Anda di halaman 1dari 35

A Landasan Teori

Teori berasal dari kata theoria dalam bahasa Latin yang


berarti perenungan, yang pada gilirannya berasal dari kata
thea dalam bahasa Yunani yang berarti cara atau hasil
pandang adalah suatu konstruksi di dalam cita atau ide
manusia, dibangun dengan maksud untuk menggambarkan
secara refleksi fenomena yang dijumpai di alam pengalaman.1
Ilmu apa pun, termasuk ilmu hukum dan ilmu sosial
tentang hukum, tidak hanya ada satu aliran atau mazhab.
Masing-masing aliran atau mazhab itu mempunyai paradigma,
konsepsi, teori dan metodologi yang berbeda satu sama lainnya.
Para pengkaji hukum, secara sadar maupun tidak, sesungguhnya
memilih paradigma, konsep hingga teori yang dianut dan
kemudian dipergunakan seseorang/sekelompok orang untuk
berpikir

dan

menghasilkan

judgement,

maupun

untuk

menjelaskan eksistensi hukum sebagai suatu kenyataan sosial.


Pilihan paradigma, konsep dan teorinya itu memiliki konsekuensi
pada metode dan praktik dari penggunanya.2
Dengan demikian maka landasan teori dalam penelitian
hukum ini sangat dibutuhkan dan bersifat fundamental untuk
dapat mengkaji, menganalisa, dan menemukan jawaban atas
tujuan penelitian hukum ini. Dibawah ini adalah merupakan
landasan teori yang dipilih penulis sebagai alat untuk mencari
jawaban terhadap tujuan penelitian hukum ini.
1 Pengertian Peninjauan Kembali

1 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Paradigma, Metode dan Masalah,


(Jakarta: Elsam dan Huma), hlm. 84.
2 Ibid, hal. 38

Secara gramatikal, peninjauan kembali terdiri dari


dua kata yaitu peninjauan dan kembali. Peninjauan berasal
dari kata asal tinjau, yang dapat disepadankan artinya
dengan

melihat,

digabungkan
diartikan

mengamati

dengan
dengan

kembali sesuatu yang


hukum,

utuh,

atau

memeriksa.

peninjauan

Apabila

kembali

dapat

melihat/mengamati/memeriksa
perlu

diulangi.

Dalam

bahasa

Kata peninjauan kembali diterjemahkan dari kata

Herziening.
Pada awalnya, herzeining diatur di dalam Reglement
of

de Strafvordering

yang

merupakan

singkatan

dari

Reglement of de Strafvordering voor de raden van justutie op


java en het hooggerechtshof van Indonesie, yakni peraturan
mengenai hukum acara pidana bagi pengadilan-pengadilan
tinggi

di

Pulau

Jawa

Indonesia, yang mulai

dan

bagi

diberlakukan

Mahkamah Agung
sejak tanggal 1 Mei

1848 dengan Staatsblad Tahun 1848 Nomor


Nomor

57, dan

telah diundangkan

40 juncto

pada tanggal 14

September 1847 dalam Staatsblad Tahun 1847 Nomor 40.3


Dalam pedoman pelaksanaan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa pengertian upaya
hukum itu adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk
tidak menerima putusan pengadilan. Adapun maksud dari
upaya hukum itu sendiri pada pokoknya adalah untuk
memperbaiki kesalahan yang dibuat oleh instansi yang
sebelumnya dan untuk kesatuan dalam peradilan.
3 P.A.F.Lamintang dan Theo Lamintang, Pembahasan KUHAP; Menurut Ilmu
Pengetahuan Hukum Pidana & Yurisprudensi, (Jakart: Sinar Grafika, 2010), hlm.526

Dengan adanya upaya hukum ini, ada jaminan bagi


terdakwa maupun masyarakat bahwa peradilan, baik menurut
fakta dan hukum adalah benar dan sejauh mungkin seragam.
Sedangkan menurut pandangan doktrina untuk melaksanakan
hukum yaitu hak terpidana atau jaksa penuntut umum untuk
tidak menerima penetapan atau putusan pengadilan karena
tidak puas dengan penetapan atau putusan tersebut.4
Menurut

pandangan

doktrina

upaya

hukum

pada

pokoknya bertujuan :
1 Diperolehnya

kesatuan

dan

kepastian

dalam

hal

menjalankan peradilan (operasi yustitie).


2 Melindungi tersangka terhadap tindakan-tindakan yang
bersifat sewenang-wenang dari hakim.
3 Memperbaiki kealpaan-kealpaan dalam

menjalankan

peradilan.
4 Usaha dari para pihak, baik terdakwa maupun Jaksa
memberikan keterangan-keterangan baru (Novum).5
Secara profesional upaya hukum di sediakan oleh
hukum acara sebagai institusi yang dapat menguji suatu
putusan pengadilan. Dalam penanganan perkara pidana, baik
putusan

pengadilan

maupun

upaya

hukum,

keduanya

merupakan bagian/instrumen dalam sistem peradilan pidana.


Pemahaman mengenai keduanya tidak dapat dilepaskan dari
desain sistem peradilan pidana itu sendiri.
4 A. Hamzah dan Irdan Dahlan, Upaya Hukum Dalam Perkara Pidana,
(Jakarta : PT. Bina Aksara, 1987), hlm. 3.
5 Djoko Prakoso, Upaya Hukum yang diatur di dalam KUHAP, ( Jakarta :
Aksara Persada Indonesia, 1987), hlm. 53.

Istilah sistem peradilan pidana dalam berbagai referensi


digunakan sebagai padanan dari criminal justice system.
Definisi criminal justice system dalam Blacks Law Dictionary
disebutkan sebagai,
The system typically has three components: law
enforcement (police, sheriffs, marshals), the judicial
process (judges, prosecutors,defense lawyers), and
corrections (prison officials, probation officers, parole
officers).6
Hukum

pidana

sebagai

hukum

materiil,

dalam

penegakannya dilakukan berdasarkan hukum acara sebagai


hukum formil. Hukum acara merupakan urat nadi kehidupan
hukum materil yang memberikan tuntunan atau pedoman
dalam

pelaksanaan

hukum

materil

sehingga

dapat

memberikan kepastian hukum kepada semua pihak yang


terkait dalam rangka menegakan hukum dan keadilan, kalau
tidak akan terjadi eigenrichting.7 Sebagaimana telah diuraikan
di atas, upaya hukum dalam penegakan hukum pidana
merupakan salah satu hal yang diatur dalam KUHAP yang
merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang mengatur
tentang hukum formil di Indonesia.
Berdasarkan ketentuan KUHAP, upaya hukum dapat
dibagi menjadi:8
6 Bryan A. Garner, Blacks Law Dictionary, Eighth Edition, (St. Paul, MN :
West Group,2004) , hlm. 403
7 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang : Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, 1995), hlm. 4
8 H.A.S. Natabaya, Menata Ulang Sistem Peraturan Perundang-undangan
Indonesia (Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008),

1 Upaya hukum biasa (Gewone Rechtsmiddelen) terhadap


putusan pengadilan pada tingkat pertama, yaitu:
a Perlawanan (verzet)
b Banding (revisi/Hoger Beroep)
c Terhadap putusan putusan peradilan tingkat banding
(revisi/hoger beroep) dapat diajukan permohonan kasasi
kepada Mahkamah Agung.
2 Upaya hukum luar (Buitengewone Rechtsmiddelen) biasa
terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, berupa:
a Pemeriksaan tingkat kasasi demi kepentingan hukum
(Cassatie in het belang van het recht) atau kasasi
jabatan.
b Peninjauan kembali putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
2 Syarat-syarat Pengajuan Peninjauan Kembali.
Peninjauan Kembali di dalam KUHAP di atur dalam BAB
XVIII di bawah judul : upaya hukum luar biasa, pada bagian
kedua peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap yang terdiri dari 7 pasal
yaitu Pasal 263 sampai dengan Pasal 269. Pasal 263 KUHAP
merumuskan sebagai berikut:9
1 Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas
dari segala tuntutan hukum terpidana atau ahli warisnya
dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada
Mahkamah Agung.
2 Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar:
hlm.. 9-10.
9 Parman Soeparman, Pengaturan Hak Mengajukan Upaya Hukum
Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana Bagi Korban Kejahatan,
(Bandung : Refika Aditama, 2009), hlm. 7.

a Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan


dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui
pada waktu sidang masih berlangsung hasilnya akan
berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala
tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak
dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan
ketentuan pidana yang lebih ringan.
b Apabila dalam pelbagai putusan, terdapat pernyataan
bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau
keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang
dinyatakan
tetap
terbukti
itu,
ternyata
telah
bertentangan satu dengan yang lain.
c Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu
kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
3 Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada
ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan
permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu
suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan
terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.
Ketentuan Pasal 263 ayat (1) merupakan syarat formil
dalam mengajukan permintaan upaya hukum peninjauan
kembali, yaitu:10
1 Dapat dimintakan terhadap putusan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde);
2 Peninjauan kembali hanya dapat diajukan terhadap semua
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap,
apakah itu putusan pengadilan negeri, putusan pengadilan
tinggi atau terhadap putusan tingkat kasasi selama putusan
tersebut telah berkekuatan hukum tetap.
3 Diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya;

10 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP


(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan
Kembali),(Jakarta: Sinar Grafika,2003), hlm. 613-614.

Menurut pasal ini, yang dapat mengajukan peninjauan


kembali hanyalah terpidana atau ahli warisnya, sedangkan
mengenai pihak lain apakah itu penuntut umum, saksi
korban ataupun pihak ketiga yang berkepentingan tidak
ada diatur dalam KUHAP.
4 Hanya terhadap putusan yang menghukum/memidana saja.
Meskipun

KUHAP

membolehkan

untuk

mengajukan

peninjauan kembali terhadap semua putusan pengadilan,


namun KUHAP mengecualikan terhadap putusan bebas
(vrijspraak) atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum
(onslag rechts vervolging). Hal ini memang logis, karena
tidak mungkin terdakwa yang sudah di putus bebas atau
lepas akan mengajukan upaya hukum peninjauan kembali.
Selanjutnya mengenai syarat materil terdapat dalam
ayat (2) yaitu sebagai berikut:

1 Apabila terdapat keadaan baru atau novum;


Keadaan baru yang dapat dijadikan landasan yang
mendasari permintaan adalah keadaan baru atau novum
yang mempunyai sifat dan kualitas menimbulkan dugaan
kuat:11

11 Ibid, hlm. 619.

a Jika seandainya keadaan baru itu diketahui atau


ditemukan

dan

dikemukakan

pada

waktu

sidang

berlangsung, dapat menjadi factor dan alasan untuk


menjatuhkan putusan bebas atau putusan lepas dari
segala tuntutan hukum, atau
b Keadaan baru itu jika ditemukan dan diketahui pada
waktu sidang berlangsung, dapat menjadi alasan dan
faktor untuk menjatuhkan putusan yang menyatakan
tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima, atau
c Dapat dijadikan alasan dan faktor untuk menjatuhkan
putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang
lebih ringan.
2 Apabila dalam

pelbagai

putusan

terdapat

saling

pertentangan, yakni apabila dalam pelbagai putusan


terdapat:12
a Pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti;
b Kemudian pernyataan tentang terbuktinya hal atau
keadaan itu

dijadikan sebagai

dasar dan alasan

putusan dalam suatu perkara;


c Akan tetapi dalam putusan perkara lain hal atau
keadaan

yang

dinyatakan

terbukti

itu

saling

bertentangan antara putusan yang satu dengan yang


lainnya.
3 Apabila terdapat kekhilafan yang nyata dalam putusan.
Hakim sebagai manusia tentunya tidak luput dari
kekhilafan dan kekeliruan, kekhilafan dan kekeliruan itu
bisa

saja

terjadi

dalam

semua

tingkat

pengadilan.

Kekhilafan yang diperbuat Pengadilan Negeri sebagai


peradilan pertama, bisa berlanjut pada tingkat banding
12 Ibid, hlm. 621.

dan kekhilafan dalam tingkat pertama dan tingkat banding


itu tidak tampak dalam tingkat kasasi oleh Mahkamah
Agung. Padahal tujuan tingkat banding dan tingkat kasasi
untuk meluruskan dan memperbaiki serta membenarkan
kembali kekeliruan yang diperbuat pengadilan yang lebih
rendah.13
Ada dua alasan penting secara doktriner yang tidak
dapat ditinggalkan dalam pembahasan mengenai peninjauan
kembali, dan hal demikian telah dimuat dalam KUHAP, yakni
conflict van rechtspraak dan novum. Hal yang pertama adalah
terdapatnya

putusan-putusan

yang

berlainan

dengan

keadaan-keadaan yang dinyatakan terbukti. Hal yang disebut


berikutnya

ialah

adanya

suatu

keadaan

baru

yang

menimbulkan dugaan kuat bahwa jika diketahui keadaan itu,


pada waktu sidang masih berlangsung hasilnya akan berupa
putusan bebas atau putusan lepas dari tuntutan hukum atau
tuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima dan juga
terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih
ringan.14
3 Acara Peninjauan Kembali
Sebagaimana yang telah diuraikan di atas bahwa
syarat-syarat

formil

dan

materil

pengajuan

Peninjauan

Kembali dicantumkan dalam Pasal 263 KUHAP. Selanjutnya


mengenai prosedur pengajuan peninjauan kembali dimuat
13 Ibid, hlm. 622.
14 Oemar Seno Adji, Herziening Ganti Rugi Suap Perkembangan Delik,
(Jakarta : Erlangga, 1981), hlm. 38-29.

dalam Pasal 264 dan 265 KUHAP. Selengkapnya Pasal 264


KUHAP merumuskan sebagai berikut:
1 Permintaan
Peninjauan
Kembali
oleh
Pemohon
sebagaimana di maksud dalam Pasal 263 ayat (1)
diajukan kepada panitera pangadilan yang telah memutus
perkaranya dalam tingkat pertama dengan menyebutkan
secara jelas alasannya.
2 Ketentuan sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal
245 ayat (2) berlaku juga bagi permintaan Peninjauan
Kembali.
3 Permintaan Peninjauan Kembali tidak dibatasi dengan
suatu jangka waktu.
4 Dalam hal pemohon Peninjauan Kembali adalah terpidana
yang kurang memahami hukum, panitera pada waktu
menerima
permintaan
Peninjauan
Kembali
wajib
menanyakan apakah alasan ia mengajukan permintaan
tersebut dan untuk itu panitera membuatkan surat
permintaan peninjauan kembali.
5 Ketua pengadilan segera mengirimkan surat permintaan
Peninjauan Kembali beserta berkas perkaranya kepada
Mahkamah Agung, disertai suatu catatan penjelasan.
Sementara Pasal 265 merumuskan sebagai berikut:
1 Ketua
Pengadilan
setelah
menerima
permintaan
Peninjauan Kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal
263 ayat (1) menunjuk hakim yang tidak memeriksa
perkara semula yang dimintakan Peninjauan Kembali itu
untuk memeriksa apakah permintaan Peninjauan Kembali
tersebut memenuhi alasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 263 ayat (2).
2 Dalam pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat (1),
pemohon dan jaksa ikut hadir dan dapat menyampaikan
pendapatnya.
3 Atas
pemeriksaan
tersebut
dibuat
berita
acara
pemeriksaan yang ditandatangani oleh hakim, jaksa,
pemohon dan panitera dan berdasarkan berita acara itu
dibuat berita acara pendapat dan ditandatangani oleh
hakim dan panitera.
4 Ketua pengadilan segera melanjutkan permintaan
Peninjauan Kembali yang dilampiri berkas perkara semula,
berita acara pemeriksaan dan berita acara pendapat

kepada Mahkamah Agung yang tembusan surat


pengantarnya disampaikan kepada pemohon dan jaksa.
5 Dalam hal suatu perkara yang dimintakan Peninjauan
Kembali adalah putusan pengadilan banding, maka
tembusan surat pengantar tersebut harus dilampiri
tembusan berita acara pemeriksaan serta berita acara
pendapat dan disampaikan kepada pengadilan banding
yang bersangkutan.
Dari bunyi kedua Pasal tersebut di atas dapat diketahui
bahwa tata cara mengajukan permintaan Peninjauan Kembali
adalah sebagai berikut:15
1 Permintaan diajukan kepada Panitera;
2 Panitera membuat akta permintaan peninjauan kembali;
3 Ketua Pengadilan Negeri menunjuk hakim yang akan
memeriksa;
4 Hakim yang ditunjuk melakukan pemeriksaan sidang yang
difokuskan kepada objek Peninjauan Kembali (keadaan
baru) dan hanya berwenang menilai secara formal belaka
dan akan dituangkan dalam berita acara pendapat;
5 Hakim yang memeriksa tidak berwenang menilai alasan
yang diajukan secara materiil, karena yang berwenang
menilai secara materiil adalah Mahkamah Agung;
6 Sifat pemeriksaan persidangan adalah resmi dan terbuka
untuk umum dan dihadiri oleh pemohon dan jaksa;
7 Semua

pendapat

dan

keadaan

yang

timbul

dalam

pemeriksaan sidang dicatat oleh panitera dalam berita


15 M. Yahya Harahap, op. cit, hlm. 624-634.

acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh hakim, jaksa,


pemohon dan panitera;
8 Pengadilan Negeri

kemudian melanjutkan permintaan

Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung, dengan


mengirimkan hal-hal sebagai berikut:
a Surat permintaan peninjauan kembali;
b Berkas perkara semula selengkapnya, termasuk berita
acara

pemeriksaan

pemeriksaan

penyidikan,

sidang,

segala

berita

surat-surat

acara
yang

berhubungan dengan perkara serta segala putusan


yang berhubungan dengan perkara tersebut;
c Berita acara pemeriksaan permintaan Peninjauan
Kembali;
d Berita acara pendapat.
9 Oleh Mahkamah Agung kemudian dilakukan pemeriksaan
berdasarkan pada berkas perkara semula, berita acara
pemeriksaan permintaan peninjauan kembali dan berita
acara pendapat;
10 Kemudian Mahkamah

Agung

menjatuhkan

putusan

Peninjauan Kembali.
Dalam hal alasan Peninjauan Kembali tidak memenuhi
ketentuan yang disyaratkan oleh perundang-undangan, maka
Mahkamah Agung akan menyatakan permintaan Peninjauan
Kembali tidak dapat diterima. Dengan demikian putusan
Mahkamah Agung dalam hal permintaan peninjauan kembali
akan berupa :
1 Pernyataan

tidak

dapat

diterimanya

peninjauan kembali untuk diperiksa;


2 Menolak permintaan peninjauan kembali;

permintaan

3 Membatalkan

putusan

sebelumnya

dan

menjatuhkan

putusan berupa :
a Putusan bebas;
b Lepas dari segala tuntutan hukum;
c Tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum;
d Menerapkan pidana yang lebih ringan.
Hal-hal yang diuraikan di atas diatur dalam Pasal 266
ayat (1) dan (2) KUHAP, sedangkan ayat (3) nya berbunyi :
pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali
tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam
pidana semula. Ketentuan ini menjadi berlebihan karena
permintaan peninjauan kembali hanya dimaksudkan untuk
meringankan atau membebaskan terpidana dari pidana yang
berat bukan sebaliknya.
Pemeriksaan dan putusan yang diambil Mahkamah
Agung

dalam

perkara

peninjauan

kembali,

hakekatnya

bukanlah merupakan pemeriksaan tingkat ketiga, tetapi untuk


memeriksa
menerapkan

apakah
hukum

pengadilan
atau

tidak

bawahan

telah

dilaksanakannya

salah
hukum

ataupun melampaui batas wewenangnya. Demikian juga


Mahkamah Agung tidak akan memeriksa judex factie karena
merupakan wewenang Pengadilan Negeri dan Pengadilan
Tinggi, tetapi karena ada alasan-alasan yang baru diketahui
sesudah

putusan

menjadi

tetap

ataupun

putusan

itu

bertentangan satu dengan dengan lainnya, ataupun putusan


pengadilan sebelumnya mengandung kesilapan yang dengan

sendirinya akan memengaruhi penerapan hukum atau tidak


dilaksanakannya hukum sebagaimana mestinya.16

4 Hierarki Perundang-undangan di Indonesia


Kata hierarkis berart; 1. Urutan tingkatan atau jenjang
jabatan, 2. Organisasi dengan tingkat wewenang dari yang
bawah sapai yang paling atas, 3. Bio, deretan tataran biologis,
seperti family, genus, spesies, 4. Kat, kumpulan pembesar
Gereja yang diatur menurut pangkat.17
Hierarki
dalam

peraturan

system

peraturan

ketatanegaraan

perundang-undangan

Indonesia

merupakan

penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan


yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundangundangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.18
Hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia selalu mengalami perkembangan yang disesuaikan
dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada zaman
Orde Baru, pengaturan tentang hierarki perundang-undangan
didasarkan pada Tap MPR nomor XX/MPRS/1966 tentang
Memorandum

DPR-GR

mengenai

Sumber

Tertib

Hukum

16 Parman Soeparman, op.cit. hlm. 88.


17 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Hierarki (Indonesia)-Kamus sabda,
http://Kamus. sabda. Org/kamus/ hierarki., hlm. 1.
18 Bandingkan juga dengan arti hierarki yang termuat dalam penjelasan
Pasal 7 ayat (5) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004.

Republik Indonesia dan Tata urutan Peraturan Perundangan


Republik Indonesia. Hierarki itu meliputi:
1 UUD 1945;
2 Ketetapan MPR RI;
3 Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang (Perppu);
4 Peraturan Pemerintah;
5 Keputusan Presiden;
6 Peraturan Pelaksana Lainnya, seperti Peraturan Mentri,
Instruksi Mentri, dan lain-lain.
TAP MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum
dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, telah diatur
tentang tata urutan perundang-undangan Republik Indonesia.
Tata urutan itu, meliputi:
1
2
3
4
5
6
7

UUD 1945;
Ketetapan MPR RI;
UU;
PERPPU;
Peraturan Pemerintah;
Keputusan Presiden dan
Peraturan Daerah.
Sementara itu bdengan berlakuknya Undang-undang

Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-undangan, maka hierarki perundang-undangan
tidak lagi mengikuti Tap MPR Nomor XX/MPRS/1966. Namun,
dalam ketentuan itu, telah ditentukan hierarki perundangundangan. Hierarki perundang-undangan itu meliputi:
1
2
3
4
5

UUD 1945
UU/PERPPU
Peraturan Pemerintah
Peraturan Presiden
Peraturan Daerah.

Hierarki perundang-undangan yang tercantum dalam


undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang pembentukan
Peraturan Perundangundangan, kini telah dicabut dengan
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Di dalam Pasal 7 Undangundang

Nomor

12

Tahun

2011

tentang

Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan telah ditentukan jenis dan


hierarki

Peraturan

Perundang-undanan

yang

berlaku

di

Indonesia. Jenis dan hierarki itu meliputi:


1
2
3
4
5
6
7

UUD 1945
Ketetapan MPR
UU/PERPPU
Peraturan Pemerintah
Peraturan Presiden
Peraturan Daerah Provinsi
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Undang-undang Dasar 1945 merupakan hukum dasar

tertulis Negara Republik Indonesia, memuat dasar dan garis


besar hukum dalam penyelenggaraan Negara. Ketetapan
Majelis

Permusyawaratan

Rakyat

Republik

Indonesia

merupakan putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai


pengemban kedaulatan rakyat yang ditetapkan dalam sidingsidang Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Undang-undang adalah peraturan perundang-undanan
yang

dibentuk

persetujuan

oleh

bersama

Dewan

Perwakilan

Presiden.

Rakyat

Peraturan

dengan

Pemerintah

Pengganti Undang-undang adalah peraturan yang ditetapkan


oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.
Peraturan pemerintah adalah peraturan perundang-undangan
yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-

undang sebagaimana mestinya. Peraturan Presiden adalah


peraturan

perundang-undangan

yang

ditetapkan

oleh

Presiden untuk menjalankan perintah peraturan yang lebih


tinggi.

Peraturan

Daerah

Provinsi

adalah

peraturan

Perundang-undangan yang dibentuk oleh dewan Perwakilan


Rakyat

Daerah

Provinsi

dengan

persetujuan

bersama

Gubernur. Perturan Daerah nKabupaten/Kota adalah peraturan


yang

dibentuk

oleh

Dewan

Perwakilan

Rakyat

Daerah

Kbupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati.


Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan sesuai
dengan hierarkinya. Jenis peraturan perundang-undangan
selai itu mencakup peraturan yag ditetapkan oleh:
1 Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
2 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
3 Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
4 Mahkamah Agung (MA);
5 Mahkamah Konstitusi (MK);
6 Badan Perwakilan Keuangan (BPK);
7 Komisi udisial (KY);
8 Bank Indoesia (BI);
9 Menteri
10 Badan
11 Lembaga; atau
12 Komisi.
Melalui

uraian

diatas

tentang

hierarki

peraturan

perundang-undangan dapat dikemukakan persamaan dan


perbedaannya dari sejak tahun 1966 sampai dengan saat ini.
Hierarki ini dituangkan dalam table berikut;
Tabel 1. Hierarki Peraturan Perundang-undangan
No

Dasar

Tap MPR No.

Tap MPR No.

UU No. 10

UU No. 12

Hukum

XX/MPRS/19

III/MPR/2000

Th. 2004

Th. 2011

66

1.

Hierarki

1
2
Perunda
3
ng4
5
undanga
6
n

UUD1945
Tap MPR
UU/Perppu
PP
Kepres
Pelaksana
an

lainnya:
a Peraturan

1 UUD
2
3
4
5
6
7

1945
Tap MPR
UU
Perppu
PP
Kepres
Peraturan

1 UUD

1 UUD

1945
2 UU/Perpp 2
3
u
4
3 PP
5
4 Perpres
5 Perda.

1945
Tap MP
UU/Perpp
PP
Perpres
Peratura
n Daerah

Daerah

Propinsi

Mentri
b Instruksi

6 Peratura

Mentri
c Lain-lain.

n Daerah
Kabupate
n/Kota

Sumber: H. Salim, HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan


Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi, 2013: 51.
Perlunya tata urutan peraturan perundang-undangan
adalah guna untuk mewujudakan tatanan tertib hukum atara
lain di bidang pembentukan perundang-undangan. Tertib
pembentukan peraturan perundang-undangan harus dirintis
sejak saat perencanaan ampai dengan pengundangannya.
Dengan

demikian,

pemberlakuan

peraturan

perundang-

undangan haruslah sesuai dengan kaidah hukum yang ada.


Ketentuan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan
dengan peraturan yang lebih tinggi.19
5 Tinjauan Teori Hierarki Norma Hans Kalsen
Dalam tataran pembentukan peraturan perundangundangan dikenal teori jenjang hukum (Stufentheorie) yang
19 Dr. Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Konstitusi,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 36.

dikemukakan oleh Hans Kelsen. Dalam teori tersebut Hans


Kelsen

berpendapat

bahwa

norma-norma

hukum

itu

berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki


(tata susunan) dalam arti suatu norma yang lebih tinggi
berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih
tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma
yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis
dan fiktif, yaitu Norma Dasar (Grundnorm).
Norma Dasar merupakan norma tertinggi dalam suatu
sistem norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma
yang lebih tinggi lagi, tetapi Norma Dasar itu ditetapkan
terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai Norma Dasar yang
merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada di
bawahnya, sehingga suatu Norma Dasar itu dikatakan presupposed.20
Hans Kalsen, pengembang teori legislasi atau dikenal
juga teori Stufenbau, menyatakan bahwa:
Hukum mengatur pembentukannya sendiri karna
suatu norma hukum menentukan cara membuat
norma hukum yang lain, sampai derajat tertentu,
menentukan isi dari norma yang lain. Karena hukum
yang satu valid lantaran dibuat dengan cara yang
ditentukan oleh suatu norma hukum yang lain ini
menjadi validitas dari norma hukum yang disebut
pertama. Hubungan antara norma yang mengatur
pembentukan norma lain dengan norma yang lain lagi
dapat digambarkan hubungan antara superordinasi
dengan
subordinasi
yang
merupakan
kiasan
keruangan. Norma yang menentukan norma lain
adalah norma yang lebih tinggi, sedangangkan norma
yang dibentuk menurut peraturan ini adalah norma
20 Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan : Jenis, Fungsi, dan Materi
Muatan, (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hlm. 41.

yang lebih rendah. Tatanan hukum, terutama tatanan


hukum yang dipersonofikasikan dalam bentuk
Negara, bukanlah system norma yang satu sama lain
yang harus dikordinasikan, yang berdiri sejajar dan
sederajat, melainkan suatu tatanan urutan normanorma dari tingkatan yang berbeda. Kesatuan norma
yang satu, yakni norma yang lebih rendah ditentukan
oleh norma yang lebih tinggi, yang ditentukan oleh
norma lain yang lebih tinggi, yang pembentukannya
ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi lagi, dan
bahwa regressus (rangkaian proses pembentukan
hukum) ini diakhiri oleh suatu norma dasar yanhg
tinggi, yang karena menjadi dasar tertinggi lagi dari
validitas keseluruhan tatanan hukum, membentuk
suatu kesatuan tatanan hukum ini..21
Esensi yang dikemukakan Hans Kalsen pada hierarki
dari peraturan perundang-undangan yang akan dibuat adalah
perauran perundang-undangan yang:
1 Lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan undangundang yang lebih tinggi; dan
2 Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tidak
boleh bertentangan undang-undang yang lebih tinggi lagi.
Menurut Hans Kelsen suatu norma hukum itu selalu
bersumber dan berdasar pada norma yang di atasnya, tetapi
ke bawah norma hukum itu juga menjadi sumber dan menjadi
dasar bagi norma yang lebih rendah daripadanya. Dalam hal
tata susunan/hierarki sistem norma, norma yang tertinggi
(Norma Dasar) itu menjadi tempat bergantungnya normanorma di bawahnya, sehingga apabila Norma Dasar itu

21 Hans Kalsen, General Theory of Law and State (Teori Umum tentang
Hukum dan Negara) diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, (Bandung: Nusa
Media, 2010), hlm. 179.

berubah akan menjadi rusaklah sistem norma yang ada di


bawahnya.22
Teori Hans Kalsen dikembangkan lebih lanjut oleh Hans
Nawiasky. Hans Nawiasky mengembangkan teori yang disebut
Die theorie vom stufenordnung der rechtnormen, yakni:
1 Suatu norma hukum dari Negara selalu berlapis-lapis dan
berjenjang-jenjang;
2 Suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan
berdasar pada norma yang lebih tinggi;
3 Norma hukum yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan
berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi;
4 Pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut,
yaitu staatsfundamentalnorm.
Selain norma hukum itu berlapis-lapis dan berjenjangjenjang, juga berkelompok kelompok. Kelompok-kelompok
norma hukum dalam suatu Negara terdiri atas empat
kelompok besar, meliputi;
1 Kelompok

staatsfundamentalnorm

(norma

fundamental Negara)
2 Kelompok II : staatsgrundgesezt (aturan dasar Negara)
3 Kelompok III : formell gesezt (undang-undang formal)
4 Kelompok IV : verordnung & autonome satzung (aturan
pelaksana dan aturan otonom).23
Asas hukum yan berlaku dalam teori Hans Nawiasky,
yaitu asas lex superior derogate legi inferior, yakni peraturan
perundang-undangan

yan

glebih

22 Farida Indrati Soeprapto, op. cit., hlm. 42.


23 Ibid, hlm. 44-45.

tinggi

tingkatannya

mengesampingkan

(menderogasi)

peraturan

perundang-

undangan yang lebih rendah.


Menurut Hans Nawiasky, isi staatsfundamentalnorm
ialah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan
konstitusi atau undang-undang dasar dari suatu negara
(Staatsverfassung), termasuk norma pengubahannya. Hakikat
hukum suatu

Staats-fundamentalnorm

ialah syarat bagi

berlakunya suatu konstitusi atau undang-undang dasar. Ia ada


terlebih dulu sebelum adanya konstitusi atau undang-undang
dasar.24

Selanjutnya

Hans

Nawiasky

mengatakan norma

tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai norma dasar (basic


norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai
staatsgrundnorm melainkan sta
Grundnorm mempunyai kecenderungan untuk tidak
berubah atau bersifat tetap, sedangkan di dalam suatu
negara

norma

fundamental

negara

itu

dapat

berubah

sewaktu-waktu karena adanya pemberontakan, kudeta dan


sebagainya.25
Teori peringkatan hukum Kelsen tersebut dijabarkan
lebih lanjut dalam konteks Indonesia oleh A. Hamid S. At.
Tamimi. Ia mengemukakan bahwa:
Secara hierarkis dai yang paling tinggi sampai yang
paling
rendah
sebagai
berikut,
rechtsidee,
staatsfundamentalnorm,
staasgrundgesezt,
formellgesezt, verordnung, dan autonomy satzung.
Peringkatan hukum tersebut dapat dikelompokkan
dalam tiga kategori, yaitu cita hukum (rechtsidee),
24 Ibid, hlm. 46.
25 Ibid, hlm. 48.

norma hukum antara (interval norm), dan norma hukum


konkret (concrete norm).26
Cita hukum (rechtsidee) mengandung arti gagasan
besasr suatu masyarakat mengenai system hukum yang
akan

dianut

oleh

masyarakat

yang

bersangkutan.

Contohnya di Indonesia, sebagai cita hukumnya, yaitu


Pancasila.

Kelima

merupakan
kehidupan

cita

sila

yang

hukum

tercantum

rakyat

bermasyarakat,

di

dalamnya

Indonesia

berbangsa

dan

didalam
bernegara

secara positif, memberikan bimbingan dan pedoman dalam


semua

kegiatan,

serta

memberi

isi

kepada

setiap

peraturan perundang-undangan. Staatsfundamentalnorm,


yaitu terdapat dalam pembukaan UUD 1945. Verordnung
dan autonome satzung, yaitu aturan pelaksanaan dan
aturan

otonom,

seperti

peraturan

pemerintah

dan

peraturan perundang-undangan di bawahnya.


6 Teori Keadilan
Untuk menelaah lebih jelas tentang pengertian keadilan
ini perlu kiranya dirujuk pandangan hukum alam klasik yang
diajarkan

oleh

Thomas

Aquinas.

Dengan

mengikuti

pandangan Aristoteles, Thomas Aquinas mengemukan dua


macam keadilan yaitu keadilan distributif (iustitia distributiva)
dan keadilan komulatif (iustitia commutativa). Dua macam
keadilan itu sebenarnya merupakan varian-varian persamaan,
tetapi bukan persamaan itu sendiri. Prinsip persamaan
mengandung: hal yang sama harus diperlakukan sama dan
yang tidak sama harus diperlakikan tidak sama pula.
26 A. Hamid At. Tamimi, Cita Hukum dan Cita Negara, dalam Mimbar
Hukum, Nomor 13, (Jakarta: Yayasan Al Hikmah, 1999), hlm. 9.

Tampaknya prinsip itu merupakan terjemahan yang keliru


dari ajaran ius suum cuique tribuere

27

karena ajaran ini tidak

berkaitan dengan masalah perlakuan. Ajaran mengenai


keadilan dalam hal ini hanya bersangkutan 28 dengan apa
ynag menjadi hak sesorang yang lain dan dalam hubungan
dengan masyarakat.29
Mengutip dari Kurt

Wilk,

Peter

Mahmud

Marzuki

mengatakan bahwa bentuk keadilan pertama, yaitu keadilan


distributif merujuk kepada adanya persamaan di antara
manusia didasarkan atas prinsip proporsionalitas. Gustav
Radbruch mengemukan bahwa pada keadilan distributif
terdapat hubungan yang bersifat superordinasi artinya antara
yang mempunyai wewenang untuk membagi dan yang
mendapat

bagian.30

diperlukan

adanya

Untuk
pihak

melaksanakan

keadilan

ini

yang membagi yang bersifat

superordinasi terhadap lebih dari satu orang atau kelompok


orang sebagai pihak yang menerima bagian yang sama-sama
mempunyai kedudukan yang bersifat subordinasi terhadap
27 Dijelaskan oleh Peter Mahmud Marzuki bahwa mengenai keadilan ini
dapat dijumpai pada buku Aristoteles yang berjudul Rhethorica, yang oleh
orang Romawi diterjemahkan ke dalam bahasa latin ius suum cuique
tribuere atau dalam bahasa Indonesia setiap orang mendapat
bagiannya. Akan tetapi, keadilan tidak boleh disamakan dengan
persamaan. Keadilan, tidak berarti setiap orang mendapatkan bagian
yang sama. Peter Mahmud Marzuki. 2009. Pengantar Ilmu Hukum,
(Jakarta: Prenada Media Group), hlm. 151.
28 Ibid.
29 Ibid, hlm. 152.
30 Ibid.

yang membagi. Yang menjadi tolok ukur dalam prinsip


proporsionalitas dalam kerangka keadilan distributif adalah
jasa, prestasi, kebutuhan, dan fungsi. Dengan adanya dua
orang atau kelompok orang yang berkedudukan sama
sebagai subordinat terhadap pihak yang membagi dapat
dilihat apakah yang membagi telah berlaku adil berdasarkan
tolok ukur tersebut. Dalam dunia nyata, pihak yang membagi
adalah negara dan yang mendapat bagian adalah rakyatnya.
Berdasarkan pandangan ini, dilihat dari keadilan distributif
akah suatu negara telah membuat undang-undang yang
bersandarkan pada tolok ukur tersebut, apakah tindakan
pemerintah juga demikian dan pengadilan juga menjatuhkan
putusan yang memerhatikan ukuran-ukuran itu.31
Lebih lanjut sebagaimana yang dikutip oleh Peter
Mahmud Marzuki, Kurt Wilk menyatakan bahwa dengan
berpegang pada pandangan tersebut, Radbruch lebih jauh
menyatakan bahwa prinsip keadilan distributif bukanlah
berkaitan dengan siapa yang di32perlakukan sama dan siapa
yang

diperlakukan

tidak

sama;

persamaan

atau

ketidaksamaan itu sebenarnya merupakan sesuatu yang


telah

terbentuk.

Akhirnya,

Radbruch

bahwa

keadilan

distributif hanya bersangkut paut dengan hubungan di antara


manusia bukan jenis perlakuan terhadap manusia yang
berbeda sehingga keadilan distributif tidak bersangkut paut
dengan

pemidanaan,

misalnya

apakah

pencuri

harus

digantung dan pembunuh harus digilas sampai mati atau


31 Ibid.
32 Ibid.

pencuri

cukup

didenda

sedangkan

pembunuh

harus

dipenjarakan.33
Bentuk kedua keadilan oleh Kurt Wilk yang dikutip Peter
Mahmud Marzuki, yaitu keadilan komutatif terdapat pada
hubungan

yang bersifat koordinatif di antara para pihak.

Untuk melihat bekerjanya keadilan ini diperlukan adanya dua


pihak yang mempunyai kedudukan yang sama. Contoh
keadilan komutatif yang diberikan Aristoteles adalah antara
kerja dan upah dan antara kerugian dan ganti rugi. Mengenai
keadilan komutatif ini, Thomas Aquinas mengungkapkan
bahwa dalam hubungan antara dua orang yang bersifat
koordinatif

tersebut,

persamaan

diartikan

ekuivalensi, harmoni, dan keseimbangan.34


Meskipun Aristoteles menyatakan

bahwa

sebagai
keadilan

bukan persamaan, bentuk-bentuk keadilan yang dikemukan


olehnya, yaitu kedailan distributif dan keadilan komutatif
yang dielaborasi lebih lanjut oleh Thomas Aquinas dan
Gustav Radbruch mengindikasikan adanya persamaan. Hal ini
sangat berbeda dengan konsep ius suum cuique tribuere
yang artinya memberikan kepada setiap orang apa yang
menjadi bagiannya. Sebenarnya doktrin itu pertama kali
dikemukan oleh Ulpianus dan berbunyi: Iustitia est perpetua
et constans voluntas ius suum35 cuiquni tribuendi, yang kalau
diterjemahkan secara bebas keadilan adalah suatu keinginan
yang terus-menerus dan tetap untuk memberikan kepada
33 Ibid, hal. 153.
34 Ibid.
35 Ibid.

orang apa yang menjadi bagiannya. Jika konsep ini ditelaah,


keadilan tidak harus berkonotasi dengan persamaan seperti
pada keadilan distributif dan komutatif.36
7 Teori Kepastian Hukum
Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan
dari hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum
tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna karena tidak
dapat lagi digunakan sebagai pedoman perilaku bagi setiap
orang. Kepastian sendiri disebut sebagai salah satu tujuan
dari hukum. Apabila dilihat secara historis, perbincangan
mengenai kepastian hukum merupakan perbincangan yang
telah

muncul

semenjak

adanya

gagasan

pemisahan

kekuasaan dari Montesquieu.


Keteraturan

masyarakat

berkaitan

erat

dengan

kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti


dari kepastian itu sendiri. Keteraturan menyebabkan orang
dapat hidup secara berkepastian sehingga dapat melakukan
kegiatan-kegiatan

yang

diperlukan

dalam

kehidupan

bermasyarakat. Guna memahami secara jelas mengenai


kepastian

hukum

itu

sendiri,

berikut

akan

diuraikan

pengertian mengenai kepastian hukum dari beberapa ahli.


Gustav
mendasar

Radbruch

yang

mengemukakan

berhubungan

dengan

(empat)

makna

hal

kepastian

hukum, yaitu :
Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa hukum
positif itu adalah perundang-undangan. Kedua, bahwa hukum
itu

didasarkan

36 Ibid, hlm. 154.

pada

fakta,

artinya

didasarkan

pada

kenyataan. Ketiga, bahwa fakta harus dirumuskan dengan


cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam
pemaknaan, di samping mudah dilaksanakan. Keempat,
hukum positif tidak boleh mudah diubah.
Pendapat Gustav Radbruch tersebut didasarkan pada
pandangannya bahwa kepastian hukum adalah kepastian
tentang hukum itu sendiri. Kepastian hukum merupakan
produk dari hukum atau lebih khusus dari perundangundangan. Berdasarkan pendapatnya tersebut, maka menurut
Gustav Radbruch, hukum positif yang mengatur kepentingankepentingan manusia dalam masyarakat harus selalu ditaati
meskipun hukum positif itu kurang adil.
Pendapat mengenai kepastian hukum dikemukakan
pula oleh Jan M. Otto sebagaimana dikutip oleh Sidharta
(2006 : 85), yaitu bahwa kepastian hukum dalam situasi
tertentu mensyaratkan sebagai berikut37 :
1 Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih,
konsisten

dan

mudah

diperoleh

diterbitkan oleh kekuasaan negara;


2 Bahwa
instansi-instansi
penguasa
menerapkan

aturan-aturan

hukum

(accesible),

yang

(pemerintahan)
tersebut

secara

konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya;


3 Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui
muatan isi dan karena itu menyesuaikan perilaku mereka
terhadap aturan-aturan tersebut;
4 Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak
berpihak

37

menerapkan

aturan-aturan

hukum

tersebut

secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa


hukum; dan
5 Bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.
Kelima syarat yang dikemukakan Jan M. Otto tersebut
menunjukkan bahwa kepastian hukum dapat dicapai jika
substansi hukumnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Aturan hukum yang mampu menciptakan kepastian hukum
adalah hukum yang lahir dari dan mencerminkan budaya
masyarakat. Kepastian hukum yang seperti inilah yang
disebut dengan kepastian hukum yang sebenarnya (realistic
legal certainly), yaitu mensyaratkan adanya keharmonisan
antara

negara

dengan

rakyat

dalam

berorientasi

dan

memahami sistem hukum.


Menurut

Sudikno

Mertokusumo,

kepastian

hukum

adalah jaminan bahwa hukum dijalankan, bahwa yang berhak


menurut hukum dapat memperoleh haknya dan bahwa
putusan dapat dilaksanakan. Walaupun kepastian hukum erat
kaitannya dengan keadilan, namun hukum tidak identik
dengan keadilan. Hukum bersifat umum, mengikat setiap
orang,

bersifat

menyamaratakan,

sedangkan

keadilan

bersifat subyektif, individualistis, dan tidak menyamaratakan.


Kepastian
sesuai

dengan

hukum

merupakan

bunyinya

sehingga

pelaksanaan
masyarakat

hukum
dapat

memastikan bahwa hukum dilaksanakan. Dalam memahami


nilai kepastian hukum yang harus diperhatikan adalah bahwa
nilai itu mempunyai relasi yang erat dengan instrumen
hukum

yang

positif

dan

peranan

mengaktualisasikannya pada hukum positif.

negara

dalam

Nurhasan
kepastian

Ismail

hukum

berpendapat

dalam

peraturan

bahwa

penciptaan

perundang-undangan

memerlukan persyaratan yang berkenaan dengan struktur


internal dari norma hukum itu sendiri.
Persyaratan internal tersebut adalah sebagai berikut :
Pertama, kejelasan konsep yang digunakan. Norma hukum
berisi deskripsi mengenai perilaku tertentu yang kemudian
disatukan ke dalam konsep tertentu pula. Kedua, kejelasan
hirarki kewenangan dari lembaga pembentuk peraturan
perundang-undangan. Kejelasan hirarki ini penting karena
menyangkut sah atau tidak dan mengikat atau tidaknya
peraturan perundang-undangan yang dibuatnya. Kejelasan
hirarki akan memberi arahan pembentuk hukum yang
mempunyai kewenangan untuk membentuk suatu peraturan
perundang-undangan tertentu. Ketiga, adanya konsistensi
norma

hukum

perundang-undangan.

Artinya

ketentuan-

ketentuan dari sejumlah peraturan perundang-undangan


yang terkait dengan satu subyek tertentu tidak saling
bertentangan antara satu dengan yang lain.
Kepastian

hukum

menghendaki

adanya

upaya

pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat


oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturanaturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin
adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu
peraturan yang harus ditaati.
Lon

Fuller

dalam

bukunya

the

Morality

of

Law

mengajukan 8 (delapan) asas yang harus dipenuhi oleh


hukum, yang apabila tidak terpenuhi, maka hukum akan

gagal untuk disebut sebagai hukum, atau dengan kata lain


harus terdapat kepastian hukum. Kedelapan asas tersebut
adalah sebagai berikut:
1 Suatu

sistem

peraturan,

hukum

tidak

yang

berdasarkan

terdiri

dari

peraturan-

putusan-putusan

sesat

untuk hal-hal tertentu;


2 Peraturan tersebut diumumkan kepada publik;
3 Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas
sistem;
4 Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum;
5 Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan
6 Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa
yang bisa dilakukan;
7 Tidak boleh sering diubah-ubah;
8 Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan
sehari-hari.
Pendapat Lon Fuller di atas dapat dikatakan bahwa
harus ada kepastian antara peraturan dan pelaksanaannya,
dengan demikian sudah memasuki ranah aksi, perilaku, dan
faktor-faktor yang mempengaruhi bagaimana hukum positif
dijalankan.
Dari uraian-uraian mengenai kepastian hukum di atas,
maka kepastian dapat mengandung beberapa arti, yakni
adanya kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir, tidak
menimbulkan kontradiktif, dan dapat dilaksanakan. Hukum
harus berlaku tegas di dalam masyarakat, mengandung
keterbukaan sehingga siapapun dapat memahami makna
atas suatu ketentuan hukum. Hukum yang satu dengan yang
lain tidak boleh kontradiktif sehingga tidak menjadi sumber
keraguan. Kepastian hukum menjadi perangkat hukum suatu

negara yang mengandung kejelasan, tidak menimbulkan


multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, serta dapat
dilaksanakan, yang mampu menjamin hak dan kewajiban
setiap warga negara sesuai dengan budaya masyarakat yang
ada.
B Penelitian Yang Relevan
Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah:
1 Kajian Yuridis Putusan mahkamah Konstitusi No. 34/PUUXI/2013 Mengenai Pembatalan Pasal 263 ayat (3) KUHAP, Dian
Puspita, Tesis, Fakultas Hukum Brawijaya Malang.38
Penelitian ini menjelaskan dan menganalisis dasar-dasar
atau

asas-asas

yang

melandasi

urgensi

permintaan

peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dilakukan satu


kali saja, serta untuk mendeskripsikan dan menganalisis
implikasi

hukum

Putusan

Mahkamah

Konstitusi

Nomor

34/PUU-XI/2013 mengenai pembatalan pasal 268 ayat (3).


Relevansi dengan penelitian penulis ialah bahwa, dalam
jurnal ini juga membahas mengenai urgensi peninjauan
kembali atas satu putusan hanya dapat diajukan satu kali.
Dalam pembahasanya menyimpulkan, permintaan peninjauan
kembali atas suatu putusan hanya bisa dilakukan satu kali
adalah demi tegaknya kepastian hukum sebagai tujuan dari
hukum itu sendiri, dengan harapan ketika kepatian hukum
sudah tercapai maka dalam kepastian itu akan ada keadilan.
Disisi lain ketentuan tersebut juga sesuai dengan asas
peradilan pidana cepat, sederhana dan biaya ringan dan
secara

teknis

dapat

meningkatkan

kualitas

putusan,

38 Dian Puspita, Kajian Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUUXI/2013 Mengenai Pembatalan Pasal 268 Ayat (3) KUHAP, Tesis,
Universitas Brawijaya Malang. 2014

memudahkan MA melakukan pemetaan permasalahan hukum


dan mengurangi jumlah perkara di tingkat kasasi yang berarti
mengurangi beban kerja MA.
2 Analisis Yuridis Mengenai Keputusan Mahkamah Konstitusi
Terhadap Pasal 268 Ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981
(Putusan Mahkamah Konstitusi No.34/Puu-Xi/2013 Tentang
Peninjauan Kembali), Muh. Djaelani Prasetya, Skripsi, Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin, Makasar, 2014.39
Pada penelitian Skripsi ini, Muh. Djailani menggunakan dua
rumusan maslalah. Pertama, menganalisis makna terkandung
di dalam pasal 268 ayat (3) sebelum adanya Putusan
Mahkamah

Konstitusi

No.

13/PUU-XI/2013.

Kedua,

menganalisis pertimbangan hukum dalam memutus perkara


pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 13/PUU-XI/2013.
Relevansi dengan penelitian penulis yaitu berkenaan dengan
penggaturan

PK,

merekomendasikan

yang
agar

mana

dalam

Mahkamah

skripsi
Agung

tersebut
untuk

mengeluarkan SEMA sebagai solusi pengaturan PK yang bisa


terjadi berkali-kali dan hilangnya kepastian hukum.
C Kerangka Berfikir
Kerangka berfikir diperlukan agar suatu studi terarah dan
fokus, karena kerangka pemikiran berfungsi sebagai pedoman
atauarah pembahasan dalam rangkaian kegiatan penelitian.

39 Muh. Djaelani Prasetya, Analisis Yuridis Mengenai Keputusan Mahkamah


Konstitusi Terhadap Pasal 268 Ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981
(Putusan Mahkamah Konstitusi No.34/Puu-Xi/2013 Tentang Peninjauan Kembali),
Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makasar, 2014.

Pasal 268 ayat (3) KUHAP, menyatakan bahwa pengajuan


permohonan PK atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu
kali saja. Namun, pada 6 Maret 2014 Mahkamah Konstitusi
membatalkan pasal tersebut dengan putusan MK No. 13/PUUXI/2013.

Dengan

keluarnya

putusan

MK

tersebut

maka

pengajuan PK dapat dilakukan lebih dari sekali.


Pada

perkembangannya,

Mahkamah

Agung

merespon

putusan MK tersebut dengan melayangkan surat edaran (SEMA)


No. 7 tahun 2014 yang menegaskan kembali pengajuan PK
hanya dapat dilakukan satu kali saja. Munculnya sema ini
didasarkan atas pasal Pasal 24 (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman dan pasal 66 (1) UU No. 3 Tahun 2009
tentang Mahkamah Agung.
Adanya dua regulasi pengaturan PK ini menimbulkan
kerancuan dan ketidak pastian hukum. Maka penting dalam
penelitian

ini

penulis

membahas

tentang

kedudukan

dan

kekutatan SEMA dalam tata peraturan perundang-undangan di


Indonesia serta untuk mencari bentuk pengaturan ideal PK pasca
terbit SEMA No. 7 Tahun 2014.
Gambar 1. Kerangka penelitian.
Pasal 268
(3) KUHAP

Pasal 24 (2) UU
No. 48/2009
Kekuasaan
Kehakiman

Pasal 66 (1) UU
No. 3 2009
Mahkamah Agung

Putusan MK
No. 13/PUUXI/2013

SEMA No. 7
Tahun 2014

Kedudukan SEMA
dalam tata perturan
perundang-

Pengaturan PK pasca
terbit SEMA No. 7
Tahun 2014

Anda mungkin juga menyukai