Bab Ii
Bab Ii
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kusta
2.1.1Definisi
Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium leprae (M. leprae) yang pertama menyerang saraf tepi,
selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas,
sistem retikulo endothelial, mata, otot, tulang, dan testis kecuali susunan saraf
pusat (Amirudin, Hakim & Darwis 2003).
2.1.2Epidemiologi
Indonesia merupakan penyumbang penderita kusta terbesar ketiga di dunia
setelah India dan Brazil, sementara Provinsi Jawa Timur sendiri menduduki
peringkat pertama di Indonesia sebagai penyumbang kasus kusta. Penemuan
penderita baru di Jawa Timur sebanyak 5.284 kasus pada tahun 2011 yang
merupakan 1/3 dari jumlah penderita kusta di Indonesia. Penderita penyakit
kusta tersebar terutama di Pulau Madura dan pantai utara Pulau Jawa.
Penemuan penderita baru tahun 2011 meningkat sekitar 10% dibandingkan
penemuan penderita baru tahun 2010, hal ini disebabkan karena adanya
kegiatan penemuan penderita baru secara aktif yaitu Gerakan Penemuan
Penderita (GPP) di Kabupaten Sumenep, Pamekasan, Sampang, Bangkalan,
Pasuruan, Probolinggo, Situbondo dan Bondowoso (Rahaju, 2012).
Jumlah kasus baru kusta di dunia pada tahun 2011 adalah sekitar 219.075
dan paling banyak terdapat di regional Asia Tenggara.
Tabel 2.1 Situasi Kusta Menurut Regional WHO pada Awal Tahun 2012
Regional WHO
Afrika
Amerika
Asia Tenggara
Mediterania timur
Pasifik barat
Total
160.132 (8,75)
117.147 (0,64)
4.346 (0,71)
7.638 (0,12)
5.092(0,3)
7.619 (0,05)
219.075 (4,06)
181.941 (0,34)
Angka penemuan kasus baru atau Case Detection Rate adalah jumlah
kasus baru yang ditemukan pada periode satu tahun per 100.000 penduduk.
Selama 2011 terdapat 17 negara di dunia dengan jumlah kasus baru melebihi
1000 kasus. Indonesia dengan 20.032 kasus menempati urutan ketiga setelah
India dan Brazil sebagai negara endemis kusta di dunia. Pada kurun waktu
2004 - 2011 terjadi kecenderungan peningkatan proporsi cacat tingkat 2.
Proporsi cacat tingkat 2 pada tahun 2011 sebesar 10,11% (Regan dan Keja,
2012).
2.1.3 Etiologi
M. leprae atau basil Hansen adalah kuman penyebab penyakit kusta yang
ditemukan oleh GH Armauer Hansen pada tahun 1873. Basil ini bersifat tahan
asam, berbentuk batang dengan ukuran 1 8 , lebar 0,2 0,5 , biasanya
berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel jaringan yang
bersuhu dingin, dan tidak dapat dikultur dalam media buatan (Amirudin,
Hakim & Darwis 2003).
M. leprae hidup intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar pada sel
saraf (Schwan cell) dan sel dari sistem retikuloendothelial. Waktu pembelahan
bakteri ini 2-3 minggu. Di luar tubuh manusia (dalam keadaan tropis) M.
leprae dari sekret nasal dapat bertahan 9 hari (Regan dan Keja, 2012). Masa
tunas M. leprae berlangsung lama yaitu 2-5 tahun. Cara masuk M. leprae ke
dalam tubuh belum diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah
menunjukkkan bahwa yang tersering ialah melalui kulit yang lecet pada
bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal (Amirudin,
Hakim & Darwis, 2003).
Timbulnya penyakit kusta pada seseorang tidak mudah sehingga tidak
perlu ditakuti, beberapa faktor yang mempengaruhi antara lain:
1. Penyebab
Penyebab penyakit kusta yaitu M. leprae yang mempunyai afinitas yang
besar pada sel Schwann dan sel sistem retikuloendotelial. Pada kondisi
tropis kuman kusta dari sekret nasal dapat bertahan sampai sembilan hari
di luar tubuh manusia.
2. Sumber Penularan
Sampai saat ini hanya manusia yang dianggap sebagai sumber penularan
walaupun kuman kusta dapat hidup pada armadilo, simpanse dan pada
telapak kaki tikus yang tidak mempunyai kelenjar thimus (Athymic nude
mouse).
3. Cara Keluar dari Penjamu (Host)
Kuman kusta banyak ditemukan di mukosa hidung manusia. Suatu
kerokan hidung dari penderita tipe Lepromatous yang tidak mendapat
regimen WHO menunjukkan jumlah kuman yang besar.
4. Cara Penularan
Penularan terjadi apabila basil M. leprae yang utuh keluar dari tubuh
penderita dan masuk ke dalam tubuh orang lain. Secara teoritis penularan
terjadi melalui kontak yang lama dengan penderita kusta, akan tetapi
penderita yang sudah minum obat sesuai regimen WHO tidak menjadi
sumber penularan kepada orang lain.
5. Cara Masuk ke dalam Penjamu
Tempat masuk kuman kusta ke dalam tubuh penjamu belum diketahui
secara pasti sampai saat ini. Diperkirakan cara masuknya adalah melalui
saluran pernapasan bagian atas dan melalui kontak kulit yang tidak utuh.
6. Penjamu (Tuan Rumah = Host)
Hanya sedikit orang yang terinfeksi kuman kusta setelah kontak dengan
penderita karena adanya imunitas. M. leprae termasuk kuman obligat
10
Tabel 2.2 Pedoman Klasifikasi Kusta dari Gejala Kardinal Menurut WHO
Tanda Utama
Bercak kusta
Penebalan saraf tepi
SLPB
Hanya 1
Tidak melibatkan
PB
Jumlah 2-5
Hanya satu saraf
MB
Jumlah >5
Lebih dari satu saraf
11
yang disertai
gangguan fungsi
Sediaan apusan
saraf
BTA negative
BTA negative
BTA positif
(Coates, 2010)
yang terletak superfisial dengan suhu relatif dingin. Saraf tepi yang dapat
terserang akan menunjukkan berbagai kelainan, yaitu:
-
12
N. aurikularis magnus
N. ulnaris: anestesi dan paresis/paralisis otot tangan jari V dan sebagian jari
VI
N. medianus: anestesi dan paresis/paralisis otot tangan jari I, II, III dan
sebagian jari IV. Kerusakan N. ulnaris dan N. medianus menyebabkan jari
kiting (claw toes) dan tangan cakar (claw hand)
N. tibialis posterior: anestesi telapak kaki dan jari kaki kiting (claw toes).
Manifestasi klinis penyakit yang menunjukkan bahwa penyakit kusta
masih aktif adalah:
-
atau nodus
Saraf: nyeri, gangguan fungsi dan jumlah saraf yang terkena bertambah.
(Amirudin, Hakim & Darwis, 2003).
2.1.7Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan klinis yang teliti dan lengkap sangat penting dalam
menegakkan diagnosis kusta, pemeriksaan tersebut meliputi :
1. Anamnesis
a.
b.
c.
2.
Keluhan penderita.
Riwayat kontak dengan penderita kusta.
Latar belakang keluarga.
Inspeksi
Dilihat ada atau tidak lesi pada kulit dan kerusakan jaringan kulit.
3. Palpasi
a. Kelainan kulit, nodus, infiltrat, jaringan parut, ulkus pada tangan dan
kaki.
13
anhidrosis :
Tes Dengan Pena (tes Gunawan)
14
Pena digariskan mulai dari kulit yang normal dan melewati makula
-
5. Komplikasi
a. Dicari komplikasi pada mata, hidung, laring, dan testis.
b. Reaksi: nyeri saraf, eritema nodusum lerosum, dan iridosiklitis,
tenosinovitis.
c. Kerusakan saraf sensoris.
d. Kerusakan saraf motorik.
e. Kerusakan saraf otonom.
6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan hapusan sayatan kulit (bakterioskopik) digunakan untuk:
a. Membantu menentukan diagnosis penyakit.
b. Mambantu menentukan klasifikasi (tipe) kusta.
c. Membantu menilai hasil pengobatan.
Beberapa ketentuan yang harus diambil sediaan hapusan kulit adalah:
a. Semua orang yang dicurigai menderita kusta.
b. Semua penderita baru yang didiagnosis secara klinis sebagai penderita
kusta.
c. Semua penderita kusta yang diduga kambuh atau tersangka kuman
(resisten) kebal terhadap obat.
d. Semua penderita MB tiap tahun sekali.
Ketentuan untuk lokasi sediaan:
a. Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.
b. Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik.
c. Pada pemeriksaan ulangan dilakukan ditempat yang sama dan pada lesi
yang baru muncul.
15
16
rambut terganggu.
c.Ditemukan basil tahan asam
Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada
bagian yang aktif. Terkadang bahan diperoleh dari biopsi kulit atau saraf.
Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus
ditemukan satu tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan,
maka kita hanya dapat mengatakan sebagai suspek dan penderita perlu
diamati ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta ditegakkan atau
disingkirkan (Amirudin, Hakim & Darwis 2003).
2.1.9 Penatalaksanaan
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah memutus rantai
penularan untuk menurunkan insiden penyakit, mengobati dan
menyembuhkan penderita serta mencegah timbulnya cacat (Soebono dan
Suhariyanto, 2003). Pengobatan penderita kusta ditujukan untuk mematikan
kuman kusta sehingga tidak mampu merusak jaringan tubuh dan tanda-tanda
penyakit hilang. Pengobatan kepada penderita yang sudah dalam keadaan
17
cacat permanen hanya bertujuan untuk mencegah cacat yang lebih lanjut
(Regan dan Keja, 2012).
Bila penderita kusta tidak minum obat secara teratur maka kuman kusta
dapat menjadi aktif kembali sehingga timbul gejala-gejala baru pada kulit dan
saraf yang makin memperburuk keadaan. Oleh karena itu, pengobatan sedini
mungkin dan teratur memegang peranan penting. Selama dalam masa
pengobatan penderita dapat terus melanjutkan aktivitasnya (Regan dan Keja,
2012).
MDT atau Multydrug Therapy adalah kombinasi dua atau lebih obat
antikusta, yang salah satunya harus terdiri atas Rifampisin sebagai baktersidal
dengan obat antikusta lain yang bersifat bakteriostatik (Regan dan Keja,
2012). Program MDT dimulai tahun 1981 dengan menggunakan regimen
kombinasi yang kemudian dikenal dengan regimen MDT-WHO yang terdiri
atas kombinasi Dapson, Rifampisin, dan Klofazimin. Kombinasi ini untuk
mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat, mengurangi
ketidaktaatan penderita dan menurunkan angka putus obat (drop out) pada
masa monoterapi Dapson. Diharapkan juga dengan MDT dapat
mengeliminasi persistensi bakteri kusta dalam jaringan (Soebono dan
Suhariyanto, 2003).
Sediaan dan sifat obat:
a. DDS (Diamino Diphenyl Sulfone) atau Dapson
Obat ini bersifat bakteriostatik dengan menghambat enzim dihidrofolat
sintetase. Resistensi terhadap Dapsone timbul sebagai akibat kandungan
enzim sintetase yang terlalu tinggi pada kuman kusta.
18
Gambar 2.1
Sediaan Multidrug Therapy
19
untuk dewasa tetapi dosis anak disesuaikan dengan berat badan, yaitu:
Rifampisin: 10 mg/kgBB
Dapson: 2 mg/kgBB
Clofamizin: 1mg/kgBB (Regan dan Keja, 2007).
20
Sebelum pengobatan.
Saat diagnosis ditegakkan.
Selama pengobatan.
Setelah pengobatan selesai (Saunderson, 2012).
Menurut hipersensitivitas yang menyebabkannya, reaksi kusta dibedakan
menjadi dua:
a. Reaksi kusta tipe 1 disebabkan oleh hipersensitivitas seluler
b. Reaksi kusta tipe 2 disebabkan oleh hipersensitivitas humoral
2.2.1 Reaksi Tipe 1
Menurut Jopling reaksi kusta tipe 1 merupakan delayed hypersensitivity
reaction seperti reaksi hipersensitivitas tipe IV menurut Coombs dan Gell
(Martodihardjo dan Susanto, 2006). Reaksi kusta tipe 1 terutama terjadi pada
kusta tipe borderline (BT, BB, BL), karena tipe borderline ini merupakan
tipe yang tidak stabil. Reaksi tipe ini terjadi terutama selama masa
pengobatan karena peningkatan hebat respon imun seluler secara tiba-tiba,
mengakibatkan terjadinya respon inflamasi pada daerah saraf dan kulit yang
terkena. Inflamasi pada jaringan saraf dapat mengakibatkan kerusakan dan
kecacatan (Regan dan Keja, 2012).
Pada reaksi ini terjadi peningkatan respon kekebalan seluler secara cepat
terhadap kuman kusta di kulit dan saraf pada pasien kusta. Hal ini berkaitan
dengan terurainya M.leprae yang mati akibat pengobatan yang diberikan.
Antigen yang berasal dari basil yang telah mati (breaking down leprosy
21
(Saunderson, 2012)
Gambar 2.2
Kulit pada Reaksi Tipe 1
22
dan Gell terutama terjadi pada tipe LL (Martodihardjo dan Susanto, 2006).
Antigen berasal dari produk kuman yang telah mati dan bereaksi dengan
antibodi membentuk kompleks Ag-Ab yang selanjutnya akan mengaktivasi
komplemen sehingga terbentuk kompleks imun. Kompleks imun tersebut
akan menimbulkan respon inflamasi. Karena beredar dalam sirkulasi darah
kompleks imun tersebut akan mengendap ke beberapa organ, terutama pada
lokasi dimana M.leprae berada dalam konsentrasi tinggi seperti : kulit (ENL),
saraf (neuritis), limfonodus (limfadenitis), tulang (artritis), ginjal (nefritis)
dan testis (orkitis). Jadi ENL merupakan reaksi humoral yang merupakan
manifestasi sindrom kompleks imun (Regan dan Keja, 2012).
Pada ENL, dijumpai peningkatan ekspresi sitokin IL-4, IL-5, IL 13 dan
IL-10 (respon tipe Th-2) serta peningkatan, IFN- dan TNF-. IL-4, IL-5,
IFN-, TNF- bertanggung jawab terhadap kenaikan suhu dan kerusakan
jaringan selama terjadi reaksi ENL (Prawoto, 2008).
(Saunderson, 2012)
Gambar 2.3
Kulit pada Reaksi Tipe 2
Tabel 2.3 Perbedaan Reaksi Kusta Tipe 1 Dan Tipe 2
Gejala tanda
Reaksi Tipe 1
Reaksi Tipe 2
23
Keadaan umum
Peradangan di
tinggi
Nodul kemerahan, lunak, dan
kulit
dapat pecah.
Dapat terjadi
Saraf
kulit
bercak baru
Hampir tidak ada
organ lain
Udem pada
ekstrimitas
Waktu timbulnya
(+)
Segera setelah pengobatan
(-)
Setelah mendapatkan
pengobatan yang lama,
Tipe kusta
dan MB
(Regan dan Keja, 2012)
Tabel 2.4 Perbedaan Reaksi Ringan dan Berat pada Reaksi Tipe 1 dan Tipe 2
Gejala /
Reaksi Tipe 1
Reaksi Tipe 2
24
Tanda
Kulit
Ringan
Bercak:
Merah, tebal,
Berat
Bercak:
Merah, tebal,
Ringan
Nodul:
Merah, tebal,
Berat
Nodul:
Merah, tebal,
panas,nyeri.*
panas,nyeri
panas,nyeri
panas,nyeri yang
yang bertambah
bertambah parah
parah sampai
sampai pecah
Nyeri pada
pecah
Nyeri pada
Nyeri pada
Nyeri pada
perabaan : (-)
Gangguan
perabaan : (+)
Gangguan
perabaan : (-)
Gangguan
perabaan : (+)
Gangguan
Keadaan
fungsi : (-)
Demam : (-)
fungsi : (+)
Demam : ()
fungsi : (-)
Demam : ()
fungsi : (+)
Demam : (+)
Umum
Gangguan
Saraf Tepi
+
Terjadi
pada Organ
Peradangan pada
Lain
mata, testis,
ginjal,
kelenjar limfe.
Gangguan pada
tulang, hidung
dan tenggorokan
*Catatan: Bila ada reaksi pada lesi kulit yang dekat dengan saraf dikategorikan reaksi berat
(Regan dan Keja, 2012)
25
Bila terdapat salah satu dari gejala di atas berarti ada reaksi berat dan perlu
diberikan obat anti reaksi. Obat anti reaksi terdiri atas :
1. Prednison (untuk reaksi tipe 1 dan 2). Obat ini digunakan untuk
penanganan/pengobatan reaksi.
2. Lampren (untuk reaksi tipe 2). Obat ini digunakan untuk penanganan/
pengobatan reaksi ENL yang berulang (steroid dependent).
3. Thalidomid (untuk reaksi tipe 2). Obat ini tidak dipergunakan dalam
program.
a. Tatalaksana reaksi ringan
Prinsip pengobatan reaksi ringan :
1. Berobat jalan, istirahat di rumah.
2. Pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang bila perlu.
3. MDT diberikan terus dengan dosis tetap.
4. Menghindari/menghilangkan faktor pencetus.
b. Tatalaksana reaksi berat
Prinsip pengobatan reaksi ringan :
1. Imobilisasi lokal/istirahat dirumah.
2. Pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang bila perlu.
3. MDT diberikan terus dengan dosis tetap.
4. Menghindari/menghilangkan faktor pencetus.
Faktor pencetus pada reaksi tipe 1 yaitu bercak multiple dan bercak luas
pada wajah dan lesi, saat puerpurium (karena peningkatan cell mediated
imunity), selama kehamilan trimester ke-3 (karena penurunan cell
mediated imunity), paling tinggi 6 bulan pertama setelah melahirkan
atau massa menyusui, infeksi penyerta seperti hepatitis B dan C,
neuritis atau riwayat nyeri saraf. Sedangkan faktor pencetus pada
reaksi tipe 2 yaitu pemberian obat MDT kecuali lampren, jumlash lesi
>4, kehamilan awal (karena stress mental), trimester ke-3 dan
puerpurium (karena stress fisik), setiap masa kehamilan (karena infeksi
penyerta), infeksi penyerta seperti streptokokus, virus.
26
27
Cacat sekunder ini terjadi akibat cacat primer, terutama akibat kerusakan
saraf sensorik, motorik, dan otonom (Wisnu dan Hadilukito, 2003).
2.3.3 Derajat Cacat
Mengingat organ yang paling berfungsi dalam kegiatan sehari-hari
adalah mata, tangan dan kaki maka WHO (1997) membagi cacat kusta
menjadi tiga tingkat kecacatan, yaitu:
Tabel 2.5 Tingkat Cacat Pada Kusta
Tingkat
0
1
Mata
Tidak ada kelainan karena kusta
Ada kelainan pada mata, tetapi tidak
Telapak tangan/kaki
Tidak ada cacat karena kusta
Anastesi, kelemahan otot (tidak ada
sedikit berkurang
Ada kelainan pada mata yang terlihat
kusta)
Ada cacat/kerusakan yang kelihatan
N. Fasialis
N. Aurikularis magnus di daerah servikal
N. Ulnaris
N. Medianus
N. Radialis
N. Kutaneus radialis
N. Peroneus lateralis
N. Tibialis posterior (Nuhonni dan Cholis, 2003).
28
Secara umum ada tiga fungsi saraf yaitu fungsi motorik untuk
memberikan kekuatan otot, fungsi sensorik memberi sensasi raba, dan fungsi
otonom mengatur kelenjar keringat dan minyak. Kecacatan yang terjadi
tergantung pada komponen saraf mana yang terkena (Regan dan Keja, 2012).
Gambar 2.4
Patogenesis Kecacatan Kusta
29
2. Stage of damage
Diagnosis stadium ini ditegakkan bisa saraf telah mengalami kerusakan
atau paralisis yang tidak lengkap <1 tahun. Paralisis awal terjadi pada otot
kelopak mata, otot jari tangan dan kaki. Bila paralisis berlanjut dapat
terjadi luka dan kekakuan sendi. Pada stadium ini kerusakan saraf
permanen dapat dihindari dengan pengobatan.
3. Stage of destruction
Diagnosis stadium ini ditegakkan bila kerusakan atau paralisis saraf terjadi
secara lengkap, yaitu >1 tahun. Kelumpuhan yang terjadi akan menetap
dan penderita kusta akan rentan mengalami infeksi progresif dengan
kerusakan tulang dan kehilangan penglihatan. Pada tingkat ini walaupun
dengan pengobatan, fungsi saraf tidak dapat diperbaiki (Wisnu dan
Hadilukito, 2003).
2.3.6 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kecacatan
Deformitas dan kecacatan bukan merupakan konsekuensi mutlak pada
kejadian kusta karena tidak semua penderita kusta mengalami kecacatan
melainkan hanya 20%-25% yang mengalami impairmen. Faktor risiko
penting yang dapat mengakibatkan kecacatan menurut Srinivasan (1994)
adalah tipe kusta, durasi penyakit dan jumlah saraf yang terkena. Tipe kusta
MB lebih infeksius dibandingkan tipe kusta PB sehingga risiko cacat semakin
besar pada tipe MB. Semakin lama durasi penyakit maka semakin besar risiko
pasien mengalami impairmen dan kecacatan. Risiko cacat juga meningkat
jika jumlah saraf yang terkena M. leprae semakin banyak.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Nugroho Susanto
(2006), dinyatakan bahwa faktor risiko yang berhubungan dengan tingkat
kecacatan penderita kusta adalah sebagai berikut:
1. Jenis Kelamin
30
31
32
mencegah kontraktur.
Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan
unit pelayanan rujukan seperti rumah sakit umum atau rumah sakit rujukan.
Penderita harus mengerti bahwa pengobatan MDT dapat membunuh kuman
kusta tetapi pada keadaan yang sudah terlanjur cacat, pengobatan tidak bisa
mengembalikan kondisi fisik seperti semula. Oleh karena itu, penderita harus
bisa melakukan perawatan diri dengan rajin supaya kecacatan tidak
bertambah berat.
33
34
adanya stigma dan leprofobi yang banyak dipengaruhi oleh informasi yang
keliru tentang penyakit kusta. sikap dan perilaku masyarakat yang negatif
terhadap penderita kusta sering menyebabkan penderita kusta tidak
mendapatkan tempat di dalam keluarga, masyarakat dan lingkungannya.
1. Rehabilitasi mental
Penyuluhan kesehatan berupa bimbingan mental, harus diupayakan sedini
mungkin pada setiap penderita, keluarga dan masyarakat sekitar untuk
memberikan dorongan dan semangat agar mereka dapat menerima
kenyataan tersebut.
2. Rehabilitasi karya
Upaya rehabilitasi karya ini dilakukan agar penderita yang sudah terlanjur
cacat dapat kembali melakukan pekerjaan yang lama atau dapat melatih
diri terhadap pekerjaan baru.
3. Rehabilitasi sosial
Bertujuan untuk memulihkan fungsi sosial ekonomi penderita sehingga
penderita bisa mandiri. Dalam rehabilitasi ini diharapkan peran serta
masyarakat untuk menunjang keberhasilan resosialisasi (Community
Based Rehabilitation) (Halim dan Kurdi, 2003).
2.4 Program Pengendalian Penyakit Kusta
1. Tujuan
a. Tujuan jangka panjang
- Menurunkan transmisi penyakit kusta
- Mencegah kecacatan pada semua penderita baru
35
36
3. Kegiatan pokok
a. Tatalaksana penderita meliputi penemuan penderita, diagnosis dan klasifikasi,
pengobatan dan pengendalian pengobatan, pencegahan cacat dan perawatan
diri, serta rehabilitasi medik.
b. Tatalaksana program meliputi perencanaan, pelatihan, penyuluhan dan
advokasi, supervisi, pencatatan dan pelaporan, monitoring dan evaluasi, serta
pengelolaan logistik (Regan dan Keja, 2007).
Pencapaian indikator SPM (Standar Pelayanan Minimal) Kabupaten
Pamekasan tahun 2008 untuk target pencegahan dan pemberantasan penyakit
kusta yang selesai berobat (RFT Rate) pada tahun 2010 > 90% (Depkes
Pamekasan, 2008)