Hiv Aids
Hiv Aids
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr, wb.
Puji syukur kehadirat ALLAH SWT, yang telah memberi kekuatan dan
kesempatan kepada kami, sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan
waktu yang di harapkan walaupun dalam bentuk yang sangat sederhana, dimana
makalah ini membahas tentang HIV/AIDS dan kiranya makalah ini dapat
meningkatkan pengetahuan kita khususnya tentang bagaimana dan apa bahaya
dari penyakit HIV/AIDS.
Dengan adanya makalah ini, mudah-mudahan dapat membantu
meningkatkan minat baca dan belajar teman-teman.selain itu kami juga
berharap semua dapat mengetahui dan memahami tentang materi ini, karena
akan meningkatkan mutu individu kita
Kami sangat menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih
sangat minim,sehing saran dari dosen pengajar serta kritikan dari semua pihak
masih
kami
harapkan
demi
perbaikan.
Penyusun
Daftar Isi
Kata Pengantar .2
Daftar Isi ...3
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...4
B. Rumusan Masalah ..6
C. Tujuan ....6
C. Patofisiologi .10
D. Manifestasi Klinis ....15
E.
Komplikasi ...16
F.
DAFTAR PUSTAKA 23
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
tanah air telah mencapai 4.617 orang dan AIDS 6.987 orang. Menderita HIV/AIDS
di Indonesia dianggap aib, sehingga dapat menyebabkan tekanan psikologis
terutama pada penderitanya maupun pada keluarga dan lingkungan disekeliling
penderita.
Secara fisiologis HIV menyerang sisitem kekebalan tubuh penderitanya.
Jika ditambah dengan stress psikososial-spiritual yang berkepanjangan pada
pasien terinfeksi HIV, maka akan mempercepat terjadinya AIDS, bahkan
meningkatkan angka kematian. Menurut Ross (1997), jika stress mencapai tahap
kelelahan (exhausted stage), maka dapat menimbulkan kegagalan fungsi system
imun yang memperparah keadaan pasien serta mempercepat terjadinya AIDS.
Modulasi respon imun penderita HIV/AIDS akan menurun secara signifikan,
seperti aktivitas APC (makrofag); Thl (CD4); IFN ; IL-2; Imunoglobulin A, G, E dan
anti-HIV. Penurunan tersebut akan berdampak terhadap penurunan jumlah CD4
hingga mencapai 180 sel/ l per tahun.
Pada umumnya, penanganan pasien HIV memerlukan tindakan yang
hampir sama. Namun berdasarkan fakta klinis saat pasien control ke rumah sakit
menunjukkan adanya perbedaan respon imunitas (CD4). Hal tersebut
menunjukkan terdapat faktor lain yang berpengaruh, dan faktor yang diduga
sangat berpengaruh adalah stress.
Stress yang dialami pasien HIV menurut konsep psikoneuroimunologis,
stimulusnya akan melalui sel astrosit pada cortical dan amigdala pada system
limbic berefek pada hipotalamus, sedangkan hipofisis akan menghasilkan CRF
(Corticotropin Releasing Factor). CRF memacu pengeluaran ACTH (Adrenal
corticotropic hormone) untuk memengaruhi kelenjar korteks adrenal agar
menghasilkan kortisol. Kortisol ini bersifat immunosuppressive terutama pada sel
zona fasikulata. Apabila stress yang dialami pasien sangat tinggi, maka kelenjar
adrenal akan menghasilkan kortisol dalam jumlah besar sehingga dapat
menekan system imun (Apasou dan Sitkorsky,1999), yamg meliputi aktivitas APC
(makrofag); Th-1 (CD4); sel plasma; IFN ; IL-2;IgM-IgG, dan Antibodi-HIV
(Ader,2001).
Salah satu metode yang digunakan dalam penerapan teknologi ini adalah
model asuhan keperawatan. Pendekatan yang digunakan adalah strategi koping
dan dukungan social yang bertujuan untuk mempercepat respon adaptif pada
pasien terinfeksi HIV, meliputi modulasi respon imun (Ader, 1991 ; Setyawan,
1996; Putra, 1990), respon psikologis, dan respon social (Steward, 1997). Dengan
demikian, penelitian bidang imunologi memilki empat variable yakni, fisik, kimia,
psikis, dan social, dapat membuka nuansa baru untuk bidang ilmu keperawatan
dalam mengembangkan model pendekatan asuhan keperawatan yang
berdasarkan pada paradigm psikoneuroimunologi terhadap pasien HIV
(Nursalam, 2005).
Oleh karena itu, makalah ini dibuat untuk menambah pengetahuan kita
tentang penyakit berbahaya HIV AIDS yang sampai sekarang belum terobati dan
sekaligus sebagai pemenuhan tugas yang diberikan dosen.
B.
Rumusan Masalah
1.
2.
3.
Bagaimana manifestasi klinik dan pemeriksaan penunjang dalam
penanganan penularan virus HIV/AIDS ?
C.
Tujuan
1.
2.
3.
Mengetahui dan mendeskripsikan manifestasi klinik dan pemeriksaan
penunjang dalam menangani penularan virus HIV/AIDS.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian HIV/AIDS
Reverse transkripstase
Replikasi
Budding
Maturasi
Tipe HIV
Ada 2 tipe HIV yang menyebabkan AIDS: HIV-1 dan HIV-2.
HIV-1 bermutasi lebih cepat karena reflikasi lebih cepat. Berbagai macam
subtype dari HIV-1 telah ditemukan dalam daerah geografis yang spesifik dan
kelompok spesifik resiko tinggi.
Individu dapat terinfeksi oleh subtipe yang berbeda. Berikut adalah subtipe HIV-1
dan distribusi geografisnya:
Sub tipe A: Afrika tengah
Sub tipe B: Amerika selatan,brasil,rusia,Thailand
Sub tipe C: Brasil,india,afrika selatan
Sub tipe D: Afrika tengah
Sub tipe E:Thailand,afrika tengah
Sub tipe F: Brasil,Rumania,Zaire
Sub tipe G: Zaire,gabon,Thailand
Sub tipe H: Zaire,gabon
Sub tipe O: Kamerun,gabon
Sub tipe C sekarang ini terhitung lebih dari separuh dari semua infeksi HIV baru
d seluruh dunia
B.
Etiologi
C.
1.
Sistem imun melindungi tubuh dengan cara mengenali bakteri atau virus
yang masuk ke dalam tubuh, dan bereaksi terhadapnya. Ketika system imun
melemah atau rusak oleh virus seperti virus HIV, tubuh akan lebih mudah
terkena infeksi oportunistik. System imun terdiri atas organ dan jaringan limfoid,
termasuk di dalamnya sumsum tulang, thymus, nodus limfa, limfa, tonsil,
adenoid, appendix, darah, dan limfa.
o Sel B
Fungsi utama sel B adalah sebagai imunitas antobodi humoral. Masingmasing sel B mampu mengenali antigen spesifik dan mempunyai kemampuan
untuk mensekresi antibodi spesifik. Antibody bekerja dengan cara membungkus
antigen, membuat antigen lebih mudah untuk difagositosis (proses penelanan
dan pencernaan antigen oleh leukosit dan makrofag. Atau dengan membungkus
antigen dan memicu system komplemen (yang berhubungan dengan respon
inflamasi).
o Limfosit T
Limfosit T atau sel T mempunyai 2 fungsi utama yaitu :
a.
b.
2.
Reverse transkripstase
Replikasi
Budding
3.
Maturasi
Ada 2 tipe HIV yang menyebabkan AIDS: HIV-1 yang HIV-2. HIV-1
bermutasi lebih cepat karena reflikasi lebih cepat. Berbagai macam subtype dari
HIV-1 telah d temukan dalam daerah geografis yang spesifik dan kelompok
spesifik resiko tinggi.
Individu dapat terinfeksi oleh subtipe yang berbeda. Berikut adalah
subtipe HIV-1 dan distribusi geografisnya:
Sub tipe A: Afrika tengah
Sub tipe B: Amerika selatan,brasil,rusia,Thailand
Sub tipe C: Brasil,india,afrika selatan
Sub tipe D: Afrika tengah
Sub tipe E:Thailand,afrika tengah
Sub tipe F: Brasil,Rumania,Zaire
Sub tipe G: Zaire,gabon,Thailand
Sub tipe H: Zaire,gabon
Sub tipe O: Kamerun,gabon
Sub tipe C sekarang ini terhitung lebih dari separuh dari semua infeksi HIV baru
d seluruh dunia.
4.
Infeksi primer berkaitan dengan periode waktu di mana HIV pertama kali
masuk ke dalam tubuh. Pada waktu terjadi infeksi primer, darah pasien
menunjukkan jumlah virus yang sangat tinggi, ini berarti banyak virus lain di
dalam darah.
Sejumlah virus dalam darah atau plasma per millimeter mencapai 1 juta.
Orang dewasa yang baru terinfeksi sering menunjukkan sindrom retroviral akut.
Tanda dan gejala dari sindrom retrovirol akut ini meliputi : panas, nyeri otot, sakit
kepala, mual, muntah, diare, berkeringat di malam hari, kehilangan berat badan,
dan timbul ruam. Tanda dan gejala tersebut biasanya muncul dan terjadi 2-4
minggu setelah infeksi, kemudian hilang atau menurun setelah beberapa hari
dan sering salah terdeteksi sebagai influenza atau infeksi mononucleosis.
Selama imfeksi primer jumlah limfosit CD4 + dalam darah menurun dengan
cepat. Target virus ini adalah limfosit CD4 + yang ada di nodus limfa dan thymus.
Keadaan tersebut membuat individu yang terinfeksi HIV rentan terkena infeksi
oportunistik dan membatasi kemampuan thymus untuk memproduksi limfosit T.
Tes antibody HIV dengan menggunakan enzyme linked imunoabsorbent assay
(EIA) akan menunjukkan hasil positif.
5.
Hubungan seksual secara vaginal, anal, dan oral dengan penderita HIV
tanpa perlindungan bisa menularkan HIV. Selama hubungan seksual
berlangsung, air mani, cairan vagina, dan darah dapat mengenai selaput lender
vagina, penis, dubur, atau mulut sehingga HIV yang terdapat dalam cairan
tersebut masuk ke aliran darah (PELKESI, 1995). Selama berhubungan juga bisa
terjadi lesi mikro pada dinding vagina, dubur, dan mulut yang bisa menjadi jalan
HIV untuk masuk ke aliran darah pasangan seksual (Syaiful, 2000).
2.
Penularan HIV dari ibu pada saat kehamilan (in utero). Berdasarkan
laporan CDC Amerika, prevalensi HIV dari ibu ke bayi adalah 0,01% sampai 0,7%.
Bila ibu baru terinfeksi HIV dan belum ada gejala AIDS, kemungkinan bayi
terinfeksi sebanyak 20% sampai 35%, sedangkan kalau gejala AIDS sudah jelas
pada ibu kemungkinannya mencapai 50% (PELKESI, 1995). Penularan juga terjadi
selama proses persalinan melalui transfuse fetomaternal atau kontak antara kulit
atau membrane mukosa bayi dengan darah atau sekresi maternal saat
melahirkan (Lily V, 2004).
3.
6.
D.
Manifestasi Klinis
Gejala dini yang sering dijumpai berupa eksantem, malaise, demam yang
menyerupai flu biasa sebelum tes serologi positif. Gejala dini lainnya berupa
penurunan berat badan lebih dari 10% dari berat badan semula, berkeringat
malam, diare kronik, kelelahan, limfadenopati. Beberapa ahli klinik telah
membagi beberapa fase infeksi HIV yaitu :
1.Infeksi HIV Stadium Pertama
Pada fase pertama terjadi pembentukan antibodi dan memungkinkan juga
terjadi gejala-gejala yang mirip influenza atau terjadi pembengkakan kelenjar
getah bening.
2.Persisten Generalized Limfadenopati
Terjadi pembengkakan kelenjar limfe di leher, ketiak, inguinal, keringat
pada waktu malam atau kehilangan berat badan tanpa penyebab yang jelas dan
sariawan oleh jamur kandida di mulut.
3.AIDS Relative Complex (ARC)
Virus sudah menimbulkan kemunduran pada sistem kekebalan sehingga
mulai terjadi berbagai jenis infeksi yang seharusnya dapat dicegah oleh
kekebalan tubuh. Disini penderita menunjukkan gejala lemah, lesu, demam,
diare, yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya dan berlangsung lama, kadangkadang lebih dari satu tahun, ditambah dengan gejala yang sudah timbul pada
fase kedua.
4.Full Blown AIDS.
Pada fase ini sistem kekebalan tubuh sudah rusak, penderita sangat
rentan terhadap infeksi sehingga dapat meninggal sewaktu-waktu. Sering terjadi
radang paru pneumocytik, sarcoma kaposi, herpes yang meluas, tuberculosis
oleh kuman opportunistik, gangguan pada sistem saraf pusat, sehingga
penderita pikun sebelum saatnya. Jarang penderita bertahan lebih dari 3-4
tahun, biasanya meninggal sebelum waktunya.
E.
a.
Komplikasi
Oral Lesi
Neurologik
1.
Kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung Human
Immunodeficiency Virus (HIV) pada sel saraf, berefek perubahan kepribadian,
kerusakan kemampuan motorik, kelemahan, disfasia, dan isolasi social.
2.
Enselophaty akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia,
ketidakseimbangan elektrolit, meningitis / ensefalitis. Dengan efek : sakit kepala,
malaise, demam, paralise, total / parsial.
3.
Infark serebral kornea sifilis meningovaskuler,hipotensi sistemik, dan
maranik endokarditis.
4.
Neuropati karena imflamasi demielinasi oleh serangan Human
Immunodeficienci Virus (HIV).
c.
Gastrointestinal
1.
Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma,
dan
sarcoma
Kaposi.
Dengan
efek,
penurunan
berat
badan,anoreksia,demam,malabsorbsi, dan dehidrasi.
2.
Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat illegal,
alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,demam
atritis.
3.
Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal
yang sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal,
gatal-gatal dan siare.
d.
Respirasi
Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena
xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek
nyeri,gatal,rasa terbakar,infeksi skunder dan sepsis.
f.
Sensorik
Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan
Pemeriksaan Penunjang
1.
Konfirmasi diagnosis dilakukan dengan uji antibody terhadap antigen virus
structural. Hasil positif palsu dan negative palsu jarang terjadi.
2.
Untuk transmisi vertical (antibody HIV positif) dan serokonversi (antibody
HIV negative), serologi tidak berguna dan RNA HIV harus diperiksa. Diagnosis
berdasarkan pada amflikasi asam nukleat.
3.
Untuk memantau progresi penyakit, viral load (VL) dan hitung DC4
diperiksa secara teratur (setiap8=12 minggu). Pemeriksaan VL sebelum
pengobatan menentukan kecepatan penurunan CD4, dan pemeriksaan
pascapengobatan (didefinisikan sebagai VL <50 kopi/mL). menghitung CD4
menetukan kemungkinan komplikasi, dan menghitung CD4 >200 sel/mm 3
menggambarkan resiko yang terbatas. Adapun pemeriksaan penunjang dasar
yang diindikasikan adalah sebagai berikut :
Semua pasien
: OCP tinja
: PCR sitomegalovirus
a.
Tes HIV pada bayi, karena zat antimaternal masih ada pada bayi yang
dapat menghambat pemeriksaan secara serologis. Seorang ibu yan menderita
HIV akan membentuk zat kekebalan untuk melawan penyakit tersebut. Zat
kekbalan itulah yang diturunkan pada bayi melalui plasenta yang akan
mengaburkan hasil pemeriksaan, seolah-olah sudah ada infeksi pada bayi
tersebut. (catatan : HIV sering merupakan deteksi dari zat anti-HIV bukan HIVnya sendiri).
b.
Menetapakan status infeksi individu yang seronegatif pada kelompok
berisiko tinggi.
c.
d.
Tes konfirmasi untuk HIV-2, sebab ELISA mempunyai sensitivitas rendah
untuk HIV-2.
7.
Serosurvei, untuk mengetahui prevalensi pada kelompok
dilaksanakan 2 kali pengujian dengan reagen yang berbeda.
8.
G.
berisiko,
2.
Memeriksa adanya virus paling lambat 6 bulan setelah hubungan seks
terakhir yang tidak terlindungi.
3.
Menggunakan pelindung jika berhubungan dengan orang yang tidak jelas
status Human Immunodeficiency Virus (HIV) nya.
4.
5.
Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang efektif
terhadap AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral Human Immunodeficiency
Virus (HIV) dengan menghambat enzim pembalik traskriptase. AZT tersedia
untuk pasien AIDS yang jumlah sel T4 nya <>3 . Sekarang, AZT tersedia untuk
pasien dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel
T4 > 500 mm3
1.
Didanosine
2.
Ribavirin
3.
Diedoxycytidine
4.
1.
1.
Pendidikan untuk menghindari alcohol dan obat terlarang, makan-makanan
sehat,hindari stress,gizi yang kurang,alcohol dan obat-obatan yang mengganggu
fungsi imun.
2.
Menghindari infeksi lain, karena infeksi itu dapat mengaktifkan sel T dan
mempercepat reflikasi Human Immunodeficiency Virus (HIV).
DAFTAR PUSTAKA
Djuanda, adhi. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit FKUI