Anda di halaman 1dari 30

BAB 1

PENDAHULUAN
1. Anatomi Jantung
Jantung merupakan organ muskular berongga yang bentuknya mirip piramid dan
terletak di dalam pericardium di mediastinum. Bagian atas jantung yang disbut juga basis
cordis, dihubungkan dengan pembuluh-pembuluh darah besar, baik arteri maupun vena.1
Jantung mempunyai tiga permukaan: facies sternocostalis (anterior), facies
diaphragmatica (inferior), dan basis cordis (facies posterior). Jantung juga memiliki apex
yang arahnya ke bawah, depan, dan sebelah kiri. Pada facies sternocostalis, terutama
dibentuk oleh atrium dan ventrikel dexter, yang dipisahkan satu sama lain oleh sulcus
atrioventricularis. Pinggir kanannya dibentuk oleh atrium dextrum dan pinggir kirinya
oleh sebagian kecil ventrikulus sinister serta auricula sinistra. Ventriculus dexter dan
sinister dipisahkan oleh sulcus interventricularis anterior. Facies diaphragmatica jantung
terutama dibentuk oleh ventriculus dexter dan sinister yang dipisahkan oleh sulcus
interventricularis posterior. Selain itu permukaan inferior atrium dextrum juga ikut
membentuk facies ini. Basis cordis atau facies posterior terutama dibentuk oleh atrium
sinistrum, tempat muara keempat vena pulmonales. Basis cordis terletak berlawanan
dengan apex cordis. Apex cordis dibentuk oleh ventriculus sinister, mengarah ke depan,
bawah, dan kiri. Denyut apex biasa bisa dirasakan. Perhatikan bahwa jantung tidak
terletak/bertumpu pada basisnya, tetapi jantung terletak pada facies diaphragmatica
(inferior).=2
Ruang-Ruang Jantung
Jantung terbagi menjadi empat ruangan, yaitu atrium dan ventrikel dexter, dan
atrium dan ventrikel sinister. Atrium dan ventrikulus dexter terletak anterior terhadap
atrium dan ventriculus sinister.1
Atrium dextrum terdiri atas rongga utama dan sebuah kantong kecil yang disebut
auricula. Tempat pertemuan atrium kanan dengan auricula kanan terdapat pada sebuah
sulcus, yaitu sulcus terminalis, yang pada permukaan dalamnya disebut crista terminalis.
Dinding bagian dalam atrium dexter tersusun atas serabut otot yang disebut musculi
pectinati. Pada atrium dexter terdapat muara-muara dari vena cava superior, vena cava
inferior, sinus coronarius, dan ostium atrioventriculare dextrum. Pada atrium dexter juga
terdapat fossa ovalis dan annulus ovalis yang terletak pada septum interatriale yang
memisahkan atrium sinister dan dexter.1
Ventriculus dexter berhubungan dengan atrium dexter melalui ostium
atrioventriculare dexter, dan dihubungkan dengan truncus pulmonalis oleh ostium trunci
pulmonalis. Dinding ventriculus dexter tentu lebih tebal dari pada dinding atrium dexter,
serta menunjukkan beberapa rigi yang menonjol ke dalam yang disebut trabeculae
carneae. Lalu di antara trabeculae-trabeculae ini ada yang lebih menonjol karena diliputi
oleh otot yaitu mm. papilares, yang pada puncaknya berlanjut sebagai chordae tendinae,
untuk melekat kepada cuspis valva tricuspidalis, yang terdiri dari tiga cuspis. Pada
ventriculus dexter juga terdapat valva trunci pulmonalis, yang melekat pada dinding arteri
pulmonalis. Mulut cuspisnya mengarah ke atas, dan tidak ada chordae tendinae ataupun
mm. papilares yang berhubungan dengan cuspis ini.1

Atrium sinistrum sama dengan atrium dextrum, terdiri atas rongga utama dan
auricula sinistra. Bagian dalam atrium licin, tetapi auricula sinistra mempunyai rigi-rigi
otot seperti pada auricula dextra. Pada atrium sinistrum juga terdapat muara-muara, yaitu
muara keempat vena pulmonales, dan ostium atrioventriculare sinistrum yang dilindungi
oleh valva mitralis.1
Ventriculus sinister berhubungan dengan atrium sinistrum melalui ostium
atrioventriculare sinistrum dan dengan aortae melalui ostium aortae. Dinding ventriculus
sinister tiga kali lebih tebal dibandingkan dengan dinding ventriculus dexter. Pada
penampang melintang, ventriculus sinister berbentuk bulat, sedangkan ventriculus dexter
berbentuk kresentik/bulan sabit. Terdapat juga trabeculae carneae, dan ada juga mm.
papilares yang berlanjut sebagai chordae tendinae untuk menempel pada valva mitralis.
Valva mitralis ini terdiri dari dua cuspis. Pada ventrikel sinister juga terdapat valva aortae
yang melindungi ostium aortae yang memiliki struktur sama seperti valva trunci
pulmonales.1
Perdarahan Jantung
Jantung mendapatkan perdarahan dari a. cornaria dextra dan sinistra, yang berasal
dari aorta ascendens tepat di atas valva aortae. A. coronaria dextra berasal dari sinus
anterior aortae dan berjalan ke depan di antara truncus pulmonalis dan auricula dextra.
Arteri ini berjalan turun hampir vertical di dalam sulcus atrioventriculare dextra, dan
pada pinggir inferior jantung pembuluh ini melanjut ke posterior sepanjang sulcus
atrioventricularis untuk beranastomosis dengan a. coronaria sinistra di dalam sulcus
interventricularis posterior. Sedangkan a. coronaria sinistra, yang biasanya lebih besar
dibandingkan dengan a. coronaria dextra, mendarahi sebagian besar jantung. Arteri ini
berasal dari posterior kiri sinus aortae aorta ascendens dan kemudian berjalan ke depan di
antara truncus pulmonalis dan juga auricula sinistra. Lalu pembuluh ini berjalan pada
sulcus atrioventricularis dan kemudian bercabang dua menjadi ramus interventricularis
anterior dan ramus circumflexus.1
Pembuluh Balik Jantung
Sebagian besar darah dari jantung mengalir ke atrium kanan melalui sinus
coronarius, yang terletak pada bagian posterior sulcus atrioventriculare dan merupakan
lanjutan dari vena cardiaca magna. Pembuluh ini bermuara ke atrium dextrum sebelah
kiri vena cava inferior. Vena cardiaca parva dan vena cardiaca media merupakan cabang
dari sinus coronarius. Sisanya dialirkan ke atrium dextrum melalui vena ventriculi dextri
anterior dan melalui vena-vena kecil yang bermuara langsung ke ruang-ruang jantung.1

Fisiologi Jantung
Secara anatomi kita telah mengetahui bahwa di dalam jantung terdapat empat
buah katup: katup mitral yang terletak antara atrium dan ventrikel kiri (katup
AV/atrioventrikular kiri); katup tricuspid yang terletak antara atrium dan ventrikel kanan
(katup AV/atrioventrikular kanan); katup semilunar aorta yang terletak antara ventrikel
kiri dengan aorta; dan katup semilunar pulmonal yang terletak antara ventrikel kanan

dengan arteri pulmonal. Seperti yang kita telah ketahui juga bahwa katup AV diikat oleh
korda tendinae, yang kemudian melekat pada muskulus papilaris, yang menonjol dari
permukaan dinding dalam ventrikel. Ketika ventrikel berkontraksi, maka otot papilaris
juga akan berkontraksi, menarik korda tendinae ke bawah, sehingga menutup katup AV.
Hal ini akan membantu menjaga katup AV tetap tertutup rapat ketika menghadapi gradien
tekanan besar yang mengarah ke belakang. Sedangkan katup semilunar berbeda dengan
katup AV. Katup ini memiliki tiga daun katup yang masing-masing berbentuk seperti
bulan sabit/setengah bulan. Katup ini akan membuka saat ventrikel berkontraksi untuk
mengalirkan darah ke arteri-arteri besar, kemudian akan tertutup kembali saat ventrikel
relaksasi. Tetapi kita melihat bahwa antara vena dengan atrium tidak terdapat katup, tetapi
tidak pernah terjadi masalah pada jantung kita. Hal ini terjadi karena dua alasan:
(1) Tekanan atrium biasanya tidak pernah melebihi tekanan dari vena
(2) Tempat di mana vena kava masuk ke atrium mengalami penekanan parsial
ketika atrium berkontraksi.
Dinding jantung utama terdiri dari serat otot jantung yang tersusun spiral dengan
arah yang berbeda-beda. Sehingga ketika berkontraksi, jantung akan memendek ke segala
dimensi, tidak hanya satu arah. Masing-masing dari sel otot jantung ini saling
berhubungan satu sama lainnya, melalui struktur khusus yang disebut diskus interkalaris.
Di dalam lempeng ini terdapat dua buah membran: desmosome dan gap junction.
Desmosome merupakan penyatu antara membran satu dengan membran lainnya.
Sedangkan gap junction merupakan daerah yang memiliki resistensi listrik yang sangat
rendah (1/400), memungkinkan potensial aksi untuk mudah sekali menyebar dari sel
jantung satu ke sel jantung lainnya. Sehingga ketika terdapat potensial aksi, seluruh otot
jantung akan berkontraksi sebagai suatu sinsitium fungsional tunggal, tetapi terpisah
antara atrium dengan ventrikel. Hal ini terjadi karena tidak terdapat taut celah yang
menyatukan sel kontraktil atrium dan ventrikel. Namun terdapat sistem penghantar
khusus penting yang mempermudah dan mengoordinasikan transmisi eksitasi listrik dari
atrium ke ventrikel untuk memastikan sinkronisasi antara pompa atrium dan pompa
ventrikel.2
Aktivitas Listrik Jantung
Kontraksi sel otot jantung untuk menyemprotkan darah dipicu oleh potensial aksi
yang menyapu ke seluruh membran sel otot. Jantung berkontraksi, secara ritmis akibat
potensial aksi yang dihasilkannya sendiri, suatu sifat otorimisitas. Terdapat dua jenis sel
otot jantung:
(1) Sel kontraktil, merupakan 99% dari sel otot jantung manusia, memiliki
kemampuan untuk berkontraksi, namun tidak membentuk potensial aksi sendiri
(2) Sel otoritmik, hanya 1% dari sel-sel jantung. Sel ini tidak dapat melakukan
kontraksi, namun dapat membentuk potensial aksi sendiri.
Sel-sel tersebut terletak pada tempat-tempat tertentu di jantung, yaitu: nodus
sinoatrialis (nodus SA), nodus atrioventrikularis (nodus AV), berkas his, dan serat
purkinje.2
Sel otoritmik jantung memiliki aktivitas pemacu. Berbeda dengan saraf dan otot
rangka, memiliki potensial istirahat yang mantap dan konstan, namun pada sel otoritmik
jantung tidak demikian. Hal ini disebabkan karena sel otoritmik ini akan menimbulkan

depolarisasi lagi setelah repolarisasi untuk menimbulkan denyut yang ritmis tanpa
rangsangan saraf apapun, sehingga tidak terdapat masa istirahat yang mantap.2
Potensial pemacu disebabkan oleh adanya interaksi kompleks beberapa
mekanisme ionik yang berbeda. Perubahan terpenting dalam perpindahan ion yang
menimbulkan potensial pemacu adalah (1) penurunan arus K (kalium) ke luar disertai
dengan arus Na (natrium) yang masuk konstan, dan (2) peningkatan arus Ca (kalsium)
masuk. Fase awal adalah depolarisasi lambat yang terjadi karena penurunan influks pasif
K keluar, namun permabilitas Na tidak berubah, sehingga secara normal akan tetap ada
Na yang masuk ke dalam, sehingga keadaan di dalam sel menjadi lebih positif, akhirnya
akan menuju ke ambang letup meski lambat (depolarisasi lambat). Ketika sudah
mencapai ambang letup, maka terjadilah peningkatan permeabilitas saluran Ca, sehingga
terjadi influks Ca dalam jumlah besar, sehingga keadaan menjadi positif dalam waktu
cepat. Ketika sudah mencapai keseimbangan (titik nol), maka dimulailah fase repolarisasi
oleh efluks K yang terjadi ketika permeabilitas K meningkat akibat pengaktifan saluran K
berpintu voltase. Setelah potensial aksi selesai, terjadi depolarisasi lambat berikutnya
menuju ambang akibat penutupan saluran K.2

Gambar 1. Aktivitas Sel Otoritmik.2


Setelah mengetahui bagaimana potensial aksi yang terjadi pada sel otoritmik, kita
juga harus mengerti dan memahami fungsi dan karakteristik dari masing-masing sel
otoritmik yang telah disebutkan sebelumnya. Nodus SA berbentuk kecil, tipis, dan
ellipsoid. Nodus SA terletak pada superior posterolateral pada dinding atrium dextra, di
bawah dan lateral dari mulut vena cava superior. Nodus AV juga memiliki bentuk yang
kecil dan terletak pada dasar atrium kanan dekat dengan septum pembatas antara atrium
kiri dengan atrium kanan, di atas dari titik pertemuan antara atrium dengan ventrikel.
Berkas His adalah suatu jaras yang keluar dari nodus AV dan kemudian masuk ke dalam
septum interventrikularis. Pada bagian ini, berkas His akan terbagi dua cabang, ke kiri
dan kanan yang masing-masing berjalan menuruni septum, kemudian melengkung
mengelilingi ujung rongga ventrikel, dan kemudian berjalan kembali ke arah atrium
sepanjang dinding terluarnya. Jenis yang terakhir adalah sel purkinje/serat purkinje,

berbentuk kecil juga dan merupakan penjuluran dari berkas His, kemudian menyebar ke
seluruh miokardium ventrikel seperti suatu ranting kecil dari cabang-cabang pohon.2
Perlu diketahui bahwa masing-masing dari sel otoritmik ini memiliki laju
depolarisasi lambat menuju ambang yang berbeda-beda, tentu kemampuan untuk
menciptakan potensial aksi dari masing-masing sel ini juga berbeda. Sel otoritmik
jantung yang memiliki kecepatan yang paling tinggi dalam mencetuskan potensial aksi
adalah nodus SA. Sekali potensial aksi terjadi di sel otot jantung manapun, potensial aksi
tersebut akan disebarkan hingga ke seluruh miokardium melewati gap junction dan juga
oleh sistem penghantar khusus. Karena itu, nodus SA, yang secara normal memiliki
kecepatan tertinggi untuk menghasilkan otoritmisitas yaitu sekitar 70-80 potensial aksi
per menit, akan mengandalikan seluruh bagian jantung dalam kondisi ini, sehingga nodus
SA dikenal sebagai pacemaker dari jantung. Seluruh jantung akan tereksitasi, memicu
sel-sel jantung untuk berkontraksi dan memicu jantung untuk berdetak dengan kecepatan
atau frekuensi yang telah diset oleh nodus SA, yaitu normal sekitar 70-80 denyutan per
menit. Jaringan otoritmik lainnya tidak dapat mengeluarkan irama natural mereka yang
memiliki kecepatan yang lebih lambat, karena mereka sudah teraktivasi terlebih dahulu
oleh potensial aksi yang berasal dari nodus SA sebelum mereka mencapai ambang letup
mereka masing-masing yang lebih lambat.2
Penyebaran eksitasi jantung harus dikoordinasikan untuk menjamin pompa yang
efisien. Sekali nodus SA teraktifkan, maka potensial aksi akan menyebar ke seleuruh
jantung. Agar pompa jantung menjadi efisien, penyebaran dari eksitasi ini harus mampu
memenuhi tiga kriteria:
1. Eksitasi atrium dan kontraksinya harus sudah selesai sebelum kontraksi dari ventrikel
di mulai. Hal ini menjamin agar ventrikel terisi penuh secara sempurna sebelum
akhirnya ventrikel berkontraksi untuk memompakan darah ke seluruh bagian tubuh.
2. Eksitasi dari serat otot jantung harus dikoordinasikan untuk menjamin bahwa tiap-tiap
rongga jantung berkontraksi sebagai satu unit untuk memompa secara efisien. Jika
serat otot pada rongga jantung tereksitasi dan berkontraksi secara acak bukan
berkontraksi secara simultan dan terkoordinasi, maka jantung akan tidak bisa
memompa darah dengan efisien.
3. Baik sepasang atrium maupun sepasang ventrikel jantung harus bisa terkoordinasi
secara fungsional bahwa kaedua anggota pasangan tersebut dapat berkontraksi secara
simultan. Koordinasi ini memungkinkan darah akan dipompakan ke sirkulasi
pulmonal dan sistemik yang tersinkronisasi.
Penyebaran dari eksitasi jantung diatur secara cermat untuk menjamin bahwa semua
kriteria yang ada terpenuhi dan jantung berfungsi secara efisien, berikut adalah
penjelasannya.2
Pertama-tama adalah eksitasi atrium. Potensial aksi yang berasal dari nodus SA
pertama kali akan menyebar menuju ke kedua atrium, terutama dari sel ke sel jantung
lainnya melalui gap junction. Selain itu, ada beberapa penghantar khusus yang memiliki
batas yang kurang jelas mempercepat hantaran impuls ke seluruh atrium, yaitu:
1. Jalur interatrial (interatrial pathway) terbentang dari nodus SA di dalam atrium kanan
menuju ke atrium kiri. Karena jalur ini mentransmisikan potensial aksi dari nodus SA
menuju ke jalur terminal pada atrium kiri dengan sangat cepat, maka gelombang

eksitasi ini dapat tersebar melalui gap junction di seluruh atrium kiri dengan waktu
yang hampir bersamaan dengan eksitasi yang menyebar pada seluruh atrium kanan.
Ini mamastikan bahwa kedua atrium akan berdepolarisasi untuk berkontraksi secara
simultan.
2. Jalur internodal terbentang dari nodus SA menuju ke nodus AV. Nodus AV adalah titik
kontak elektrik satu-satunya antara antrium dan ventrikel; dalam kata lain, karena
atria dan ventrikel secara struktural terhubungkan dengan jaringan ikat yang tidak
dapat menghantarkan listrik, satu-satunya cara agar potensial aksi dari atrium dapat
menyebar hingga ke ventrikel adalah dengan melewati nodus AV. Jalur penghantar
internodal ini mengarahkan penyebaran/penyaluran potensial aksi yang berasal dari
nodus SA ke nodus AV untuk menjamin kontraksi berirama ventrikel setelah
kontraksi atrium. Karena dipercepat oleh jalur penghantar ini, maka potensial aksi
akan sampai di nodus AV dalam waktu 30 milidetik setelah nodus SA melepaskan
muatannya.2
Sebelum terjadi eksitasi ventrikel, kita perlu mengetahui terlebih dahulu apa yang
terjadi di antara atrium dan ventrikel, terutama sebelum memasuki ventrikel. Potensial
aksi yang berasal dari nodus SA akan sampai pada nodus AV, seperti yang telah kita
ketahui sebelumnya. Pada nodus AV ini potensial aksi akan dihantarkan cukup lambat.
Hal ini menguntungkan karena untuk menyelesaikan pengisian ventrikel cukup
membutuhkan waktu Impuls tersebut mengalami perlambatan skitar 100 milidetik (AV
delay), yang memungkinkan atrium untuk bisa berdepolarisasi sempurna dan
berkontraksi, mengosongkan isinya ke ventrikel, sebelum depolarisasi dan kontraksi
ventrikel terjadi.2
Tahap selanjutnya adalah eksitasi ventrikel. Setelah terjadinya AV delay, impuls
tersebut kemudian bergerak dengan cepat menuruni septum jantung melalui cabang kiri
dan cabang kanan dari berkas His dan kemudian menyebar hingga ke miokardium
ventrikel melalui serat Purkinje. Anyaman serat pada sistem penghantar ventrikel ini
terspesialisasi dalam menyalurkan potensial aksi dengan sangat cepat. Keberadaan sistem
ini mempercepat dan mengkoordinasikan penyebaran penyebaran eksitasi ventrikel untuk
menjamin ventrikel akan berkontraksi sebagai satu buah unit. Potensial aksi ini
disalurkan melalui seluruh sel Purkinje dalam waktu sekitar 30 milidetik.2

Gambar 2. Sistem Penghantar Khusus.2


Setelah melihat bagaimana perjalanan impuls nodus SA hingga menyebabkan
jantung berkontraksi, kita juga perlu melihat potensial aksi yang terjadi pada sel otot
jantung (sel kontraktil jantung) ketika menerima impuls.2

Potensial aksi yang terjadi pada sel kontraktil jantung, meskipun dipicu oleh selsel nodal pemicu, sel kontraktil jantung memiliki berbagai variasi yang mencolok dalam
mekanisme ionik dan bentuk disbanding potensial pada nodus SA. Tidak seperti
membran sel otoritmik jantung, membran sel kontraktil jantung pada saat istirahat berada
pada beda potensial -90 mV hingga akhirnya akan tereksitasi oleh impuls listrik yang
dihasilkan oleh pacemaker. Sekali membran sel kontraktil miokardium ventrikel
terdepolarisasi mencapai ambang melalui alur tertentu melewati gap junction, potensial
aksi akan terbentuk melalui proses rumit perubahan permeabilitas dan perubahan
membran potensial sebagai berikut:2
1. Selama masa fase naik dari potensial aksi, potensial membran ini secara cepat
berbalik ke nilai positif sekitar +20 mV hingga +30 mV (tergantung dari sel
miokardium itu sendiri) sebagai hasil dari pengaktifan channel Na berpintu voltase
dan Na dengan cepat masuk ke dalam sel, seperti yang terjadi pada sel-sel peka
rangsang lainnya.
2. Di ujung potensial aksi, channel K dalam subkelas yang berbeda kemudian membuka
sementara. Resultan yang terbatas dari pengeluaran K melalui channel yang
sementara ini bersifat singkat, repolarisasi kecil dari membran menjadi lebih curam,
kurang positif dari kepositifan awal.
3. Keunikan dari sel jantung ini, potensial membran ini dipertahankan dalam taraf
positif dekat dengan ujung potensial aksi dalam waktu beberapa ratus milidetik,
membentuk fase plateau dari potensial aksi ini. Hal ini berbeda dengan potensial aksi
pendek yang terjadi pada sel saraf dan otot yang berkisar 1 sampai 2 milidetik. Fase
plato ini dipertahankan oleh dua perubahan permeabilitas dependen voltase: aktivasi
lambat channel Ca tipe L dan penurunan mencolok permeabilitas K. Perubahan
permeabilitas ini terjadi sebagai bentuk respon dari perubahan voltase secara tiba-tiba
ketika fase naik potensial aksi.
Fase turun yang sangat cepat dari potensial aksi dihasilkan dari inaktivasi channel ion
Ca dan pengaktifan tertunda dari channel K berpintu voltase, sama seperti pada sel saraf
dan sel otot. K yang keluar menyebabkan kepositifan membran sel berkurang drastis
kembali seperti keadaan semula. Pada saat potensial istirahat, channel K berpintu voltase
kembali tertutup dan channel ion K yang tidak berpintu kembali membuka.2

Gambar 3. Aktivitas Sel Kontraktil.2


2. Infark Miokard Akut

Infark Miokard Akut (IMA) merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering
di Negara maju. Laju mortalitas awal (30 hari) pada IMA adalah 30% dengan lebih dari
separuh kematian terjadi sebelum pasien mencapai Rumah Sakit. Walaupun laju mortalita
menurun sebesar 30% dalam 2 dekade terakhir, sekitar 1 diantara 25% yang tetap hidup
pada perawatan awal, meninggal dalam tahun pertama setelah IMA.3
Infark miokard biasanya disebabkan oleh thrombus arteri koroner. Terjadinya
thrombus disebabkan oleh rupture plak yang kemudia diikuti oleh pembentukan thrombus
oleh trombosit. Lokasi dan lausnya miokard infark tergantung pada artei yang oklusi dan
aliran darah kolateral.3
Infark miokard yang mengenai endokardium sampai epikardium disebut infark
transmural, namun bias juga mengenai daerah subendokardial. Setelah 20 menit terjadi
sumbatan infark sudah dapat terjadi pada subendokardium dan bila berlanjut terus ratarata dalam 4 jam terjadi infark transmural. Hal ini kadang-kadang belum selesai karena
daerah sekitar infark masih dalam bahaya bila proses iskemia masih berlanjut.3
Bila arteri anterior descending sinistra yang oklusi, infark mengenai dinding
anterior ventrikel kiri dan bias mengenai septum. Bila arteri sirkumpfleksa kiri yang
oklusi, infark mengenai dinding lateral atau posterior dari ventrikel kiri. Bila arteri
koroner kanan yang oklusi, infark terutama mengenai dinding anterior dari ventrikel kiri,
tetapi bias juga septum dan ventrikel kanan.3
Oklusi arteri koronaria bisa juga tidak sampai menimbulkan infark bila daerah
yang diperdarahi arteri yang oklusi tersebut mendapat pasokan oleh pembuluh arteri
kolateral lainya.3
Infark miokard jenis STEMI adalah infark miokard yang terjadi pada pasien
dengan Typical Chest Pain dan menetap (>20 menit) dengan gambaran EKG adanya ST
Elevasi. Diagnosis STEMI ditegakkan dari ditemukannya Chest Pain, ST segmen elevasi
atau diperkirakan adanya LBBB yang baru pada gambaran EKG (kompleks QRS pada
sadapan merekam ventrikel kiri (I, AVL, V5, V6). Gelombang R akan melebar pada
puncak atau berlekuk dan pada sadapan yang merekam ventrikel kanan akan
menunjukkan Gelombang S yang dalam, lebar dan terbalik) serta ditemukannya
peningkatan enzim yang menunjukkan terjadinya nekrosis miokard (troponin T, CKMB).3
Diagnosis infark miokard jenis NSTEMI adalah nyeri dada berupa perasaan
terbakar, nyeri tumpul, rasa penuh, berat atau tertekan di substernal atau epigastrium.
Pada EKG didapatkan ST segmen depresi dan T wave inverted. Selanjutnya juga
didapatkan peningkatan biomarker kerusakan miokard yaitu peningkatan troponin dalam
3-4 jam dan CKMB.3
Dalam penatalaksanaan STEMI dapat dilakukan pra rumah sakit, di rumah sakit
dan pasca rumah sakit. Tatalaksana IMA dengan elevasi ST saat ini mengacu pada datadata dari evidence based berdasarkan penelitian randomized clinical trial yang terus
berkembang ataupun consensus dari para ahli sesuai pedoman.
Tujuan utama penatalaksanaan IMA adalah diagnosis cepat menghilangkan nyeri
dada, penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, pemberian

anti trombotik dan teapi anti platelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana
komplikasi IMA. Terdapat beberapa pedoman dalam tatalaksana IMA dengan ST elevasi
yaitu dari ACC/AHA tahun 2004 dan ESC tahun 2003/ walaupun demikian perlu
disesuaikan dengan kondisi sarana dan fasilitas di tempat masing-masing serta
kemampuan ahli yang ada.
Pada referat ini akan dijelaskan mengenai Infark Miokard Akut Jenis STEMI serta
penatalaksaan terapi fibrinolitik pada STEMI.

BAB 2
PEMBAHASAN

1) Definisi STEMI
ST Elevasi Miokard Infark (STEMI) adalah rusaknya bagian otot jantung secara
permanen akibat insufisiensi aliran darah koroner oleh proses degeneratif maupun di
pengaruhi oleh banyak faktor dengan ditandai keluhan nyeri dada, peningkatan enzim
jantung dan ST elevasi pada pemeriksaan EKG. STEMI adalah cermin dari
pembuluh darah koroner tertentu yang tersumbat total sehingga aliran darahnya
benar-benar terhenti, otot jantung yang dipendarahi tidak dapat nutrisi-oksigen dan
mati.1,4

Gambar 4 : Perbedaan EKG Normal dan EKG pada STEMI


2) Epidemiologi STEMI
Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu diagnosis rawat inap
tersering di negara maju. Laju mortalitas awal (30 hari) pada IMA adalah 30% dengan
lebih dari separuh kematian terjadi sebelum pasien mencapai Rumah Sakit. Walaupun
laju mortalitas menurun sebesar 30% dalam 2 dekade terakhir, sekitar 1 di antara 25
pasien yang tetap hidup pada perawatan awal, meninggal dalam tahun pertama setelah
IMA.3
Di Amerika Serikat, sekitar 650.000 pasien mengalami IMA pertama kali dan
450.000 pasien mengalami IMA yang rekuren setiap tahunnya. Mortalitas pun
meningkat empat kali lipat pada pasien dengan usia di atas 75 tahun jika
dibandingkan dengan pasien usia muda.4

3) Patofisiologi STEMI

STEMI biasanya terjadi ketika aliran darah koroner menurun tiba-tiba setelah
terjadinya oklusi trombotik pada arteri koronaria yang sebelumnya terdapat
aterosklerosis. STEMI tidak terjadi jika adanya stenosis arteri koronaria berat yang
berkembang lambat, karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu.
STEMI terjadi jika thrombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi terjadinya
jejas pada pembuluh darah. Jejas ini terjadi/terbentuk karena beberapa faktor seperti
merokok, hipertensi, dan penumpukan lemak. Pada kebanyakan kasus, STEMI terjadi
ketika permukaan dari plak aterosklerotik mengalami gangguan, sehingga
menyebabkan isi dari plak tersebut masuk ke dalam peredaran darah dan mendukung
untuk terjadinya trombogenesis baik lokal maupun sistemik, sehingga terbentuklah
trombus mural pada bagian plak yang mengalami ruptur, sehingga arteri koroner yang
terlibat mengalami penyumbatan. Pemeriksaan histologi menemukan bahwa plak
koroner yang mudah ruptur adalah plak yang dindingnya mengandung banyak lemak
dan fibrous cap yang tipis. Setelah fase awal di mana trombosit membentuk lapisan
trombosit monolayer pada bagian plak yang ruptur, berbagai agonis seperti kolagen,
ADP, epinefrin, serotonin, menambah aktivasi trombosit. Setelah stimulasi trombosit
oleh agonis tadi, terjadilah pelepasan tromboksan A2, yang merupakan
vasokonstriktor lokal poten, terjadi juga aktivasi trombosit lebih lanjut, hingga
perkembangan yang berpotensi melawan terjadinya fibrinolisis.4
Selain terjadinya pembentukan tromboksan A2, aktivasi trombosit karena
agonis tadi juga mencetuskan terjadinya perubahan komformasi dari reseptor
glikoprotein IIb/IIIa. Sekali terubah menjadi bentuk aktifnya, maka reseptor ini
memiliki afinitas tinggi terhadap sekuens asam amino pada protein adesif yang larut
air (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWB) dan fibrinogen. Karena keduanya
merupakan molekul yang multivalent, keduanya dapat mengikat dua trombosit secara
langsung, sehingga terjadilah cross-linking pada trombosit dan agregrasi trombosit.4
Kaskade koagulasi terus teraktivasi atas pajanan tissue factor dalam sel
endotelial yang mengalami kerusakan pada tempat terjadinya ruptur plak tadi. Faktor
VII dan X juga diaktivasi, sehingga menyebabkan terjadinya konversi protrombin
menjadi trombin, yang akan mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Selanjutkan
kaskade pembekuan darah terus terjadi sehingga arteri koronaria sendiri mengalami
penyumbatan akibat trombus yang mengandung agregasi trombosit dan benangbenang fibrin.4
Pada beberapa kasus, STEMI dapat terjadi karena oklusi koronaria yang
disebabkan oleh emboli koroner, kelainan kongenital, spasme koroner, dan berbagai
penyakit sistemik lainnya yang kebanyakan adalah penyakit inflamasi. Besarnya
gangguan yang terjadi pada jantung karena oklusi pembuluh darah koroner tergantung
kepada:
a) Daerah yang diperdarahi oleh arteri koroner tersebut
b) Apakah sumbatan tersebut menyumbat total aliran darah atau tidak
c) Durasi terjadinya oklusi koroner

d) Jumlah darah yang disuplai oleh pembuluh darah kolateral kepada


jaringan yang terkena
e) Kebutuhan miokardium akan oksigen karena terjadi kehilangan suplai
oksigen tiba-tiba
f) Faktor endogen yang dapat memproduksi zat untuk melisis secara
cepat dan spontan terhadap trombus tersebut
g) Apakah perfusi miokard yang mengalami infark cukup adekuat atau
tidak ketika aliran darah sudah kembali normal pada arteri koroner
yang mengalami sumbatan tadi.
Pasien yang beresiko tinggi mengalami STEMI adalah mereka yang memiliki
banyak faktor resiko terjadinya aterosklerosis dan mereka dengan angina tidak stabil.
Kondisi lain yang cukup jarang terjadi adalah hiperkoagulabilitas, penyakit kolagen
vaskular, penyalahgunaan kokain, dan trombi intrakardial atau massa yang dapat
menyebabkan emboli koroner.4

4) Diagnosis STEMI
Pada sepertiga kasus, faktor-faktor pencetus terjadi lebih dulu sebelum terjadi
STEMI, seperti olahraga yang berlebihan dan stres emosional. Meskipun STEMI
dapat terjadi pada waktu kapanpun, siang maupun malam, namun ternyata irama
sirkadian dapat cukup mempengaruhi, dapat terjadi serangan pada beberapa jam
setelah bangun tidur.4
Nyeri, merupakan keluhan utama pasien yang mengalami STEMI. Tipe nyeri
adalah nyeri dalam dan viseral. Sifat nyeri biasanya dijelaskan sebagai nyeri yang
berat, seperti tertindih dan teremas, meskipun kadang-kadang dapat dijelaskan juga
sebagai rasa tertusuk dan terbakar. Sifat-sifat tersebut cukup mirip dengan
karakteristik nyeri pada angina pectoris, namun biasanya STEMI muncul pada saat
istirahat, lebih berat, dan nyeri bertahan cukup lama. Biasanya nyeri melibatkan
bagian sentral dada atau epigastrium, dan menjalar menuju lengan. Tempat penjalaran
lain yang cukup jarang adalah abdomen, punggung, rahang bawah, dan leher. Lokasi
tersering terdapatnya nyeri biasanya di bawah xiphoid dan epigastrium, dan pasien
biasanya menolak jika dikatakan sebagai serangan jantung karena lebih dikira sebagai
gangguan pencernaan. Selain nyeri, biasanya diikuti dengan adanya
kelelahan/kelemahan, berkeringat banyak, nausea, vomiting, gelisah, dan rasa akan
meninggal dalam waktu dekat. Nyeri dapat muncul saat istirahat, namun jika nyeri
muncul saat aktivitas, biasanya tidak mereda dengan penghentian aktivitas, berbeda
dengan pada angina pektoris.4
Nyeri pada STEMI dapat meniru/mirip seperti nyeri yang timbul pada
penyakit lain seperti pericarditis akut, emboli pulmonal, diseksi aorta akut,
costochondritis, dan gangguan gastrointestinal. Kondisi ini harus dapat
dipertimbangkan sebagai diferensial diagnosis. Penjalaran nyeri hingga trapezius

biasanya tidak terjadi pada STEMI dan lebih diperkirakan sebagai pericarditis.
Meskipun demikian, nyeri tidak selalu terjadi pada pasien dengan STEMI. Jumlah
pasien STEMI tanpa nyeri lebih banyak dari pada pasien STEMI dengan nyeri,
terutama jika pasien tersebut juga mengalami diabetes melitus, serta meningkat
seiring dengan meningkatnya umur. Pada orang tua, STEMI dapat terjadi berupa rasa
sulit bernafas yang tiba-tiba muncul, yang dapat berlanjut menjadi edema pulmonal.
Dapat juga gejala lain, dengan rasa nyeri ataupun tidak, yaitu adalah hilangnya
kesadaran secara tiba-tiba, kebingungan, kelemahan yang sangat mendalam, aritmia,
hingga sekedar penurunan tekanan arterial tiba-tiba tanpa sebab.4
Pemeriksaan Fisik pada STEMI
Kebanyakan pasien terlihat cemas dan gelisah, berusaha untuk menghilangkan
rasa sakit dengan terus merubah posisi tidur hingga stretching, namun biasanya tidak
berhasil. Wajah pasien biasanya pucat, di mana hal ini berhubungan dengan keringat
dan dingin pada ekstremitas yang terjadi cukup sering. Nyeri dada substernal menetap
hingga lebih dari 30 menit dan diaforesis merupakan kombinasi gejala yang sangat
kuat merujuk kepada STEMI. Meskipun kebanyakan pasien STEMI memiliki
frekuensi nadi dan tekanan darah yang normal pada satu jam pertama serangan,
namun sekitar seperempat pasien dengan infark anterior termanifestasi sebagai
hiperaktivitas sistem saraf simpatis, yaitu muncul sebagai takikardi dan/atau
hipertensi, dan sekitar setengah pasien dengan infark posterior menunjukkan
hiperaktivitas sistem saraf parasimpatis, yaitu bradikardia dan/atau hipotensi.4
Prekordial (permukaan ventral tubuh yang berada di atas jantung dan gaster,
yang meliputi epigastrium dan bagian bawah-tengah dari toraks) biasanya tenang, dan
iktus kordis biasanya sulit diraba. Pada pasien dengan infark anterior, dapat terjadi
pulsasi sistolik yang abnormal pada daerah periapikal dalam hari pertama gejala dan
dapat hilang dengan sendirinya, yang disebabkan karena pergerakan yang tidak
teratur akibat adanya perbesaran pada dinding miokardium yang mengalami infark.
Tanda fisis lain yang menunjukkan adanya disfungsi ventrikel adalah terdengarnya
suara bunyi jantung ke-4 dan ke-3, sehingga dikatakan sebagai gallop, penurunan
intesitas bunyi jantung pertama dan split yang paradoksikal bunyi jantung yang
kedua. Dapat ditemukan murmur middiastolik atau late sistolik apikal yang bersifat
sementara karena disfungsi apparatus katup mitral. Pada STEMI transmural, dapat
terdengar pericardial friction rub pada kebanyakan pasien, kapanpun selama proses
perjalanan penyakit masih berlangsung, dan jika pasien tersebut diperiksa secara
rutin. Pulsasi karotis sering menurun dalam hal volume, yang mencerminkan adanya
penurunan stroke volume. Suhu dapat meningkat hingga 38 oC dalam minggu pertama
pasca STEMI. Tekanan arterial dapat bervariasi; pada pasien dengan infark
transmural, tekanan sistolik menurun sekitar 10-15 mmHg dari saat sebelum infark.4
Pemeriksaan Penunjang
Progesivitas infark miokard melalui tiga tahap:
(1) akut (awal terasa nyeri hingga hari ke-7)
(2) penyembuhan (hari ke-7 sampai hari ke-28)
(3) sembuh (29 hari).

Dalam mengevaluasi diagnosis akhir sebagai STEMI, harus dapat menentukan


adanya infark sementara yang terjadi. Pemeriksaan laboratorium yang digunakan
adalah:
(1) EKG
(2) serum cardiac biomarkers
(3) radiologi jantung.
EKG pada STEMI
Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan
nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan
segera dalam 10 menit sejak kedatangan di IGD. Pemeriksaan EKG di IGD
merupakan landasan dalam menentukan keputusan terapi karena bukti kuat
menunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat mengidentifikasi pasien yang
bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal tidak
diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat
STEMI, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sadapan
secara kontinu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi
segmen ST. Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk
mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan.4
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal segmen ST mengalami evolusi
menjadi gelombang Q pada EKG. Meskipun begitu, gelombang Q yang berada di atas
zona infark tersebut dapat bervariasi dalam besarnya gelombang dan bahkan hanya
ditemukan secara transien, tergantung dari status reperfusi dari iskemi miokardium
dan restorasi potensial transmembran seiring berjalannya waktu. Sebagian kecil dari
pasien dengan ST elevasi tidak membentuk gelombang Q, dan terjadi jika trombus
tidak benar-benar menyumbat, obstruksi sementara, dan terdapat banyak arteri
kolateral lainnya. Pada pasien yang mengalami nyeri iskemik tapi tidak ditemukan
elevasi ST, namun jika serum cardiac biomarker of nekcrosis positif, diagnosis
berubah menjadi NSTEMI. Hanya sedikit dari pasien tanpa elevasi ST berkembang
menjadi gelombang Q.4
Sebelumnya, istilah miokard infark transmural ditunjukkan dengan adanya
gelombang Q atau hilangnya gelombang R, dan infark miokard nontransmural
ditunjukkan dengan perubahan sementara segmen ST dan gelombang T. Namun
ternyata tidak ada korelasi gambaran patologis EKG dengan lokasi infark
(mural/transmural), sehingga terminologi IMA gelombang Q/non Q/transmural
/nontransmural telah diganti menjadi STEMI dan NSTEMI. Penelitian menggunakan
MRI menunjukkan adanya pembentukan gelombang Q pada EKG lebih tergantung
kepada volume jaringan yang terkena infark dibandingkan dengan hubungannya pada
transmuralitas.4

Serum Cardiac Biomarkers


Beberapa protein, yang akhirnya disebut sebagai serum cardiac biomarkers,
dilepas ketika sel otot jantung mengalami nekrosis setelah terjadinya STEMI. Tingkat

pembebasan protein-protein ini berbeda-beda, tergantung dari lokasi pada


intraselulernya, berat molekul, dan aliran darah dan limfatik lokal. Biomarker jantung
ini menjadi terdeteksi pada pembuluh darah perifer ketika pembuluh limfe jantung
sudah terlalu penuh dalam membersihkan interstitial pada daerah yang mengalami
infark, sehingga masuk ke dalam pembuluh darah vena. Perhitungan/penentuan
penglepasan protein yang termporer tersebut memang penting, tapi selama menunggu
hasil lab, strategi reperfusi harus langsung ditentukan berdasarkan gejala klinis dan
hasil EKG. Pemeriksaan rapid whole-blood bedside assays untuk serum marker
jantung sudah tersedia dan dapat membantu dalam menentukan penanganan, terutama
pada pasien dengan hasil EKG yang nondiagnostik.4
Cardiac-specific troponin T (cTnT) dan cardiac-specific troponin I (cTnI)
memiliki sekuens asam amino yang berbeda dari pada yang dihasilkan oleh otot
rangka pada umumnya. Perbedaan ini memperbolehkan pemeriksaan kuantitatif untuk
cTnT dan cTnI dengan antibodi monoklonal yang sangat spesifik. Selama cTnT dan
cTnI dalam keadaan normal tidak terdeteksi dan dapat meningkat >20 kali setelah
STEMI, pengukuran cTnT dan cTnI sangatlah diagnostik, dan keduanya lebih dipilih
sebagai pemeriksaan marker biokimia dalam miokard infark. Pemeriksaan troponin
jantung sangatlah bermanfaat jika ada kecurigaan adanya cedera otot rangka atau
miokard infark kecil (small MI) yang dimana kedua kondisi tersebut justru
mengurangi efektivitas pemeriksaan CK dan CKMB, sedangkan CK dan CKMB
diperlukan untuk membedakan antara UA (unstable angina) dengan NSTEMI. Kadar
cTnT dan cTnI akan tetap tinggi selama 7-10 hari setelah terjadinya STEMI.4
CK meningkat dalam waktu 4-8 jam setelah serangan dan akan kembali
normal dalam 48-72 jam. Kelemahan CK yang paling utama adalah tingkat
spesifitasnya yang rendah dalam deteksi STEMI, dan CK juga dapat meningkat pada
penyakit otot rangka ataupun adanya trauma otot rangka, termasuk injeksi
intramuskular. Isoenzim dari CK, yaitu CKMB, cukup lebih spesifik dibandingkan
dengan CK, karena tidak terdapat banyak pada organ ekstrakardial.4
Kebanyakan rumah sakit memilih melakukan pemeriksaan cTnT dan cTnI
dibandingkan dengan CKMB dalam mendiagnosis STEMI, meskipun sebenarnya
melakukan keduanya sebenarnya secara klinis asih dapat diterima, namun dapat
menguras kantong pasien lebih banyak lagi dikarenakan kedua pemeriksaan ini cukup
mahal.4
Sementara itu, telah lama diketahui bahwa jumlah/banyaknya protein yang
terlepas berkorelasi dengan seberapa besar lokasi infark yang terjadi, konsentrasi
puncak (peak) hanya berkorelasi lemah dengan besarnya infark. Proses rekanalisasi
arteri koroner yang mengalami oklusi (baik secara spontan maupun farmakologik)
pada jam-jam pertama terjadinya STEMI dapat menyebabkan peningkatan jumlah
protein yang terlepas dalam pemeriksaan marker biokimia. Hal ini disebabkan karena
pembersihan yang terlalu cepat dari interstitium daerah yang mengalami infark,
dengan cepat melebihi klirens protein oleh pembuluh limfe.4
Reaksi nonspesifik lain yang dapat muncul sebagai akibat dari cedera
miokardial adalah leukositosis, yang terjadi beberapa jam setelah onset nyeri dan

menetap 3-7 hari, berkisar antara 12.000-15.000/uL. ESR/LED meningkat lebih


lambat dari pada peningkatan leukosit, mulai meningkat hingga puncak dalam
minggu pertama, dan menetap hingga 1-2 minggu.4
Diagnosis Kerja
Diagnosis infark miokard akut dengan elevasi segmen ST ditegakkan
berdasarkan anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi
segmen ST lebih dari 2 mm, minimal pada 2 sadapan prekordial yang berdampingan
atau lebih dari 1 mm pada 2 sadapan ekstremitas. Pemeriksaan enzim jantung,
terutama troponin T yang meningkat dapat memperkuat diagnosis, namun keputusan
untuk memberikan terapi revaskularisasi tak perlu menunggu hasil pemeriksaan
enzim, mengingat dalam tatalaksanan infark miokard akut, prinsip utama
penatalaksanaan adalah time is muscle.4

5) Penatalaksanaan STEMI
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri
dada, penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang mungkin dilakukan,
pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan
tatalaksana komplikasi IMA.4
Tatalaksana Awal
Tatalaksana awal pada pasien STEMI dibagi menjadi dua, yaitu tatalaksana
pra rumah sakit dan tatalaksana di ruang emergensi.
Tatalaksana Pra Rumah Sakit
Sebagian besar kematian di luar RS pada STEMI biasanya disebabkan adanya
fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam pertama onset
gejala, dan lebih dari separuh terjadi pada satu jam pertama. Sehingga elemen utama
tatalaksana prahospital pada pasien yang dicurigai STEMI antara lain:4
1. Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis
2. Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan resusitasi
3. Transportasi pasien ke RS yang mempunyai fasilitas serta staf medis dokter dan
perawat yang terlatih
4. Melakukan terapi reperfusi
Tatalaksana di Ruang Emergensi
Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup:
mengurangi/menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang merupakan
kandidat terapi reperfusi segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di
RS dan menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI.4

Tatalaksana Umum
Oksigen

Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri
<90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6
jam pertama.4
-

Nitrogliserin
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg
dan dapat diberikan sampai 3 dosis dalam interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri
dada, NTG menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan preload dan
meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh koroner. Jika
nyeri dada terus berlangsung berikan NTG intravena, yang sekaligus dapat
mengendai=likan hipertensi dan edema paru.4

Mengurangi Nyeri Dada


Untuk mengurangi nyeri dada dapat menggunakan morfin, aspirin, penyekat
beta. Morfin biasanya sangat efektif, namun jika tidak berespon dengan morfin dapat
diberikan penyekat beta intravena.4

Terapi Reperfusi & Terapi Farmakologis


Terapi reperfusi dini dapat memperpendek lamanya oklusi koroner,
meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel, dan mengurangi kemungkinan
pasien STEMI berkembang menjadi pump failure. Reperfusi farmakologis juga dapat
dilakukan dengan menggunakan fibrinolysis seperti streptokinase, tissue plasminogen
activator, reteplase, dan tenekteplase. Terapi farmakologis dapat menggunakan obatobat antitrombotik, penyekat beta, dan ACE inhibitor.4

BAB 3
FIBRINOLITIK
Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada tempat-tempat
yang tidak dapat melakukan IKP pada pasien STEMI dalam waktu yang disarankan. Terapi
fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam sejak awitan gejala pada pasien-pasien
tanpa indikasi kontra apabila IKP primer tidak bisa dilakukan oleh tim yang berpengalaman

dalam 120 menit sejak kontak medis pertama (Kelas I-A). Pada pasien-pasien yang datang
segera (<2 jam sejak awitan gejala) dengan infark yang besar dan risiko perdarahan rendah,
fibrinolisis perlu dipertimbangkan bila waktu antara kontak medis pertama dengan inflasi balon
lebih dari 90 menit (Kelas IIa-B). Fibrinolisis harus dimulai pada ruang gawat darurat.5
Fibrinolitik bekerja sebagai trombolitik dengan cara mengaktifkan plasminogen untuk
membentuk plasmin, yang mendegradasi fibrin dan kemudian memecah trombus. Manfaat obat
trombolitik untuk pengobatan infark miokard telah diketahui dengan pasti. Yang termasuk dalam
golongan obat ini di antaranya streptokinase, urokinase, alteplase, dan anistreplase.5
Agen yang spesifik terhadap fibrin (tenekteplase, alteplase, reteplase) lebih disarankan
dibandingkan agen-agen yang tidak spesifik terhadap fibrin (streptokinase) (Kelas I-B).5
Rekomendasi Terapi Fibrinolitik5
Rekomendasi

Kelas

Level

Terapi fibrinolitik sebaiknya


diberikan dalam 12 jam sejak
awitan gejala pada pasien
tanpa indikasi kontra apabila
IKP primer tidak dapat
dilakukan oleh tim yang
berpengalaman dalam 120
menit sejak kontak medis
pertama

Fibrinolisis
perlu
dipertimbangkan untuk pasien
yang dating awal (<2 jam
sejak awitan gejala) dengan
infark
luas
dan
risiko
perdarahan rendah apabila
waktu dari kontak medis
pertama
hingga
balloon
inflation >90 menit

IIa

Bila
memungkinkan,
fibrinolisis sebaiknya dimulai
di rumah sakit

IIa

Agen
spesifik
fibrin
(tenekteplase,
alteplase,
reteplase lebih disarankan
dibanding dengan agen yang
tidak spesifik terhadap fibrin

Aspirin oral harus diberikan

Clopidogrel disarankan untuk


diberikan bersama dengan
aspirin

Pada pasien yang diberikan


streptokinase,
berikan
fondaparinuks
bolus
i.v,
diikuti dengan dosis s.c 24 jam
kemudian

IIa

Setelah diberikan fibrinolisis,


semua pasien perlu dirujuk ke
rumah sakit yang dapat
menyediakan IKP

PCI rescue diindikasikan


segera bila fibrinolisis gagal
(<50% perbaikan segmen ST
setelah 60 menit)

PCI emergensi diindikasikan


apabila terjadi iskemia rekuran
atau bukti reoklusi setelah
fibrinolisis yang berhasil

Angiografi darurat dengan


tujuan
revaskularisasi
diindikasikan untuk pasien
gagal jantung/syok

Antikoagulasi
disarankan
untuk pasien STEMI yang
diberikan agen fibrinolitik
hingga revaskularisasi (bila
dilakukan) atau selama pasien
dirawat di rumah sakit hingga
hari
ke
8.
Pilihan
antikoagulan:
-

Enoksaparin i.v
diikuti s.c

Heparin
tidak
terfraksi, diberikan
secara
bolus
intravena
sesuai
berat badan dan
infuse

Angiografi dengan tujuan


untuk
melakukan
revaskularisasi (pada arteri
yang
mengalami
infark)
diindikasikan
setelah
fibrinolisis yang berhasil

Waktu optimal angiografi


untuk pasien stabil setelah lisis
yang berhasil adalah 3-24 jam

IIa

Gambar 5: Langkah-Langkah Reperfusi5

MEKANISME FIBRINOLITIK
Obat trombolitik melarutkan gumpalan darah dengan mengaktifkan plasminogen yang
membentuk produk yang disebut plasmin. Plasmin adalah enzim penghancur protein yang dapat
memutuskan ikatan antara molekul fibrin, yang menyusun gumpalan darah. Karena mekanisme
ini, obat trombolitik disebut juga aktivator plasminogen dan obat fibrinolitik.
Ada tiga kelas utama obat fibrinolitik, yaitu Aktivator Plasminogen Jaringan (tPA), Streptokinase
(SK), dan Urokinase (UK). Meskipun obat-obat ini dapat melarutkan gumpalan darah namun
berbeda dalam mekanismenya.5

Gambar di atas menggambarkan mekanisme fibrinolitik tPA dan SK. Turunan tPA adalah
obat trombolitik yang paling sering digunakan terutama untuk gumpalan darah di koroner dan
pembuluh darah serebral, karena kekhususannya mengaktifkan plasminogen yang terikat di
fibrin. Mekanisme tPA menghancurkan gumpalan yaitu tPA terikat ke fibrin di permukaan
gumpalan darah, mengaktivasi plasminogen yang terikat ke fibrin. Plasmin dilepaskan dari
plasminogen yang terikat fibrin, kemudian molekul fibrin dihancurkan oleh plasmin dan
gumpalan terlarut.5
Plasmin adalah protease yang dapat menghancurkan molekul fibrin, sehingga dapat
melarutkan gumpalan. Namun, penting dicatat bahwa plasmin juga menghancurkan protein
sistemik lain termasuk fibrinogen. Namun karena spesifitas fibrin yang dihancurkan oleh tPA,
pelarutan gumpalan dari fibrinogen sirkulasi lebih sedikit daripada SK dan UK. Meskipun tPA
cenderung selektif untuk plasminogen yang terikat pada fibrin, tPA mengaktifkan plasminogen

sirkulasi dengan melepaskan plasmin yang menyebabkan penghancuran fibrinogen sirkulasi dan
menimbulkan keadaan fibrinolitik sistemik. Dalam keadaan normal, 2-antiplasmin yang
bersirkulasi dalam darah menginaktifkan plasmin tetapi dosis terapetik tPA dan SK menyebabkan
pembentukan plasmin berkurang untuk mengatasi konsentrasi 2-antiplasmin yang bersirkulasi.
Secara ringkas, meskipun tPA relatif selektif bekerja pada fibrin gumpalan darah, tetapi dapat
memicu keadaan lisis sistemik dan perdarahan yang tidak diharapkan5
SK bukan protease dan tidak memiliki aktivitas enzimatik, namun membentuk kompleks
dengan plasminogen yang melepaskan plasmin. Berbeda dengan tPA, SK tidak terikat terutama
pada fibrin gumpalan darah dan oleh karena itu terikat secara seimbang pada plasminogen yang
bersirkulasi maupun yang tidak bersirkulasi. Oleh karena itu, SK memproduksi fibrigenolisis dan
fibrinolisis gumpalan signifikan. Karena alasan ini, tPA lebih disukai sebagai agen trombolitik
daripada SK, terutama untuk melarutkan gumpalan di koroner dan pembuluh darah serebral.
Karena SK dibuat dari streptococci, pasien yang memiliki riwayat infeksi streptococci
membutuhkan dosis SK yang lebih tinggi untuk memproduksi trombolisis.5
Penting dicatat bahwa efektivitas obat trombolitik bergantung pada umur gumpalan.
Gumpalan yang lebih lama memiliki fibrin yang berhubungan silang dan lebih padat. Oleh
karena itu, gumpalan lebih sulit dilarutkan. Untuk mengobati infark miokardial akut, obat
trombolitik idealnya diberikan dalam 2 jam pertama. Lebih dari itu, efektivitasnya berkurang dan
dosis yang lebih tinggi dibutuhkan untuk mencapai lisis yang diharapkan.5
KLASIFIKASI
Aktivator Plasminogen Jaringan
Kelompok obat trombolitik digunakan pada infark miokardial akut, stroke thrombotik
serebrovaskular dan embolisme pulmoner. Untuk infark miokardial akut, aktivator plasminogen
jaringan secara umum lebih disukai dari streptokinase.5
Alteplase (Activase; rtPA) adalah bentuk rekombinan dari tPA manusia. Alteplase memiliki
waktu paruh pendek (5 menit) dan oleh karena itu diberikan secara bolus intravena diikuti
dengan infus.5
Retaplase (Retavase) dibuat secara genetik, turunan yang lebih kecil dari tPA rekombinan
yang telah ditingkatkan potensinya dan bekerja lebih cepat dari rTPA. Retaplase biasanya
diberikan sebagai injeksi bolus IV. Retaplase digunakan pada infark miokardial akut dan
embolisme paru.5
Tenecteplase (TNK-tPA) memiliki waktu paruh yang lebih panjang dan afinitas ikatan yang
lebih besar untuk fibrin daripada rTPA. Karena kwatu paruh yang lebih panjang, dapat diberikan
secara IV bolus. TNK-TPA hanya digunakan pada infark miokardial akut.5
Streptokinase
Streptokinase dan anistreplase digunakan pada infark miokardial akut, thrombosis vena dan
aterial, dan embolisme paru. Ikatan ini antigenik karena diturunkan dari bakteri streptokokus.

Streptokinase alami (SK) bekerja kurang spesifik sehingga kurang diminati sebagai obat
trombolitik daripada tPA karena menyebabkan banyak fibrigenolisis.5
Anistreplase (Eminase) adalah kompleks SK dan plasminogen. Anistreplase lebih memiliki
spesifitas bekerja pada fibrin dan aktivitas yang lebih lama daripada SK alami. Namun,
menyebabkan fibrigenolisis.5
Urokinase
Urokinase (Abbokinase; UK) aktivator plasminogen tipe urine (uPA) karena dibentuk di ginjal
dan ditemukan di urine. Urokinase jarang digunakan karena seperti SK, UK menyebabkan
fibrigenolisis. Satu kelebihan UK dari SK adalah nonantigenik.5
Langkah-langkah pemberian fibrinolisis pada pasien STEMI5
Langkah 1: Nilai waktu dan risiko
- Waktu sejak awitan gejala (kurang dari 12 jam atau lebih dari 12 jam dengan tanda dan
gejala iskemik)
- Risiko fibrinolisis dan indikasi kontra fibrinolisis
- Waktu yang dibutuhkan untuk pemindahan ke pusat kesehatan yang mampu melakukan
IKP (<120 menit)
Langkah 2: Tentukan pilihan yang lebih baik antara fibrinolisis atau strategi invasif untuk kasus
tersebut. Bila pasien <3 jam sejak serangan dan IKP dapat dilakukan tanpa penundaan, tidak ada
preferensi untuk satu strategi tertentu.5
Keadaan di mana fibrinolisis lebih baik:5
- Pasien datang kurang dari 3 jam setelah awitan gejala dan terdapat halangan untuk
strategi invasive
- Strategi invasif tidak dapat dilakukan
o Cath-lab sedang/tidak dapat dipakai
o Kesulitan mendapatkan akses vascular
o Tidak dapat mencapai laboratorium/pusat kesehatan yang mampu melakukan IKP
dalam waktu <120 menit
- Halangan untuk strategi invasive
o Transportasi bermasalah
o Waktu antara Door-to-balloon dan Door-to-needle lebih dari 60 menit
o Waktu antar kontak medis dengan balonisasi atau door-to-balloon lebih dari 90
menit
Keadaan di mana strategi invasif lebih baik:5
- Tersedianya cath-lab dengan dukungan pembedahan
o Waktu antar kontak medis dengan balonisasi atau door-to-balloon kurang dari 90
menit
o Waktu antara Door-to-balloon dan Door-to-needle kurang dari 1 jam
- Risiko tinggi STEMI

o Syok kardiogenik
o Kelas Killip 3
Indikasi kontra untuk fibrinolisis, termasuk peningkatan risiko perdarahan dan
perdarahan intracranial
Pasien datang lebih dari 3 jam setelah awitan gejala
Diagnosis STEMI masih ragu-ragu
Kontra Indikasi Terapi Fibrinolitik
Kontra Indikasi Absolut

Kontra Indikasi Relatif

Stroke
hemoragik
atau
stroke
yang Transient Ischemic Attack dalam 6 bulan
penyebabnya belum diketahui, dengan awitan terakhir
kapanpun.
Stroke iskemik 6 bulan terakhir

Pemakaian antikoagulan oral

Kerusakan system saraf sentral dan neoplasma

Kehamilan atau dalam 1 minggu post partum

Trauma operasi/trauma kepala yang berat Tempat tusukan yang tidak dapat dikompresi
dalam 3 minggu terakhir
Perdarahan saluran cerna dalam 1 bulan

Resusitasi traumatic

Penyakit perdarahan

Hipertensi refrakter (tekanan darah sistolik


>180 mmHg)

Diseksi aorta

Penyakit hati lanjut


Infeksi endokarditis
Ulkus peptikum yang aktif

Regimen Fibrinolitik untuk Infark Miokard Akut


Dosis Awal

Koterapi
antitrombin

Indikasi Kontra
Spesifik

Streptokinase (Sk)

1,5 juta U dalam 100


ml Dextrose 5% atau
larutan salin 0,9%
dalam waktu 30-60
menit

Heparin i.v selama


24-48 jam

Sebelum Sk atau
anistreplase

Alteplase (tPA)

Bolus 15 mg
intravena 0,75 mg/kg
selama 30 menit

Heparin i.v selama


24-48 jam

kemudian 0,5 mg/kg


selama 60 menit.
Dosis total tidak lebih
dari 100 mg

Koterapi antikogulan
1. Pasien yang mendapat terapi reperfusi fibrinolisis, sebaiknya diberikan terapi
antikoagulan selama minimum 48 jam (Kelas II-C) dan lebih baik selama rawat inap,
hingga maksimum 8 hari (dianjurkan regimen non UFH bila lama terapi lebih dari 48 jam
karena risiko heparin-induced thrombocytopenia dengan terapi UFH berkepanjangan
(Kelas II-A)
2. Pasien STEMI yang tidak mendapat terapi reperfusi, dapat diberikan terapi antikoagulan
(regimen non-UFH) selama rawat inap, hingga maksimum 8 hari pemberian (Kelas IIaB)
3. Strategi lain yang digunakan adalah meliputi LMWH (Kelas IIa-C) atau fondaparinuks
(Kelas IIa-B) dengan regimen dosis sama dengan pasien yang mendapat terapi
fibrinolisis.
4. Pasien yang menjalani IKP Primer setelah mendapatkan antikoagulan berikut ini
merupakan rekomendasi dosis:
a. Bila telah diberikan UFH, berikan bolus UFH tambahan sesuai kebutuhan untuk
mendukung prosedur, dengan pertimbangan GP IIb/IIIA telah diberikan (Kelas IIC).
b. Bila telah diberikan enoksaparin, dosis subkutan terakhir diberikan dalam 8 jam,
tak perlu dosis tambahan, bila dosis subkutan terakhir antara 8-12 jam, maka
ditambahkan enoxapain intravena 0,3 mg/kg (Kelas II-B)
c. Bila telah diberikan fondaparinuks, diberikan antikoagulan tambahan dengan
aktivitas anti IIa dengan pertimbangan telah diberikan GP IIb/IIIa (Kelas II-C)
5. Karena adanya risiko trombosis kateter, fondaparinuks tidak dianjurkan digunakan
sebagai antikoagulan tunggal pendukung IKP, sebaiknya ditambahkan antikoagulan lain
dengan aktivitas anti IIa (Kelas III-C)
Pada penelitian yang dilakukan di RSUP Kariadi Semarang didapatkan gambaran secara
umum yang menunjukkan bahwa jumlah kasus infark miokard yang diketahui dari data rekam
medik RSUP Dr.Kariadi Semarang selama bulan Januari sampai dengan Desember 2011
sebanyak 409 kasus. Data tersebut diperoleh dengan cara memasukan kode diagnosis infark
miokard, unspecified, dengan kode I21-9 pada sistem data di Instalasi Rekam Medik RSUP
Dr.Kariadi. Terdapat 16 pasien yang rekam mediknya tidak berhasil didapatkan, sehingga hanya
393 kasus infark miokard yang dapat dianalisis.
Setelah dilakukan pemilahan lebih lanjut, terdapat 139 kasus STEMI dan 254 kasus
NSTEMI, dan untuk kasus STEMI terdapat 34 kasus yang tidak memenuhi kriteria inklusi
penelitian, sehingga hanya 105 kasus yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

Kecepatan penanganan pasien di rumah sakit dinilai dari time window antara pasien tiba di
rumah sakit dan mendapat terapi, pada pasien STEMI yang dapat dinilai adalah pasien mendapat
terapi reperfusi yaitu door-to-needle time dan door-to-balloon time. Sasaran untuk memulai
terapi fibrinolitik (door-to-needle time) adalah 30 menit, sedangkan untuk Primary PCI (door-toballon time) adalah 90 menit. Jumlah pasien yang mendapat reperfusi sebanyak 21 pasien, tetapi
hanya 13 data door-to-needle/door-to-balloon time yang dapat dianalisis karena 8 data sisanya
tidak dapat ditemukan. Tabel 16 menunjukkan bahwa pasien dengan door-to-needle time >30
menit (80%) lebih banyak daripada 30 menit (20%), begitu pula pasien dengan door-toballoon time >90 menit (75%) lebih banyak daripada 90menit (25%).
Door to balloon time dan Door to needle time pada pasien STEMI dengan fibrinolitik dan
Primary PCI
<90 menit
2 (25%)

Door to balloon time


>90 menit
6 (75%)

<30 menit
1 (20%)

Door to needle time


>30 menit
4 (80%)

Pada table tersebut menunjukkan bahwa kecepatan penanganan pada pasien dengan Primary PCI
bervariasi dari 71-253 menit dan pada pasien fibrinolitik bervariasi dari 22-239 menit.
Komplikasi STEMI pada Pasien yang Mendapat Maupun Tidak Mendapat Terapi
Reperfusi
Kejadian komplikasi STEMI lebih sering terjadi pada pasien yang tidak mendapat terapi
reperfusi. Hal ini tampak pada gagal jantung sebagai komplikasi tersering, lebih banyak terjadi
pada pasien yang tidak mendapat terapi reperfusi (25%). Pada pasien yang mendapat terapi
reperfusi, komplikasi yang sering terjadi adalah perdarahan minor (19,1%).
-

Komplikasi STEMI pada Pasien yang Mendapat Terapi Reperfusi


Kejadian komplikasi STEMI dari 21 pasien yang mendapat terapi reperfusi yang
terbanyak adalah perdarahan minor sebesar 4 kasus (19,1%). Perdarahan minor berupa
hematuria dan perdarahan di gusi dan mulut. Komplikasi lain yang sering terjadi adalah
gagal jantung (14,3%), henti jantung (9,5%), dan kematian (9,5%). Seorang pasien
STEMI dapat mengalami lebih dari 1 jenis komplikasi, seperti pada tabel berikut.
Komplikasi STEMI
Frekuensi
Persentase (%)
Perdarahan minor
4
19,1
Gagal jantung
3
14,3
Henti jantung
2
9,5
Kematian
2
9,5
Blok AV derajat 1
2
9,5
Perdarahan mayor
1
4,8
Syok kardiogenik
1
4,8
Atrial takikardi
1
4,8
Atrial fibrilasi
1
4,8
Ventrikel ekstra sistol
1
4,8
Disfungsi ventrikel kiri
1
4,8
Stroke non hemoragik
1
4,8

Komplikasi STEMI pada Pasien yang Mendapat Terapi Fibrinolitik


Kejadian komplikasi STEMI dari 9 pasien yang mendapat fibrinolitik yang terbanyak
adalah perdarahan minor (44,4%), berupa hematuria dan perdarahan di gusi dan mulut.
Komplikasi lain yang sering terjadi adalah kematian, henti jantung, gagal jantung, atrial
takikardi, atrial fibrilasi, dan atrial takikardi (22,2%). Seorang pasien dapat mengalami
lebih dari satu jenis komplikasi, seperti terlihat pada tabel berikut.
Komplikasi STEMI
Frekuensi
Persentase (%)
Perdarahan Minor
4
44,4
Gagal jantung
2
22,2
Henti jantung
2
22,2
Kematian
2
22,2
Blok AV derajat 1
1
11,1
Perdarahan mayor
1
11,1
Syok kardiogenik
1
11,1
Atrial takikardi
1
11,1
Atrial fibrilasi
1
11,1
Disfungsi ventrikel kiri
1
11,1
Stroke non hemoragik
1
11,1

BAB 4

KESIMPULAN
Infark miokard biasanya disebabkan oleh thrombus arteri coroner. Terjadinya thrombus
disebabkan oleh rupture plak yang kemudian diikuti oleh pembentukan thrombus oleh trombosit.
Lokasi dan luasnya miokard infark tergantung pada arteri yang oklusi dan aliran darah kolateral.
Infark miokard jenis STEMI adalah infark miokard yang terjadi pada pasien dengan Typical
Chest Pain dan menetap (>20 menit) dengan gambaran EKG adanya ST elevasi. Diagnosis
STEMI ditegakkan dari ditemukannya Chest Pain, ST segmen elevasi atau diperkirakan adanya
LBBB yang baru pada gambaran EKG ( kompleks QRS pada sadapan yang merekan ventrikel
kiri (I,AVL,V5,V6), gelombang R akan melebar pada puncak atau berlekuk dan pada sadapan
yang merekam ventrikel kanan akan menunjukkan gelombang S yang dalam, lebar dan terbalik)
serta ditemukannya peningkatan enzim yang menunjukan terjadinya nekrosis miokard (troponin
T, CKMB).
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada, penilaian dan
implementasi strategi reperfusi yang mungkin diakukan, pemberian antitrombotik dan terapi
antiplateet, pemverian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi IMA. Terdapat beberapa
pedoman dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST yaitu dari ACC/AHA tahun 2004 dan ESC
tahun 2003. Walupun demikian perlu disesuaikan dengan kondisi sarana / fasilitas di tempat
masing-masing center dan kemampuan ahli yang ada.

DAFTAR PUSTAKA

1. Snell RS. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. Edisi ke-6. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 2006. h. 83-4, 99-118.
2. Sherwood L. Human physiology: from cells to systems. 7 th ed. USA: Cengage Learning,
2010. p. 303-27, 377-8.
3. Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrisons
principles of internal medicine. 18thed Vol II. Philadelphia: The McGraw-Hill Companies;
2012. p. 1817-8; 2021-4.
4. McPhee SJ, Papadakis MA. Current medical diagnosis & treatment. USA: The
McGrawHill Companies; 2013. p. 365.
5. Perhimpunan Dokter Spesialis Kerdiovaskular Indonesia. Pedoman Tatalaksana Sindrom
Koroner Akut. Edisi Ketiga. Jakarta: PP PERKI, 2015. h. 51-6.

Anda mungkin juga menyukai