Anda di halaman 1dari 4

I.

Definisi
Rinitis Vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya
infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormonal ( kehamilan, hipertiroid) dan pajanan
obat (kontrasepsi oral, antihipertensi, B-bloker, aspirin, klorpromazin dan obat
topikal hidung dekongestan). Rinitis ini digolongankan menjadi non alergi bila
adanya alergi/alergen spesifik tidak apat diidentifikasi dengan pemeriksaan

alergi

yang sesuai (anenmnesis, tes cukit kulit, kadar antibodi IgE spesifik serum).
Kelaianan ini disebut juga vasomotor catarrd, vasomotor rinorhea, nasal vasomotor
instability atau juga non-allergic parennial rhinitis.
II. Etiologi dan Patofisiologi
Etiologi dan patofisiologi yang pasti belum diketahui. Beberapa hipotesis telah
dikemukakan untuk menerangkan patofisiologi rinitis vasomotor :
1.

Neurogenik (disfungsi sistem otonon)


Serabut simpatis hidung berasal dari korda spinalis segmen Th 1-2, menginversi
terutama pembuluh darah mukosa dan sebagian kelenjar. Serabut simpatis
melepaskan ko-trasmiter noradrenalin dan neuropeptida Y yang menyebabkan
vasokontriksi dan penurunan sekresi hidung. Tonus simpatis ini berfluktuasi
sepanjang hari yang menyebabkan adanya peningkatan tahanan rongga hidung
yang bergantian setiap 2-4 jam. Keadaan ini disebut sebagai "siklus nasi".
Dengan adanya siklus ini, seorang akan untuk dapat bernafas dengan tetap
normal melalui rongga hidung yang berubah-ubah luasnya.
Serabut saraf parasimpatis berasal nukleus salivatori superior menuju gangglion
sfenopalatina dan membentuk n. Vidianus kemudian menginervasi pembuluh
darah dan terutama kelenjar eksokrin. Pada rangsangan akan terjadi pelepasan
ko-tranmiter asetilkolin dan vasoaktif intestinal peptida yang menyebabkan
peningkatan sekresi hidung dan vasodilatasi, sehingga terjadi kongesti hidung.
Bagaimana tepatnya saraf otonon ini bekerja belumlah diketahui dengan pasti,
tetapi mungkin hipotalamus bertindak sebagai pusat penerima impuls eferen,
termaksud rangsang emosional dari pusat yang lebih tinggi. Dalam keadaan
hidung normal, persyarafan simpatis lebih dominan. Rinitis vasomor diduga

sebagai akibat dariketidak-seimbangan impuls saraf otonom dimukosa hidung


yang berupa bertambahnya aktivitas sistem parasimpatis.
2. Neuropeptida
Pada fase ini terjadi disfungsi hidung yang diakibatkan oleh meningkatnya
rangsangan terhadap saraf sensoris serabut C dihiung. Adanya rangsangan
abnormal saraf sensoris iniakan diikuti dengan peningkatan pelepasan
neuropeptida seperti substance P dan calcitonin gene-related protein yang
meningkatkan permeabilitas vaskular dan sekresi kelenjar. Keadaan ini
menerangkan terjadinya peningkatan respon pada hiper-reaktifitas hidung.
3. Nitrik Oksida
Kadar nitrik oksida (NO) yang tinggi dan persisten dilapisi epitel hidung dapat
menyebabkan terjadinya kerusakan atau nekrosis epitel, sehingga rangsangan
non- spesifik berinteraksi langsung kelapisan sub-epitel. Akibatnya terjadi
peningkatan reaktifitas serabut trigeminal dan recruitment refleks vaskular dan
kelenjar mukosa hidung.
4. Trauma
Rinitis vasomotor dapat merupakan komplikasi jangka panjang dan trauma
hidung melalui mekanisme neurogenik dan/ atau neuropeptida.
III. Gejala Klinik
Pada rinitis vasomor, gejala sering dicetuskan oleh berbagai rangsangan non-spesifik
seperti asap/ rokok, bau yang menyengat, parfum, minuman beralkohol, makanan
pedas, udara dingin, pendingin dan pemanas ruangan, perubahan kelembapan,
perubahan suhu luar, kelelelahan dan stres/emosi. Pada keadaan normal faktor-faktor
tadi tidak dirasakan sebagai gangguan oleh individu tersebut.
Kelaian ini mempunyai gejala yang dominan adalah hidung tersumbat, bergantian
kiri dan kanan, tergantung pada posisi pasien. Selain itu terdapat rinore yang mukoid
atau serosa. Keluhan ini jarang disertai dengan gejala mata.
Gejala dapat memburuk pada pagi hari bangun tidur oleh karena adanya perubahan
suhu yang ekstrim, udara lembab, juga oleh karena asap rokok dan sebagainnya.
Berdasarkan gejala yang menonjol, kelaianan ini debedakan dalam 3 golongan

yaitu :
1. Golongan bersin (sneezers), gelaka biasanya memberikan respon yang baik
dengan terapi antihistamin dan glukokortikoid topikal
2. Golongan rinore (runners), gejala dapat diatasi dengan pemberian anti
kolinergik topikal
3. Golongan tersumbat (blockers) kongesti umumnya memberikan respon yang
baik

dengan terapi glukokortikosteroid topikal dan vasokontriksi oral.

IV. Diagnosa
Diagnosa umumnya ditegakkan dengan cara eksklusi, yaitu menyingkirkan adanya
rinitis infeksi, alergi, okupasi, hormonal dan akibat obat. Dalam anamnesi dicari
faktor yang mempengaruhi timbulnya gejala.
Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior tampak gambaran yang khas berupa edema
mukosa hidung, konka bewarna merah gelap atau merah tua, tetapi dapat pula pucat.
Hal ini perlu dibedakan dengan rhinitis alergi. Permukaan konka dapat licin atau
berbenjol-benjol ( hipertrofi). Pada rongga hidung terdapat sekret mukoid, biasanya
sedikit. Akan tetapi pada golongan rinore sekret yang ditemukan ialah serosa dan
banyak jumlahnya.
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rinitis
alergi, kadang juga ditemukan oesinofil pada sektet hidung akan tetapi dalam jumlah
sedikit. Tes cukit kulit biasanya negatif. Kadar IgE spesifik tidak meningkat.
V.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada rhinitis vasomotor bervariasi, tergantung pada faktor
penyebab dan gejala yang menonjol, secara garis besar dibagi dalam :
1.

Menghindari stimulus/ faktor pencetus

2.

Pengobatan simtomatis, dengan obat - obatan dekongestan oral, cuci hidung


dengan larutan garam fisiologis, kauterisasi konka hipertrofi dengan larutan
AgNO3 25% atau triktor-asetat pekak.dapat juga diberikan kortikosteroid topikal
100-200 mikrogrami. Dosis dapat ditingkatkan sampai 400 mikrogram sehari.
Hasilnya akan terlihat setelah pemakaian paling sedikit selama 2 minggu. Saat
ini terdapat kortikosteroid topikal baru dalam larutan aqua seperti flutikason

propionat dan mometason furoad dengan pemakaian cukup satu kali sehari
dengan dosis 200 mcg. Pada kasus dengan rinore yang berat, dapat ditambahkan
antikolinergik topikal (ipatropium bromida). Sat ini sedang dalam penelitian
adalah terapi desensitisasi dengan obat capsaicin topikal yang mengandung lada.
3.

Operasi dengan cara bedah-beku, elektrokauter atau konkomi persial konka


inferior.

4.

Neuroktomi n. Vidianus, yaitu dengan melalukan pemotongan nervus vidianus,


bila dengan cara diatas tidak memberikan hasil optimal. Operasi ini tidaklah
mudah dapat menimbulkan komplikasi, seperti sinusitis, diplopia, buta,
gangguan lakrimasi, neuralgia atau anestesis infraorbita dan palantum. Dapat
juga dilakukan tindakan blocking ganglion sfenopalatina.

VI. Prognosis
Prognosis pengobatan golongan onstruksi lebih baik dari pada golongan rinore. Oleh
karena golongan rinore sangat mirip dengan rinitis alergi, perlu anamnis dan
pemeriksaan yang teliti untuk memastikan diagnosisnya.

Anda mungkin juga menyukai