Case Dss
Case Dss
Nama
: Nadia Alwainy
NIM
: 030.08.171
Universitas
: Universitas Trisakti
Fakultas
: Kedokteran
Tingkat
: Kepanitraan Klinik
Bidang Pendidikan
Menyetujui,
BAB I
LAPORAN KASUS
I
IDENTITAS
Data
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Alamat
Agama
Suku bangsa
Pendidikan
Pekerjaan
Penghasilan
Keterangan
Pasien
An. W
10 tahun
Perempuan
Ayah
Ibu
Tn. A
Ny. S
38 tahun
35 tahun
Laki-laki
Perempuan
Binatara 17 RT. 06/ 013 Bekasi Barat
Islam
Islam
Islam
Sunda
Pelajar
Hubungan dengan
SMA
Wiraswasta
-
SMA
IRT
-
Kandung
24 Juni 2015
RS
II
ANAMNESIS
Dilakukan sacara auto dan alloanamnesis kepada pasien dan Ibu pasien.
a
Keluhan Utama :
Demam sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit
b Keluhan Tambahan :
Sakit kepala, mual, muntah, nyeri perut.
c
Umur
-
Penyakit
Difteria
Diare
Umur
-
Penyakit
Jantung
Ginjal
Umur
-
n
DBD
Thypoid
Otitis
Parotis
Kejang
Maag
Varicela
Asma
Darah
Radang paru
Tuberkulosis
Morbili
Di dalam keluarga pasien tidak ada yang mengalami hal yang sama seperti pasien.
Tetangga ada yang sakit dbd, teman sekolah tidak ada yng sakit dbd.
f
KEHAMILAN
KELAHIRAN
Morbiditas kehamilan
Perawatan antenatal
Tempat kelahiran
Penolong persalinan
Cara persalinan
Masa gestasi
Tidak ada
Periksa ke bidan 1 kali tiap bulan
Rumah
Bidan
Spontan
37 minggu
BBL : 3200 gram
Keadaan bayi
PB : 48 CM
Langsung menangis, merah
Apgar score tidak tahu
Pertumbuhan gigi I
Psikomotor
Tengkurap
Kesan : Riwayat
: Usia 4 bulan
pertumbuhan
dan
perkembangan
pasien baik
Duduk
: Usia 6 bulan
(normal: 6 bulan)
Berdiri
: Usia 10 bulan
Bicara
: Usia 11 bulan
Berjalan
: usia 12 bulan
(normal: 13 bulan)
h Riwayat Makanan
Umur
ASI/PASI
Buah/biscuit
Bubur susu
Nasi tim
(bulan)
0-2
+/2-4
+/4-6
+/6-7
+/+
+
+
8-10
10-12
Kesan : Pasien selalu minum ASI sampai umur 7 bulan ini, tidak pernah minum
susu formula, pasien mulai makan makanan buah atau biskuit sejak berumur 6
bulan.
i
Riwayat Imunisasi :
Vaksin
Dasar (umur)
Ulangan (umur)
BCG
1 bln
DPT
2 bln
4 bln
6 bln
POLIO
Lahir 2 bln
4 bln
6 bln
CAMPAK
9 bln
HEPATITIS B Lahir 1 bln
6 bln
Kesan : Riwayat imunisasi pasien menurut PPI lengkap, ibu pasien tidak ingat
jadwal imunisasi ulangan pasien.
J. Riwayat Keluarga
Ayah
Ibu
Nama
Tn. A
Ny. S
Perkawinan ke
1
1
Umur
38
35
Keadaan kesehatan Sehat
Sehat
Kesan : Keadaan kesehatan kedua orang tua dalam keadaan baik
k. Riwayat Perumahan dan Sanitasi :
Pasien tinggal di rumah kontrakan bersama kedua orang tua, dinding terbuat dari
tembok. atap terbuat dari genteng, ventilasi cukup. Menurut pengakuan ibu pasien, keadaan
lingkungan rumah padat, ventilasi dan pencahayaan kurang baik serta pada malam hari
banyak nyamuk. sumber air bersih berasal dari air PAM. Ibu pasien menyatakan tetangganya
banyak mengalami sakit yang serupa dan dirawat di RS.
III
PEMERIKSAAN FISIK
a Keadaan umum
: Tampak sakit sedang
b PAT
o A
: Interactivity (-) look (+), speech (-), tonus (+), consolability (-)
o B
o C
Tanda Vital
- Kesadaran
- Tekanan darah
- Frekuensi nadi
- Frekuensi pernapasan
- Suhu tubuh
d Data antropometri
: Compos mentis
: tidak dapat dinilai
: tidak teraba (a. Radialis & a. Tibialis Anterior)
: 24x/menit
: 37,6 o C
Berat badan
: 59,5 kg
Tinggi badan
: 149 cm
Kepala
Bentuk
: Normocephali
Rambut
Mata
: Conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil bulat isokor, subconjungtival
bleeding (-)
Telinga
Hidung
: Bentuk normal, sekret -/-, nafas cuping hidung -/-, mimisan (+)
Mulut
: bibir kering (+) , lidah kotor (-), gusi berdarah (-), faring hiperemis (-)
Leher
Thorax
Paru-paru
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
- Inspeksi
- Auskultasi
- Palpasi
- Perkusi
h Kulit
i Ekstremitas
IV
: Perut datar
: Bising usus (+) normal 3x/menit
: Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba.
: shifting dullness (-), nyeri ketok (-)
: ikterik (-), petechie (+)
: akral hangat (-/-), oedem (-),CRT >3detik
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil
6.9
15.7
43.8
41
Nilai normal
5-10
13-17
40-54
150-400
Satuan
ribu/uL
g/dL
%
ribu/uL
Nilai normal
5-10
13-17
40-54
150-400
Satuan
ribu/uL
g/dL
%
ribu/uL
Satuan
ribu/uL
g/dL
%
ribu/uL
Juta/uL
fL
Pg
%
Protein total
Albumin
Globulin
GDS
5.80
3.24
2.56
102
Ureum
Kreatinin
28
0.73
Natrium (Na)
Kalium (K)
Clorida (Cl)
135
3.7
90
Kesan
Kimia Klinik
6.6 8.0
g/dL
3.5 4.5
g/dL
1.5 3.0
g/dL
60 110
mg/dL
Fungsi Ginjal
20 40
mg/dL
0.5 1.3
mg/dL
Elektrolit
135 145
mmol/L
3.5 - 5.0
mmol/L
94 111
mmol/L
Gambaran Darah Tepi
Trombositopenia dengan limfosit plasma biru sesuai
dengan infeksi dengue.
Mikrositik dengan RetHE rendah, kemungkinan
hemoglobinopati atau kelainan membran eritrosit belum
dapat disingkirkan.
Nilai normal
5-10
13-17
40-54
150-400
Satuan
ribu/uL
g/dL
%
ribu/uL
Nilai normal
5-10
13-17
40-54
150-400
Satuan
ribu/uL
g/dL
%
ribu/uL
Nilai normal
5-10
13-17
40-54
150-400
Satuan
ribu/uL
g/dL
%
ribu/uL
Nilai normal
5-10
13-17
40-54
150-400
Satuan
ribu/uL
g/dL
%
ribu/uL
Nilai normal
5-10
13-17
40-54
150-400
Satuan
ribu/uL
g/dL
%
ribu/uL
DIAGNOSIS KERJA
Dengue Shock Syndrome
VI
PENATALAKSANAAN
Rawat intensive
Tirah baring
Asupan cairan yang cukup
Pengawasan tanda vital dan perdarahan
Pemeriksaan lab H2TL /8jam
Nasal kanul O2 3 Lpm
Inj Sanmol 500 mg
Ranitidin 2 x 1 amp
Khusus :
VII
PROGNOSIS
- Ad vitam
- As fungsionam
- Ad sanationam
VIII
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
FOLLOW UP
Tanggal
Follow up
25/6/2015
A/ DSS
P/
-
S/ demam(-), mual(+)
O/ TD : 110/80mmHg
Nadi : 94x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,6oC
Kepala : normocephali, CA -/-, SI -/Leher : KGB tidak teraba membesar
Thoraks : suara napas vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/BJ I&II reguler, murmur -, gallop
Abdomen : Supel, BU + 3x/menit
Ekstremitas : Akral hangat, sianosis -, CRT < 2dtk
A/ DSS
P/
- IVFD RL 50 cc/jam
- IVFD Sanbe Hest 25 cc/jam
27/6/2015
IVFD RL 50 cc/jam
P/
LEKO
HB
HT
TROM
Boleh Pulang
24/6/1
24/6/1
24/6/1
25/6/1
25/6/1
26/6/1
26/6/1
27/6/1
28/6/1
11:25
17:06
22:49
07:22
22:54
16:04
19:41
06:00
07:06
wib
wib
wib
wib
wib
wib
wib
wib
wib
6.9
5.7
5.4
7.6
4.9
5.3
4.6
5.3
5.3
15.7
14,2
14,0
13.8
11.6
12.0
11.6
11.5
11.8
43.8
38,7
39,7
39.0
31.3
32.0
33.4
32.2
31.9
41
32
27
14
11
41
52
64
169
BAB II
ANALISA KASUS
ulu
hati,
mual,
muntah,
hepatomegali),
tanpa
perdarahan
spontan,
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
hemoragik.
Selama 5 tahun terakhir, insiden DBD meningkat setiap tahun. Insiden tertinggi pada
tahun 2007 yakni 71,78 per 100.000 pddk, namun pada tahun 2008 menurun menjadi 59,02
per 100.000 penduduk. Walaupun angka kesakitan sudah dapat ditekan namun belum
mencapai target yang diinginkan yakni <20 per 100.000 penduduk.
Gambar 1.2 Angka kesakitan dan kematian demam berdarah dengue di Indonesia (Depkes,
2008)
virus dengue, b. bayi yang darah ibunya mengandung anti dengue antibody. Transmisi
penyakit biasanya meningkat pada musim hujan.Suhu yang dingin memungkinkan waktu
survival nyamuk dewasa lebih panjang sehingga derajat tranmisi meningkat.2
Case Fatality Rate yang dilaporkan adalah 1%, tetapi di India, Indonesia dan
Myanmar, telah dilaporkan adanya outbreak lokal di daerah perkotaan dengan laporan Case
Fatality Rate sebesar 3-5%. Di Indonesia, dengan 35% populasi yang bertempat tinggal di
daerah perkotaan, 150.000 kasus dilaporkan pada tahun 2007 (kasus tertinggi diantara semua
negara) dengan lebih dari 25.000 kasus dilaporkan berasal dari Jakarta dan Jawa Barat
dengan Case Fatality Rate sebesar 1%.4
Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD sangat
kompleks, yaitu (1) Pertumbuhan penduduk yang tinggi, (2) Urbanisasi yang tidak terencana
dan tidak terkendali, (3) Tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis,
dan (4) Peningkatan sarana transportasi.1
Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang
termasuk dalam group B arthropod borne virus (arbovirus) dan sekarang dikenal sebagai
genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm
terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106.
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya
dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotype
ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Infeksi dengan salah
satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan
tetapi tidak ada perlindungnan terhadap serotipe yang lain. Seseorang yang tinggal di daerah
endemis dengue dapat terinfeksi dengan 3 atau bahkan 4 serotipe selama hidupnya. Keempat
jenis serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia.5
Virus Dengue dapat ditularkan oleh Nyamuk Aedes aegypti dan nyamuk Aedes
albopictus. Nyamuk Aedes aegypti merupakan nyamuk yang paling sering ditemukan.
Nyamuk Aedes aegypti hidup di daerah tropis, terutama hidup dan berkembang biak di
dalam rumah, yaitu tempat penampungan air jernih atau tempat penampungan air sekitar
rumah. Nyamuk ini sepintas lalu tampak berlurik, berbintik bintik putih, biasanya
menggigit pada siang hari, terutama pada pagi dan sore hari. Jarak terbang nyamuk ini 100
meter. Sedangkan nyamuk Aedes albopictus memiliki tempat habitat di tempat air jernih.
Patogenesis
Virus merupakan mikrooganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel hidup. Maka
demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel manusia sebagai pejamu (host)
terutama dalam mencukupi kebutuhan akan protein. Persaingan tersebut sangat tergantung
pada daya tahan pejamu, bila daya tahan baik maka akan terjadi penyembuhan dan timbul
antibodi, namun bila daya tahan rendah maka perjalanan penyakit menjadi makin berat dan
bahkan dapat menimbulkan kematian.2
Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom Syok Dengue) masih merupakan masalah yang
kontroversial.Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD adalah hipotesis infeksi
sekunder
(teori
secondary
heterologous
infection)
atau
hipotesis
immune
enhancement.Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami
infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog mempunyai risiko
berat yang lebih besar untuk menderita DBD/Berat. Antibodi heterolog yang telah ada
sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk
kompleks antigen antibodi yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel
leukosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan
oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag. Dihipotesiskan
juga mengenai antibody dependent enhancement (ADE), suatu proses yang akan
meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai
tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan
hipovolemia dan syok.2
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary heterologous
infection dapat dilihat pada Gambar 1 yang dirumuskan oleh Suvatte, tahun 1977. Sebagai
akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respons
antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi
dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue.
Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi
dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan
terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya
akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3
dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya
plasma dari ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular.Pada pasien dengan syok berat,
volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam.
Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan
kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Syok
yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat
berakhir fatal; oleh karena itu, pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian.2
Secondary heterologous dengue infection
Replikasi virus
Komplemen
Histamin dalam urin
meningkat
Permeabilitas kapiler
Ht
Perembesan plasma
Natrium
Syok
Anoksia
Asidosis
Meninggal
Anamnestic antibody
Agregasi trombosit
Penghancuran
Pengeluaran
Trombositopenia
Koagulopati
Sistem kinin
konsumtif
Gangguan
Kinin
fungsi trombosit
penurunan faktor
Peningkatan
permeabilitas
pembekuan
kapiler
FDP meningkat
Perdarahan massif
syok
Biasanya ditemukan juga nyeri perut dirasakan di epigastrium dan dibawah tulang iga.
Demam tinggi dapat menimbulkan kejang demam terutama pada bayi.2
Bentuk perdarahan yang paling sering adalah uji tourniquet (Rumple Leede) positif,
kulit mudah memar dan perdarahan pada bekas suntikan intravena atau pada bekas
pengambilan darah. Kebanyakan kasus, petekia halus ditemukan tersebar di daerah
ekstremitas, aksila, wajah, dan palatum mole, yang biasanya ditemukan pada fase awal dari
demam. Epistaksis dan perdarahan gusi lebih jarang ditemukan, perdarahan saluran cerna
ringan dapat ditemukan pada fase demam. Hati biasanya membesar dengan variasi dari just
palpable sampai 2-4 cm di bawah arcus costae kanan. Sekalipun pembesaran hati tidak
berhubungan dengan berat ringannya penyakit namun pembesaran hati lebih sering
ditemukan pada penderita dengan syok.2
Masa kritis dari penyakit terjadi pada akhir fase demam, pada saat ini terjadi
penurunan suhu yang tiba-tiba yang sering disertai dengan gangguan sirkulasi yang bervariasi
dalam berat-ringannya. Pada kasus dengan gangguan sirkulasi ringan perubahan yang terjadi
minimal dan sementara, pada kasus berat penderita dapat mengalami syok.2
Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal dibawah
ini dipenuhi:2
5. Demam atau riwayat demam akut, antara 2 7 hari, biasanya bifasik
6. Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:
o Uji bendung positif
o Petekie, ekimosis, atau purpura
o Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi)
o Hematemesis atau melena
7. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul)
8. Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai
berikut:
o Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan
jenis kelamin
o Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan
dengan nilai hematokrit sebelumnya
o Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites atau hipoproteinemi.
Demam tinggi mendadak (terus menerus 2-7 hari) disertai tanda dan gejala klinis
(nyeri
ulu
hati,
mual,
muntah,
hepatomegali),
tanpa
perdarahan
spontan,
Manifestasi Klinis
a. Demam5
Demam berdarah dengue biasanya ditandai dengan demam yang mendadak tanpa sebab yang
jelas, continue, bifasik. Biasanya berlangsung 2-7 hari (Bagian Patologi Klinik, 2009). Naik
turun dan tidak berhasil dengan pengobatan antipiretik. Demam biasanya menurun pada hari
ke-3 dan ke-7 dengan tanda-tanda anak menjadi lemah, ujung jari, telinga dan hidung teraba
dingin dan lembab. Masa kritis pda hari ke 3-5. Demam akut (38-40 C) dengan gejala yang
tidak spesifik atau terdapat gejala penyerta seperti , anoreksi, lemah, nyeri punggung, nyeri
tulang sendi dan kepala.
Pemeriksaan Penunjang
a. Darah5
1) Kadar trombosit darah menurun (trombositopenia) ( 100000/I)
2) Hematokrit meningkat 20%, merupakan indikator akan timbulnya renjatan.
Kadar trombosit dan hematokrit dapat menjadi diagnosis pasti pada DBD dengan
dua kriteria tersebut ditambah terjadinya trombositopenia, hemokonsentrasi serta
dikonfirmasi secara uji serologi hemaglutnasi (Brasier, Ju, Garcia, Spratt, Forshey,
Helsey, 2012).
b. Urine
Kadar albumine urine positif (albuminuria) (Vasanwala, Puvanendran, Chong, Ng, Suhail,
Lee, 2011).
c. Foto thorax
Pada pemeriksaan foto thorax dapat ditemukan efusi pleura. Umumnya posisi lateral
dekubitus kanan (pasien tidur di sisi kanan) lebih baik dalam mendeteksi cairan dibandingkan
dengan posisi berdiri apalagi berbaring.
d. USG
Pemeriksaan USG biasanya lebih disukai pada anak dan dijadikan sebagai pertimbangan
karena tidak menggunakan system pengion (Sinar X) dan dapat diperiksa sekaligus berbagai
organ pada abdomen. Adanya acites dan cairan pleura pada pemeriksaan USG dapat
digunakan sebagai alat menentukan diagnose penyakit yang mungkin muncul lebh berat
misalnya dengan melihat ketebalan dinding kandung empedu dan penebalan pancreas.
e. Diagnosis Serologis
1) Uji hemaglutinasi inhibisi (Uji HI)
Tes ini adalah gold standard pada pemeriksaan serologis, sifatnya sensitive namun
tidak spesifik artinya tidak dapat menunjukkan tipe virus yang menginfeksi.
Antibody HI bertahan dalam tubuh lama sekali (>48 tahun) sehingga uji ini baik
digunakan pada studi serologi-epidemioligi. Untuk diagnosis pasien, Kenaikan
titer konvalesen 4x lipat dari titer serum akut atau titer tinggi (> 1280) baik pada
serum akut atau konvalesen daianggap sebagai presumtif (+) atau di dugan keras
positif infeksu dengue yang baru terjadi (Vasanwala dkk, 2011).
Uji ini paling sensitif dan spesifik untuk virus dengue. Biasanya memamkai cara
Plaque Reduction Neutralization Test (PNRT) yaitu berdasarkan adanya reduksi
dari plaque yang terjadi. Anti body neutralisasi dapat dideteksi dalam serum
bersamaan dengan antibody HI tetapi lebih cepat dari antibody komplemen fiksasi
dan bertahan lama (>4-8 tahun). Prosedur uji ini rumit dan butuh waktu lama
sehingga tidak rutin digunakan (Vasanwala dkk, 2011).
4) IgM Elisa (Mac Elisa, IgM captured ELISA)
Banyak sekali dipakai. Uji ini dilakukan pada hari ke-4-5 infeksi virus dengue
karena IgM sudah timbul kamudian akan diikuti IgG. Bila IgM negative uji ini
perlu diulang. Apabila hari sakit ke-6 IgM msih negative maka dilaporkan sebagai
negative. IgM dapat bertahan dalam darah samapi 2-3 bulan setelah adanya
infeksi. Sensitivitas uji Mac Elisa sedikit di bawah uji HI dengan kelebihan uji
Mac Elisa hanya memerlukan satu serum akut saja dengan spesifitas yang sama
dengan uji HI (Vasanwala dkk, 2011).
5) Identifikasi Virus
Cara diagnostic baru dengan reverse transcriptase polymerase chain reaction
(RTPCR) sifatnya sangat sensitive dan spesifik terhadap serotype tertentu, hasil
cepat didapat dan dapat diulang dengan mudah. Cara ini dapat mendeteksi virus
RNA dari specimen yang berasal dari darah, jaringan tubuh manusia, dan nyamuk.
Sensitifitas PCR sama dengan isolasi virus namun PCR tidak begitu dipengaruhi
oleh penanganan specimen yang kurang baik bahkan adanya antibody dalam darah
juga tidak mempengaruhi hasil dari PCR (Vasanwala dkk, 2011).
Diagnosis Banding
a. Pada awal perjalanan penyakit, diagnosis banding mencakup infeksi bakteri virus,
atau infeksi parasit seperti demam tifoid,campak, influenza hepatitis, demam,
chikungunya, leptospirosis, dan malaria. Adanya trombositopenia yang jelas disertai
hemokonsentrasi dapat membedakan antara DBD dengan penyakit lain.6
b. Demam berdarah dengue harus dibedakan dengan demam chikungunya (DC). Pada
DC biasanya seluruh anggota keluarga dapat terserang dan penularannya mirip
dengan influenza. Bila dibandingkan dengan DBD, DC memperlihatkan serangan
demam mendadak, masa demam lebih pendek, suhu lebih tinggi, hamper selalu
disertai ruam makulopapular,injeksi konjungtiva, dan lebih sering dijumpai nyeri
sendi. Proporsi uji tourniquet positif, petekie epistaksis hampir sama dengan DBD.
Pada DC tidak ditemukan perdarahan gastrointestinal dan syok.
c. Perdarahan seperti petekie dan ekimosis ditemukan pada beberapa penyakit infeksi,
misalnya sepsis, meningitis meningokokus. Pada sepsis, sejak semula pasien tampak
sakit berat, demam naik turun, dan ditemukan tanda-tanda infeksi. Disamping itu jelas
terdapat leukositosis disertai dominasi sel polimorfonuklear (pergeseran kekiri pada
hitung jenis) pemeriksaan LED dapat dipergunakan untuk membedakan infeksi
bakteri dengan virus. Pada meningitis meningokokus, jelas terdapat gejala rangsangan
meningeal dan kelainan pada pemeriksaan cairan serebrospinal
d. Idiophatic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DBD derajat II,
oleh karena didapatkan demam disertai perdarahan dibawah kulit. Pada hari-hari
pertama, diagnosis ITP sulit dibedakan dengan penyakit DBD, tetapi pada ITP demam
cepat menghilang, tidak dijumpai leukopeni, tidak dijumpai hemokonsentrasi, tidak
dijumpai pergeseran kekanan pada hitung jenis. Pada fase penyembuhan DBD jumlah
trombosit lebih cepat kembali normal dari pada ITP
e. Perdarahan dapat juga terjadi pada leukemia atau anemia aplastik. Pada leukemia
demam tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan anak sangat anemis. Pemeriksaan
darah tepi dan sumsum tulang akan memperjelasdiagnosis leukemia. Pada anemia
aplastik akan sangat anemic, demam timbul karena infeksi sekunder. Pada
pemeriksaan
darahditemukan
pansitopenia
(leukosit,
hemoglobin,
trombosit
menurun). Pada pasien dengan perdarahan hebat pemeriksaan foto toraks dan atau
kadar protein dapat membantu menegakkan diagnosis. Pada DBD ditemukan efusi
pleura dan hipoproteinemia sebagai tanda perembesan plasma
Penatalaksanaan
a. Pre Hospital7
Penatalaksanaan prehospital DBD bisa dilakukan melalui 2 cara yaitu
pencegahan dan penanganan pertama pada penderita demam berdarah.
DinasKesehatan Kota Denpasar menjelaskan pencegahan yang dilakukan meliputi
kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN), yaitu kegiatan memberantas jentik
ditempat perkembangbiakan dengan cara 3M:
Peran serta keluarga dan masyarakat sangat penting untuk membantu dalam
menangani penyakit demam berdarah. Dinas Kesehatan Kota Denpasar
mengarahkan apabila ada penderita yang terkena demam berdarah maka harus
segera melaporkan Kadus/Kaling/Kades/Lurah atau sarana pelayanan kesehatan
terdekat bila ada anggota masyarakat yang terkena DBD.
b. Intra Hospital di Unit Gawat Darurat 7
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan
cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dansebagai akibat
perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di
ruang perawatan biasa. Tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi diperlukan
perawatan intensif.
Perbedaan patofisilogik utama antara DD/DBD/SSD dan penyakit lain adalah
adanya peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma
dangangguan hemostasis. Gambaran klinis DBD/SSD sangat khas yaitu demam
tinggi mendadak, diastesis hemoragik, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi.
Maka keberhasilan tatalaksana DBD terletak pada bagian mendeteksi secara dini
fase kritis yaitu saat suhu turun (the time of defervescence) yang merupakan ease
awal terjadinya kegagalan sirkulasi, dengan melakukan observasi klinis disertai
pemantauan perembesan plasma dan gangguan hemostasis. Prognosis DBD
terletak pada pengenalan awal terjadinya perembesan plasma, yang dapat
diketahui dari peningkatan kadar hematokrit
Fase kritis
1) Fase Demam
Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD,
bersifat simtomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah
dehidrasi. Apabila cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau
minum, muntah atau nyeri perut yang berlebihan, maka cairan intravena
rumatan perlu diberikan. Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi perlu
diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat mengurangi lama demam pada
DBD. Parasetamol direkomendasikan untuk pemberian atau dapat di
sederhanakan seperti tertera pada Tabel 1. Rasa haus dan keadaan dehidrasi
dapat timbul sebagai akibat demam tinggi, anoreksia danmuntah. Jenis
minuman yang dianjurkan adalah jus buah, air teh manis, sirup, susu, serta
larutan oralit. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/kg BB dalam 4-6 jam
pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi anak diberikan cairan
rumatan 80-100 ml/kg BB dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang masih minum
asi, tetap harus diberikan disamping larutan oiarit. Bila terjadi kejang demam,
disamping antipiretik diberikan antikonvulsif selama demam 8
Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi.
Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari
ke 3-5 fase demam. Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan
pemeriksaan laboratorium yang terbaik untuk pengawasan hasil pemberian
cairan yaitu menggambarkan derajat kebocoran plasma danpedoman
kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum
dijumpai perubahan tekanan darah dantekanan nadi. Hematokrit harus
diperiksa minimal satu kali sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal
kembali. Bila sarana pemeriksaan hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan
hemoglobin dapat dipergunakan sebagai alternatif walaupun tidak terlalu
sensitif. Untuk Puskesmas yang tidak ada alat pemeriksaan Ht, dapat
dipertimbangkan dengan menggunakan Hb. Sahli dengan estimasi nilai Ht = 3
x kadar Hb
a) Penggantian Volume Plasma
Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada
fase penurunan suhu (fase a-febris, fase krisis, fase syok) maka dasar
pengobatannya adalah penggantian volume plasma yang hilang. Walaupun
Tersangka DBD
Demam tinggi, mendadak
terus menerus <7 hari
tidak disertai infeksi saluran nafas bagian atas,
badan lemah/lesu
Ada kedaruratan
Tanda syok
Muntah terus menerus
Kejang
Kesadaran menurun
Muntah darah
Berak darah
Jumlah trombosit
<100.000/l
Jumlah trombosit
>100.000/l
Tatalaksana
disesuaikan,
(Lihat bagan 3,4,5)
Rawat Inap
(lihat bagan 3)
Rawat Jalan
Parasetamol
Kontrol tiap hari
sampai demam hilang
Rawat Jalan
Minum banyak 1,5 liter/hari
Parasetamol
Kontrol tiap hari
sampai demam turun
periksa Hb, Ht, trombosit tiap
kali
Gejala klinis:
Demam 2-7 hari
Uji torniquet (+) atau
perdarahan spontan
Laboratorium:
Hematokrit tidak meningkat
Trombositopenia (ringan)
Infus ganti RL
(tetesan disesuaikan, lihat Bagan 4)
Cairan awal
>20% 0,9% atau RLD5/NaCl 0,9%+D5
RL/RA/NaCl
6-7 ml/kgBB/jam
Monitor tanda vital/Nilai Ht & Trombosit tiap 6 jam
Perbaikan
Tidak gelisah
Nadi kuat
Tek.darah stabil
Diuresis cukup
tetap tinggi/naik
(12 ml/kgBB/jam)
Ht turun
(2x pemeriksaan)
Gelisah
Distress pernafasan
Frek.nadi naik
Ht
Tetesan dikurangi
Tetesan dinaikkan
10-15 ml/kgBB/jam
Perbaikan
5 ml/kgBB/jam
Perbaikan
Sesuaikan tetesan
Distress pernafasan
Ht naik
Tek.nadi < 20 mmHg
3 ml/kgBB/jam
IVFD stop setelah 24-48 jam
Apabila tanda vital/Ht stabil dan
segar
diuresis cukup
Ht turun
Koloid
Transfusi darah
20-30 ml/kgBB
Perbaikan
10 ml/kgBB
Indikasi Transfusi pd
Anak
- Syok yang belum teratasi
- Perdarahan masif
1. Lanjutkan cairan
15-20 ml/kgBB/jam
2. Tambahkan koloid/plasma
Dekstran/FFP
3. Koreksi asidosis
Evaluasi 1 jam
Syok belum teratasi
Syok teratasi
Ht turun
Transfusi darah segar
10 ml/kgBB
Ht tetap
Koloid 20
ml/kgBB
Infus stop tidak melebihi 48 jam
setelah syok teratasi
Komplikasi Neurologis
Frekuensi perubahan neurologis sebagai tanda yang muncul saat infeksi dengue tidak
diketahui jumlahnya, namun komplikasi neurologis terkait dengan infeksi dengue telah
diketahui sejak permulaan abad ke-20 dan dilaporkan terjadi pada hampir setiap Negara di
Asia dan banyak Negara di Amerika. Pada suatu studi di Vietnam diketahui bahwa sekitar 4%
dari pasien yang dirawat pada unit neurologi dengan kecurigaan infeksi susunan saraf pusat
mengalami infeksi akibat virus dengue dan di Thailand, 18% anak-anak yang dirawat di
rumah sakit dengan penyakit seperti encephalitis dikonfirmasi mempunyai infeksi dengue.9
Keterlibatan susunan saraf pusat diperkirakan terjadi akibat Dengue Hemorrhagic
Fever yang berkepanjangan, vaskulitis dan leaky capillary syndrome yang mengakibatkan
eksavasasi cairan, edema serebri, hipoperfusi, hiponatremia, gagal hati dan/atau gagal ginjal.
Hal ini biasa disebut sebagai dengue encephalopathy. Laporan mengenai isolasi virus pada
otak dan cairan serebrospinal menunjukkan adanya invasi virus secara langsung pada susunan
saraf pusat menembus sawar darah-otak. Semua serotype virus dapat terlibat, namun DEN-2
dan DEN-3 adalah yang paling sering dilaporkan sebagai penyebab penyakit neurologis berat.
Ada tiga tipe manifestasi neurologis yang berkaitan dengan infeksi dengue, yaitu:
1. Tanda klasik dengan infeksi akut : sakit kepala, pusing, delirium, restlessness, iritabilitas
mental dan depresi
2. Encephalitis dengan infeksi akut : penekanan saraf sensoris, lethargy, confusion, somnolens,
koma, kejang, leher kaku dan paresis
3. Kelainan post-infeksi : epilepsi, tremor, amnesia, demensia, manik psikosis, Bells palsy,
Reyes syndrome, meningoencephalitis, Guilain-Barre Syndrome
Mortalitas akibat komplikasi neurologis ini termasuk rendah, sekitar 22%, dengan bukti
pemulihan total kesadaran dan gejala neurologis pada pasien yang dapat bertahan hidup
terjadi dalam waktu maksimum 7 hari.
Waktu dari onset penyakit sampai timbulnya komplikasi neurologis diperkirakan
sekitar 3-9 hari, umumnya 6 hari setelah onset. Dengan pemeriksaan penunjang
menggunakan Magnetic Resonance Imaging (MRI) pada 18 pasien ditemukan adanya edema
cerebri pada 12 orang, perubahan seperti encephalitis pada 2 orang, dan tidak adanya
kelainan pada 4 orang. Pada anak-anak usia < 1 tahun, pemindaian ultrasonografi serebri
terlihat normal tanpa kelainan. Data yang didapat dari lumbar pungsi menunjukkan tidak
adanya kelainan pada protein, glukosa, dan sel di cairan serebrospinal, namun semua enzim
hati (AST, ALT, dan alkaline phosphatase) dan level bilirubin meningkat secara signifikan
mengindikasikan adanya disfungsi hati. Selain itu, tidak terdapat perbedaan yang signifikan
pada platelet, serum kalium, serum kalsium yang terionisasi, kreatinin, dan ammonia. Pada
pasien ditemukan adanya bukti infeksi virus dengue, yaitu hasil hemagglutination inhibition
test yang positif dan IgM spesifik dengue atau peningkatan IgG spesifik sebanyak 4 kali lipat.
Ditemukannya IgM pada cairan serebrospinal menunjukkan adanya replikasi virus pada
susunan saraf pusat, tapi titernya lebih rendah daripada di serum. RNA virus dapat ditemukan
pada beberapa pasien dengan menggunakan pemeriksaan PCR assay.10,11
Komplikasi Kardiovaskuler
Komplikasi jantung pada pasien DHF jarang terjadi, namun beberapa laporan
mengatakan bahwa selama episode penyakit dapat terjadi gangguan irama jantung seperti
Atrioventricular Block (AV Block), Atrial Fibrilation (AF), disfungsi sinus node, dan denyut
ventrikel ektopik. Kebanyakan tidak terdapat gejala pada pasien atau asimptomatik dan dapat
sembuh spontan apabila infeksinya ditangani dan mengalami resolusi. Aritmia ini berkaitan
dengan viral myocarditis, namun mekanismenya belum dapat dipastikan. Pada kebanyakan
kasus yang dilaporkan tidak terdapat gangguan elektrolit atau temuan radiologis yang
signifikan. Keterlibatan perikardiun juga dapat terjadi bersama dengan myokarditis pada
infeksi dengue. Perikarditis dapat menyebabkan nyeri dada yang menusuk oleh karena
adanya peradangan pada membran di sekitar jantung. Perikarditis yang berat akan dapat
mengancam nyawa penderitanya, namun apabila ringan akan dapat sembuh dengan
sendirinya.12
Anak-anak yang berusia lebih tua memiliki kecenderungan untuk mengalami infeksi
sekunder dan keadaan syok dibandingkan pasien yang lebih muda. Jumlah platelet pada balita
secara signifikan lebih rendah daripada anak-anak lainnya. Petichiae lebih sering terjadi pada
anak-anak dengan usia lebih muda. Diketahui bahwa komplikasi seperti DIC lebih sering
ditemukan pada pasien dengan syok berat. Anak-anak yang terlambat dirujuk akan lebih
susah untuk diresusitasi hemodinamikanya dan hal ini dapat menimbulkan kematian.
Salah satu komplikasi hematologi yang sering terjadi adalah syok persisten meskipun
pasien telah dirujuk ke Ruang Gawat Darurat dan ditangani sesuai regimen WHO. Hal ini
dibuktikan dengan hasil penelitian yang dilakukan di India Selatan pada 109 pasien pediatri
yang mengalami DHF berat.
Komplikasi Respirasi
Demam berdarah dapat mengakibatkan Acute Respiratory Distress Syndrome
(ARDS). Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya antigen virus dengue pada sel-sel lapisan
alveolar paru-paru. Pada saat stadium akut atau febris terjadi pelepasan mediator C3a dan
C5a yang menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler sehingga cairan plasma dapat
bocor ke ruang interstitial dan mengakibatkan edema serta disfungsi paru.14
Dengue Shock Syndrome (DSS) dilaporkan menjadi penyebab ketiga ARDS yang
terjadi pada perawatan intensif anak di daerah endemik demam berdarah. Pemulihan perfusi
jaringan yang adekuat sangatlah penting untuk mencegah progresi DSS menjadi ARDS,
namun perlu diperhatikan agar tidak terjadi kelebihan cairan karena hal itu dapat juga
memicu timbulnya ARDS. Komplikasi ini memerlukan pengenalan dan perawatan yang dini
untuk mendapatkan hasil yang baik.12
Komplikasi Hepatobilier
Walaupun hati bukan termasuk target organ dari virus dengue, beberapa penemuan
patologis pada hati telah dilaporkan seperti fatty liver, nekrosis sentrilobular, dan infiltrasi
monosit pada jalur porta hepatis. Pada suatu penelitian yang dilakukan di Thailand pada 191
pasien pediatri, ditemukan angka kejadian disfungsi hati sekitar 34,6% (66/191). Angka ini
termasuk tinggi, mirip dengan yang dilaporkan terjadi pada Negara berkembang Asia lainnya
dengan angka kejadian berkisar dari 30% sampai 90%. Diketahui juga bahwa angka kejadian
disfungsi hati pada kasus dengan syok (37,8%) hanya sedikit lebih tinggi dan tidak signifikan
dibandingkan dengan kasus tanpa syok (30,7%). Selain itu, sekitar 8% pasien dengan
disfungsi hati mengalami hepatic encephalopathy.
Tanda yang paling jelas menunjukkan keterlibatan hati pada infeksi dengue adalah
adanya pembesaran hati (hepatomegaly). Studi-studi terkini menunjukkan heoatomegali
terlihat pada 50-100% kasus infeksi dengue dan pembesaran hati sedang dapat merupakan
bagian respon patologis normal terhadap infeksi dengue. Data yang didapat cenderung
mengindikasikan adanya hepatomegali pada kasus-kasus dengue, dengan angka kejadian
yang sedikit lebih tinggi pada kasus-kasus berat.
Pada pasien dengue, enzim Aspartate Aminotrasferase (AST) dan Alanine
Aminotransferase (ALT) sering kali meningkat. Hal ini merupakan indikator sensitif adanya
kerusakan pada hati. Studi yang dilakukan di Taiwan pada 240 pasien dengue akibat wabah
tahun 1987-1988 menunjukkan peningkatan AST terjadi pada 93,3% kasus dan peningkatan
ALT terjadi pada 82,2% kasus. Kebanyakan pasien mengalami peningkatan transaminase
yang sedikit atau sedang, hanya 10% saja yang mengalami peningkatan sampai dengan 10
kali lipat. Rata-rata level AST dan ALT pada pasien DHF lebih tinggi secara signifikan jika
dibandingkan dengan pasien DF (Dengue Fever). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
level serum AST lebih tinggi dibandingkan dengan serum ALT, berbeda dengan temuan
normal pada pasien viral hepatitis. Selain itu, keterlibatan hati lebih berat terjadi pada infeksi
virus dengue serotype DENV-3 dan DENV-4. Secara umum, peningkatan level enzim hati
adalah karakteristik yang umum terjadi pada infeksi dengue dan dapat menjadi faktor
pembanding dalam membedakan dengue dari penyakit febris lainnya.9,15
Komplikasi Limforetikuler
Antigen virus dengue dapat ditemukan pada sel-sel limfa, kelenjar timus dan kelenjar
getah bening. Limfadenopati pada pasien DHF ditemukan pada setengah kasus dan
splenomegali jarang ditemukan pada balita. Ruptur limfa dan infark kelenjar limfa pada
pasien DHF jarang terjadi. Dokter harus memperhatikan adanya komplikasi yang fatal ini di
daerah endemik DHF. Kasus ruptur limfa dapat salah diagnosis oleh karena keliru
menginterpretasikan sindroma syoknya. Splenektomi dapat dilakukan sebagai terapi kuratif.
Telah dilaporkan adanya kasus infark limfo nodi yang berhubungan dengan disseminated
intravascular infarction pada kasus demam berdarah yang telah terbukti secara serologis.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen
Kesehatan
Republik
Indonesia.
Direktorat
Jenderal
di:
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=1508601.
Health
for
Problem.
National
Disease
Center
Control
for
Infectious
and
Diseases
Prevention
Fort Collins, Colorado, and San Juan, Puerto Rico, USA. 1996. Terdapat di:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8903160. Diakses pada: 2009, Desember 29.
7) Fernandes MDF. Dengue/Dengue Hemorrhagic Fever. Infectious disease. Terdapat di:
http://www.medstudents.com.br/dip/dip1.htm. Diakses pada: 2009, Desember 29.
8) World Health Organization. Dengue and dengue haemorrhagic fever. Terdapat di:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/htm. Diakses pada: 2009, Desember
29.
9) Wiwanitkit, V. Liver Dysfunction in Dengue Infection, an Analysis of The Previously
Published Thai Cases. J Ayub Med Coll Abbottabad. 2007;19(1):10-12
10) Kanade, T and Shah, I. Dengue Encephalopathy. J Vector Borne Dis 48. 2011;180181
11) B V Cam, L et al. Prospective Case-Control Study of Encephalopathy in Children
with Dengue Hemorrhagic Fever. Am J Trop Med Hyg. 2001;65(6):848-851
12) Gulati, S and Maheswari, A. Atypical Manifestations of Dengue. Tropical Medicine
and International Health 2007; 12 (9): 1087-1095
13) Kamath S R and Ranjit S. Clinical Features, Complications and Atypical
Manifestations of Children with Severe forms of Dengue Hemorrhagic Fever In South
India. Indian Journal of Pediatric. 2006;3:889-895
14) Chuansumrit, A et al. Pathophysiology and Management of Dengue Hemorrhagic
Fever. Journal comp. 2006:3-11
15) Smith, D R and Khakpoor, A. Involvement of The Liver in Dengue Infections. Dengue
Bulletin. 2009; 33:75-86
16) Laoprasopwattana, K et al. Outcome of Dengue Hemorrhagic Fever-Caused Acuke
Kidney Injury in Thai Children. The Journal of Pediatric. 2010; 157:303-9
17) Lim, M and Goh, H K. Rhabdomyolysis Following Dengue Virus Infection. Singapore
Med J 2005; 46(11): 645-646
18) Chen, T et al. Dengue Hemorrhagic Fever Complicated with Acute Idiopathic Scrotal
Edema and Polyneuropathy. Am J Trop Med. Hyg. 2008; 78(1): 8-10.