Jurnal Reading App
Jurnal Reading App
Dibimbing Oleh :
dr. Shofia Agung Priyatno, SpB, MSi.Med
Disusun Oleh :
Asiah
(1320221137)
LEMBAR PENGESAHAN
Presentasi Kasus
Appendisitis akut pada usia lanjut: faktor resiko perforasi
Disusun oleh :
Asiah
1320.221.137
Pembimbing
Mengesahkan :
Koordinator Kepaniteraan Ilmu Bedah
KATA PENGANTAR
Ambarawa,
Mei 2015
Penulis
dengan keluhan nyeri abdomen harus diterima rumah sakit dan diselidiki.
Penggunaan CT scan dapat mempersingkat waktu untuk penatalaksanan.
Kata kunci: apendisitis akut, perforasi apendix, apendisitis akut pada usia lanjut,
usia dan apendisitis, peritonitis.
Pendahuluan
Apendisitis akut masih merupakan kasus tersering bedah digestiv emergensi
dengan insidensi masa hidup 7%. Apendisitis akut sering ditemukan pada pasien
usia muda dan 5-10% terjadi pada usia lanjut. Walaupun insidensi kasus pada usia
lanjut meningkat berdasarkan meningkatnya usia harapan hidup.
Dibandingkan dengan kelompok usia muda, pasien usia lanjut memiliki lebih
banyak penyakit utama dan penurunan respon fisiologi tubuh sehingga
meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas.
Selain itu sering terjadi gejala tidak khas dan keterlambatan penanganan medis
berhubungan dengan terlambatnya diagnosis dan penatalaksanaan sehingga
meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas. Prognosis pada apendisitis tanpa
komplikasi pada usia muda maupun usia lanjut hampir seimbang. Bagaimanpun
perburukan kondisi pada perforasi dapat meningkatkan angka morbiditas dan
mortilitas.
Penelitian ini juga digunakan untuk meningkatkan kepahaman klinis pada faktorfaktor penyebab perforasi dan diharapkan dapat mengurangi insidensi, penulis
mengulas rekam medis seluruh pasien berusia diatas 60 tahun dengan diagnosis
pasti apensidistis akut selama 10 tahun. Penulis memastikan angka perforasi
apendix dan faktor yang mempengaruhi
pemeriksaan
laboratorium,
pemeriksaan
radiologi
dengan
USG ataupun CT scan diputuskan oleh dokter bedah dengan hasil pemeriksaan
diinterpretasikan oleh radiologis terlatih. Diagnosis pada apendisitis akut dibuat
berdasarkan gambaran dinding apendiks, luasnya inflamasi dan edema dengan
atau tanpa gambaran varian bebas intrabdomen. Pemeriksaan CT scan biasanya
digunakan apabila pada gambaran klinis dan pemeriksaan USG tidak meyakinkan.
Jika pasien telah didiagnosis dengan akut apendisitis, pasien harus diberikan
antibiotik intravena spektrum luas yang mencakup bakteri aerob dan anaerob
sebagai persiapan operasi. Operasi apendektomi dilakukan pada seluruh pasien
baik menggunakan insisi MC Burney maupun insisi midline abdomen. Sejauh ini
penggunaan tanpa apendiktomi laparoskopi maupun penatalaksanaan nonoperatif
telah digunakan untuk pengobatan untuk apendisitis akut pada usia lanjut di
rumah sakit yang diteliti.
Interval waktu dari gejala awal hingga pendaftaran di IGD menggunakan satuan
jam dan dijelaskan sebagai keterlambatan pasien. Interval waktu dari datangnya
pasien ke IGD hingga ke ruang operasi didefinisikan sebagai keterlambatan rumah
sakit dan didalamnya termasuk diagnosis dan waktu menunggu untuk operasi.
Pembagian apendisitis menjadi apendisistis perforasi (tanpa atau dengan perforasi
yang terkontaminasi, pembentukan abses) dan nonperforasi. Antara apendisistis
perforasi dan nonperforasi dibandingkan berdasarkan data demografi, gambaran
klinsi, pemeriksaan, keterlambatan pasien, keterlambatan operasi dan perawatan
post operatif serta komplikasi. Penelitian ini juga dibandingkan dengan penelitian
lainnya yang telah dilakukan 10 tahun sebelumnya pada wilayah yang sama.
Program komputer menggunakan SPSS 16 yang digunakan untuk analisis
statistik. Nilai P pada perbandingan variabel sebesar < 0.05 yang berarti adanya
perbandingan signifikan.
Ethical approval dilakukan di IRB ilmu sains dan teknologi rumah sakit
universitas King Abdullah.
Hasil
Total pasien usia lebih dari 60 tahun dengan hasil pemeriksaan histopatologi
apendisitis akut dari bulan januari 2003 hingga desember 2012 sebanyak 214
pasien dengna analisis retrospektif. Terdapat 103 pasien pria dan 111 wanita
dengna usia rata-rata pasien pria 64.4 2.7 tahun (rentang 60 95 tahun). 177
pasien (83%) berada diantara usia 60-69 tahun, 28 pasien (13%) usia 70-79 tahun,
8 pasien (3%) usia 80-89 tahun dan satu pasien usia 95 tahun. 87 pasien (41%)
menunjukan adanya apendisitis perforasi, 46 pasien laki-laki (53%) dan 41 pasien
wanita (47%) (Tabel 1).
Tabel 1. Demografi pasien, penyakit komorbid dan komplikasi post operatif
Karakteristik
Total
Komplikasi
Perforasi
Nonperforasi
64.43 th
65.23 th
63.3 th
64.3 th
Pria
48
53
45
61
Wanita
52
47
55
39
Komorbid
43
37
47
75
Diabetes
11
11
10
18
Hipertensi
13
10
14
18
Penyakit Jantung
12
16
18
Penyakit Paru
Penyakit Ginjal
Malignansi
Usia
Populasi
post.op
Jenis Kelamin
Dari seluruh pasien terdapat 92 pasien (43%) memiliki riwayat penyakit kronis;
hipertensi 27 pasien (13%), penyakit jantung kronis 26 pasien (12%), diabetes
mellitus 23 pasein (11%), penyakit obstruksi pernafasan kronis 9 pasien (4%),
gagal ginjal stage IV 4 pasien (2%), dan penyakit keganasan 3 pasien (1%). Tidak
Perforasi
Nonperforasi
P-value
< 0.0001
0.7923
< 0.0001
Rata-rata
keterlambatan
operasi
Keterlambatan
Pre-hospital
Keterlambatan
rumah sakit
Lama rawat post
op
nyeri lepas ditemukan sebanyak 75% dari seluruh pasien, namun tidak terdapat
perbedaan dari kedua kelompok (Tabel 3).
Peningkatan leukosit > 109/L ditemukan pada 143 pasien (63%). Pada pasien
perforasi ditemukan sebanyak 71% dengan 94% shift to the left berbanding 72
pasien (57%) pasien nonperforasi dengan 61% shift to the left (Tabel 3).
Gejalaklinis, ultrashonography (USG), dan Computer Tomography (CT scan)
digunakan untuk menegakan diagnosis. Sebanyak 31% didiagnosis dari gejala
klinis saja, 40% dibantu dengan pemeriksaan USG, dan 29% didagnosis
berdasarkan CT scan (Tabel 4). Walaupun peneliti tidak dapat memperkirakan
sensitivitas dan spesifsitas dari masing-masing pemeriksaan, peneliti menemukan
tidak terdapat positif palsu pada pemeriksaan CT scan yang digunakan.
Insisi Mc Burney digunakan pada 168 pasien dan insisi midline bawah pada 46
pasien.
Komplikasi postoperatif ditemukan pada 44 pasien (21%). Komplikasi tiga kali
lebih sering pada pasien perforasi dibanding dengan non perforasi yakni 33 pasien
(75%) berbanding 11 pasien (25%). Empat orang pasien dengan dehisensi luka
dan delapan lainnya dengan sepsis intra abdomen pada seluruh pasien perforasi
tanpa terkecuali. Duapuluh dua pasien lainnya pada kedua kelompok dengan luka
terinfeksi, beberapa merespon baik dengan pengobatan antibiotik, debridement
dan pembersihan. Komplikasi lain berupa gagal ginjal, infeksi paru, dan
kegagalan pernafasan, penyakit kardiovaskular ditemukan pada kedua kelompok.
Tabel 3 perbandingan perforasi dan nonperforasi
Variabel
Total
Perforasi
Non perforasi
P-value
Nyeri menjalar
101 (47)
26 (30)
75 (59)
,0.0001
Anoreksia
150 (70)
64 (74)
89 (68)
0.3588
122 (57)
37 (43)
85 (67)
0.0004
180 (84)
65 (75)
115 (91)
0.0018
kanan bawah
Nyeri lepas
160 (75)
70 (80)
90 (71)
0.1125
Demam
87 (41)
44 (51)
43 (34)
0.0145
Leukosit
143 (63)
62 (71)
72 (57)
0.0304
159 (74)
82 (94)
77 (61)
<0.0001
Terdapat 6 pasien meninggal pada kedua kelompok, 4 pasien perforasi dan dua
lainnya pasien nonperforasi. Pada kelompok perforasi, 2 pasien dengan multiple
abses intra abdomen dan meninggal karena sepsis tak terkontrol. Dari kedua
pasien, salah satunya telah mendapatkan pengobatan keomterapi dari lympoma
dan meninggal karena penumonia atipikal tak terkontrol sedangkan pada penyakit
kardiovaskular lanjut meninggal karena gagal jantung kongestif. Pada kelompok
nonperforasi, satu pasien meninggal karena sepsis intra abdomen tak terkontrol
dan lainnya karena infark myocard masif. Seperti yang diperkirakan, lama rawat
pada pasien perforasi menjadi lebih panjang (7.4 6.3 berbanding 4.2 3.1 hari
pada pasien prforasi dan pasien nonperforasi) (Tabel 2).
Diskusi
Apendisitis akut berlanjut meupakan penyebab tersering operasi abdomen
emergensi. Penyakit ini lebih sering diderita oleh usia muda, namun karena
meningkatnya angka harapan hidup, apendisitis akut juga dapat diderita oleh usia
lanjut (1-11).
Insidensi perforasi apendiks pada akut apendisitis kurang lebih 20-30% dan
meningkat 32%-72% diatas usia 60 tahun (3-9,12-14). Alasan meningkatnya
angka kejadian perforasi berhubungan dengan gejala yang atipikal dan lambat,
diagnosis yang lama serta lama jarak dioperasi , gejala penyakit komorbid dan
perubahan fisiologi usia tua (1-8, 13, 15-18). Pada penelitian yang dilakukan,
apendisitis perforasi ditemukan pada 87 pasien (41%). Pada penelitian juga
ditemukan predileksi jenis kelamin pasien apendisitis perforasi pada pasien pria
sebanyak 46 pasien (53%) dan 41 pasien wanita (47%). Meskipun pada 92 pasien
(43%) disertai penyakit komorbid, tidak didapatkan resiko perforasi (Tabel 1).
Hasil itu dikonfirmasi berdasarkan penemuan Storm-Dickerson et al.
Tabel 4 jumlah dan presentasi pasien dengan diagnosis apendisitis
Variabel
Total
Perforasi
Nonperforasi
Gejala klinis
66 (31)
27 (31)
39 (31)
USG
85 (40)
29 (33)
56 (44)
CT scan
63 (29)
31 (36)
32 (25)
Alat diagnosis
lebih tinggi pada pasien perforasi sejumlah 71% dan 94% termasuk shift to the
left (Tabel 3). Hasil ini juga sesuai dengan penelitian sebelumnya.
Diagnosis apendisitis akut dapat dibuat berdasarkan beberapa sistem skoring,
seperti skor alvardo, skor Kharbanda dan skor Lintula. Pada umumnya sistem
skoring ini lebih baik digunakan sebagai rasio dibanding dengan penilaian gejala
dan tanda saja.
Pemeriksaan lanjut dapat menggunakan fasilitas CT scan dan USG pada pasien
dengan susp apendisitis. USG dapat mendianosa adanya inflamasi pada apendiks
dan mendeteksi adanya cairan bebas pada pelvix namun membutuhkan
pengalaman dari operator, bentuk badan, dan pasien yang kooperatif. Penggunaan
CT scan secara luas pada pasien dengan kemungkinan apendisitis untuk diagnosis
yang tepat dan mengurangi negatif laparotomi. Penelitian sebelumnya
menerangkan sensitifitas pada usia ini 91-99%. Storm-Dickerson TL et al
melaporkan kasus tanpa perforasi menggunakan pemeriksaan CT scan lebih awal
pada 20 tahun terakhir sebanyak 72%-51%. Pada pasien dalam penelitian, CT
scan hanya digunakan jika diagnosis tidak dapat ditegakan menggunakan gejala
klinis dan USG. Peneliti tidak dapat menilai sensitifitas dan spesifitas dari gejala
klinis, USG maupun CT scan pada pasien karena peneliti hanya meneliti kasus
dengan hasil positif.
Pada pasien usia lanjut yang dilakukan apendektomi memiliki resiko lebih angka
mortalitas dan morbiditas yang lebih tinggi.
Pada penelitian ini seluruh komplikasi post operatif sejumlah 21%. Komplikasi
pada perforasi 3 kali lebih sering terjadi dibanding pasien nonperforasi. Penemuan
ini sesuai dengan beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa pasien perforasi
memiliki faktor prediksi morbiditas post operatif pada pasien usia lanjut dengan
apendisitis akut.
Angka mortalitas pada pasien usia tua yang disertai dengan apendisitis perforasi
sejumlah 2.3%-10%. Kematian pasien beruhubungan dengan sepsis.
Pada penelitian ini terdapat 6 pasien (3%) meninggal pada kedua kelompok, 4
pasien pada pasien perforasi dan 2 padien pada pasien nonperforasi. Tiga pasien
meninggal karena komplikasi sepsis sedangkan yang lain diakibatkan penyakit
pernafasan dan kardiovaskular.
Dibanding dengan usia muda, rentang perawatan rumah sakit lebih besar pada
pasien usia lanjut. Kasus ini biasanya tidak dijelaskan dengan meningkatnya
angka komplikasi, pemberian antibiotik memanjang, pengobatan penyakit
komorbid dan kesulitan komunikasi. Hasil yang didapatkan selama 7.4 dan 4.2
hari pada pasien perforasi dan non perforasi.
Ketika membandingkan hasil yang didapatkan dengan penelitan sebelumnya,
peneliti menemukan bahwa insidensi perforasi apendiks tidak meningkat selama
10 tahun terakhir berhubungan dengan perubahan program medis dan fasilitas
diagnosis.
Faktor lain yang mungkin berpengaruh terhadap hasil akhir pasien yang tidak
dijelaskan secara sepsifik pada analisis ini, namun relevan dengan penyebab
apendisitis.
Kepustakaan menjelaskan keuntungan dari operasi laparoscopi dibanding dengan
operasi laparotomi berdasarkan penurunan nyeri post operatif, waktu perbaikan,
komplikasi luka dan perawatan post operatif, ketika ditemukan pasien usia tua
dengan komplikasi apendisitis pada operasi laparoskopi akan meningkatkan waktu
operasi, dan lama dirawat di rumah sakit. Pada beberapa penelitian sebelumnya
pada tahun 2013, Wray CJ et al menyimpulkan bahwa dengan atau tanpa
apendektomi melalui apendektomi terbuka maupun laparoskopi memiliki
keuntungan, nama, insisi kecil, insiden komplikasi, lama di rumah sakit yang
sama. Pada rumah sakit yang diteliti, laparoskopi digunakan untuk pengobatan
pada apendisitis usia muda bukan pada usia tua.
Faktanya apendektomi merupakan pengobatan standar pada apendisitis yang
digunakan lebih dari 100 tahun, beberapa laporan pada penelitian sebelumnya
menjelaskan pengobatan nonoperatif pada apendisitis akut tanpa komplikasi.
Pengobatan konservatif ini dengan pemberian cairan intravenadan pemberian
antibiotik spektrum luas dapat mengurangi rasa nyeri, tanpa mengurangi angka
kekambuhan, resiko yang ada dibandingkan dengan komplikasi post apendektomi.
Walaupun wray CJ et al. pengobatan berdasarkan standar yang digunakan tanpa
operasi.
Kesimpulan
Apendisitis akut seharusnya dibedakan dengan diagnosis diferensial nyeri
abdomen pada pasien usia lanjut. Keterlambatan pasien dibawa ke rumah sakit
berhubungan dengan peningkatan angka perforasi dan komplikasi post operatif.
Seluruh pasien usia lanjut dengan nyeri abdomen harus diterima dan diperiksa.
Penggunaan CT scan dini dapat mempercepat penatalaksanaan.
Ethical approval
Institution Review Board (IRB) pada Ilmu pengetahuan dan teknologi universitas
Jordan dan rumah sakit universitas king abdullah.