dengue atau peningkatan IgG spesifik sebanyak 4 kali lipat.
Ditemukannya IgM pada cairan serebrospinal menunjukkan adanya replikasi virus pada
susunan saraf pusat, tapi titernya lebih rendah daripada di serum. RNA virus dapat ditemukan
pada beberapa pasien dengan menggunakan pemeriksaan PCR assay.10,11

Komplikasi Kardiovaskuler
Komplikasi jantung pada pasien DHF jarang terjadi, namun beberapa laporan
mengatakan bahwa selama episode penyakit dapat terjadi gangguan irama jantung seperti
Atrioventricular Block (AV Block), Atrial Fibrilation (AF), disfungsi sinus node, dan denyut
ventrikel ektopik. Kebanyakan tidak terdapat gejala pada pasien atau asimptomatik dan dapat
sembuh spontan apabila infeksinya ditangani dan mengalami resolusi. Aritmia ini berkaitan
dengan viral myocarditis, namun mekanismenya belum dapat dipastikan. Pada kebanyakan
kasus yang dilaporkan tidak terdapat gangguan elektrolit atau temuan radiologis yang
signifikan. Keterlibatan perikardiun juga dapat terjadi bersama dengan myokarditis pada
infeksi dengue. Perikarditis dapat menyebabkan nyeri dada yang menusuk oleh karena
adanya peradangan pada membran di sekitar jantung. Perikarditis yang berat akan dapat
mengancam nyawa penderitanya, namun apabila ringan akan dapat sembuh dengan
sendirinya.12
Anak-anak yang berusia lebih tua memiliki kecenderungan untuk mengalami infeksi
sekunder dan keadaan syok dibandingkan pasien yang lebih muda. Jumlah platelet pada balita
secara signifikan lebih rendah daripada anak-anak lainnya. Petichiae lebih sering terjadi pada
anak-anak dengan usia lebih muda. Diketahui bahwa komplikasi seperti DIC lebih sering
ditemukan pada pasien dengan syok berat. Anak-anak yang terlambat dirujuk akan lebih
susah untuk diresusitasi hemodinamikanya dan hal ini dapat menimbulkan kematian.
Salah satu komplikasi hematologi yang sering terjadi adalah syok persisten meskipun
pasien telah dirujuk ke Ruang Gawat Darurat dan ditangani sesuai regimen WHO. Hal ini
dibuktikan dengan hasil penelitian yang dilakukan di India Selatan pada 109 pasien pediatri
yang mengalami DHF berat.

Gambar 2. Komplikasi infeksi dengue pada hemostasis


Dikatakan bahwa 39 anak-anak (37,5%) tetap dalam kondisi syok meskipun telah
diberikan minimal 40 ml/kg cairan dan produk darah (whole blood, packed red blood cells
dengan atau tanpa fresh frozen plasma). Penelitian ini juga membuktikan bahwa 32 dari 39
anak tersebut membaik dengan diberikannya perawatan suportif secara terus menerus, seperti
cairan yang lebih, produk darah, agen vasoaktif, dan positive pressure ventilation kalau
diindikasikan. Namun, 6 anak meninggal akibat refractory shock yang diperparah dengan
adanya ARDS dan DIC.12,13
DIC adalah gangguan yang menunjukkan adanya proses deposisi fibrin dan
pendarahan yang terjadi secara bersamaan. Kerusakan sel endotel adalah kejadian yang sering
terjadi akibat infeksi dengue dan dapat mengubah hemostasis secara langsung maupun tidak
langsung. Infeksi ini dapat mengakibatkan keadaan prokoagulan dengan menginduksi faktor
pembekuan pada permukaan endotel yang dimediasi oleh sitokin. Kerusakan pada dinding
endotel juga dapat menyebabkan meningkatnya konsumsi platelet sehingga pasien akan
mengalami trombositopenia. Selain itu, fibrinolisis juga diaktifkan sehingga menyebabkan
pendarahan. Namun, aktivasi ini relatif lebih rendah dibandingkan aktivitas prokoagulan.
Ketidakseimbangan inilah yang akan menyebabkan DIC. DIC dapat menyebabkan kegagalan
fungsi organ dan angka kematian yang tinggi.,

Gambar 3. Patogenesis DIC

Komplikasi Respirasi
Demam berdarah dapat mengakibatkan Acute Respiratory Distress Syndrome
(ARDS). Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya antigen virus dengue pada sel-sel lapisan
alveolar paru-paru. Pada saat stadium akut atau febris terjadi pelepasan mediator C3a dan
C5a yang menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler sehingga cairan plasma dapat
bocor ke ruang interstitial dan mengakibatkan edema serta disfungsi paru.14
Dengue Shock Syndrome (DSS) dilaporkan menjadi penyebab ketiga ARDS yang
terjadi pada perawatan intensif anak di daerah endemik demam berdarah. Pemulihan perfusi
jaringan yang adekuat sangatlah penting untuk mencegah progresi DSS menjadi ARDS,
namun perlu diperhatikan agar tidak terjadi kelebihan cairan karena hal itu dapat juga
memicu timbulnya ARDS. Komplikasi ini memerlukan pengenalan dan perawatan yang dini
untuk mendapatkan hasil yang baik.12
Komplikasi Hepatobilier
Walaupun hati bukan termasuk target organ dari virus dengue, beberapa penemuan
patologis pada hati telah dilaporkan seperti fatty liver, nekrosis sentrilobular, dan infiltrasi
monosit pada jalur porta hepatis. Pada suatu penelitian yang dilakukan di Thailand pada 191
pasien pediatri, ditemukan angka kejadian disfungsi hati sekitar 34,6% (66/191). Angka ini

termasuk tinggi, mirip dengan yang dilaporkan terjadi pada Negara berkembang Asia lainnya
dengan angka kejadian berkisar dari 30% sampai 90%. Diketahui juga bahwa angka kejadian
disfungsi hati pada kasus dengan syok (37,8%) hanya sedikit lebih tinggi dan tidak signifikan
dibandingkan dengan kasus tanpa syok (30,7%). Selain itu, sekitar 8% pasien dengan
disfungsi hati mengalami hepatic encephalopathy.
Tanda yang paling jelas menunjukkan keterlibatan hati pada infeksi dengue adalah
adanya pembesaran hati (hepatomegaly). Studi-studi terkini menunjukkan heoatomegali
terlihat pada 50-100% kasus infeksi dengue dan pembesaran hati sedang dapat merupakan
bagian respon patologis normal terhadap infeksi dengue. Data yang didapat cenderung
mengindikasikan adanya hepatomegali pada kasus-kasus dengue, dengan angka kejadian
yang sedikit lebih tinggi pada kasus-kasus berat.
Pada pasien dengue, enzim Aspartate Aminotrasferase (AST) dan Alanine
Aminotransferase (ALT) sering kali meningkat. Hal ini merupakan indikator sensitif adanya
kerusakan pada hati. Studi yang dilakukan di Taiwan pada 240 pasien dengue akibat wabah
tahun 1987-1988 menunjukkan peningkatan AST terjadi pada 93,3% kasus dan peningkatan
ALT terjadi pada 82,2% kasus. Kebanyakan pasien mengalami peningkatan transaminase
yang sedikit atau sedang, hanya 10% saja yang mengalami peningkatan sampai dengan 10
kali lipat. Rata-rata level AST dan ALT pada pasien DHF lebih tinggi secara signifikan jika
dibandingkan dengan pasien DF (Dengue Fever). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
level serum AST lebih tinggi dibandingkan dengan serum ALT, berbeda dengan temuan
normal pada pasien viral hepatitis. Selain itu, keterlibatan hati lebih berat terjadi pada infeksi
virus dengue serotype DENV-3 dan DENV-4. Secara umum, peningkatan level enzim hati
adalah karakteristik yang umum terjadi pada infeksi dengue dan dapat menjadi faktor
pembanding dalam membedakan dengue dari penyakit febris lainnya.9,15
Komplikasi Limforetikuler
Antigen virus dengue dapat ditemukan pada sel-sel limfa, kelenjar timus dan kelenjar
getah bening. Limfadenopati pada pasien DHF ditemukan pada setengah kasus dan
splenomegali jarang ditemukan pada balita. Ruptur limfa dan infark kelenjar limfa pada
pasien DHF jarang terjadi. Dokter harus memperhatikan adanya komplikasi yang fatal ini di
daerah endemik DHF. Kasus ruptur limfa dapat salah diagnosis oleh karena keliru
menginterpretasikan sindroma syoknya. Splenektomi dapat dilakukan sebagai terapi kuratif.
Telah dilaporkan adanya kasus infark limfo nodi yang berhubungan dengan disseminated
intravascular infarction pada kasus demam berdarah yang telah terbukti secara serologis.

Infark diperkirakan disebabkan oleh adanya sumbatan trombotik pada pembuluh-pembuluh di


daerah parahilus. Limfoma maligna sebagai penyebab paling umum dari infark kelenjar limfa
harus dieksklusi dengan menggunakan proses imunohistokima.12
Komplikasi Ginjal
Gagal ginjal akut relatif jarang terjadi pada pasien dengan DHF. Suatu penelitian di
Thailand mengatakan bahwa hanya sekitar 0,9% atau 25 orang dari total 2893 pasien anakanak mengalami DHF yang menyebabkan gagal ginjal akut. Walaupun angka kejadiannya
sedikit, namun mortalitas yang dimbulkan oleh kelainan ini cukup tinggi yaitu mencapai
64%. Angka kematian yang tinggi ini diakibatkan oleh syok berkepanjangan yang berujung
pada gagal hati, gagal napas, dan pendarahan masif. Semua hal ini merupakan penyebab
utama kematian pada pasien DHF.
Rhabdomyolisis, hemolisis akut, hipotensi dan kerusakan ginjal langsung akan dapat
menyebabkan gagal ginjal akut pada pasien dengan infeksi dengue. DSS adalah penyebab
utama dari gagal ginjal akut pada anak-anak. Adapun faktor resikonya adalah obesitas dan
DHF grade IV dikarenakan anak-anak dengan obesitas lebih rentan terhadap penyakit DHF
yang serius dibandingkan dengan anak-anak dengan berat badan normal.
Gagal ginjal akut tanpa syok berkepanjangan mempunyai prognosis yang bagus
dengan angka kematian yang rendah. Resiko fatal meningkat apabila pasien menunjukan
tanda DHF grade IV, oliguric AKI, gagal napas, atau pemanjangan PT atau APTT lebih dari
dua kali lipat referensinya. Diantara pasien yang selamat, tidak ada yang dilaporkan
mengalami penyakit ginjal kronis. Selain itu, fungsi ginjal dapat kembali normal dalam waktu
1 bulan.12,16
Komplikasi Muskuloskeletal
Demam berdarah dapat menyebabkan kerusakan pada otot, sendi dan nyeri tulang.
Komplikasinya termasuk myositis dan Rhabdomyolisis, namun hal ini bukan termasuk
karakteristik dari DHF. Invasi virus dengue secara langsung ke otot belum terbukti dan
penyebab yang paling mungkin untuk saat ini diperkirakan adalah myotoxic cytokines,
terutama Tumor Necrosis Factor (TNF).12
Studi mengenai spesimen biopsi otot pasien mengemukakan penemuan dari infiltrate
limfosit yang sedikit sampai dengan adanya myonekrosis berat dengan focal lesions.
Rhabdomyolisis menunjukkan manifestasi klinis myalgia, kelemahan, dan warna urin yang
gelap. Peningkatan level kreatinin kinase merupakan indikator spesifik terhadap

rhabdomyolisis. Biopsi otot konsisten dengan myositis. Rhabdomyolisis dapat menyebabkan


gagal ginjal akut dan gangguan elektrolit kalau tidak diketahui dan ditangani dengan cepat.
Oleh karena itu disarankan bagi semua pasien DHF untuk melakukan dipstick
urinalysis intuk memantau komplikasi dan apabila positif dapat dilanjutkan dengan
pengecekan level serum kreatinin kinase.12,17
Komplikasi Genitalia
Acute Idiopathic Scrotal Edema (AISE) adalah manifestasi yang jarang terjadi pada
demam berdarah. AISE biasanya mempengaruhi anak-anak yang berusia sekitar 4-12 tahun
dan didefinisikan sebagai edema terbatas dan eritema di skrotum yang sembuh tanpa sekuel
dalam waktu 1-3 hari. Pasien dengan AISE biasanya asimptomatik atau menunjukkan sedikit
gangguan pada skrotumnya. Kondisi ini ditandai dengan onset yang mendadak, subcutaneous
scrotal edema, eritema, dan nyeri skrotum ringan. Biasanya pasien mengalami febris atau
demam yang ringan. Pasien dapat sembuh spontan dalam waktu 6-72 jam dengan
dilakukannya bedrest dan elevasi skrotum. Penyebab AISE pada pasien dengan DHF
kemungkinan disebabkan oleh adanya kebocoran plasma sebagai akibat dari peningkatan
permeabilitas vaskuler yang ditimbulkan oleh karena infeksi virus dengue18.

DAFTAR PUSTAKA

1) Hadinegoro S.R.H, Soegijanto S, dkk. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue di


Indonesia

Departemen

Kesehatan

Republik

Indonesia.

Direktorat

Jenderal

Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan.. Edisi 3. Jakarta.


2004.
2) Suhendro dkk. Demam Berdarah Dengue. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III.
Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta, Juni 2006. Hal. 1731-5.
3) Sungkar S. Demam Berdarah Dengue. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ikatan
Dokter Indonesia. Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta, Agustus
2002.

4) Asih Y. S.Kp. Demam Berdarah Dengue, Diagnosis, Pengobatan, Pencegahan, dan


Pengendalian. World Health Organization. Edisi 2. Jakarta. 1998.
5) Gubler D.J. Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. PubMed Central Journal List.
Terdapat

di:

http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=1508601.

Diakses pada: 2009, Desember 29.


6) Gubler DJ, Clark GG. Dengue/Dengue Hemorrhagic Fever: The Emergence of a
Global
Centers

Health
for

Problem.

National

Disease

Center
Control

for

Infectious
and

Diseases
Prevention

Fort Collins, Colorado, and San Juan, Puerto Rico, USA. 1996. Terdapat di:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8903160. Diakses pada: 2009, Desember 29.
7) Fernandes MDF. Dengue/Dengue Hemorrhagic Fever. Infectious disease. Terdapat di:
http://www.medstudents.com.br/dip/dip1.htm. Diakses pada: 2009, Desember 29.
8) World Health Organization. Dengue and dengue haemorrhagic fever. Terdapat di:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/htm. Diakses pada: 2009, Desember
29.
9) Wiwanitkit, V. Liver Dysfunction in Dengue Infection, an Analysis of The Previously
Published Thai Cases. J Ayub Med Coll Abbottabad. 2007;19(1):10-12
10) Kanade, T and Shah, I. Dengue Encephalopathy. J Vector Borne Dis 48. 2011;180181
11) B V Cam, L et al. Prospective Case-Control Study of Encephalopathy in Children
with Dengue Hemorrhagic Fever. Am J Trop Med Hyg. 2001;65(6):848-851
12) Gulati, S and Maheswari, A. Atypical Manifestations of Dengue. Tropical Medicine
and International Health 2007; 12 (9): 1087-1095
13) Kamath S R and Ranjit S. Clinical Features, Complications and Atypical
Manifestations of Children with Severe forms of Dengue Hemorrhagic Fever In South
India. Indian Journal of Pediatric. 2006;3:889-895
14) Chuansumrit, A et al. Pathophysiology and Management of Dengue Hemorrhagic
Fever. Journal comp. 2006:3-11
15) Smith, D R and Khakpoor, A. Involvement of The Liver in Dengue Infections. Dengue
Bulletin. 2009; 33:75-86
16) Laoprasopwattana, K et al. Outcome of Dengue Hemorrhagic Fever-Caused Acuke
Kidney Injury in Thai Children. The Journal of Pediatric. 2010; 157:303-9
17) Lim, M and Goh, H K. Rhabdomyolysis Following Dengue Virus Infection. Singapore
Med J 2005; 46(11): 645-646
18) Chen, T et al. Dengue Hemorrhagic Fever Complicated with Acute Idiopathic Scrotal
Edema and Polyneuropathy. Am J Trop Med. Hyg. 2008; 78(1): 8-10.

Anda mungkin juga menyukai