Anda di halaman 1dari 15

JOURNAL READING

APPENDISITIS AKUT PADA USIA LANJUT:


FAKTOR RESIKO PERFORASI

Dibimbing Oleh :
dr. Shofia Agung Priyatno, SpB, MSi.Med

Disusun Oleh :
Asiah
(1320221137)

Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Bedah


FAKULTAS KEDOKTERAN UPN VETERAN JAKARTA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AMBARAWA
PERIODE 20 Oktober 22 November 2014

LEMBAR PENGESAHAN

Presentasi Kasus
Appendisitis akut pada usia lanjut: faktor resiko perforasi

Disusun oleh :
Asiah
1320.221.137

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


Departemen Ilmu Bedah
RSUD Ambarawa, Semarang

Telah disetujui tanggal :......................................................

Pembimbing

dr. Shofia Agung Priyatno, Sp.B, Msi.Med

Mengesahkan :
Koordinator Kepaniteraan Ilmu Bedah

dr. Hery Unggul W, SpB

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME, berkat


karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan pembuatan Journal reading yang
berjudul Appendisitis akut pada usia lanjut: faktor resiko perforasi yang
merupakan salah satu syarat dalam mengikuti ujian kepaniteraan klinik
Pendidikan Profesi Dokter Departemen Ilmu Bedah Rumah Sakit Umum Daerah
Ambarawa Periode 13 Maret 23 Mei 2015.
Dalam menyelesaikan Presentasi Kasus ini penulis mengucapkan rasa
terima kasih kepada dr. Shofia Agung P, SpB, MSi.Med sebagai dokter
pembimbing. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Journal reading ini
banyak terdapat kekurangan dan juga masih jauh dari kesempurnaan, sehingga
penulis mengharap kritik dan saran dari pembaca.
Semoga Journal reading ini dapat bermanfaat bagi teman-teman pada
khususnya dan semua pihak yang berkepentingan bagi pengembangan ilmu
kedokteran pada umumnya. Amin.

Ambarawa,

Mei 2015

Penulis

APPENDICITIS AKUT PADA USIA LANJUT: FAKTOR


RESIKO PERFORASI

Abdelkarim H Omari, Muhammad R Khammash, Ghazi R Qasaimeh, Ahmed K


Shammari, Mohammad K Bani Yaseen dan Sahel K Hammori
Abstrak
Latar belakang: apendicitis akut merupakan kasus bedah emergensi tersering dan
dapat diperparah jika terjadi perforasi. Perforasi lebih sering terjadi pada pasien
usia lanjut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor resiko
apendicitis akut perforasi pada pasien usia lanjut.
Metedologi: pengumpulan data menggunakan metode retrospektif dari rekam
medis pada 214 pasien berusia lebih dari 60 dengan diagnosis apendicitis akut
selama 10 tahun (2003-2013). Pasien dibagi menjadi kelompok apendisitis akut
perforasi dan apendisitis akut tanpa perforasi. Pembanding pada kelompok ialah
demorafi, gejala klinis, dan lama penundaan operasi, diagnosis, lama dirawat, dan
komplikasi postoperatif. Diagnosis klinis, Ultrasonography dan computerized
tomography digunakan untuk menegakan diagnosis. Insidensi terjadinya perforasi
juga dibandingkan dengan laporan sebelumnya pada wilayah tersebut pada 10
tahun terakhir.
Hasil: selama penelitian total pasien sebanyak 214 pasien dengan usia diatas 60
tahun dengan apendisitis akut, terdiri dari 103 pria dan 111 wanita. Apendisitis
perforasi ditemukan pada 87 pasien (41%), terdiri dari 46 pria (53%), dan 41
wanita (47%). Dari semua pasien 31 % dapat didiagnosis dari gejala klinis, 40%
menggunakan USG dan 29% menggunakan CT scan. Dari seluruh faktor resiko
yang diteliti, faktor resiko terbesar terjadinya perforasi adalah keterlambatan
pasien masuk rumah sakit. Rata-rata terjadinya perforasi tidak berhubungan
dengan presentasi komorbiditas penyakit maupun keterlambatan rumah sakit.
Komplikasi post operatif pada 44 pasien (21%) dan komplikasi por operatif 3 kali
lebih sering pada kelompok perforasi, 33 pasien (75%) pada kelompok perforasi
dan 11 pasien (25%) kelompok non perforasi. Diantaranya terdapat 6 pasien (3%)
meninggal, 4 pasien pada kelompok perforasi, 2 pasien kelompok nonperforasi.
Kesimpulan: apendisitis akut pada pasien usia lanjut merupakan penyakit serius
yang memputuhkan diagnosis dan penatalaksanaan segera. Apendisitis perforasi
meningkatkan angka kesakitan dan kematian pasien. Semua pasien usia lanjut

dengan keluhan nyeri abdomen harus diterima rumah sakit dan diselidiki.
Penggunaan CT scan dapat mempersingkat waktu untuk penatalaksanan.
Kata kunci: apendisitis akut, perforasi apendix, apendisitis akut pada usia lanjut,
usia dan apendisitis, peritonitis.

Pendahuluan
Apendisitis akut masih merupakan kasus tersering bedah digestiv emergensi
dengan insidensi masa hidup 7%. Apendisitis akut sering ditemukan pada pasien
usia muda dan 5-10% terjadi pada usia lanjut. Walaupun insidensi kasus pada usia
lanjut meningkat berdasarkan meningkatnya usia harapan hidup.
Dibandingkan dengan kelompok usia muda, pasien usia lanjut memiliki lebih
banyak penyakit utama dan penurunan respon fisiologi tubuh sehingga
meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas.
Selain itu sering terjadi gejala tidak khas dan keterlambatan penanganan medis
berhubungan dengan terlambatnya diagnosis dan penatalaksanaan sehingga
meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas. Prognosis pada apendisitis tanpa
komplikasi pada usia muda maupun usia lanjut hampir seimbang. Bagaimanpun
perburukan kondisi pada perforasi dapat meningkatkan angka morbiditas dan
mortilitas.
Penelitian ini juga digunakan untuk meningkatkan kepahaman klinis pada faktorfaktor penyebab perforasi dan diharapkan dapat mengurangi insidensi, penulis
mengulas rekam medis seluruh pasien berusia diatas 60 tahun dengan diagnosis
pasti apensidistis akut selama 10 tahun. Penulis memastikan angka perforasi
apendix dan faktor yang mempengaruhi

perforasi termasuk data demografi,

keterlambatan pemberian bantuan medis, keterlambatan diagnosis dan pengobatan


serta komorbiditas penyakit.selain itu penulis meneliti simptomatis yang muncul
dan gejala klinis, penemuan laboratorium, penggunaan radiologi, komplikasi dan
lama dirawat.

Perbandingan antara kelompok perforasi dan nonperforasi dibuat berdasarkan


variabel diatas. Untuk tambahan, penulis membandingkan hasil yang didapatkan
dengan penelitian lain yang telah dilakukan pada wilayah yang sama 10 tahun
sebelumnya.
Metodologi
Rekam medis semua pasien (usia 60 tahun keatas) yang dilakukan appendectomy
pada 3 rumah sakit pendidikan utama di Jordan barat mulai 1 januari 2003 hingga
akhir desember 2012 dengan menggunakan metode retrospektif. Ketiga rumah
sakit ini dengan total 1000 tempat tidur. Data dikumpulkan menggunakan sistem
komputerisasi Rumah Sakit Universitas King Abdulla (KAUH) dan secara manual
dari registrasi pasien di rumah sakit putri basma dan rumah sakit pangeran rashid.
Penulis mengidentifikasi seluruh pasien yang dilakukan appendectomy selama
penelitian berlangsung. Berdasarkan dari kasus yang ada dan dengan
menggunakan histopatologi dan laporan operasi, penulis memisahkan semua
pasien yang memiliki normal atau apependectomy insidental dengan disertai
rekam medis yang tidak lengkap.
Pendataan dilakuan dengan mengumpulkan informasi tentang data demografi
paisen, gejala klinis awal dan diagnosis, kemungkinan adanya penyakit komorbid
(diabetes melitus, hipertensi, jantung, pernafasan, penyakit ginjal, dan lain
sebagainya),

pemeriksaan

laboratorium,

pemeriksaan

radiologi

dengan

menggunakan Ultrasonography (USG) dan Computerized Tomography (CT) scan


dan penemuan adanya perforasi apendiks atau tidak. Apendiks dapat diketahui
adanya perforasi dari hasil operasi dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan
histopatologi.
Di ketiga rumah sakit yang diteliti, pasien dengan nyeri abdomen pertamakali
diperiksa di UGD oleh dokter jaga dan kemudian oleh dokter bedah jaga (jika
dikonsulkan) yang dapat dirawat ataupun dipulangkan. Penegakan diagnosis
berdasarkan dari keluhan dan riwayat penyakit sekarang pada pasien.
Penemuannya dapat berupa demam > 38*C, peningkatan leukosit > 10 9/L dan
nyeri abdomen kanan bawah. Penggunaan pemeriksaan penunjang menggunakan

USG ataupun CT scan diputuskan oleh dokter bedah dengan hasil pemeriksaan
diinterpretasikan oleh radiologis terlatih. Diagnosis pada apendisitis akut dibuat
berdasarkan gambaran dinding apendiks, luasnya inflamasi dan edema dengan
atau tanpa gambaran varian bebas intrabdomen. Pemeriksaan CT scan biasanya
digunakan apabila pada gambaran klinis dan pemeriksaan USG tidak meyakinkan.
Jika pasien telah didiagnosis dengan akut apendisitis, pasien harus diberikan
antibiotik intravena spektrum luas yang mencakup bakteri aerob dan anaerob
sebagai persiapan operasi. Operasi apendektomi dilakukan pada seluruh pasien
baik menggunakan insisi MC Burney maupun insisi midline abdomen. Sejauh ini
penggunaan tanpa apendiktomi laparoskopi maupun penatalaksanaan nonoperatif
telah digunakan untuk pengobatan untuk apendisitis akut pada usia lanjut di
rumah sakit yang diteliti.
Interval waktu dari gejala awal hingga pendaftaran di IGD menggunakan satuan
jam dan dijelaskan sebagai keterlambatan pasien. Interval waktu dari datangnya
pasien ke IGD hingga ke ruang operasi didefinisikan sebagai keterlambatan rumah
sakit dan didalamnya termasuk diagnosis dan waktu menunggu untuk operasi.
Pembagian apendisitis menjadi apendisistis perforasi (tanpa atau dengan perforasi
yang terkontaminasi, pembentukan abses) dan nonperforasi. Antara apendisistis
perforasi dan nonperforasi dibandingkan berdasarkan data demografi, gambaran
klinsi, pemeriksaan, keterlambatan pasien, keterlambatan operasi dan perawatan
post operatif serta komplikasi. Penelitian ini juga dibandingkan dengan penelitian
lainnya yang telah dilakukan 10 tahun sebelumnya pada wilayah yang sama.
Program komputer menggunakan SPSS 16 yang digunakan untuk analisis
statistik. Nilai P pada perbandingan variabel sebesar < 0.05 yang berarti adanya
perbandingan signifikan.
Ethical approval dilakukan di IRB ilmu sains dan teknologi rumah sakit
universitas King Abdullah.
Hasil

Total pasien usia lebih dari 60 tahun dengan hasil pemeriksaan histopatologi
apendisitis akut dari bulan januari 2003 hingga desember 2012 sebanyak 214
pasien dengna analisis retrospektif. Terdapat 103 pasien pria dan 111 wanita
dengna usia rata-rata pasien pria 64.4 2.7 tahun (rentang 60 95 tahun). 177
pasien (83%) berada diantara usia 60-69 tahun, 28 pasien (13%) usia 70-79 tahun,
8 pasien (3%) usia 80-89 tahun dan satu pasien usia 95 tahun. 87 pasien (41%)
menunjukan adanya apendisitis perforasi, 46 pasien laki-laki (53%) dan 41 pasien
wanita (47%) (Tabel 1).
Tabel 1. Demografi pasien, penyakit komorbid dan komplikasi post operatif
Karakteristik

Total

Komplikasi

Perforasi

Nonperforasi

64.43 th

65.23 th

63.3 th

64.3 th

Pria

48

53

45

61

Wanita

52

47

55

39

Komorbid

43

37

47

75

Diabetes

11

11

10

18

Hipertensi

13

10

14

18

Penyakit Jantung

12

16

18

Penyakit Paru

Penyakit Ginjal

Malignansi

Usia

Populasi

post.op

Jenis Kelamin

Dari seluruh pasien terdapat 92 pasien (43%) memiliki riwayat penyakit kronis;
hipertensi 27 pasien (13%), penyakit jantung kronis 26 pasien (12%), diabetes
mellitus 23 pasein (11%), penyakit obstruksi pernafasan kronis 9 pasien (4%),
gagal ginjal stage IV 4 pasien (2%), dan penyakit keganasan 3 pasien (1%). Tidak

terdapat perbedaan signifikan antara resiko perforasi dengan penyakit komorbid


(Tabel 1).
Berdasarkan keterlambatan pengobatan pada tabel 2, pasien dengan perforasi
memiliki waktu keterlambatan pre-hospital yang lebih lamadibanding dengan
kelompok nonperforasi (waktu yang diambil 79.6 jam hingga 47.3 jam) dengan
nilai P < 0.0001. pada tabel tersebut juga diketahui tidak terdapat perbedaan
signifikan pada kedua kelompok berdasarkan keterlambatan di rumah sakit (nilai
P 0.7923) (Tabel 2).
Tabel 2. Keterlambatan penanganan operasi dan lama rawat post op
Variabel

Perforasi

Nonperforasi

P-value

79.6 62.4 jam

47.3 43.7 jam

< 0.0001

19.2 10.3 jam

18.7 15.5 jam

0.7923

7.4 6.3 hari

4.2 3.1 hari

< 0.0001

Rata-rata
keterlambatan
operasi
Keterlambatan
Pre-hospital
Keterlambatan
rumah sakit
Lama rawat post
op

Berdasarkan gejala klinis, semua pasien memiliki keluhan nyeri abdomen.


Walaupun nyeri perut berpindah yang khas mulai dari umbilikus hingga perut
kanan bawah ditemukan 101 pasien (47%), 75 pasien (59%) nonperforasi dan 26
pasien (30%) perforasi. Mual dan muntah terjadi pada 57% pasien dan lebih
banyak ditemukan pada kelompok nonperforasi (Tabel 3).
Dari seluruh pasien, 41% pasien memiliki gejala demam (>38*C). Demam lebih
banyak ditemukan pada pasien dengan apendisitis prforasi (51%-34%). Nyeri
tekan terlokalisasi di bagian kanan bawah abdomen sebanyak 84% dari seluruh
pasien, 91% pada pasien non perforasi dan 75% pada pasien perforasi. Walaupun

nyeri lepas ditemukan sebanyak 75% dari seluruh pasien, namun tidak terdapat
perbedaan dari kedua kelompok (Tabel 3).
Peningkatan leukosit > 109/L ditemukan pada 143 pasien (63%). Pada pasien
perforasi ditemukan sebanyak 71% dengan 94% shift to the left berbanding 72
pasien (57%) pasien nonperforasi dengan 61% shift to the left (Tabel 3).
Gejalaklinis, ultrashonography (USG), dan Computer Tomography (CT scan)
digunakan untuk menegakan diagnosis. Sebanyak 31% didiagnosis dari gejala
klinis saja, 40% dibantu dengan pemeriksaan USG, dan 29% didagnosis
berdasarkan CT scan (Tabel 4). Walaupun peneliti tidak dapat memperkirakan
sensitivitas dan spesifsitas dari masing-masing pemeriksaan, peneliti menemukan
tidak terdapat positif palsu pada pemeriksaan CT scan yang digunakan.
Insisi Mc Burney digunakan pada 168 pasien dan insisi midline bawah pada 46
pasien.
Komplikasi postoperatif ditemukan pada 44 pasien (21%). Komplikasi tiga kali
lebih sering pada pasien perforasi dibanding dengan non perforasi yakni 33 pasien
(75%) berbanding 11 pasien (25%). Empat orang pasien dengan dehisensi luka
dan delapan lainnya dengan sepsis intra abdomen pada seluruh pasien perforasi
tanpa terkecuali. Duapuluh dua pasien lainnya pada kedua kelompok dengan luka
terinfeksi, beberapa merespon baik dengan pengobatan antibiotik, debridement
dan pembersihan. Komplikasi lain berupa gagal ginjal, infeksi paru, dan
kegagalan pernafasan, penyakit kardiovaskular ditemukan pada kedua kelompok.
Tabel 3 perbandingan perforasi dan nonperforasi
Variabel

Total

Perforasi

Non perforasi

P-value

Nyeri menjalar

101 (47)

26 (30)

75 (59)

,0.0001

Anoreksia

150 (70)

64 (74)

89 (68)

0.3588

Mual dan muntah

122 (57)

37 (43)

85 (67)

0.0004

Nyeri tekan perut

180 (84)

65 (75)

115 (91)

0.0018

kanan bawah

Nyeri lepas

160 (75)

70 (80)

90 (71)

0.1125

Demam

87 (41)

44 (51)

43 (34)

0.0145

Leukosit

143 (63)

62 (71)

72 (57)

0.0304

Shift to the left

159 (74)

82 (94)

77 (61)

<0.0001

Terdapat 6 pasien meninggal pada kedua kelompok, 4 pasien perforasi dan dua
lainnya pasien nonperforasi. Pada kelompok perforasi, 2 pasien dengan multiple
abses intra abdomen dan meninggal karena sepsis tak terkontrol. Dari kedua
pasien, salah satunya telah mendapatkan pengobatan keomterapi dari lympoma
dan meninggal karena penumonia atipikal tak terkontrol sedangkan pada penyakit
kardiovaskular lanjut meninggal karena gagal jantung kongestif. Pada kelompok
nonperforasi, satu pasien meninggal karena sepsis intra abdomen tak terkontrol
dan lainnya karena infark myocard masif. Seperti yang diperkirakan, lama rawat
pada pasien perforasi menjadi lebih panjang (7.4 6.3 berbanding 4.2 3.1 hari
pada pasien prforasi dan pasien nonperforasi) (Tabel 2).
Diskusi
Apendisitis akut berlanjut meupakan penyebab tersering operasi abdomen
emergensi. Penyakit ini lebih sering diderita oleh usia muda, namun karena
meningkatnya angka harapan hidup, apendisitis akut juga dapat diderita oleh usia
lanjut (1-11).
Insidensi perforasi apendiks pada akut apendisitis kurang lebih 20-30% dan
meningkat 32%-72% diatas usia 60 tahun (3-9,12-14). Alasan meningkatnya
angka kejadian perforasi berhubungan dengan gejala yang atipikal dan lambat,
diagnosis yang lama serta lama jarak dioperasi , gejala penyakit komorbid dan
perubahan fisiologi usia tua (1-8, 13, 15-18). Pada penelitian yang dilakukan,
apendisitis perforasi ditemukan pada 87 pasien (41%). Pada penelitian juga
ditemukan predileksi jenis kelamin pasien apendisitis perforasi pada pasien pria
sebanyak 46 pasien (53%) dan 41 pasien wanita (47%). Meskipun pada 92 pasien

(43%) disertai penyakit komorbid, tidak didapatkan resiko perforasi (Tabel 1).
Hasil itu dikonfirmasi berdasarkan penemuan Storm-Dickerson et al.
Tabel 4 jumlah dan presentasi pasien dengan diagnosis apendisitis
Variabel

Total

Perforasi

Nonperforasi

Gejala klinis

66 (31)

27 (31)

39 (31)

USG

85 (40)

29 (33)

56 (44)

CT scan

63 (29)

31 (36)

32 (25)

Alat diagnosis

Peneliti lain menemukan adanya keluhan lambat yang menjadi penyebab


tingginya angka perforasi pada pasien usia lanjut. Penelitian ini menunjukkan
tingginya perforasi berhubungan dengan keluhan lambat (keterlambatan prehospital) tapi tidak berhubungan dengan keterlambatan di rumah sakit.
Trias nyeri dan nyeri tekan abdomen bawah, demam dan leukositosis muncul pada
26% pasien dengan lebih dari usia 60 tahun. Pada penelitian ini, seluruh pasien
datang dengan keluhan nyeri perut. Walaupun hanya 47% pasien dengan keluhan
klasik nyeri menjalar pada apendisitis. Nyeri tekan lokal pada perut bawah kanan
merupakan diagnosis tetap pada pemeriksaan fisik yang terdapat pada 84%
kasus.kedua keluhan (nyeri menjalar dan nyeri tekan terlokalisasi) lebih sering
didapatkan pada pasien nonperforasidibanding dengan kelompok perforasi.
Adanya keluhan ini menjelaskan bahwa pasien dengan apendiks perforasi
menunjukkan nyeri lokal yang sedikit dibanding dengan nyeri perut keseluruhan.
Penelitian ini menunjukkan, demam (>38*C) ditemukan pada 41% pasien dan
lebih besar dibanding pada pasien perforasi, hasil penelitian sesuai dengan apa
yang ditemukan.
Selain itu pada penelitian ditemukan adanya peningkatan leukosit pada 63%
pasien dengan shift to the left pada 74%. Sesuai dengan perkiraan, nilai leukosit

lebih tinggi pada pasien perforasi sejumlah 71% dan 94% termasuk shift to the
left (Tabel 3). Hasil ini juga sesuai dengan penelitian sebelumnya.
Diagnosis apendisitis akut dapat dibuat berdasarkan beberapa sistem skoring,
seperti skor alvardo, skor Kharbanda dan skor Lintula. Pada umumnya sistem
skoring ini lebih baik digunakan sebagai rasio dibanding dengan penilaian gejala
dan tanda saja.
Pemeriksaan lanjut dapat menggunakan fasilitas CT scan dan USG pada pasien
dengan susp apendisitis. USG dapat mendianosa adanya inflamasi pada apendiks
dan mendeteksi adanya cairan bebas pada pelvix namun membutuhkan
pengalaman dari operator, bentuk badan, dan pasien yang kooperatif. Penggunaan
CT scan secara luas pada pasien dengan kemungkinan apendisitis untuk diagnosis
yang tepat dan mengurangi negatif laparotomi. Penelitian sebelumnya
menerangkan sensitifitas pada usia ini 91-99%. Storm-Dickerson TL et al
melaporkan kasus tanpa perforasi menggunakan pemeriksaan CT scan lebih awal
pada 20 tahun terakhir sebanyak 72%-51%. Pada pasien dalam penelitian, CT
scan hanya digunakan jika diagnosis tidak dapat ditegakan menggunakan gejala
klinis dan USG. Peneliti tidak dapat menilai sensitifitas dan spesifitas dari gejala
klinis, USG maupun CT scan pada pasien karena peneliti hanya meneliti kasus
dengan hasil positif.
Pada pasien usia lanjut yang dilakukan apendektomi memiliki resiko lebih angka
mortalitas dan morbiditas yang lebih tinggi.
Pada penelitian ini seluruh komplikasi post operatif sejumlah 21%. Komplikasi
pada perforasi 3 kali lebih sering terjadi dibanding pasien nonperforasi. Penemuan
ini sesuai dengan beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa pasien perforasi
memiliki faktor prediksi morbiditas post operatif pada pasien usia lanjut dengan
apendisitis akut.
Angka mortalitas pada pasien usia tua yang disertai dengan apendisitis perforasi
sejumlah 2.3%-10%. Kematian pasien beruhubungan dengan sepsis.

Pada penelitian ini terdapat 6 pasien (3%) meninggal pada kedua kelompok, 4
pasien pada pasien perforasi dan 2 padien pada pasien nonperforasi. Tiga pasien
meninggal karena komplikasi sepsis sedangkan yang lain diakibatkan penyakit
pernafasan dan kardiovaskular.
Dibanding dengan usia muda, rentang perawatan rumah sakit lebih besar pada
pasien usia lanjut. Kasus ini biasanya tidak dijelaskan dengan meningkatnya
angka komplikasi, pemberian antibiotik memanjang, pengobatan penyakit
komorbid dan kesulitan komunikasi. Hasil yang didapatkan selama 7.4 dan 4.2
hari pada pasien perforasi dan non perforasi.
Ketika membandingkan hasil yang didapatkan dengan penelitan sebelumnya,
peneliti menemukan bahwa insidensi perforasi apendiks tidak meningkat selama
10 tahun terakhir berhubungan dengan perubahan program medis dan fasilitas
diagnosis.
Faktor lain yang mungkin berpengaruh terhadap hasil akhir pasien yang tidak
dijelaskan secara sepsifik pada analisis ini, namun relevan dengan penyebab
apendisitis.
Kepustakaan menjelaskan keuntungan dari operasi laparoscopi dibanding dengan
operasi laparotomi berdasarkan penurunan nyeri post operatif, waktu perbaikan,
komplikasi luka dan perawatan post operatif, ketika ditemukan pasien usia tua
dengan komplikasi apendisitis pada operasi laparoskopi akan meningkatkan waktu
operasi, dan lama dirawat di rumah sakit. Pada beberapa penelitian sebelumnya
pada tahun 2013, Wray CJ et al menyimpulkan bahwa dengan atau tanpa
apendektomi melalui apendektomi terbuka maupun laparoskopi memiliki
keuntungan, nama, insisi kecil, insiden komplikasi, lama di rumah sakit yang
sama. Pada rumah sakit yang diteliti, laparoskopi digunakan untuk pengobatan
pada apendisitis usia muda bukan pada usia tua.
Faktanya apendektomi merupakan pengobatan standar pada apendisitis yang
digunakan lebih dari 100 tahun, beberapa laporan pada penelitian sebelumnya
menjelaskan pengobatan nonoperatif pada apendisitis akut tanpa komplikasi.
Pengobatan konservatif ini dengan pemberian cairan intravenadan pemberian

antibiotik spektrum luas dapat mengurangi rasa nyeri, tanpa mengurangi angka
kekambuhan, resiko yang ada dibandingkan dengan komplikasi post apendektomi.
Walaupun wray CJ et al. pengobatan berdasarkan standar yang digunakan tanpa
operasi.
Kesimpulan
Apendisitis akut seharusnya dibedakan dengan diagnosis diferensial nyeri
abdomen pada pasien usia lanjut. Keterlambatan pasien dibawa ke rumah sakit
berhubungan dengan peningkatan angka perforasi dan komplikasi post operatif.
Seluruh pasien usia lanjut dengan nyeri abdomen harus diterima dan diperiksa.
Penggunaan CT scan dini dapat mempercepat penatalaksanaan.
Ethical approval
Institution Review Board (IRB) pada Ilmu pengetahuan dan teknologi universitas
Jordan dan rumah sakit universitas king abdullah.

Anda mungkin juga menyukai