Anda di halaman 1dari 31

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kusta
2.1.1Definisi
Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium leprae (M. leprae) yang pertama menyerang saraf tepi,
selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas,
sistem retikulo endothelial, mata, otot, tulang, dan testis kecuali susunan saraf
pusat (Amirudin, Hakim & Darwis 2003).
2.1.2Epidemiologi
Indonesia merupakan penyumbang penderita kusta terbesar ketiga di dunia
setelah India dan Brazil, sementara Provinsi Jawa Timur sendiri menduduki
peringkat pertama di Indonesia sebagai penyumbang kasus kusta. Penemuan
penderita baru di Jawa Timur sebanyak 5.284 kasus pada tahun 2011 yang
merupakan 1/3 dari jumlah penderita kusta di Indonesia. Penderita penyakit
kusta tersebar terutama di Pulau Madura dan pantai utara Pulau Jawa.
Penemuan penderita baru tahun 2011 meningkat sekitar 10% dibandingkan
penemuan penderita baru tahun 2010, hal ini disebabkan karena adanya
kegiatan penemuan penderita baru secara aktif yaitu Gerakan Penemuan
Penderita (GPP) di Kabupaten Sumenep, Pamekasan, Sampang, Bangkalan,
Pasuruan, Probolinggo, Situbondo dan Bondowoso (Rahaju, 2012).
Jumlah kasus baru kusta di dunia pada tahun 2011 adalah sekitar 219.075
dan paling banyak terdapat di regional Asia Tenggara.
Tabel 2.1 Situasi Kusta Menurut Regional WHO pada Awal Tahun 2012
Regional WHO
Afrika
Amerika

Jumlah kasus baru yang


ditemukan (Case Detection Rate)
12.673 (3,14)
36.832 (4,18)

Jumlah kasus kusta terdaftar


(prevalensi) awal tahun 2012
15.006 (0,37)
34.801 (0,40)

Asia Tenggara
Mediterania timur
Pasifik barat
Total

160.132 (8,75)

117.147 (0,64)

4.346 (0,71)

7.638 (0,12)

5.092(0,3)

7.619 (0,05)

219.075 (4,06)

181.941 (0,34)

a. Prevalence rate terlihat dalam tanda kurung per 10.000 penduduk


b. Case detection rate dalam tanda kurung per 100.000 penduduk
(Regan dan Keja, 2012)

Angka penemuan kasus baru atau Case Detection Rate adalah jumlah
kasus baru yang ditemukan pada periode satu tahun per 100.000 penduduk.
Selama 2011 terdapat 17 negara di dunia dengan jumlah kasus baru melebihi
1000 kasus. Indonesia dengan 20.032 kasus menempati urutan ketiga setelah
India dan Brazil sebagai negara endemis kusta di dunia. Pada kurun waktu
2004 - 2011 terjadi kecenderungan peningkatan proporsi cacat tingkat 2.
Proporsi cacat tingkat 2 pada tahun 2011 sebesar 10,11% (Regan dan Keja,
2012).
2.1.3 Etiologi
M. leprae atau basil Hansen adalah kuman penyebab penyakit kusta yang
ditemukan oleh GH Armauer Hansen pada tahun 1873. Basil ini bersifat tahan
asam, berbentuk batang dengan ukuran 1 8 , lebar 0,2 0,5 , biasanya
berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel jaringan yang
bersuhu dingin, dan tidak dapat dikultur dalam media buatan (Amirudin,
Hakim & Darwis 2003).
M. leprae hidup intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar pada sel
saraf (Schwan cell) dan sel dari sistem retikuloendothelial. Waktu pembelahan
bakteri ini 2-3 minggu. Di luar tubuh manusia (dalam keadaan tropis) M.
leprae dari sekret nasal dapat bertahan 9 hari (Regan dan Keja, 2012). Masa
tunas M. leprae berlangsung lama yaitu 2-5 tahun. Cara masuk M. leprae ke
dalam tubuh belum diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah
menunjukkkan bahwa yang tersering ialah melalui kulit yang lecet pada

bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal (Amirudin,
Hakim & Darwis, 2003).
Timbulnya penyakit kusta pada seseorang tidak mudah sehingga tidak
perlu ditakuti, beberapa faktor yang mempengaruhi antara lain:
1. Penyebab
Penyebab penyakit kusta yaitu M. leprae yang mempunyai afinitas yang
besar pada sel Schwann dan sel sistem retikuloendotelial. Pada kondisi
tropis kuman kusta dari sekret nasal dapat bertahan sampai sembilan hari
di luar tubuh manusia.
2. Sumber Penularan
Sampai saat ini hanya manusia yang dianggap sebagai sumber penularan
walaupun kuman kusta dapat hidup pada armadilo, simpanse dan pada
telapak kaki tikus yang tidak mempunyai kelenjar thimus (Athymic nude
mouse).
3. Cara Keluar dari Penjamu (Host)
Kuman kusta banyak ditemukan di mukosa hidung manusia. Suatu
kerokan hidung dari penderita tipe Lepromatous yang tidak mendapat
regimen WHO menunjukkan jumlah kuman yang besar.
4. Cara Penularan
Penularan terjadi apabila basil M. leprae yang utuh keluar dari tubuh
penderita dan masuk ke dalam tubuh orang lain. Secara teoritis penularan
terjadi melalui kontak yang lama dengan penderita kusta, akan tetapi
penderita yang sudah minum obat sesuai regimen WHO tidak menjadi
sumber penularan kepada orang lain.
5. Cara Masuk ke dalam Penjamu
Tempat masuk kuman kusta ke dalam tubuh penjamu belum diketahui
secara pasti sampai saat ini. Diperkirakan cara masuknya adalah melalui
saluran pernapasan bagian atas dan melalui kontak kulit yang tidak utuh.
6. Penjamu (Tuan Rumah = Host)
Hanya sedikit orang yang terinfeksi kuman kusta setelah kontak dengan
penderita karena adanya imunitas. M. leprae termasuk kuman obligat

intraseluler dan sistem kekebalan yang efektif adalah sistem kekebalan


seluler. Faktor fisiologik seperti pubertas, menopause, kehamilan, serta
faktor infeksi dan malnutrisi dapat meningkat perubahan klinis penyakit
kusta (Regan dan Keja, 2012).
2.1.4 Patogenesis
Belum diketahui secara pasti bagaimana cara penularan penyakit kusta.
secara teoritis penularan dapat terjadi dengan cara kontak yang lama dengan
penderita. M. leprae yang utuh (hidup) keluar dari tubuh penderita dan masuk
ke dalam tubuh orang lain melalui saluran pernapasan bagian atas atau kontak
kulit yang tidak utuh (Regan dan Keja, 2012).
M. leprae merupakan obligat intraseluler pada sel makrofag di sekitar
pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel Schwann di jaringan saraf.
Bila basil M. leprae masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan bereaksi
mengeluarkan makrofag untuk memfagositosis kuman (Amirudin, Hakim &
Darwis 2003).
Pada tipe LL (MB) terjadi kelumpuhan sistem imunitas seluler. Makrofag
tidak mampu menghancurkan basil sehingga basil dapat bermultiplikasi
dengan bebas yang kemudian merusak jaringan dan menganggu regenerasi sel
saraf (Amirudin, Hakim & Darwis 2003).
Pada tipe TT (PB) kemampuan fungsi imunitas seluler masih tinggi.
Makrofag sanggup menghancurkan basil, tetapi setelah basil di fagositosis
makrofag berubah menjadi sel epiteloid dan kadang bersatu membentuk sel
datia Langhans. Bila infeksi ini tidak diatasi akan terjadi reaksi berlebihan
dan terbentuk massa epiteloid yang akan menimbulkan kerusakan saraf dan
jaringan sekitarnya (Amirudin, Hakim & Darwis 2003).
Pada dasarnya penyakit kusta merupakan penyakit imunologis, oleh karena
itu reaksi imun mempunyai peran utama dalam gejala klinis penyakit. Respon

10

imun menentukan jalannya infeksi M. leprae sehinga dapat bermanifestasi PB


atau MB (Bastaman, 2002).
2.1.5 Klasifikasi
Sebenarnya dikenal banyak klasifikasi penyakit kusta, misalnya klasifikasi
Madrid, klasifikasi Ridley-Jopling, dan klasifikasi WHO.
1. Dasar Klasifikasi
Kusta dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal yaitu:
a. Manifestasi klinis: jumlah lesi kulit dan jumlah saraf yang terganggu.
b. Hasil pemeriksaan kerokan jaringan kulit (BTA) positif atau negatif.
2. Tujuan
a. Untuk menentukan jenis lama pengobatan.
b. Untuk menentukan penderita dinyatakan RFT (Release From
Treatment).
c. Untuk perencanaan logistik (Regan dan Keja, 2012).
3. Jenis Klasifikasi
a. Klasifikasi Internasional (Madrid, 1953)
- Indeterminate
(I)
- Tuberkuloid
(T)
- Borderline
(B)
- Lepromatosa
(L)
b. Klasifikasi Ridley-Jopling (1962)
- Tuberkuloid tuberkuloid (TT)
- Borderline tuberculoid
(BT)
- Borderline borderline
(BB)
- Borderline lepromatous (BL)
- Lepromatosa lepromatosa (LL)
c. Klasifikasi WHO
- Single lesion PB (SLPB)
Termasuk kusta tipe I dan TT
- Pausi basilar (PB)
Termasuk kusta tipe TT dan BT menurut kriteria Ridley-Jopling dan
semua tipe kusta dengan BTA negatif.
-

Multi basilar (MB)


Termasuk kusta tipe BB, BL, dan LL menurut criteria Ridley-Jopling
atau B dan L menurut klasifikasi Madrid dan semua tipe kusta dengan
BTA positif (Amirudin, Hakim & Darwis 2003).

Tabel 2.2 Pedoman Klasifikasi Kusta dari Gejala Kardinal Menurut WHO
Tanda Utama
Bercak kusta
Penebalan saraf tepi

SLPB
Hanya 1
Tidak melibatkan

PB
Jumlah 2-5
Hanya satu saraf

MB
Jumlah >5
Lebih dari satu saraf

11

yang disertai
gangguan fungsi
Sediaan apusan

saraf
BTA negative

BTA negative

BTA positif

(Coates, 2010)

2.1.6 Gambaran Klinis


Penderita kusta adalah seseorang yang menunjukkan gejala klinik kusta
dengan atau tanpa pemeriksaan bakteriologik dan memerlukan pengobatan.
Gejala dan keluhan penyakit bergantung pada:
a. Multiplikasi dan diseminasi bakteri M. leprae.
b. Respon imun penderita terhadap bakteri M. leprae.
c. Komplikasi yang disebabkan oleh kerusakan saraf perifer.
Gambaran klinis pada organ tubuh lain yang dapat diserang oleh kuman
M. leprae:
-

Mata: iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan.

Hidung: epistaksis dan hidung pelana.

Tulang dan sendi: absorbsi, mutilasi, dan artritis.

Lidah: ulkus dan nodus.

Laring : suara parau.

Testis: ginekomastia, epididimitis akut, orkitis, dan atrofi.

Kelenjar limfe: limfadenitis.

Rambut: alopesia dan madarosis.


-

Ginjal: glomerulonefritis, amiloidosis ginjal, pielonefritis, dan nefritis


interstitial.
M. leprae tumbuh optimum pada suhu 30 C dan menyerang saraf tepi

yang terletak superfisial dengan suhu relatif dingin. Saraf tepi yang dapat
terserang akan menunjukkan berbagai kelainan, yaitu:
-

N. fasialis: lagoftalmus dan mulut mencong

12

N. trigeminus: anestesi kornea

N. aurikularis magnus

N. radialis: tangan lunglai (drop wrist)


-

N. ulnaris: anestesi dan paresis/paralisis otot tangan jari V dan sebagian jari
VI

N. medianus: anestesi dan paresis/paralisis otot tangan jari I, II, III dan
sebagian jari IV. Kerusakan N. ulnaris dan N. medianus menyebabkan jari
kiting (claw toes) dan tangan cakar (claw hand)

N. peroneus komunis: kaki semper (drop foot)

N. tibialis posterior: anestesi telapak kaki dan jari kaki kiting (claw toes).
Manifestasi klinis penyakit yang menunjukkan bahwa penyakit kusta
masih aktif adalah:
-

Kulit: lesi membesar, jumlah bertambah, ulserasi, eritematosa, infiltrat,

atau nodus
Saraf: nyeri, gangguan fungsi dan jumlah saraf yang terkena bertambah.
(Amirudin, Hakim & Darwis, 2003).
2.1.7Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan klinis yang teliti dan lengkap sangat penting dalam
menegakkan diagnosis kusta, pemeriksaan tersebut meliputi :

1. Anamnesis
a.
b.
c.
2.

Keluhan penderita.
Riwayat kontak dengan penderita kusta.
Latar belakang keluarga.
Inspeksi
Dilihat ada atau tidak lesi pada kulit dan kerusakan jaringan kulit.
3. Palpasi
a. Kelainan kulit, nodus, infiltrat, jaringan parut, ulkus pada tangan dan
kaki.

13

b. Kelainan saraf pada N. aurikularis magnus, N. ulnaris, dan N. proneus.


Cara pemeriksaan saraf:
- Bandingkan saraf bagian kanan dan kiri.
- Membesar atau tidak.
- Bentuk bulat atau oval.
- Pembesaran regular (smooth) atau irregular, lumps, kerots.
- Perabaan keras atau kenyal.
- Nyeri atau tidak.
4. Tes Fungsi Saraf
Menggunakan kapas, jarum serta tes tabung hangat dan dingin.
a. Tes Sensoris
- Sensasi Raba
Kita jelaskan kepada pasien tujuan pemeriksaan. Kemudian pasien
menutup mata. Dengan menggunakan kapas yang dipilin, kita periksa
pasien dengan menggoreskan kapas pada kulit yang dicurigai (lesi).
Kita juga memeriksa pada kulit yang normal. Kemudian pasien disuruh
untuk membandingkan mana yang lebih terasa goresan kapasnya.
- Sensasi Nyeri
Setelah kita jelaskan tujuan pemeriksaan, tusukkan jarum bagian tajam
dan tumpul secara bergantian pada bagian kulit yang dicurigai dan
pasien harus mengatakan tusukan mana yang tajam dan tumpul.
- Sensasi Suhu
Setelah kita jelaskan tujuan pemeriksaan dan kita lakukan tes kontrol
untuk memastikan pasien bisa membedakan panas dan dingin pada 2
tabung yang berisi air dingin (200C) dan air panas (400C). Pasien
disuruh menutup mata dan dengan menggunakan 2 tabung yang berisi
air dingin (200C) dan air panas (400C) kita tempelkan pada daerah kulit
yang dicurigai tersebut beberapa kali kemudian pasien disuruh
menyebutkan sensasi suhu yang dirasakan.
b. Tes Otonom
Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di macula anastesi pada
penyakit kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes
-

anhidrosis :
Tes Dengan Pena (tes Gunawan)

14

Pena digariskan mulai dari kulit yang normal dan melewati makula
-

yang dicurigai sampai ke daerah kulit normal kembali.


Tes Pilocarpin
Daerah kulit pada macula dan perbatasannya disuntik dengan pilocarpin
subkutan. Setelah beberapa menit tampak daerah kulit normal
berkeringat, sedangkan daerah anhidrosis tetap kering.
c. Tes Motoris: Voluntary Muscle Test (VMT).
Fungsi saraf motoris dapat diketahui dengan pemeriksaan pergerakan
otot.

5. Komplikasi
a. Dicari komplikasi pada mata, hidung, laring, dan testis.
b. Reaksi: nyeri saraf, eritema nodusum lerosum, dan iridosiklitis,
tenosinovitis.
c. Kerusakan saraf sensoris.
d. Kerusakan saraf motorik.
e. Kerusakan saraf otonom.
6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan hapusan sayatan kulit (bakterioskopik) digunakan untuk:
a. Membantu menentukan diagnosis penyakit.
b. Mambantu menentukan klasifikasi (tipe) kusta.
c. Membantu menilai hasil pengobatan.
Beberapa ketentuan yang harus diambil sediaan hapusan kulit adalah:
a. Semua orang yang dicurigai menderita kusta.
b. Semua penderita baru yang didiagnosis secara klinis sebagai penderita
kusta.
c. Semua penderita kusta yang diduga kambuh atau tersangka kuman
(resisten) kebal terhadap obat.
d. Semua penderita MB tiap tahun sekali.
Ketentuan untuk lokasi sediaan:
a. Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.
b. Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik.
c. Pada pemeriksaan ulangan dilakukan ditempat yang sama dan pada lesi
yang baru muncul.

15

d. Sebaiknya petugas yang mengambil dan memeriksa sediaan hapusan


dilakukan oleh orang yang berlainan untuk menghindari pengaruh
gambaran klinis terhadap hasil pemeriksaan bakterioskopik.
e. Tempat yang sering diambil untuk sediaan adalah cuping telinga,
lengan, punggung, pantat, dan paha.
f. Jumlah pengambilan sediaan minimal tiga tempat yaitu di cuping
telinga kiri, cuping telinga kanan, dan bercak paling aktif.
g. Sediaan selaput lendir hidung sebaiknya dihindari.
7. Indeks Morfologi (IM)
Merupakan teknik dasar yang dipakai untuk memperkirakan proporsi
kuman yang hidup. Untuk pemeriksaan IM dilakukan sebagai berikut:
IM = Jumlah seluruh basil utuh

8. Pemeriksaan HistopatologisJumlah seluruh basil diperiksa X 100%


Diagnosis penyakit kusta biasanya dapat dibuat berdasarkan pemeriksaan
klinis secara teliti dan pemeriksaan bakterioskopik. Pada sebagian kecil
kasus yang diagnosisnya masih meragukan dapat dilakukan pemeriksaan
histopatologik. Pemeriksaan ini juga untuk menentukan klasifikasi kusta
yang tepat.
9. Pemeriksaan Serologis
Tes serologis mulai dikembangkan tahun 1980-an untuk mendeteksi
infeksi kusta tetapi haslnya belum memuaskan. Serodiagnosis ini semakin
dikembangkan dengan tes serologis berdasarkan antigen spesifik M.
leprae yang determinan. Beberapa tes serologis yang digunakan adalah
Tes FLA-ABS, Tes ELISA, dan Tes MLPA.
10. Biopsi kulit.
11. Kesimpulan (Amirudin, Hakim & Darwis 2003).
2.1.8Diagnosis
Penyakit kusta dapat menunjukkan gejala yang mirip dengan banyak
penyakit lain. Sebaliknya, banyak penyakit lain dapat menunjukkan gejala
yang mirip dengan kusta. Oleh karena itu dibutuhkan kemampuan untuk

16

mendiagnosis penyakit kusta secara tepat untuk membedakan dengan


penyakit lain.
Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda kardinal (gejala
utama), yaitu:
a.Bercak kulit yang mati rasa
Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau meninggi
(plakat). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian terhadap rasa
sentuh, suhu, dan nyeri.
b.

Penebalan saraf tepi


Dapat disertai rasa nyeri dan juga dapat disertai atau tanpa gangguan
fungsi saraf yang terkena, yaitu:
- Gangguan fungsi sensoris: mati rasa
- Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis
- Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema, pertumbukan

rambut terganggu.
c.Ditemukan basil tahan asam
Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada
bagian yang aktif. Terkadang bahan diperoleh dari biopsi kulit atau saraf.
Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus
ditemukan satu tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan,
maka kita hanya dapat mengatakan sebagai suspek dan penderita perlu
diamati ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta ditegakkan atau
disingkirkan (Amirudin, Hakim & Darwis 2003).
2.1.9 Penatalaksanaan
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah memutus rantai
penularan untuk menurunkan insiden penyakit, mengobati dan
menyembuhkan penderita serta mencegah timbulnya cacat (Soebono dan
Suhariyanto, 2003). Pengobatan penderita kusta ditujukan untuk mematikan
kuman kusta sehingga tidak mampu merusak jaringan tubuh dan tanda-tanda
penyakit hilang. Pengobatan kepada penderita yang sudah dalam keadaan

17

cacat permanen hanya bertujuan untuk mencegah cacat yang lebih lanjut
(Regan dan Keja, 2012).
Bila penderita kusta tidak minum obat secara teratur maka kuman kusta
dapat menjadi aktif kembali sehingga timbul gejala-gejala baru pada kulit dan
saraf yang makin memperburuk keadaan. Oleh karena itu, pengobatan sedini
mungkin dan teratur memegang peranan penting. Selama dalam masa
pengobatan penderita dapat terus melanjutkan aktivitasnya (Regan dan Keja,
2012).
MDT atau Multydrug Therapy adalah kombinasi dua atau lebih obat
antikusta, yang salah satunya harus terdiri atas Rifampisin sebagai baktersidal
dengan obat antikusta lain yang bersifat bakteriostatik (Regan dan Keja,
2012). Program MDT dimulai tahun 1981 dengan menggunakan regimen
kombinasi yang kemudian dikenal dengan regimen MDT-WHO yang terdiri
atas kombinasi Dapson, Rifampisin, dan Klofazimin. Kombinasi ini untuk
mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat, mengurangi
ketidaktaatan penderita dan menurunkan angka putus obat (drop out) pada
masa monoterapi Dapson. Diharapkan juga dengan MDT dapat
mengeliminasi persistensi bakteri kusta dalam jaringan (Soebono dan
Suhariyanto, 2003).
Sediaan dan sifat obat:
a. DDS (Diamino Diphenyl Sulfone) atau Dapson
Obat ini bersifat bakteriostatik dengan menghambat enzim dihidrofolat
sintetase. Resistensi terhadap Dapsone timbul sebagai akibat kandungan
enzim sintetase yang terlalu tinggi pada kuman kusta.

18

b. Lamprene atau Klofazimin


Bersifat bakteriostatik dengan menghambat pertumbuhan kuman kusta dan
bersifat bakterisidal lemah. Di samping itu obat ini juga mempunyai efek
inflamasi sehingga berguna untuk pengobatan reaksi kusta.
c.Rifampisin
Bersifat bakterisidal kuat. Rifampisin bekerja dengan menghambat enzim
polymerase RNA yang berikatan irreversibel.
d. Obat Obat Penunjang (Vitamin)
- Sulfat ferrosus: untuk penderita anemia berat.
- Vitamin A: penyehat kulit yang bersisik (Ichtyosis).
- Neurotropik
Regimen MDT-WHO dibedakan antara penderita tipe PB dan MB.
Regimen tersebut sesuai dengan gambar 2.1 berikut:

(Regan dan Keja 2012)

Gambar 2.1
Sediaan Multidrug Therapy

a. Regimen PB berwarna hijau: di dalam 1 blister terdiri atas Rifampisin 600


mg/bulan di bawah pengawasan, Dapson 100 mg/hari. Penderita kusta tipe
PB diharuskan melengkapi pengobatan selama 6-9 bulan.

19

b. Regimen MB berwarna merah: di dalam 1 blister terdiri atas kombinasi


Rifampisin 600 mg/bulan di bawah pengawasan, Dapson 100mg/hari dan
Klofamizin 300 mg/bulan. Penderita kusta tipe MB diharuskan melengkapi
pengobatan selama 12-18 bulan.
c. Dosis MDT menurut umur: penderita kusta anak usia 10-14 tahun tersedia
blister berwarna biru untuk kusta tipe PB sementara blister berwarna
kuning untuk kusta tipe MB. Lama pengobatan disamakan dengan blister
-

untuk dewasa tetapi dosis anak disesuaikan dengan berat badan, yaitu:
Rifampisin: 10 mg/kgBB
Dapson: 2 mg/kgBB
Clofamizin: 1mg/kgBB (Regan dan Keja, 2007).

2.1.10 Upaya Pencegahan Penyakit Kusta


Upaya pencegahan primer :
1. Vaksinasi BCG
2. Melakukan promosi kesehatan tentang penyakit kusta
Upaya pencegahan sekunder :
1. Pengobatan MDT
2. Diagnosis dini penyakit kusta (Regan dan Keja, 2012)
2.2 Reaksi Kusta
Terminologi reaksi digunakan untuk menggambarkan keadaan mengenai
berbagai gejala dan tanda radang akut lesi pasien kusta. Reaksi dapat dianggap
sebagai suatu kelaziman pada perjalanan penyakit kusta namun bila tidak
ditangani secara serius dapat menyebabkan kecacatan (Matodihardjo dan Susanto,
2003).
Hampir semua penderita lepra dapat mengalami reaksi. Sekitar 25% - 30% dari
total penderita lepra cepat atau lambat akan mengalami reaksi atau kerusakan
saraf. Deteksi dan pengobatan MDT dini tetap merupakan cara terbaik untuk

20

mencegah kecacatan. Tetapi banyak penderita terlambat didiagnosis sehingga


risiko terjadinya reaksi dan neuritis menjadi lebih besar. Apabila reaksi dapat
diobati secara efektif, kerusakan saraf yang masih tahap awal dapat membaik dan
kecacatan masih dapat dicegah.
Penderita kusta dapat mengalami reaksi hampir tiap saat, yaitu:
1.
2.
3.
4.

Sebelum pengobatan.
Saat diagnosis ditegakkan.
Selama pengobatan.
Setelah pengobatan selesai (Saunderson, 2012).
Menurut hipersensitivitas yang menyebabkannya, reaksi kusta dibedakan

menjadi dua:
a. Reaksi kusta tipe 1 disebabkan oleh hipersensitivitas seluler
b. Reaksi kusta tipe 2 disebabkan oleh hipersensitivitas humoral
2.2.1 Reaksi Tipe 1
Menurut Jopling reaksi kusta tipe 1 merupakan delayed hypersensitivity
reaction seperti reaksi hipersensitivitas tipe IV menurut Coombs dan Gell
(Martodihardjo dan Susanto, 2006). Reaksi kusta tipe 1 terutama terjadi pada
kusta tipe borderline (BT, BB, BL), karena tipe borderline ini merupakan
tipe yang tidak stabil. Reaksi tipe ini terjadi terutama selama masa
pengobatan karena peningkatan hebat respon imun seluler secara tiba-tiba,
mengakibatkan terjadinya respon inflamasi pada daerah saraf dan kulit yang
terkena. Inflamasi pada jaringan saraf dapat mengakibatkan kerusakan dan
kecacatan (Regan dan Keja, 2012).
Pada reaksi ini terjadi peningkatan respon kekebalan seluler secara cepat
terhadap kuman kusta di kulit dan saraf pada pasien kusta. Hal ini berkaitan
dengan terurainya M.leprae yang mati akibat pengobatan yang diberikan.
Antigen yang berasal dari basil yang telah mati (breaking down leprosy

21

bacili) akan bereaksi dengan limfosit T disertai perubahan imunitas selular


yang cepat. Dasar reaksi kusta tipe 1 adalah adanya perubahan keseimbangan
antara imunitas selular dan basil. Diduga kerusakan jaringan terjadi akibat
langsung reaksi hipersensitivitas seluler terhadap antigen basil. Pada saat
terjadi reaksi, beberapa penelitian juga menunjukkan adanya peningkatan
ekspresi sitokin pro-inflamasi seperti TNF-, IL-1b, IL-6, IFN- dan IL-12
dan sitokin immunoregulatory seperti TGF- dan IL-10 selama terjadi
aktivasi dari makrofag. Aktivasi CD4+ limfosit (Th-1) menyebabkan
produksi IL-2 dan IFN- meningkat sehingga dapat terjadi lymphocytic
infiltration pada kulit dan syaraf. IFN dan TNF- bertanggung jawab
terhadap terjadinya edema, inflamasi yang menimbulkan rasa sakit dan
kerusakan jaringan yang cepat (Prawoto, 2008).

(Saunderson, 2012)

Gambar 2.2
Kulit pada Reaksi Tipe 1

2.2.2 Reaksi Tipe 2


Reaksi kusta tipe ini dikenal dengan nama eritema nodusum leprosum
(ENL) yang terjadi akibat reaksi hipersensitivitas tipe III menurut Coombs

22

dan Gell terutama terjadi pada tipe LL (Martodihardjo dan Susanto, 2006).
Antigen berasal dari produk kuman yang telah mati dan bereaksi dengan
antibodi membentuk kompleks Ag-Ab yang selanjutnya akan mengaktivasi
komplemen sehingga terbentuk kompleks imun. Kompleks imun tersebut
akan menimbulkan respon inflamasi. Karena beredar dalam sirkulasi darah
kompleks imun tersebut akan mengendap ke beberapa organ, terutama pada
lokasi dimana M.leprae berada dalam konsentrasi tinggi seperti : kulit (ENL),
saraf (neuritis), limfonodus (limfadenitis), tulang (artritis), ginjal (nefritis)
dan testis (orkitis). Jadi ENL merupakan reaksi humoral yang merupakan
manifestasi sindrom kompleks imun (Regan dan Keja, 2012).
Pada ENL, dijumpai peningkatan ekspresi sitokin IL-4, IL-5, IL 13 dan
IL-10 (respon tipe Th-2) serta peningkatan, IFN- dan TNF-. IL-4, IL-5,
IFN-, TNF- bertanggung jawab terhadap kenaikan suhu dan kerusakan
jaringan selama terjadi reaksi ENL (Prawoto, 2008).

(Saunderson, 2012)

Gambar 2.3
Kulit pada Reaksi Tipe 2
Tabel 2.3 Perbedaan Reaksi Kusta Tipe 1 Dan Tipe 2
Gejala tanda
Reaksi Tipe 1

Reaksi Tipe 2

23

Keadaan umum

Umumnya baik, demam

Ringan sampai berat disertai

ringan atau tanpa demam

kelemahan umum dan demam

Peradangan di

Bercak kulit yang lama

tinggi
Nodul kemerahan, lunak, dan

kulit

makin meradang, dapat

nyeri tekan. Biasanya di

timbul bercak baru

lengan dan tungkai. Nodul

Sering terjadi, berupa nyeri

dapat pecah.
Dapat terjadi

Saraf

tekan saraf dan/atau


Peradangan di

gangguan fungsi saraf


Bercak kulit lama menjadi

Timbul nodus kemerahan,

kulit

lebih meradang (merah),

nyeritekan dan lunak.

bengkak, berkilat, hangat.

Biasanya pada lengan dan

Kadang-kadang hanya pada

tungkai. Nodus dapat pecah

sebagian lesi. Dapat timbul


Peradangan pada

bercak baru
Hampir tidak ada

organ lain

Terjadi pada testis, ginjal,


kelenjar getah bening, sendi,
dll

Udem pada
ekstrimitas
Waktu timbulnya

(+)
Segera setelah pengobatan

(-)
Setelah mendapatkan
pengobatan yang lama,

Tipe kusta

Dapat terjadi pada kusta PB

umumnya lebih dari 6 bulan.


Hanya pada kusta MB

dan MB
(Regan dan Keja, 2012)

Tabel 2.4 Perbedaan Reaksi Ringan dan Berat pada Reaksi Tipe 1 dan Tipe 2
Gejala /
Reaksi Tipe 1
Reaksi Tipe 2

24

Tanda
Kulit

Ringan
Bercak:
Merah, tebal,

Berat
Bercak:
Merah, tebal,

Ringan
Nodul:
Merah, tebal,

Berat
Nodul:
Merah, tebal,

panas,nyeri.*

panas,nyeri

panas,nyeri

panas,nyeri yang

yang bertambah

bertambah parah

parah sampai

sampai pecah

Nyeri pada

pecah
Nyeri pada

Nyeri pada

Nyeri pada

perabaan : (-)
Gangguan

perabaan : (+)
Gangguan

perabaan : (-)
Gangguan

perabaan : (+)
Gangguan

Keadaan

fungsi : (-)
Demam : (-)

fungsi : (+)
Demam : ()

fungsi : (-)
Demam : ()

fungsi : (+)
Demam : (+)

Umum
Gangguan

Saraf Tepi

+
Terjadi

pada Organ
Peradangan pada
Lain
mata, testis,
ginjal,
kelenjar limfe.
Gangguan pada
tulang, hidung
dan tenggorokan
*Catatan: Bila ada reaksi pada lesi kulit yang dekat dengan saraf dikategorikan reaksi berat
(Regan dan Keja, 2012)

2.2.3 Pengobatan Reaksi


Sebelum memulai penanganan reaksi harus dilakukan identifikasi tipe
reaksi dan derajat reaksi yang dialami terlebih dulu. Hal ini dapat dinilai dari
hasil kesimpulan pemeriksaan pada formulir pencatatan pencegahan cacat
atau prevention of disability (POD), seperti :
1. Adanya lagoftalmus baru terjadi dalam 6 bulan terakhir
2. Adanya nyeri raba saraf tepi
3. Adanya kekuatan otot berkurang dalam 6 bulan terakhir
4. Adanya rasa raba berkurang dalam 6 bulan terakhir
5. Adanya bercak pecah atau nodul pecah
6. Adanya bercak aktif (meradang) di atas lokasi saraf tepi

25

Bila terdapat salah satu dari gejala di atas berarti ada reaksi berat dan perlu
diberikan obat anti reaksi. Obat anti reaksi terdiri atas :
1. Prednison (untuk reaksi tipe 1 dan 2). Obat ini digunakan untuk
penanganan/pengobatan reaksi.
2. Lampren (untuk reaksi tipe 2). Obat ini digunakan untuk penanganan/
pengobatan reaksi ENL yang berulang (steroid dependent).
3. Thalidomid (untuk reaksi tipe 2). Obat ini tidak dipergunakan dalam
program.
a. Tatalaksana reaksi ringan
Prinsip pengobatan reaksi ringan :
1. Berobat jalan, istirahat di rumah.
2. Pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang bila perlu.
3. MDT diberikan terus dengan dosis tetap.
4. Menghindari/menghilangkan faktor pencetus.
b. Tatalaksana reaksi berat
Prinsip pengobatan reaksi ringan :
1. Imobilisasi lokal/istirahat dirumah.
2. Pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang bila perlu.
3. MDT diberikan terus dengan dosis tetap.
4. Menghindari/menghilangkan faktor pencetus.
Faktor pencetus pada reaksi tipe 1 yaitu bercak multiple dan bercak luas
pada wajah dan lesi, saat puerpurium (karena peningkatan cell mediated
imunity), selama kehamilan trimester ke-3 (karena penurunan cell
mediated imunity), paling tinggi 6 bulan pertama setelah melahirkan
atau massa menyusui, infeksi penyerta seperti hepatitis B dan C,
neuritis atau riwayat nyeri saraf. Sedangkan faktor pencetus pada
reaksi tipe 2 yaitu pemberian obat MDT kecuali lampren, jumlash lesi
>4, kehamilan awal (karena stress mental), trimester ke-3 dan
puerpurium (karena stress fisik), setiap masa kehamilan (karena infeksi
penyerta), infeksi penyerta seperti streptokokus, virus.

26

5. Memberikan obat anti reaksi (Prednison, Lampren).


6. Bila ada indikasi rawat inap pasien dikirim ke rumah sakit.
7. Reaksi tipe 2 berat yang berulang diberikan prednison dan lampren.
2.3 Kecacatan Kusta
2.3.1 Batasan Istilah
Menurut WHO (1980) batasan istilah dalam cacat kusta adalah:
a. Impairment: Segala kehilangan atau abnormalitas struktur dan fungsi yang
bersifat fisiologis maupun anatomis.
b. Disability: Segala keterbatasan (akibat impairment) untuk melakukan
kegiatan dalam batas-batas kehidupan yang normal bagi manusia.
c. Deformity: Terjadinya kelainan struktur anatomis.
d. Handicap: Ketidakmampuan melakukan fungsi sosial yang normal.
Handicap ini merupakan efek penyakit kusta yang berdampak sosial,
ekonomi, dan budaya.
e. Dehabilitation: Merupakan proses penderita kusta kehilangan status
sosial, sehingga terisolasi dari masyarakat dan teman-temannya.
f. Destitution: Dehabilitasi yang berlanjut dengan isolasi yang menyeluruh
dari seluruh masyarakat (Wisnu dan Hadilukito, 2003).
2.3.2 Jenis Cacat
Cacat yang timbul pada penyakit kusta dapat dikelompokkan menjadi 2
kelompok, yaitu:
a. Cacat primer
Pada kelompok cacat ini disebabkan langsung oleh aktivitas penyakit,
terutama kerusakan akibat respon jaringan terhadap M. leprae.
b. Cacat Sekunder

27

Cacat sekunder ini terjadi akibat cacat primer, terutama akibat kerusakan
saraf sensorik, motorik, dan otonom (Wisnu dan Hadilukito, 2003).
2.3.3 Derajat Cacat
Mengingat organ yang paling berfungsi dalam kegiatan sehari-hari
adalah mata, tangan dan kaki maka WHO (1997) membagi cacat kusta
menjadi tiga tingkat kecacatan, yaitu:
Tabel 2.5 Tingkat Cacat Pada Kusta
Tingkat
0
1

Mata
Tidak ada kelainan karena kusta
Ada kelainan pada mata, tetapi tidak

Telapak tangan/kaki
Tidak ada cacat karena kusta
Anastesi, kelemahan otot (tidak ada

terlihat (anestesi kornea), visus

kecacatan yang terlihat akibat

sedikit berkurang
Ada kelainan pada mata yang terlihat

kusta)
Ada cacat/kerusakan yang kelihatan

(misalnya lagoftalmus, kekeruhan

akibat kusta seperti ulkus, claw

kornea, iridosiklitis) dan atau visus

hand, drop foot.

yang sangat terganggu/berat (visus


<6/60)
(Regan dan Keja, 2012)

2.3.4 Patogenesis Kecacatan Kusta


Pada penyakit kusta, kerusakan saraf tepi merupakan sumber awal
kecacatan. Dalam perjalanan penyakit kusta, gangguan saraf tepi, cepat atau
lambat, akan terjadi walau tanpa memperlihatkan gejala. M leprae memilih
delapan saraf tepi yang letaknya relatif mudah dideteksi, yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

N. Fasialis
N. Aurikularis magnus di daerah servikal
N. Ulnaris
N. Medianus
N. Radialis
N. Kutaneus radialis
N. Peroneus lateralis
N. Tibialis posterior (Nuhonni dan Cholis, 2003).

28

Secara umum ada tiga fungsi saraf yaitu fungsi motorik untuk
memberikan kekuatan otot, fungsi sensorik memberi sensasi raba, dan fungsi
otonom mengatur kelenjar keringat dan minyak. Kecacatan yang terjadi
tergantung pada komponen saraf mana yang terkena (Regan dan Keja, 2012).

(Wisnu dan Hadilukito, 2003)

Gambar 2.4
Patogenesis Kecacatan Kusta

2.3.5 Tingkat Kerusakan Saraf


Kecacatan pada kusta terjadi akibat kerusakan sel saraf, terutama saraf
perifer. Menurut Srinivasan, saraf perifer yang terkena akan mengalami
berbagai tingkat kerusakan, yaitu:
1. Stage of involvement
Saraf menebal disertai nyeri tekan, tetapi belum ada gangguan pada
fungsinya, misalnya anestesi atau kelemahan otot.

29

2. Stage of damage
Diagnosis stadium ini ditegakkan bisa saraf telah mengalami kerusakan
atau paralisis yang tidak lengkap <1 tahun. Paralisis awal terjadi pada otot
kelopak mata, otot jari tangan dan kaki. Bila paralisis berlanjut dapat
terjadi luka dan kekakuan sendi. Pada stadium ini kerusakan saraf
permanen dapat dihindari dengan pengobatan.
3. Stage of destruction
Diagnosis stadium ini ditegakkan bila kerusakan atau paralisis saraf terjadi
secara lengkap, yaitu >1 tahun. Kelumpuhan yang terjadi akan menetap
dan penderita kusta akan rentan mengalami infeksi progresif dengan
kerusakan tulang dan kehilangan penglihatan. Pada tingkat ini walaupun
dengan pengobatan, fungsi saraf tidak dapat diperbaiki (Wisnu dan
Hadilukito, 2003).
2.3.6 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kecacatan
Deformitas dan kecacatan bukan merupakan konsekuensi mutlak pada
kejadian kusta karena tidak semua penderita kusta mengalami kecacatan
melainkan hanya 20%-25% yang mengalami impairmen. Faktor risiko
penting yang dapat mengakibatkan kecacatan menurut Srinivasan (1994)
adalah tipe kusta, durasi penyakit dan jumlah saraf yang terkena. Tipe kusta
MB lebih infeksius dibandingkan tipe kusta PB sehingga risiko cacat semakin
besar pada tipe MB. Semakin lama durasi penyakit maka semakin besar risiko
pasien mengalami impairmen dan kecacatan. Risiko cacat juga meningkat
jika jumlah saraf yang terkena M. leprae semakin banyak.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Nugroho Susanto
(2006), dinyatakan bahwa faktor risiko yang berhubungan dengan tingkat
kecacatan penderita kusta adalah sebagai berikut:
1. Jenis Kelamin

30

Terdapat perbedaan tingkat kecacatan pada penderita kusta laki-laki dan


perempuan. Tingkat kecacatan lebih tinggi terjadi pada laki-laki
dibanding perempuan. Hal ini berkaitan dengan pekerjaan, kebiasaan
keluar rumah dan merokok (Muhammed et al., 2004).
2. Umur
Kecacatan penderita kusta lebih sering terjadi pada umur 15-34 tahun
yang merupakan umur produktif. Aktivitas fisik meningkat pada umur
tersebut sehingga kecacatan lebih sering dialami (Bakker et al., 2006).
3. Pendidikan
Status pendidikan penderita kusta berkaitan dengan tindakan pencarian
pengobatan. Rendahnya tingkat pendidikan dapat mengakibatkan
lambatnya pencarian pengobatan dan diagnosis penyakit. Hal ini dapat
memperparah kecacatan pada penderita kusta (Peters dan Eshiet, 2002).
4. Reaksi Kusta
Reaksi kusta adalah suatu periode mendadak dalam perjalanan kronis
penyakit kusta yang merupakan reaksi kekebalan dan reaksi antigen
dengan antibodi. Reaksi kusta dapat terjadi pada penderita yang belum
mendapat pengobatan, dalam pengobatan maupun setelah pengobatan
(Martodiharjo dan Susanto, 2003).
5. Tipe Kusta
Tipe kusta MB memiliki tingkat kecacatan yang lebih tinggi daripada tipe
kusta PB (Putra, 2009). Hal ini karena bakteri M. leprae lebih banyak pada
tipe MB daripada tipe PB (Daumerie, 2004).
6. Pengetahuan
Kejadian cacat kusta lebih banyak terjadi pada penderita yang mempunyai
pengetahuan yang rendah tentang penyakit kusta. Tingkat pengetahuan
akan mempengaruhi penderita kusta untuk merawat lukanya sebagai upaya
mencegah kecacatan yang lebih lanjut (Iyor, 2005).
7. Pengobatan

31

Pengobatan penderita kusta ditujukan untuk mematikan kuman kusta


sehingga tidak merusak jaringan tubuh. Bila penderita kusta tidak minum
obat secara teratur, maka kuman kusta dapat menjadi aktif kembali (Regan
dan Keja, 2007).
8. Lama Sakit
Penderita dengan lama sakit 0-2 tahun terjadi kecacatan sebesar 26,9%,
sementara penderita dengan lama sakit 2-5 tahun sebesar 45,6%. Penderita
dengan lama sakit terlama >5 tahun kecenderungan terjadi cacat sebesar
43,5%. Semakin lama penundaan untuk mencari pengobatan medis akan
mengakibatkan makin banyak kerusakan saraf yang terjadi sehingga
penderita lebih rentan mengalami kecacatan (Muhammed et al., 2004).
9. Lama Bekerja
Pekerjaan yang berat dan kasar dapat mengakibatkan kerusakan jaringan
kulit dan saraf semakin parah. Pekerjaan dengan intensitas lama akan
membuat aktivitas mata semakin meningkat sehingga pada penderita kusta
yang mengalami lagoftalmus terjadi kekeringan kornea dan berkembang
menjadi keratitis (Wisnu dan Hadilukito, 2003).
10. Diagnosis Dini
Diagnosis dini dan terapi yang tepat dapat menghindarkan kecacatan yang
mungkin akan terjadi pada penderita kusta. Kecacatan menyebabkan
penderita dikucilkan karena tubuhnya tampak menyeramkan. Cacat tubuh
dapat dicegah apabila diagnosis dan penangan penyakit dilakukan secara
dini (Wisnu dan Hadilukito, 2003).
11. Perawatan Diri
Perawatan diri merupakan upaya pencegahan terhadap kecacatan kusta
supaya tidak menjadi lebih parah. Semakin bagus perawatan diri maka
semakin sedikit kecacatan yang terjadi (Wisnu dan Hadilukito, 2003).
2.3.7 Upaya Pencegahan dan Perawatan Kecacatan

32

Upaya pencegahan cacat bertujuan untuk mencegah timbulnya cacat


setelah diagnosis ditegakkan, mencegah agar cacat yang telah terjadi tidak
menjadi lebih berat, dan mencegah agar kecacatan yang membaik tidak
memburuk. Pencegahan ini harus dilakukan oleh petugas kesehatan, penderita
sendiri dan keluarganya. Selain itu perlu mengubah pandangan masyarakat
bahwa kusta identik dengan deformitas atau disability. Upaya pencegahan ada
dua macam, yaitu:
a. Upaya pencegahan primer kecacatan :
- Diagnosis dini.
- Pengobatan secara teratur dan adekuat.
- Diagnosis dini dan penatalaksanaan neuritis.
- Diagnosis dan penatalaksanaan reaksi kusta.
b. Upaya pencegahan sekunder kecacatan:
- Perawatan diri sendiri untuk mencegah luka
- Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk
-

mencegah kontraktur.
Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan

agar tidak mendapatkan tekanan berlebihan.


Bedah septik untuk mengurangi perluasan infeksi sehingga saat proses

penyembuhan tidak banyak jaringan yang hilang.


Perawatan mata, tangan, dan kaki yang anastesi atau mengalami
kelumpuhan otot.
Upaya pencegahan cacat dapat dilakukan di rumah, puskesmas maupun

unit pelayanan rujukan seperti rumah sakit umum atau rumah sakit rujukan.
Penderita harus mengerti bahwa pengobatan MDT dapat membunuh kuman
kusta tetapi pada keadaan yang sudah terlanjur cacat, pengobatan tidak bisa
mengembalikan kondisi fisik seperti semula. Oleh karena itu, penderita harus
bisa melakukan perawatan diri dengan rajin supaya kecacatan tidak
bertambah berat.

33

Prinsip pencegahan cacat dan bertambah beratnya cacat pada sadarnya


adalah 3M, yaitu:
1. Memeriksa mata, tangan dan kaki secara teratur
2. Melindungi mata, tangan dan kaki dari trauma fisik
3. Merawat diri
Pencatatan dan pelaporan kerusakan saraf merupakan bagian yang sangat
penting dalam mencegahan timbulnya cacat kusta. Pencatatan dilakukan oleh
petugas kesehatan sebaiknya rutin tiap bulan dan penderita melaporkan
perubahan-perubahan yang terjadi terutama pada mata, tangan dan kaki
(Wisnu dan Hadilukito, 2003).
2.3.8 Rehabilitasi Pasien Kusta
Tujuan rehabilitasi secara umum adalah dengan upaya rehabilitasi
penyandang cacat secara umum dapat dikondisikan sehingga dapat
memperoleh kesetaraan, kesempatan dan integrasi sosial dalam masyarakat
yang akhirnya mempunyai kualitas hidup yang lebih baik (Regan dan Keja,
2007).
Strategi yang dilakukan untuk rehabilitasi yaitu :
1. Pemenuhan standar bagi RS Kusta, RSU dan fasilitas kesehatan lainnya
agar dapat menyelenggarakan rehabilitasi fisik penyandang cacat kusta
secara berkesinambungan.
2. Peningkatan sistem rujukan medik bagi penyandang cacat kusta.
3. Peningkatan kerjasama lintas program dan lintas sektor terkait rehabilitasi
penyandang cacat kusta.
Masalah psikososial yang timbul pada penderita kusta lebih menonjol
dibandingkan dengan masalah medisnya sendiri. hal ini disebabkan karena

34

adanya stigma dan leprofobi yang banyak dipengaruhi oleh informasi yang
keliru tentang penyakit kusta. sikap dan perilaku masyarakat yang negatif
terhadap penderita kusta sering menyebabkan penderita kusta tidak
mendapatkan tempat di dalam keluarga, masyarakat dan lingkungannya.
1. Rehabilitasi mental
Penyuluhan kesehatan berupa bimbingan mental, harus diupayakan sedini
mungkin pada setiap penderita, keluarga dan masyarakat sekitar untuk
memberikan dorongan dan semangat agar mereka dapat menerima
kenyataan tersebut.
2. Rehabilitasi karya
Upaya rehabilitasi karya ini dilakukan agar penderita yang sudah terlanjur
cacat dapat kembali melakukan pekerjaan yang lama atau dapat melatih
diri terhadap pekerjaan baru.
3. Rehabilitasi sosial
Bertujuan untuk memulihkan fungsi sosial ekonomi penderita sehingga
penderita bisa mandiri. Dalam rehabilitasi ini diharapkan peran serta
masyarakat untuk menunjang keberhasilan resosialisasi (Community
Based Rehabilitation) (Halim dan Kurdi, 2003).
2.4 Program Pengendalian Penyakit Kusta
1. Tujuan
a. Tujuan jangka panjang
- Menurunkan transmisi penyakit kusta
- Mencegah kecacatan pada semua penderita baru

35

- Menghilangkan stigma sosial dalam masyarakat dengan mengubah paham


masyarakat tentang penyakit kusta melalui penyuluhan secara intensif
b. Tujuan jangka pendek
- Mengintensifkan penemuan dan diagnosis penderita kusta
- Mengembangkan puskesmas dengan perawatan cacat yang adekuat dengan
dukungan sistim rujukan ke rumah sakit umum dan rumah sakit khusus
untuk penderita yang mengalami komplikasi dan membutuhkan rehabilitasi
medis.
- Melaksanakan pengelolaan program pengendalian kusta
- Menurunkan proporsi anak dan kecacatan tingkat 2 diantara penderita baru
< 5%
- Memberikan pengobatan yang adekuat sehingga tercapai angka kesembuhan
(RFT Rate) > 90%
- Menurunkan proporsi penderita yang cacat pada mata, tangan dan kaki
setelah RFT < 5%
- Memberikan perawatan dan pelayanan rehabilitasi yang tepat kepada
penyandang cacat kusta
2. Kebijakan
- Pelaksanaan program pengendalian kusta diintegrasikan pelayanan kesehatan
dasar di puskesmas
- Pengobatan penderita kusta dengan MTD sesuai rekomendasi WHO diberikan
secara cuma-cuma
- Penderita kusta tidak boleh diisolasi
- Memperkuat sistim rujukan

36

3. Kegiatan pokok
a. Tatalaksana penderita meliputi penemuan penderita, diagnosis dan klasifikasi,
pengobatan dan pengendalian pengobatan, pencegahan cacat dan perawatan
diri, serta rehabilitasi medik.
b. Tatalaksana program meliputi perencanaan, pelatihan, penyuluhan dan
advokasi, supervisi, pencatatan dan pelaporan, monitoring dan evaluasi, serta
pengelolaan logistik (Regan dan Keja, 2007).
Pencapaian indikator SPM (Standar Pelayanan Minimal) Kabupaten
Pamekasan tahun 2008 untuk target pencegahan dan pemberantasan penyakit
kusta yang selesai berobat (RFT Rate) pada tahun 2010 > 90% (Depkes
Pamekasan, 2008)

Anda mungkin juga menyukai