Anda di halaman 1dari 10

Dunia Penelitian Geologi

Juni 14, 2009

Tektonik Regional Jawa Barat


Filed under: Tektonik Arie @ 9:46 am
Tags: ciletuh, formasi ciletuh, geologi, Regional, subduction
zone, sukabumi, tektonik jawa barat, tektonik regional
Pendahuluan
Geologi Jawa Barat merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki daya
tarik tersendiri. Aktifitas geologi yang telah berlangsung selama berjuta-juta tahun
di wilayah ini menghasilkan berbagai jenis batuan mulai dari batuan sedimen,
batuan beku (ekstrusif dan intrusif) dan batuan metamorfik dengan umur yang
beragam. Akibat proses tektonik yang terus berlangsung hingga saat ini, seluruh
batuan tersebut telah mengalami pengangkatan, pelipatan dan pensesaran.
Dari sudut pandang ilmu kebumian, daerah Jawa Barat sangat menarik untuk
dipelajari karena geologi daerah ini dikontrol oleh hasil aktifitas tumbukan dua
lempeng yang berbeda jenis. Lempeng yang pertama berada di bagian utara
berkomposisi granitis yang selanjutnya dinamakan sebagai Lempeng Benua Eurasia,
selanjutnya lempeng yang kedua berada di selatan berkomposisi basaltis yang
selanjutnya dinamakan sebagai Lempeng Samudra Hindia-Australia. Kedua lempeng
ini saling bertumbukan yang mengakibatkan Lempeng Samudra menunjam di bawah
Lempeng Benua. Zona tumbukan (subduction zone), membentuk morfologi
menyerupai lembah curam yang dinamakan sebagai palung laut (trench). Di dalam
palung ini terakumulasi berbagai jenis batuan terdiri atas batuan sedimen laut dalam
(Pelagic sediment), batuan metamorfik (batuan ubahan) dan batuan beku
berkomposisi basa hingga ultra basa (ofiolit). Percampuran berbagai jenis batuan di
dalam palung ini dinamakan sebagai batuan bancuh (batuan campur aduk) atau
dkenal sebagai batuan melange.
Jejak-jejak aktifitas tumbukan lempeng masa lampau (paleosubduk) dapat dilihat di
daerah Ciletuh, Sukabumi. Di daerah ini tersingkap batuan melangeCiletuh yang
berumur Kapur dan merupakan salah satu batuan tertua di Jawa yang dapat diamati
di permukaan. Daerah lain di Jawa yang juga memiliki batuan sama adalah daerah

Karangsambung di Kebumen, Jawa tengah dan Pegunungan Jiwo di Bayat,


Jogyakarta.
Fisiografi Regional
Aktifitas geologi Jawa Barat menghasilkan beberapa zona fisiografi yang satu sama
lain dapat dibedakan berdasarkan morfologi, petrologi dan struktur geologinya. Van
Bemmelen (1949), membagi daerah Jawa Barat ke dalam 4 besar zona fisiografi,
masing-masing dari utara ke selatan adalah Zona Dataran Pantai Jakarta, Zona
Bogor, Zona Bandung dan Zona Pegunungan Selatan..
Zona Dataran Pantai Jakarta menempati bagian utara Jawa membentang barat-timur
mulai dari Serang, Jakarta, Subang, Indramayu hingga Cirebon. Darah ini
bermorfologi pedataran dengan batuan penyusun terdiri atas aluvium sungai/pantai
dan endapan gunungapi muda.
Zona Bogor menempati bagian selatan Zona Dataran Pantai Jakarta, membentang
mulai dari Tangerang, Bogor, Purwakarta, Sumedang, Majalengka dan Kuningan.
Zona Bogor umumnya bermorfologi perbukitan yang memanjang barat-timur
dengan lebar maksimum sekitar 40 km. Batuan penyusun terdiri atas batuan
sedimen Tersier dan batuan beku baik intrusif maupun ekstrusif. Morfologi
perbukitan terjal disusun oleh batuan beku intrusif, seperti yang ditemukan di
komplek Pegunungan Sanggabuana, Purwakarta. Van Bemmelen (1949),
menamakan morfologi perbukitannya sebagai antiklinorium kuat yang disertai oleh
pensesaran.
Zona Bandung yang letaknya di bagian selatan Zona Bogor, memiliki lebar antara 20
km hingga 40 km, membentang mulai dari Pelabuhanratu, menerus ke timur
melalui Cianjur, Bandung hingga Kuningan. Sebagian besar Zona Bandung
bermorfologi perbukitan curam yang dipisahkan oleh beberapa lembah yang cukup
luas. Van Bemmelen (1949) menamakan lembah tersebut sebagai depresi diantara
gunung yang prosesnya diakibatkan oleh tektonik (intermontane depression).
Batuan penyusun di dalam zona ini terdiri atas batuan sedimen berumur Neogen
yang ditindih secara tidak selaras oleh batuan vulkanik berumur Kuarter. Akibat
tektonik yang kuat, batuan tersebut membentuk struktur lipatan besar yang disertai

oleh pensesaran. Zona Bandung merupakan puncak dari Geantiklin Jawa Barat yang
kemudian runtuh setelah proses pengangkatan berakhir (van Bemmelen, 1949).
Zona Pegunungan Selatan terletak di bagian selatan Zona Bandung. Pannekoek,
(1946), menyatakan bahwa batas antara kedua zona fisiografi tersebut dapat
diamati di Lembah Cimandiri, Sukabumi. Perbukitan bergelombang di Lembah
Cimandiri yang merupakan bagian dari Zona Bandung berbatasan langsung dengan
dataran tinggi (pletau) Zona Pegunungan Selatan. Morfologi dataran tinggi
atau plateau ini, oleh Pannekoek (1946) dinamakan sebagai Plateau Jampang.
Pola Sesar
Berdasarkan hasil penafsiran foto udara dan citra indraja (citra landsat) daerah Jawa
Barat, diketahui adanya banyak kelurusan bentang alam yang diduga merupakan
hasil proses pensesaran. Jalur sesar tersebut umumnya berarah barat-timur, utaraselatan, timurlaut-baratdaya dan baratlaut-tenggara. Secara regional struktur sesar
berarah timurlaut-baratdaya dikelompokan sebagai Pola Meratus, sesar berarah
utara-selatan dikelompokan sebagai Pola Sunda dan sesar berarah barat-timur
dikelompokan sebagai Pola Jawa. Struktur sesar dengan arah barat-timur umumnya
berjenis sesar naik, sedangkan struktur sesar dengan arah lainnya berupa sesar
mendatar. Sesar normal umum terjadi dengan arah bervariasi.
Dari sekian banyak struktur sesar yang berkembang di Jawa Barat, ada tiga struktur
regional yang memegang peranan penting, yaitu Sesar Cimandiri, Sesar Baribis dan
Sesar Lembang. Ketiga sesar tersebut untuk pertamakalinya diperkenalkan oleh van
Bemmelen (1949) dan diduga ketiganya masih aktif hingga sekarang.
Sesar Cimandiri merupakan sesar paling tua (umur Kapur), membentang mulai dari
Teluk Pelabuhanratu menerus ke timur melalui Lembah Cimandiri, CipatatRajamandala, Gunung Tanggubanprahu-Burangrang dan diduga menerus ke timur
laut menuju Subang. Secara keseluruhan, jalur sesar ini berarah timurlaut-baratdaya
dengan jenis sesar mendatar hingga oblique (miring). Oleh Martodjojo dan
Pulunggono (1986), sesar ini dikelompokan sebagai Pola Meratus.
Sesar Baribis yang letaknya di bagian utara Jawa merupakan sesar naik dengan arah
relatif barat-timur, membentang mulai dari Purwakarta hingga ke daerah Baribis di
Kadipaten-Majalengka (Bemmelen, 1949). Bentangan jalur sesar Baribis dipandang

berbeda oleh peneliti lainnya. Martodjojo (1984), menafsirkan jalur sesar naik
Baribis

menerus ke arah tenggara melalui kelurusan Lembah Sungai Citanduy,

sedangkan oleh Simandjuntak (1986), ditafsirkan menerus ke arah timur hingga


menerus ke daerah Kendeng (Jawa Timur). Penulis terakhir ini menamakannya
sebagai Baribis-Kendeng Fault Zone. Secara tektonik sesar Baribis mewakili umur
paling muda di Jawa, yaitu pembentukannya terjadi pada periode Plio-Plistosen.
Selanjutnya oleh Martodjojo dan Pulunggono (1986), sesar ini dikelompokan sebagai
Pola Jawa.
Sesar Lembang yang letaknya di utara Bandung, membentang sepanjang kurang
lebih 30 km dengan arah barat-timur. Sesar ini berjenis sesar normal (sesar turun)
dimana blok bagian utara relatif turun membentuk morfologi pedataran (pedataran
Lembang). Van Bemmelen (1949), mengkaitkan pembentukan sesar Lembang
dengan aktifitas Gunung Sunda (G. Tanggubanprahu merupakan sisa-sisa dari
Gunung Sunda), dengan demikian struktur sesar ini berumur relatif muda yaitu
Plistosen.
Struktur sesar yang termasuk ke dalam Pola Sunda umumnya berkembang di utara
Jawa (Laut Jawa). Sesar ini termasuk kelompok sesar tua yang memotong batuan
dasar (basement) dan merupakan pengontrol dari pembentukan cekungan Paleogen
di Jawa Barat.
Mekanisme pembentukan struktur geologi Jawa Barat terjadi secara simultan di
bawah pengaruh aktifitas tumbukan lempeng Hindia-Australia dengan lempeng
Eurasia yang beralangsung sejak Zaman Kapur hingga sekarang. Posisi jalur
tumbukan (subduction zone) dalam kurun waktu tersebut telah mengalami beberapa
kali perubahan. Pada awalnya subduksi purba (paleosubduk) terjadi pada umur
Kapur, dimana posisinya berada pada poros tengah Jawa sekarang. Jalurnya
subduksinya berarah relatif barat-timur melalui daerah Ciletuh-Sukabumi, Jawa
Barat menerus ke timur memotong daerah Karangsambung-Kebumen, Jawa Tengah.
Jalur paleosubduk ini selanjutnya menerus ke Laut Jawa hingga mencapai Meratus,
Kalimantan Timur (Katili, 1973). Penulis ini menarik jalur paleosubduk berdasarkan
pada singkapan melange yang tersingkap di Ciletuh (Sukabumi), Karangsambung
(Kebumen) dan Meratus (Kalimantan Timur). Berdasarkan penanggalan radioaktif
yang dialkukan terhadap beberapa contoh batuan melange, diketahui umur
batuannya adalah Kapur.

Peristiwa subduksi Kapur diikuti oleh aktifitas magmatik yang menghasilkan endapan
gunungapi berumur Eosen. Di Jawa Barat, endapan gunungapi Eosen diwakili oleh
Formasi Jatibarang dan Formasi Cikotok. Formasi Jatibarang menempati bagian
utara Jawa dan pada saat ini sebarannya berada di bawah permukaan, sedangkan
Formasi Cikotok tersingkap di daerah Bayah dan sekitarnya.
Jalur gunungapi (vulcanic arc) yang umurnya lebih muda dari dua formasi tersebut
di atas adalah Formasi Jampang. Formasi ini berumur Miosen yang ditemukan di
Jawa Barat bagian selatan. Dengan demikian dapat ditafsirkan telah terjadi
pergeseran jalur subduksi dari utara ke arah selatan.
Untuk ketiga kalinya, jalur subduksi ini berubah lagi. Pada saat sekarang, posisi jalur
subduksi berada Samudra Hindia dengan arah relatif barat-timur. Kedudukan jalur
subduksi ini menghasilkan aktifitas magmatik berupa pemunculan sejumlah
gunungapi aktif. Beberapa gunungapi aktif yang berkaitan dengan aktifitas subduksi
tersebut, antara lain G. Salak, G. Gede, G. Malabar, G. Tanggubanprahu dan G.
Ciremai.
Walaupun posisi jalur subduksi berubah-ubah, namun jalur subduksinya relatif
sama, yaitu berarah barat-timur. Posisi tumbukan ini selanjutnya menghasilkan
sistem tegasan (gaya) berarah utara-selatan.
Aktifitas tumbukan lempeng di Jawa Barat, menghasilkan sistem tegasan (gaya)
berarah utara-selatan.
TEKTONIK DAERAH CILETUH
Ciletuh yang secara adminstratif termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Sukabumi
memiliki geologi yang unik. Di daerah ini tersingkap batuan campur aduk (mlange)
yang berumur Kapur dan batuan sediment berumur Paleogen. Kelompok batuan PraTersier merupakan satuan batuan tertua yang tersingkap di permukaan daratan
Pulau Jawa. Di Pulau Jawa sendiri ada tiga lokasi yang memiliki singkapan batuan
tertua, yaitu di daerah Ciletuh ( Sukabumi-Jawa Barat), daerah Karangsambung
(Kebumen-Jawa Tengah) dan di daerah Bayat (Klaten, Yogyakarta).
Yang unik dari singkapan batuan Pra-Tersier di daerah Ciletuh adalah seluruh
singkapan batuannya berada di dalam suatu lembah besar

menyerupaiamphiteather dengan bentuk tapal kuda yang terbuka ke arah Samudra


Hindia.
Morfologi lembah Ciletuh dibatasi oleh dataran tinggi Jampang (Plateau Jampang)
dengan kemiringan lereng yang sangat terjal hingga mendekati vertikal. Di atas
dataran tinggi ini, kita dapat menikmati pemandangan lembah Ciletuh yang indah
dengan latar belakang Samudra Hindia dengan pulau-pulau kecil di sekitar
pantainya.
Di dalam lembah Ciletuh, kita dapat melihat rangkaian bukit-bukit kecil dan bukit
soliter (berdiri sendiri) yang batuannya disusun oleh batuan Pra-Tersier dan sedimen
Paleogen. Beberapa morfologi bukit yang dapat dengan jelas dilihat dari daerah
tinggian ini, antara lain Pr. Beas dan Gunung Badak.
Batuan Pra-Tersier disusun oleh batuan beku basa dan ultra basa, terdiri atas gabro
dan peridotit, sedangkan batuan berumur sedimen Paleogen terdiri atas batupasir
greywacke, tuf, batupasir kuarsa dan konglomerat. Kelompok batuan Pra-Tersier dan
Paleogen juga sebagai penyusun utama di Pulau Mandra, Pulau Kunti, Pulau Manuk
dan pulau-pulau kecil lainnya yang berada di sekitar pantai Ciletuh.
Secara stratigrafi batuan Pra-Tersier dan Paleogen di dalam di lembah Ciletuh
ditindih secara tidak selaras oleh Formasi Jampang yang berumur Miosen. Batuan
Formasi Jampang terdiri atas breksi vulkanik, lava dan tuf, dengan kemiringan
perlapisan batuan kurang dari 15. Selanjutnya secara regional Formasi Jampang
membentuk morfologi dataran tinggi yang luas (plateau Jampang) dan merupakan
pembatas lembah Ciletuh.
Dari hasil penafsiran citra landsat dan pengukuran bidang struktur di lapangan,
diketahui struktur geologi daerah Ciletuh terdiri atas struktur lipatan dan sesar.
Struktur lipatan terdiri atas antiklin dan sinklin, sedangkan struktur sesar terdiri atas
sesar mendatar, sesar naik dan sesar oblique (sesar miring).
Besar sudut kemiringan bidang perlapisan batuan sedimen Paleogen umumnya
berkisar antara 20 hingga 40. Struktur lipatan umumnya berarah barat-timur
hingga timurlaut-baratdaya. Struktur lipatan ini terbentuk akibat gaya-gaya
kompresional dengan sistem tegasan berarah utara-selatan.

Struktur sesar daerah Ciletuh juga terbentuk akibat gaya-gaya kompresional berarah
utara-selatan. Struktur sesar ini memotong batuan mulai dari umur Pra-Tersier
hingga Neogen. Penyebaran satuan batuan di dalam lembah Ciletuh, umumnya
dikontrol oleh struktur sesar. Dari hasil intrepretasi citra landsat dan data lapangan,
diketahui bahwa struktur sesarnya berjenis sesar naik, sesar mendatar dan sesar
miring (oblique). Umumnya sesar tersebut berarah utara-selatan, baratlaut-tenggara
dan timurlaut-baratdaya.
Sejarah Geologi Ciletuh
Daerah Ciletuh pada saat ini terletak pada lingkungan tektonik busur vulkanik dari
sistem tumbukan antara Lempeng Eurasia dengan Lempeng Hindia Australia.
Lempeng Eurasia bersifat granitis (dinamakan juga sebagai lempeng benua)
sedangkan Lempeng Hindia-Australia bersifat basaltis (dinamakan juga sebagai
lempeng samudra). Posisi jalur tumbukan kedua lempeng berada di Samudra Hindia.
Dari waktu ke waktu, posisi jalur tumbukan dapat berubah-ubah sesuai dengan
kondisi geologinya pada saat itu. Pada Zaman Kapur, posisi jalur tumbukan berada
di daerah Ciletuh sekarang. Akibat dari pertemuan kedua lempeng tersebut, daerah
Ciletuh pada saat itu berada di lingkungan laut dalam. Morfologi dasar laut yang
dibentuk oleh aktifitas tumbukan kedua lempeng tersebut menyerupai parit atau
palung curam (trench) yang memanjang dengan arah barat-timur.
Di dalam palung (zona tumbukan) terakumulasi sedimen laut dalam (sediment
pelagic) berupa lapisan lempung dan batugamping klastik. Disamping itu, di dalam
zona tumbukan terjadi proses percampuran batuan yang mekanismenya dapat
terjadi secara tektonik dan sedimenter.
Batuan campur aduk (batuan bancuh) dinamakan pula sebagai melange, batuannya
terdiri atas batuan beku, batuan metamorfik dan batuan sedimen. Apabila proses
percampuran batuannya akibat tektonik dinamakan sebagai melange tektonik dan
apabila prosesnya akibat sedimentasi maka dinamakan sebagai melange
sedimenter atau olistostrom. Di dalam lembah Ciletuh, batuan melange terdiri atas
batuan basa dan ultra basa (Ofiolit), seperti peridotit, serpentinit, gabro dan basalt.
Batuan melange Ciletuh selanjutnya ditutupi secara tidak selaras oleh batuan
sedimen Formasi Ciletuh. Formasi Ciletuh terdiri atas metasedimen, breksi dan

greywacke. Di dalam lembah Ciletuh, satuan batuan tersebut dapat dijumpai di


daerah bermorfologi bergelombang dan di beberapa daerah sekitar pantai.
Daerah Ciletuh yang semula berupa cekungan pada akhirnya penuh dengan isian
sedimen (Formasi Ciletuh) dan pada saat yang bersamaan tektonik pengangkatan
terus belangsung. Akibat proses geologi ini, daerah Ciletuh untuk pertama kalinya
berubah menjadi daratan.
Morfologi daratan Ciletuh pada saat itu terdiri atas perbukitan (tinggian) dan lembah
(rendahan). Bentuk morfologi tersebut dikontrol oleh sesar-sesar normal yang
diakibatkan oleh tektonik regangan.
Pada bagian rendahan mulai terakumulasi sediment sungai, terdiri atas lapisan pasir
kuarsa dan konglomerat. Satuan batuan tersebut pada akhirnya dinamakan sebagai
Formasi Bayah (Martodjojo, 1984). Selanjutnya tektonik regangan ini makin intensif
sehingga sebaran sedimennya makin luas dan tebal serta dibeberapa tempat sudah
mulai terbentuk sedimen di lingkungan transisi dan delta.
Tektonik regangan yang terjadi pada saat itu, mengawali pembentukan cekungan
(selanjutnya dinamakan sebagai Cekungan Bogor) dan pada tahap selanjutnya,
daerah Ciletuh kembali tenggelam menjadi lautan. Secara tektonik daerah Ciletuh
pada saat itu berada di lingkungan Cekungan Belakang Busur.
Ciletuh kembali menjadi daratan pada kala Plio-Plistosen. Pada saat itu tektonik
kompresi di Jawa berlangsung secara besar-besaran. Seluruh batuan di dalam
Cekungan Bogor mengalami pengangkatan, perlipatan dan pensesaran yang
menyebabkan sebagian besar Cekungan Bogor menjadi daratan. Secara tektonik
daerah Ciletuh pada saat itu berada di lingkungan Busur Gunungapi (Vulcanic arc)
dan kondisi tersebut bertahan hingga sekarang.
Mekanisme Tersingkapnya Batuan-Pra Tersier Ciletuh
Batuan Pra-Tersier Ciletuh yang tersingkap di dalam lembah Ciletuh, menempati
elevasi mulai 0 hingga 50 m di atas permukaan laut. Pada batas lembah-lembahnya,
batuan tua ini ditutupi oleh Formasi Jampang yang umurnya lebih muda (Miosen).

Dilihat dari sejarah geologinya, batuan Pra-Tersier Ciletuh merupakan batuan tertua
yang terletak di bagian paling bawah dari urutan stratigrafinya. Selanjutnya batuan
tua ini ditutupi oleh batuan sedimen yang umurnya lebih muda dengan tebal
mencapai ribuan meter.
Pada saat ini, batuan Pra-Tersier telah tersingkap ke permukaan dengan berbagai
macam proses geologi. Proses tektonik merupakan mekanisme utama yang
menggerakan batuan dari posisi bawah ke permukaan (pengangkatan). Proses
pengangkatan dapat terjadi melalui mekanisme pembentukan struktur lipatan dan
sesar naik.
Jalur sesar naik daerah Ciletuh dan sekitarnya umumnya relatif lurus dan berarah
barat-timur, sedangkan sebaran batuan tua yang berada di lembah Ciletuh dibatasi
oleh batas-batas lembahnya yang melingkar. Dengan demikian harus ada
mekanisme lainnya yang menyebabkan batuan tua tersebut tersingkap ke
permukaan.
Morfologi lembah membusur dengan bentuk setengah lingkaran (bentuk tapal kuda)
biasanya terjadi akibat longsoran. Dengan mengacu kepada model tersebut maka di
daerah Ciletuh pernah terjadi peristiwa longsor besar yang menyebabkan masa
batuan Formasi Jampang bergerak ke arah laut (Bentuk lembah Ciletuh membusur
dan terbuka ke arah laut). Selanjutnya akibat peristiwa longsoran besar ini,
tersingkaplah batuan tua di permukaan.
Comments (3)
3 Komentar

1.
Mengapa tidak dicantumkan gambar?? padahal ulasannya menarik.
Komentar oleh Iqbal Oktober 9, 2009 @ 2:07 pm | Balas

Maaf, gak punya gambarnya soalnya. Ntar postingan berikutnya


insyaAllah.
Soal referensi gak ada saya,.
Komentar oleh Arie November 2, 2009 @ 7:46 am | Balas

2.
Coba tanya pak Sudjono Martodjojo atau Pak RP Kuesuma,pasti beliau
punya dech peta2nya
Komentar oleh Iwan S. Natanegara Januari 12, 2010 @ 11:55
am | Balas

Anda mungkin juga menyukai