Anda di halaman 1dari 12

Intervensi Iran Terhadap Yaman Untuk Dirikan Negara Syiah

Seperti halnya negara-negara lain yang memiliki ambisi ekspansionis dan sejarah hitam dalam
intervensi urusan negara-negara lain. Iran berusaha memaksakan pengaruh dan dominasinya
pada negara-negara tetangganya. Ia seolah-olah berusaha mendapatkan kembali tahta dan
kekuasaan Kisra pra perang Qadisiyah.
Apa yang dilakukan oleh Iran bukan sekedar ambisi politik ataupun ekonomi yang wajar dikejar
dengan cara-cara legal oleh setiap negara, melainkan ambisi besar yang melangkahi hak-hak
pihak lain. Kebijakan ekspansi Iran gaya Khomaini itu dilakukan dengan cara konfrontatif
melalui dua jalur paralel, yaitu:
Pertama, menggunakan eskalasi kekerasan dalam melawan musuh nyata dan permanen baginya
yaitu Muslim Sunni dan Arab.[1]
Kedua, menampilkan musuh imajiner yaitu Israel dan Amerika sebagai musuh nyata dan
permanen untuk menutupi perang nyata yang dilancarkan kepada musuh utamanya, sekaligus
sebagai sarana untuk menipu Muslim Sunni dan Arab.
Benar, Iran telah berhasil menipu banyak masyarakat Muslim dan Arab. Utamanya yang mudah
terpedaya oleh bahasa dan sandiwara politik Iran, tanpa memperhatikan akar, isi, asal-usul
pemikiran dan track historisnya. Padahal atas dasar itulah keyakinan dapat dibangun, kebijakan
dapat dianalisa, dan fakta dapat diungkap.
Tipuan Iran ini dapat dianggap sebagai tipuan terbesar kedua, menyusul tipuan Zionis yang
terjadi bagi kebanyakan masyarakat Muslim dan Arab dewasa ini, melalui slogan perundingan
damai dalam menyelesaikan persoalan Palestina yang terjajah.
Kebijakan poltik Iran sepenuhnya mengadopsi siasat politik Israel dan Amerika dalam
berinteraksi dan mengintervensi negara-negara lain. Yaitu melalui jalan menyebarkan
perselisihan, mengaktifkan konflik, menciptakan krisis dan kekacauan, dan menyulut
perpecahan.
Iran memiliki banyak agenda dan kepentingan di balik ambisi intervensi yang dilakukan terhadap
negara-negara Teluk.
Selain tujuan dasar jangka panjang, Iran juga memiliki target jangka menengah dalam masa
transisi ini, seiring dengan skalasi politik, ekonomi, sosial dan pemikiran yang berkembang.
Tujuan utama dan mendasar bagi Iran adalah mengembalikan hegemoni Persia di wilayah Teluk,
tetapi dikemas dalam bentuk sektarianisme agama,[2] melalui penyebaran Syiah dan dukungan

terhadap kelompok-kelompok Syiah di wilayah tersebut. Menghasut perselisihan sektarian dan


menimbulkan kerusuhan politik dan anarki.
Iran di Yaman
Yaman memiliki karakter keagamaan dan nilai historis yang spesifik di mata Iran.
Karakter keagamaan itu berbasis pada gerakan yang dikenal dengan Ats Tsaurah s
Sufyaniyah/Revolusi Sofyan yang dipromosikan oleh tokoh Syiah Ali Al Kourani Al Ameli
dalam bukunya Ashr Al Zhuhur/era kemunculan. Isinya berbicara tentang revolusi yang akan
terjadi di Yaman, yang diilustrasikan sebagai bendera perjuangan paling suci pada Ashr Al
Zhuhur.
Riwayat-riwayat literatur Syiah menyebutkan bahwa revolusi itu hampir berbarengan waktunya
dengan keluarnya Al Sufyani pada bulan Rajab, atau beberapa bulan sebelum munculnya Imam
Mahdi.
Riwayat-riwayat itu juga menyebutkan bahwa revolusi tersebut berpusat di kota Sanaa, di
bawah komando seorang yang bernama Hasan atau Husain Al Yamani dari keturunan Zaid ibn
Ali, sebagaimana disebutkan dalam suatu riwayat.[3]
Sedang nilai historis yang spesifik bagi Yaman di mata Iran adalah karena negeri itu pernah
menjadi wilayah kekuasaan imperium Persia sebelum dibebaskan oleh Islam.
Atas dasar ini, nafsu agama dan ambisi historis berpadu dalam proses merumuskan dan
menentukan arah kebijakan Iran di Yaman.
Pembicaraan tentang intervensi Iran di Yaman selama masa konflik antara gerakan Houthi dan
pemerintah Yaman telah banyak. Maka dalam artikel ini, penulis hanya akan memaparkan
beberapa dimensi atas perkembangan yang ada dalam masalah yang sedang terjadi di Yaman saat
ini.
Fakta Intervensi Iran
Pembahasan tentang intervensi Iran terhadap urusan internal negeri Yaman tidak hanya
pembicaraan rahasia di kalangan pejabat keamanan dan politik, tetapi telah menjadi konsumsi
masyarakat umum dan dipublikasikan secara resmi.
Pada bulan Oktober 2012 yang lalu, Presiden Yaman yang baru; Abed Rabbu Mansour Hadi,
menuduh Iran berusaha mengimplementasikan sebuah skema yang bertujuan mengendalikan
Selat Bab el-Mandeb di Laut Merah. Sehingga ia menyerukan aksi internasional yang cepat
untuk menghentikan aksi Iran tersebut.

Dalam pidatonya di Woodrow Wilson International Center for Scholars, di Washington, pada
tanggal 28 September 2012, Presiden Hadi menyebutkan intervensi Iran sebagai salah satu
tantangan yang dihadapi oleh Yaman. Ia menekankan bahwa Iran berusaha mengimbangi
kerugian strategi yang dialami menyusul indikator runtuhnya rezim Suriah, di Yaman. Mengingat
lokasi Yaman sangat strategis, karena terletak di antara negara-negara kaya minyak dan tanduk
Afrika.
Ia juga menjelaskan bahwa intervensi itu berbentuk dukungan Iran kepada beberapa elemen
politik dan kelompok bersenjata, di samping perekrutan jaringan spionase. Ia menekankan bahwa
saat ini telah terdeteksi enam jaringan spionase yang bekerja untuk kepentingan Iran dan telah
diajukan ke pengadilan.[4]
Pada konferensi pers di Berlin dengan Konselir Jerman Angela Merkel, pada 4 Oktober 2012,
Presiden Hadi kembali menuduh Iran ikut campur dalam urusan internal Yaman dengan
mendukung gerakan separatis. Ia menyatakan: Di selatan Yaman, terdapat dua gerakan; pertama
gerakan damai dan kedua tidak damai. Gerakan kedua merupakan gerakan bersenjata dan
didukung oleh Iran. . . Gerakan bersenjata itu ingin memisahkan diri dari Yaman.[5]
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Yaman, Abu Bakr Al Qirbi menguatkan adanya hubungan
yang erat antara gerakan Houthi dan Garda Revolusi Iran. Yaitu melalui pelatihan militer,
dukungan senjata, peralatan dan keuangan yang disediakan oleh Taheran.
Dalam pernyataannya kepada surat kabar Al Wathan[6] yang terbit di Arab Saudi, Qirbi
mengatakan: Iran memiliki hubungan dengan Houthi dan non Houthi. Namun ia mengatakan
bahwa: Terdapat banyak aspek yang kami tidak ingin ungkap saat ini, karena itu tidak
membawa maslahat; Sebab secara internal kami sedang melakukan upaya dialog, dan kami
berharap dapat mengatasinya melalui jalan dialog.
Sebelumnya, Menteri Qirbi , juga telah memperingatkan masyarakat internasional dari volume
campur tangan Iran dalam urusan internal Yaman.
Dalam pernyataannya kepada surat kabar Al Syarq Al Ausath,[7] ia mengatakan: Hal itu
menjadi benar-benar dipahami oleh semua orang . . .. Ia juga menekankan bahwa intervensi
Iran di Yaman mengancam keamanan dan stabilitas kawasan Teluk.
Di sela-sela konferensi keamanan di Bahrain yang diadakan pada bulan Desember 2012, Kepala
Badan Intelijen Nasional Yaman, Dr Ali Ahmadi menyampaikan bahwa: Iran mengambil
kesempatan untuk memperluas konflik agar dapat memainkan peran tertentu .. Kami tidak
memiliki permusuhan dengan Iran. Semua yang kami minta adalah tidak intervensi urusan
internal kami. Dia menambahkan: Kami memiliki bukti yang nyata dari intervensi mereka.

Kami telah menangkap sejumlah orang, dan kami memiliki bukti yang cukup atas keterlibatan
mereka.[8]
Sementara itu, Dr Abdullah Al Faqih, Guru Besar Ilmu Politik di Universitas Sanaa,
menegaskan bahwa upaya Iran yang tak kenal lelah untuk menembus Yaman, secara politik,
media dan keamanan tidak lagi kabur, atau tidak perlu lagi bersusah payah untuk melihat fiturfiturnya. Karena Iran telah mengeksploitasi kelemahan besar yang dialami oleh Yaman selama
fase ini. Utamanya perseteruan di antara tentara dan pihak keamanan, kondisi kemiskinan dan
penangguran yang memperparah perekonomian yang sudah buruk. Di samping konflik politik
internal di Yaman, khususnya pemberontakan Houthi di utara, dan mobilitas separatis di selatan,
serta kegiatan kelompok Al Qaeda.
Faqih juga mengatakan: Iran berusaha menciptakan zona pengaruh di wilayah penting dari
dunia internasinal ini dengan biaya apapun. Bahkan jika diperlukan, ia siap membangun
kebersamaan dengan kelompok Al Qaeda, sebagai sekutu penting yang bersifat sementara dan
memiliki agenda yang sama, meskipun berbeda tujuan.[9]
Jendela Houthi
Para pengamat memandang bahwa campur tangan Iran tidak akan masuk ke Yaman seandainya
tidak terdapat faktor pendukung, utamanya gerakan Houthi. Karena gerakan Houthi merupakan
faktor utama masuknya ekspansi Iran ke Yaman.[10]
Oleh karena itu, sejak gerakan revolusi negara-negara Arab yang dikenal dengan Istilah Al Rabi
Al Arabi berkobar, Iran fokus untuk memperkuat realitas gerakan Houthi , baik secara media,[11]
amunisi, politis ataupun finansial.
Dari segi amunisi, Iran bekerja keras untuk menjamin suplai senjata kepada gerakan Houthi, baik
melalui berbagai jenis penyelundupan senjata ke Saada, ataupun melalui bantuan finansial untuk
pembelian senjata di pasar Yaman.
Menurut beberapa laporan internasional; Dalam beberapa tahun terakhir, Iran sengaja
membangun pangkalan militernya di Eritrea untuk mensuplai gerakan Houthi dengan senjata,
melalui kapal pesiar ke daerah-daerah di dekat pelabuhan Midi dan pelabuhan Lahaya yang tidak
jauh dari Saada.
Sumber lain melaporkan bahwa, dengan dalih berkontribusi memerangi pembajakan, kapal-kapal
perang Iran yang berpangkalan di Teluk Aden, di samping kapal-kapal dagang miliknya,
melakukan penyelundupan senjata ke Yaman melalui kapal-kapal nelayan.[12]
Sementara itu, laporan yang diterbitkan oleh The Center Stratfor Security Consulting in Texas, di
Amerika pada tahun 2009 M, menyebutkan peranan Iran dalam penyelundupan yang bersifat

regular ke Yaman. Disebutkan pula bahwa penyelundupan itu berlangsung melalui pelabuhan
Ashab di Eritrea menuju pantai Midi, provinsi Saada di Yaman. Setelah disimpan di pantai
tersebut, senjata itu diangkut oleh para penyelundup ke markaz para pemberontak Houthi yang
berada di provinsi Saada.
Laporan itu menambahkan bahwa penjagaan keamanan yang dilakukan oleh Angkatan Laut
Saudi di pelabuhan Midi dan pantai utara Yaman,[13] memancing Angkatan Laut Iran untuk
mengirim armada keempat untuk ditempatkan di Teluk Aden. Tujuannya adalah untuk
mengamankan jalannya menyelundupkan senjata kepada pemberontak Houthi.[14]
Merujuk kepada laporan New York Times; Pada periode antara akhir 2011 dan awal 2012,
tampaknya Iran telah meningkatkan kontak politiknya dengan pemberontak Houthi dan tokoh
politik lainnya di Yaman. Di samping itu, Iran juga meningkatkan volume pengiriman senjata
kepada mereka, sebagai bagian dari apa yang disebut oleh pejabat militer dan intelijen Amerika
sebagai upaya Iran yang terus meningkat untuk memperluas pengaruhnya di seluruh kawasan
Timur Tengah.
Menurut laporan itu, pada awal tahun 2012, Iran berusaha menyelundupkan ke Yaman bahanbahan yang dipakai untuk merakit alat peledak yang dikenal dengan Armor-Piercing Weapons
High Explosive (AFB).
Menurut seorang pejabat tinggi Kementrian Keamanan Yaman; Bahan-bahan itu dikirim melalui
kapal kargo yang bertolak dari Turki dan Mesir kemudian berlabuh di Aden. Seorang pejabat
Yaman mengatakan bahwa: Waktu itu, kargo tersebut sedang dalam perjalanan menuju ke
beberapa pengusaha berdarah Houthi, sebelum dicegat oleh pemerintah Yaman.[15]
Dari segi politik, Iran berusaha mempengaruhi skenario politik di Yaman melalui kontak dengan
semua aktor politik dari ekstrim kanan hingga ekstrim kiri. Dan dari Yaman Selatan sampai
dengan Yaman Utara. Melalui perantaranya, Iran mendukung para politisi ekstrim kiri yang
terlibat dalam gerakan revolusi rakyat, utamanya yang memiliki permusuhan ideologis dengan
Partai Reformasi atapun arus Salafi. Tujuannya adalah untuk menjejaki koalisi atau koordinasi
dengan Houthi sebagai bonekanya di Yaman.
Dengan partisipasinya dalam medan revolusi di berbagai provinsi Yaman, pemberontak Houthi
berhasil menarik banyak tokoh dan kader politik dari berbagai partai. Hal itu membawa
perpecahan di kalangan pejuang revolusioner antara kelompok yang mendukung inisiatif negaranegara Teluk di satu kubu, dan kelompok yang menolak dengan dalih dependensi visi Iran.
Terdapat pula bantuan finansial dan dukungan logistik untuk beberapa partai politik yang
terbentuk pasca revolusi rakyat, atau pun partai-partai yang masih dalam proses pembentukan.

Proses kaderisasi, support aksi kegiatan, pencarian loyalitas, tindakan bersenjata, dan berbagai
konferensi yang diadakan di berbagai tempat dengan pendanaan dari Tehran, semuanya
merupakan manifestasi finansial asing dan kerja intelijen yang mulai terungkap oleh waktu dan
masa. Hal itu telah dikemukakan oleh Presiden Yaman, para pejabat keamanan dan tokoh politik
dari berbagai partai.
Selain itu, terdapat juga koordinasi antara pemberontak Houthi dengan rezim politik sebelumnya.
Tujuannya untuk menggagalkan proses politik yang sedang berjalan, melalui basis Kongres
Besar Rakyat Yaman, yang merupakan mantan pentolan partai rezim sebelumnya, utamanya
yang bekerja di berbagai perangkat dan instansi negara. Dengan jaminan dari kekuatan berbagai
suku yang loyal kepada rezim dan presiden sebelumnya, Ali Abdullah Saleh.
Tujuan dan Sarana
Di samping tujuan keagamaan/sektarian yang telah dikemukan sebelumnya, terdapat pula
beberapa target lain yang mendapat sorotan dan analisa variatif dilihat dari segi hakikat dan
dimensinya.
Prof. Dr. Abdullah Al Faqih, Guru Besar Ilmu Politik di Universitas Sanaa, menyatakan kepada
Harian Al Syarq Al Ausath[16]:
Melalui gerakan ekspansinya di Yaman, Iran ingin mewujudkan beberapa tujuan, yaitu: pertama,
Iran ingin meningkatkan powernya secara regional, dan mengantisipasi kerugian yang dapat
timbul akibat dari revolusi Al Rabi Al Arabi.
Jika Iran ngotot membela dan memberikan segala bentuk dukungan yang memungkinkan kepada
rezim Suriah agar tidak kehilangan sekutu strategisnya, maka apa yang ia lakukan di Yaman
merupakan refleksi dari pandangan yang terus berkembang di kalangan politisi Iran bahwa
jatuhnya rezim Assad hanya persoalan waktu saja.
Untuk itu, Iran harus mencari alternatif daerah yang dapat dipengaruhi di dunia Arab, untuk
mengkompensi potensi kerugian besar yang dapat terjadi sebagai akibat dari jatuhnya rezim
Suriah nanti. Potensi kerugian yang dimaksud, mencakup kerugian di Suriah sendiri atau
kerugian yang terjadi pada kelompok yang terkait dengan rezim Suriah, baik di Lebanon ataupun
di beberapa negara Arab lainnya.
Pengaruh yang dicita-citakan Iran di Yaman tidak akan terwujud dalam kondisi masyarakat
bersatu dan negara tetap dominan dan stabil. Oleh karena itu, Iran berusaha memperkuat sekutusekutunya untuk meledakkan situasi militer, dan menciptakan kekacauan yang dapat melahirkan
formulasi keseimbangan kekuatan di negara itu.

Oleh karena itu, kita menemukan bahwa gerakan Houthi terus berupaya dengan segala cara,
untuk menarik kekuatan Islam agar terlibat dalam konflik bersenjata, sebagai pengganti dari
perang yang dilakukan dengan rezim Ali Abdullah Saleh. Itulah yang menyebabkan mereka
menyerang komunitas Salafi di Saada, dan kaum reformis (gerakan Ikhwanul Muslimin di
Yaman), menyusul revolusi rakyat yang terjadi di berbagai provinsi di Yaman. Seperti provinsi
Jawf, Amran dan Hajjah, di samping provinsi Saada itu sendiri.
Para pengamat politik dan para ahli militer telah memperingatkan skenario yang disiapkan
Houthi dan Iran ini.[17]
Dalam rangka mendukung langkah tersebut, sejak berlangsungnya gerakan demonstrasi melawan
rezim Ali Abdullah Shaleh, Iran telah mulai merealisasikan skenario tersebut,[18] dengan
mendanai dua puluh media; mencakup saluran TV, media cetak dan elektronik.
Proses pengusuran surat izin untuk menerbitkan tujuh surat kabar yang berbeda telah di mulai,
bahkan dua di antaranya telah terbit. Selain itu, Iran juga membiayai pembuatan sepuluh website
yang dikelola oleh beberapa badan, person atau kelompok yang yang bekerja untuk mewujudkan
skenario tersebut.
Selain itu, setidaknya ada tiga saluran satelit yang didanai oleh Iran dan diarahkan kepada
masyakat Yaman. Pertama, channel TV Al Manar di Lebanon, kedua, channel Al Alam di Iran,
dan ketiga, channel yang disponsori oleh sebuah saluran TV di Irak tetapi belum terungkap
datanya.
Program tersebut disertai dengan kursus pelatihan yang diberikan kepada para kader aktivis
media, oleh organisasi dan LSM Lebanon yang loyal kepada Iran dan berlangsung di kota Beirut.
Kursus-kursus ini fokus ditujukan kepada kekuatan kiri dan aktivis media yang telah bekerja
pada Kongres Besar Rakyat Yaman dan rezim mantan Presiden Ali Abdullah Saleh.
Partai Al Haq dan partai Ittihad Al Quwa Al Syabiyah merupakan sayap agenda politik bagi
skenario sektarian pasca unifikasi Yaman tahun 1990. Meskipun terdapat perbedaan pemikiran
dan metodologi antara pimpinan kedua partai tersebut, tetapi keduanya menjadi payung politik
dan hukum yang mendukung gerakan Houthi, meskipun kedua partai tersebut menjaga posisinya
masing-masing dalam Koalisi Partai Al Liqa Al Musytarak.
Berhubung karena persyaratan afialiasi kepada kedua partai tersebut pada periode sebelumnya
sangat ketat, sehingga menjadi penghalang untuk berubah menjadi partai populer dan terbuka
bagi semua lapisan masyarakat dengan berbagai ideologinya di semua provinsi, maka strategi
baru yang diupayakan Iran saat ini adalah mendirikan beberapa partai baru. Yaitu partai-partai
yang menghimpun kekuatan nasserisme, sosialisme, baaths dan sufisme, dan tokoh-tokoh yang
mungkin mundur dari Kongres Besar Rakyat Koalisi Partai Al Liqa Al Musytarak.

Partai-partai yang diupayakan itu diharapkan menjadi entitas politik yang tersebar luas dan
tampil menghalagi proyek Muslim Sunni yang dipandang sebagai musuh bersama.
Prosedur koordinasi untuk mempublikasikan beberapa partai tersebut di kota-kota berbasis Sunni
dan termasuk di wilayah selatan Yaman pun telah dimulai.
Partai-partai itu antara lain; Hizb Al Ummah yang dideklarasikan pada tanggal 5 Januari 2012.
Yang oleh para pengamat dan analis politik hampir konsensus menyatakan bahwa partai ini
merupakan front politik baru bagi gerakan Houthi. Juga partai Al Hizb Al Dimoqrathi Al Yamani
yang dideklarasikan pada tanggal 24 Mei 2010. Dari paradigma dan dokumen resmi yang
dikeluarkan, serta sikap-sikap politiknya, nampak bahwa partai ini bagian dari koalisi Iran di
Yaman.
Pelabuhan Laut
Dalam kondisi gerakan Houthi berhasil menguasai wilayah utara Yaman Utara yang meliputi
provinsi Saada, Jawf dan beberapa bagian dari provinsi Amran, Hajjah, dan lainnya, maka
mereka memerlukan pelabuhan laut demi terwujudnya otonomi pengelolaan ekonomi yang jauh
dari intervensi pemerintah pusat.
Sementara itu, pelabuhan Midi yang berada di dalam wilayah administrasi provinsi Hajjah di
pantai Laut Merah dan berbatasan dengan perairan laut Saudi, dipandang sebagai alternatif
terbaik. Itu kalau dilihat dari posisinya yang sangat dekat dan selaras dengan wilayah utara yang
dikuasai oleh gerakan Houthi.
Oleh karena itu, menurut salah seorang menteri kabinet Pemerintahan Rekonsiliasi Yaman;[19]
Keinginan keras gerakan Houthi untuk mengendalikan pelabuhan Midi yang sangat strategis itu,
merupakan permintaan langsung yang datang dari para pemimpin Garda Revolusi Iran.
Sebuah sumber di Kementerian Kehakiman Yaman membeberkan bahwa dalam beberapa tahun
terakhir, atas perintah dari Tehran dan dengan modal dari Iran; para pemberontak Houthi itu
berusaha untuk membeli lahan seluas-luasnya di lokasi yang berdekatan dengan pelabuhan Midi
dan perbatasan Arab Saudi di provinsi Hajjah.[20]
Dalam konteks yang sama, seorang pejabat pemerintah di provinsi Hajjah menerangkan bahwa:
[21]Gerakan Houthi yang berada di provinsi itu bermaksud untuk menguasai daerah-daerah
yang berdekatan dengan pelabuhan Midi. Hal itu dimaksudkan agar mereka dapat
mengendalikan semua jalur transportasi yang menghubungkan semua kabupaten yang ada, demi
mengejar tujuan yang diinginkan Iran yang berada di belakangnya.
Pejabat itu juga menambahkan bahwa: Sasaran dari aktivitas Iran tidak hanya Yaman, tetapi
semua negara-negara Teluk, khususnya Arab Saudi. Tetapi Yaman dan gerakan Houthinya

digunakan oleh Tehran sebagai alat untuk melaksanakan agendanya. Dan tidak menutup
kemungkinan Iran membangun kerjasama dengan Al Qaeda untuk merugikan Arab Saudi.
Parahnya, pelabuhan Midi itu tidak tunduk pada pengawasan dan kontrol istansi pemerintah
Yaman yang berwenang, sehingga Menteri Perhubungan Kabinet Rekonsiliasi Nasional, Dr.
Waed Abdullah Batheb menuntut agar pengelolaan pelabuhan tersebut diserahkan kepada
Kementrian Perhubungan.
Dalam wawancaranya dengan channel TV Yaman, Al Saidah, Menteri Batheb membeberkan
bahwa pelabuhan tersebut tidak ada dalam aset Al Bahr Al Ahmar Foundation dan juga tidak
berada di bawah kontrol Kementrian Perhubungan.[22]
Eksploitasi Persoalan Yaman Selatan untuk Menguasai Pelabuhan Laut
Belakang ini, Iran proaktif dalam menarik simpati Gerakan Selatan di dalam ataupun di luar
negeri Yaman, hingga sikap saling menuding muncul di internal gerakan tersebut terkait
hubungan mereka dengan Iran.
Hassan Baoum, pemimpin terbesar kedua separatis selatan misalnya, telah mengecam hubungan
Ali Salem Al Baid dengan Iran. Ia mengatakan: Kami tidak ingin Al Baid beralih dari boneka
komunis kepada boneka Syiah Iran.[23]
Seorang pimpinan Gerakan Selatan, Brigadir Abdullah Al Nakhbay, dalam wawancara dengan Al
Jazirah Net[24] menyatakan: Fakta yang ada menunjukkan bahwa kerusuhan Aden baru-baru
ini, terutama pemboman dan penjarahan, sutradaranya adalah elemen Gerakan Selatan yang telah
berlatih di Iran dan dengan support dari pendukung mantan rezim lama.
Nakhbay menambahkan bahwa hubungan pendukung mantan rezim lama dengan Gerakan
Selatan yang bersenjata itu bukan lagi rahasia. Terdapat sejumlah mobil dan peralatan militer
yang sarat dengan senjata telah diserahkan kepada pimpinan Sporadis Gerakan Selatan. Ia juga
menegaskan bahwa Ahmad Ali Abdullah Saleh, Komandan Garda Republik dan para
pembantunya, menjadi sutradara yang memfasilitasi ekspor senjata dan transfer dana kepada
berbagai elemen Gerakan Sporadis Selatan. Tujuannya untuk membuktikan pernyataan mantan
Presiden Ali Shaleh bahwa Jika ia lengser dari kekuasaan, Yaman akan memasuki perang
saudara.
Saat ini, latihan militer bagi unsur-unsur berbagai kelompok Gerakan Selatan sedang
berlangsung di Iran oleh Pasukan Garda Revolusi, dan di Lebanon oleh Pasukan Hizbullah.
Setelah itu, meraka akan kembali ke Aden untuk menciptakan kerusuhan dan kekacauan, tutur
Nakhbay.

Beberapa waktu lalu, Muhammad Ali Ahmad, salah seorang tokoh terkemuka Gerakan Selatan
dan Presiden Komite Persiapan untuk Konferensi Nasional bagi Masyarakat Selatan, mengatakan
bahwa: mayoritas pemimpin Gerakan Selatan telah berkunjung ke Iran untuk meminta dukungan.
Ia juga menyatakan bahwa Iran ingin mengubah selatan Yaman menjadi obyek konflik sektarian.
Dalam sesi penutupan Konferensi Nasional bagi Masyarakat Selatan, Muhammad Ali juga
menegaskan bahwa ekspansi Iran di Yaman tidak hanya mendukung gerakan Syiah Houthi di
utara, tetapi Iran juga meminta para pemimpin Gerakan Selatan untuk memberikan pendidikan
dan pelatihan militer kepada 6500 pemuda dari Selatan Yaman,[25] tambahnya.
Gerakan Separatis Selatan Yaman tidak lagi diam-diam berhubungan dengan Iran ataupun
menyembunyikan bantuan Iran terhadap mereka. Pemimpin mereka, Ali Salem Al Baid telah
membeberkan bahwa: Iran adalah sebuah negara yang eksis di kawasan ini. Ia mampu
memberikan peran besar. Iran merupakan negara tetangga sekaligus pelindung bagi bangsa Arab.
Negara itu telah membantu Lebanon, Palestina dan Hizbullah. Tidak ada satu pun negara Arab
yang mampu melakukan seperti apa yang dilakukan Iran dalam mempertahankan Lebanon
melawan Israel.[26]
Pada bulan Desember 2012, Muhammad Ali menyatakan: Jika saya menerima dana dari Iran,
maka hal itu saya lakukan demi membantu bangsa saya.[27]
Obsesi yang paling penting bagi Iran adalah bagaimana ia bisa menguasai selat Bab el-Mandeb
yang merupakan salah satu perairan terpenting di dunia. Selat itu merupakan kendali sekaligus
ancaman bagi rute pengiriman dan pasokan global.[28]
Target Wilayah Sunni
Salah seorang pejabat tinggi pemerintahan Yaman mengungkapkan kepada koran Al Siyasah
yang terbit di Kuwait,[29] bahwa Iran telah menghabiskan sekitar satu miliar dolar untuk
membiayai separatis Selatan Yaman. Iran juga telah menyiapkan anggaran dua kali lipat dari
jumlah itu untuk realisasi pembentukan Yaman menjadi dua negara.
Sumber yang memilih untuk tidak disebutkan namanya itu, menuduh Tehran mengeksploitasi
krisis dan situasi ekonomi buruk yang dialami oleh Yaman pada tahun 2011. Yaitu dengan
merekrut sekitar 1200 orang pemuda Syiah dan Sunni dari Sanaa, Aden, Taiz dan Saada, serta
berbagai daerah lain untuk selanjutnya dikirim dan dilatih militer di Suriah dan Beirut oleh
militer Hizbullah. Setelah itu, mereka dibawa ke kota Qom di Iran untuk mendapatkan
pendidikan agama.

Sumber tersebut mengungkapkan kekhawatirannya bahwa pemuda Yaman yang berjumlah cukup
besar itu dapat beralih menjadi sel subversif yang dikendalikan oleh Iran untuk melakukan
spionase dan sabotase demi kepentingan Tehran setelah mereka kembali ke negara asalnya.
Maraknya tawaran beasiswa bagi mahasiswa Yaman untuk menyelesaikan studi agama dan
beberapa disiplin ilmu lainnya di Iran saat ini, juga membuka akses kepada pemuda-pemuda
Sunni yang memandangnya sebagai peluang untuk keluar dari krisis stagnan di Yaman.[30]
Sebagian dari pemuda-pemuda tersebut telah membentuk sel spionase yang bekerja untuk
kepentingan Iran.
Sumber keamanan Yaman menegaskan bahwa dinas keamanan telah berhasil membongkar sel
teroris di kota Taiz yang berhubungan langsung dengan pasukan Garda Revolusi Iran.[31]
Provinsi Taiz dipandang sebagai salah satu wilayah Sunni yang menjadi target utama proyek Iran
di Yaman, baik secara ideologis, politik ataupun keamanan.
Menurut Dr. Abdul Malik Mohammed Abdullah Issa, Pakar Sosiologi Politik Yaman: Entitas
politik Houthi di Provinsi Taiz menyebabkan masuknya faktor agama dalam konflik internal
provinsi, meskipun berasal dari komponen agama yang sama, yaitu Mazhab Syafiiyah.
Dr. Issa menambahkan bahwa:Struktur masyarakat yang terpisah-pisah secara regional, agama
dan suku mendorong lahirnya berbagai reaksi. Sehingga entitas Houthi di Taiz akan
menyebabkan munculnya kubu lain yang menentang mereka demi mempertahankan jati dirinya.
Ini merupakan hal yang alami dalam membela kelompok keagamaan ataupun kelompokkelompok tradisional,[32] tambahnya.
Sementara itu, Mantan Gubernur Provinsi Taiz, Hamoud Khaled Soufi mengungkapkan bahwa:
Taiz berdekatan dengan Selat Bab el-Mandeb dan terletak di tempat yang paling penting dalam
geografi regional. Dia mengatakan: Kita semua di negeri ini dan di Taiz secara khusus, telah
terjebak oleh armada, kekacauan di Somalia dan keberadaan Iran dan Israel di kawasan ini.[33]
Penutup
Nampak jelas dari pemaparan di atas bahwa politik Iran tidak jauh berbeda dari politik negaranegara kolonial lainnya. Ia menggunakan slogan menarik untuk menimbulkan kerusakan di muka
bumi. Kondisinya seakan-akan mengatakan: Kami adalah reformis, sementara realita yang ada
mengatakan: Mereka adalah perusuh.
Sebagai contoh; dengan slogan menghapus kemunduran dan melawan imperialisme, Uni
Soviet menghancurkan bagian yang luas dari bumi jajahannya. Sedangkan Barat datang

membawa slogan demokrasi, dan kebebasan manusia untuk menyebarkan kehancuran dan
kerusakan di atas bumi.
Begitu halnya Iran, Ia bergerak menempuh jalan yang sama, sambil salah satu tangannya
mengangkat slogan perlindungan dan siap mati melawan Israel dan Amerika, sementara
tangannya yang satu lagi menyiksa dan membunuh kaum Muslim. Kasus Suriah dan Yaman
merupakan contoh konkrit dari realitas tersebut.
Ahmad Amin Asy Syaja
Peneliti dan penulis di Markaz Al Jazirah Al Arabiyah li Al dirasat wa Al Buhuts, Shanaa.

Anda mungkin juga menyukai