Anda di halaman 1dari 23

ASUHAN KEPERAWATAN

SISTEM NEUROBEHAVIOUR PADA ANAK


BRONKITIS
Makalah Disusun Untuk Memenuhi Mata Kuliah Asuhan Keperawatan Sistem Respirasi Anak

Di susun oleh :
Kelompok 3 Semester 3/A
1. Zeny Susanti
14631412
2. Afnis Tirtawidi
14631419
3. Yuyun Karuniawati14631421

Prodi S1 Keperawatan
Fakultas Ilmu Kesehatan
1

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO


2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT. yang telah memberikan rahmat, taufik, serta hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penyusunan makalah dengan judul Hubungan
Makanan dan Kesehatan sesuai dengan waktu yang sudah disediakan.
Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas diskusi mata kuliah Sosiologi Dasar yang
dibimbing oleh Meti Verawati, S.Kep.,Ns.,M.Kes.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada
1. SitiMunawaroh, S.Kep.Ns, M.Kep., selaku Dekan FIK Unmuh Ponorogo;
2. LinaPurwati, S.Kep,Ns, M.Kep., selakuKaprodi S-1 Keperawatan;
3. Meti verawati, S.Kep.,Ns.,M.Kes., selaku dosen pembimbing mata kuliah ini yang telah
memberikan arahan serta masukan;
4. Pihak lain yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu, yang telah memberikan dukungan
moral maupun material.
Saya menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu,
saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi semua pihak.
Ponorogo, 11 september 2015

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.....................................................................................i
2

ABSTRAK....................................................................................................ii
KATA PENGANTAR...................................................................................iii
DAFTAR ISI................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1
A. Latar Belakang.........................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................1
C. Tujuan.......................................................................................................1
D. Manfaat....................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................3
A. Pengertian Makanan.................................................................................3
B. Pengertian Kesehatan...............................................................................4
C. Hubungan Makanan dan Kesehatan.........................................................4
D. Fungsi Makanan dalam Kesehatan..........................................................8
BAB III PEMBAHASAN.............................................................................9
A.Metode Pengumpulan Data.......................................................................9
B. Hasil Survei dan Pembahasan..................................................................9
BAB IV PENUTUP.....................................................................................13
A.Kesimpulan..............................................................................................13
B.Saran.........................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................14
LAMPIRAN.................................................................................................15

BAB I
KONSEP PENYAKIT
1.1 Pengertian
Epilepsi berasal dari bahasa Yunani, Epilambanmein yang berarti serangan.Dahulu
masyarakat percaya bahwa epilepsi disebabkan oleh roh jahat dan dipercaya juga bahwa
epilepsi merupakan penyakit yang bersifat suci. Latar belakang munculnya mitos dan rasa
takut terhadap epilepsy berasal hal tersebut.Mitos tersebut mempengaruhi sikap masyarakat
dan menyulitkan upaya penanganan penderita epilepsi dalam kehidupan normal.Penyakit
tersebut sebenarnya sudah dikenal sejak tahun 2000 sebelum Masehi.Orang pertama yang
berhasil mengenal epilepsi sebagai gejala penyakit dan menganggap bahwa epilepsi
merupakan penyakit yang didasari oleh adanya gangguan di otak adalah Hipokrates.
Epilepsi merupakan kelainan neurologi yang dapat terjadi pada setiap orang di seluruh
dunia.Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai etiologi, dengan
gejala tunggal yang khas, yaitu kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik neuron otak
secara berlebihan dan paroksimal.
Terdapat dua kategori dari kejang epilepsi yaitu kejang fokal (parsial) dan kejang
umum.Kejang fokal terjadi karena adanya lesi pada satu bagian dari cerebral cortex, di mana
pada kelainan ini dapat disertai kehilangan kesadaran parsial.Sedangkan pada kejang umum,
lesi mencakup area yang luas dari cerebral cortex dan biasanya mengenai kedua hemisfer
cerebri.Kejang mioklonik, tonik, dan klonik termasuk dalam epilepsi umum.Bangkitan
epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa (stereotipik) yang berlebihan dan
abnormal,

berlangsung

mendadak

dan

sementara,

dengan

atau

tanpa

perubahan

kesadaran.Disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak dan bukan
disebabkan oleh suatu penyakit otak akut.Kejang epilepsi harus dibedakan dengan sindrom
epilepsi.
Kejang epilepsi adalah timbulnya kejang akibat berbagai penyebab yang ditandaidengan
serangan tunggal atau tersendiri. Sedangkan sindrom epilepsiadalah sekumpulan gejala dan

tanda klinis epilepsi yang ditandai dengankejang epilepsy berulang, meliputi berbagai
etiologi, umur, onset, jenis serangan, faktor pencetus, kronisitas.
Kejang adalah kejadian epilepsi dan merupakan ciri epilepsi yang harus ada, tetapi tidak
semua kejang merupakan manifestasi epilepsi. Seorang anak terdiagnosa menderita epilepsi
jika terbukti tidak ditemukannya penyebab kejang lain yang bisa dihilangkan atau
disembuhkan, misalnya adanya demam tinggi, adanya pendesakan otak oleh tumor, adanya
pendesakan otak oleh desakan tulang cranium akibat trauma, adanya inflamasi atau infeksi di
dalam otak, atau adanya kelainan biokimia atau elektrolit dalam darah. Tetapi jika kelainan
tersebut tidak ditangani dengan baik maka dapat menyebabkan timbulnya epilepsi di
kemudian hari.
1.2 Epidemiologi
Kejang merupakan kelainan neurologi yang paling sering terjadi pada anak, di mana
ditemukan 4 10 % anak-anak mengalami setidaknya satu kali kejang pada 16 tahun pertama
kehidupan.Studi yang ada menunjukkan bahwa 150.000 anak mengalami kejang tiap tahun, di
mana terdapat 30.000 anak yang berkembang menjadi penderita epilepsi.
Faktor resiko terjadinya epilepsi sangat beragam, di antaranya adalah infeksi SSP, trauma
kepala, tumor, penyakit degeneratif, dan penyakit metabolik.Meskipun terdapat bermacammacam faktor resiko tetapi sekitar 60 % kasus epilepsi tidak dapat ditemukan penyebab yang
pasti.Berdasarkan jenis kelamin, ditemukan bahwa insidensi epilepsi pada anak laki laki
lebih tinggi daripada anak perempuan.
Epilepsi paling sering terjadi pada anak dan orang lebih tua (di atas 65 tahun).Pada 65 %
pasien, epilepsi dimulai pada masa kanak-kanak.Puncak insidensi epilepsi terdapat pada
kelompok usia 0-1 tahun, kemudian menurun pada masa kanak-kanak, dan relatif stabil
sampai usia 65 tahun. Menurut data yang ada, insidensi per tahun epilepsi per 100000
populasi adalah 86 pada tahun pertama, 62 pada usia 1 5 tahun, 50 pada 5 9 tahun, dan 39
pada 10 14 tahun.
1.3 Etiologi

Etiologi dari epilepsi adalah multifaktorial, tetapi sekitar 60 % dari kasus epilepsi tidak
dapat ditemukan penyebab yang pasti atau yang lebihsering kita sebut sebagai kelainan
idiopatik.2 Terdapat dua kategori kejang epilepsi yaitu kejang fokal dan kejang umum.
Secara garis besar, etiologi epilepsi dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Kejang Fokal :
a. Trauma kepala
b. Stroke
c. Infeksi
d. Malformasi vaskuler
e. Tumor (Neoplasma)
f. Displasia
g. Mesial Temporal Sclerosis
2. kejang umum :
a. Penyakit metabolik
b. Reaksi obat
c. Idiopatik
d. Faktor genetik
e. Kejang fotosensitif
1.4 Klasifikasi
Klasifikasi International League Against Epilepsy (ILAE) 1981 untuk kejang epilepsi :
A. Kejang parsial
1. Kejang parsial sederhana
Kejang parsial sederhana dengan gejala motorik
Kejang parsial sederhana dengan gejala somatosensorik atau sensorik khusus
Kejang parsial sederhana dengan gejala psikis
2. Kejang parsial kompleks
Kejang parsial kompleks dengan onset parsial sederhana diikuti gangguan
kesadaran
Kejang parsial kompleks dengan gangguan kesadaran saat onset
3. Kejang parsial yang menjadi kejang generalisata sekunder
Kejang parsial sederhana menjadi kejang umum
Kejang parsial kompleks menjadi kejang umum
6

Kejang parsial sederhana menjadi kejang parsial kompleks dan kemudian menjadi
kejang umum

B. Kejang umum
1. Kejang absans
2. Absans atipikal
3. Kejang mioklonik
4. Kejang klonik
5. Kejang tonik-klonik
6. Kejang atonik
Klasifikasi International League Against Epilepsy (ILAE) 1989 untuk sindroma epilepsi :
A. Berkaitan dengan letak focus
1. Idiopatik
Epilepsi anak benigna dengan gelombang paku di sentrotemporal (Rolandik
benigna)
Epilepsi anak dengan paroksimal oksipital
2. simtomatik
Lobus temporalis
Lobus frontalis
Lobus parietalis
Lobus oksipitalis
Kronik progresif parsialis kontinu
3. Kriptogenik
B. Epilepsi umum
1. Idiopatik
Kejang neonates familial Benigna
Kejang neonates benigna
Epilepsi mioklonik benigna pada bayi
Epilepsi absans pada anak (pyknolepsy)
Epilepsi absans pada remaja
Epilepsi mioklonik pada remaja
Epilepsi dengan serangan tonik-klonik saat terjaga
2. Kriptogenik atau simtomatik
Sindroma West (spasme bayi)
Sindroma Lennox-Gastaut
Epilepsi dengan kejang mioklonik-astatik
Epilepsi dengan mioklonik absans
3. Simtomatik
Etiologi non spesifik
7

Ensefalopati mioklonik neonatal


Epilepsi ensefalopati pada bayi
Gejala epilepsi umum lain yang tidak dapat didefinisikan
Sindrom spesifik
Malformasi serebral
Gangguan metabolism
C. Epilepsi dan sindrom yang tidak dapat ditentukan fokal atau generalisata
1. Serangan fokal dan umum
Kejang neonatal
Epilepsi mioklonik berat pada bayi
2. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
Epilepsi dengan gelombang paku kontinu selama gelombang rendah tidur
(Sindroma Taissinare)
Sindroma Landau-Kleffner
D. Sindrom khusus
1. Kejang demam
2. Status epileptikus
3. Kejang berkaitan dengan gejala metabolik atau toksik akut

1.5 Gejala dan Tanda


Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari epilepsi, yaitu :
A. Kejang parsial
Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil dari otak atau satu
hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada satu sisi atau satu bagian tubuh dan kesadaran
penderita umumnya masih baik.
1. Kejang parsial sederhana
Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal, femnomena halusinatorik,
psikoilusi, atau emosional kompleks. Pada kejang parsial sederhana, kesadaran
penderita masih baik.
2. Kejang parsial kompleks
Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial sederhana, tetapi yang
paling khas terjadi adalah penurunan kesadaran dan otomatisme.

B. Kejang umum
Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian besar dari otak atau
kedua hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada seluruh bagian tubuh dan kesadaran
penderita umumnya menurun.
1. Kejang Absans
Hilangnya kesadaran sessat (beberapa detik) dan mendadak disertai amnesia.
Serangan tersebut tanpa disertai peringatan seperti aura atau halusinasi, sehingga
sering tidak terdeteksi.
2. Kejang Atonik
Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot anggota badan, leher, dan
badan. Durasi kejang bias sangat singkat atau lebih lama.
3. Kejang Mioklonik
Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat dan singkat. Kejang
yang terjadi dapat tunggal atau berulang.
4. Kejang Tonik-Klonik
Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran hilang dengan cepat dan total
disertai kontraksi menetap dan masif di seluruh otot. Mata mengalami deviasi ke
atas. Fase tonik berlangsung 10 - 20 detik dan diikuti oleh fase klonik yang
berlangsung sekitar 30 detik. Selama fase tonik, tampak jelas fenomena otonom
yang terjadi seperti dilatasi pupil, pengeluaran air liur, dan peningkatan denyut
jantung.
5. Kejang Klonik
Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik, tetapi kejang yang
terjadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit.
6. Kejang Tonik
Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering mengalami jatuh
akibat hilangnya keseimbangan.
1.6 Patofisiologi

Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus
kejangatau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas
kejangsebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak
tengah,talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan
lesi diserebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang.
Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi,
termasuk yang berikut :
1. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
2. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun
danapabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
3. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu
dalamrepolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi
asam gama-aminobutirat (GABA).
4. Ketidakseimbangan
ion yang

mengubah

keseimbangan

asam-basa

atau elektrolit,yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi


kelainan

depolarisasineuron.

Gangguan

keseimbangan

ini

menyebabkan

peningkatan berlebihanneurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter


inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang
sebagiandisebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron.
Selamakejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel
saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat,
demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis
(CSS)selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi selama
aktivitaskejang.
Secara

umum,

tidak

dijumpai

kelainan

yang

nyata

pada

autopsi.

Bukti

histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural.
Belum adafaktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada
metabolism kaliumdan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya
sangat peka terhadapasetikolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut
lambat mengikat danmenyingkirkan asetilkolin.
10

1.7 Penatalaksanaan
Beberapa penatalaksanaan dalam epilepsi yaitu :
A. Tatalaksana fase akut (saat kejang)
Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan oksigenasi otak yang
adekuat, mengakhiri kejang sesegera mungkin, mencegah kejang berulang, dan mencari
faktor penyebab. Serangan kejang umumnya berlangsung singkat dan berhenti sendiri.
Pengelolaan pertama untuk serangan kejang dapat diberikan diazepam per rektal dengan
dosis 5 mg bila berat badan anak < 10 kg atau 10 mg bila berat badan anak > 10 kg. Jika
kejang masih belum berhenti, dapat diulang setelah selang waktu 5 menit dengan dosis
dan obat yang sama. Jika setelah dua kali pemberian diazepam per rektal masih belum
berhenti, maka penderita dianjurkan untuk dibawa ke rumah sakit.

B. Pengobatan epilepsi
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat penderita epilepsi terbebas dari
serangan epilepsinya. Serangan kejang yang berlangsung mengakibatkan kerusakan
sampai kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila kejang terjadi terus menerus maka
kerusakan sel-sel otak akan semakin meluas dan mengakibatkan menurunnya
kemampuan intelegensi penderita. Karena itu, upaya terbaik untuk mengatasi kejang
harus dilakukan terapi sedini dan seagresif mungkin. Pengobatan epilepsy dikatakan
berhasil dan penderita dinyatakan sembuh apabila serangan epilepsi dapat dicegah atau
dikontrol dengan obatobatan sampai pasien tersebut 2 tahun bebas kejang. Secara umum
ada tiga terapi epilepsi, yaitu :29,30
1. Terapi medikamentosa
Merupakan terapi lini pertama yang dipilih dalam menangani penderita
epilepsi yang baru terdiagnosa. Jenis obat anti epilepsi (OAE) baku yang biasa
diberikan di Indonesia adalah obat golongan fenitoin, karbamazepin, fenobarbital,
dan asam valproat. Obat-obat tersebut harus diminum secara teratur agar dapat
mencegah serangan epilepsi secara efektif. Walaupunserangan epilepsi sudah
teratasi, penggunaan OAE harus tetap diteruskan kecuali ditemukan tanda-tanda
11

efek samping yangberat maupun tanda-tanda keracunan obat. Prinsip pemberian


obat dimulai dengan obat tunggal dan menggunakan dosis terendah yang dapat
mengatasi kejang.
2. Terapi bedah
Merupakan tindakan operasi yang dilakukan dengan memotong bagian yang
menjadi fokus infeksi yaitu jaringan otak yang menjadi sumber serangan.
Diindikasikan terutama untuk penderita epilepsi yang kebal terhadap pengobatan.
Berikut ini merupakan jenis bedah epilepsi berdasarkan letak fokus infeksi :
a. Lobektomi temporal
b. Eksisi korteks ekstratemporal
c. Hemisferektomi
d. Callostomi
3. Terapi nutrisi
Pemberian terapi nutrisi dapat diberikan pada anak dengan kejang berat yang
kurang dapat dikendalikan dengan obat antikonvulsan dan dinilai dapat
mengurangi toksisitas dari obat. Terapi nutrisi berupa diet ketogenik dianjurkan
pada anak penderita epilepsi. Walaupun mekanisme kerja diet ketogenik dalam
menghambat kejang masih belum diketahui secara pasti, tetapi ketosis yang stabil
dan menetap dapat mengendalikan dan mengontrol terjadinya kejang. Hasil
terbaik dijumpai pada anak prasekolah karena anak-anak mendapat pengawasan
yang lebih ketat dari orang tua di mana efektivitas diet berkaitan dengan derajat
kepatuhan. Kebutuhan makanan yang diberikan adalah makanan tinggi lemak.
Rasio kebutuhan berat lemak terhadap kombinasi karbohidrat dan protein adalah
4:1. Kebutuhan kalori harian diperkirakan sebesar 75 80 kkal/kg. Untuk
pengendalian kejang yang optimal tetap diperlukan kombinasi diet dan obat
antiepilepsi.
4. Pengobatan kausal
Perlu diselidiki dahulu apakah pasien epilepsy masih menderita penyakit yang
aktif misalnya tumor serebri, hematoma subdural kronik. Bila iya, perlu diobati

12

dahulu. Pada sebagian besar pasien epilepsy tidak dapat ditemukan lesinya. Untuk
hal ini diberi pengobatan yang ditujukan terhadap gejala epilepsi.

BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
2.1

Pengkajian
Mengumpulkan informasi tentang riwayat kejang pasien. Pasien ditanyakan tentang
faktor atau kejadian yang dapat menimbulkan kejang. Asupan alkohol dicatat. Efek epilepsy
pada gaya hidup dikaji: Apakah ada keterbatasan yang ditimbulkan oleh gangguan kejang?
Apakah pasien mempunyai program rekreasi? Kontak sosial? Apakah pengalaman kerja?
Mekanisme koping apa yang digunakan?
A. Identitas
Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa,alamat,
tanggalmasuk rumah sakit, nomor register, tanggal pengkajian dan diagnosa medis.
B. Keluhan utama

13

Merupakan kebutuhan yang mendorong penderita leukimia untuk masuk RS.


keluhan utamapada penderita leukemia yaitu perasaan lemah, nafsu makan turun,
demam, perasaan tidak enak badan, nyeri pada ektremitas.
C. Riwayat penyakit sekarang
Merupakan riwayat klien saat ini meliputi keluhan, sifat dan hebatnya keluhan,
mulai timbul.Biasanya ditandai dengan anak mulai rewel, kelihatan pucat, demam,
anemia, terjadipendarahan ( ptekia, ekimosis, pitaksis, pendarah gusi dan
memar tanpa sebab), kelemahantedapat pembesaran hati, limpa, dan kelenjar limpe,
kelemahan. nyeri tulang atau sendidengan atau tanpa pembengkakan.
D. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan dengan keadaan
penyakitsekarang perlu ditanyakan.
E. Riwayat kehamilan dan kelahiran.
Dalam hal ini yang dikaji meliputi riwayat prenatal, natal dan post natal.
Dalam riwayatprenatal perlu diketahui penyakit apa saja yang pernah diderita
oleh ibu. Riwayat natal perludiketahui apakah bayi lahir dalam usia kehamilan aterm
atau tidak karena mempengaruhisistem kekebalan terhadap penyakit pada anak.
Trauma persalinan juga mempengaruhitimbulnya penyakit contohnya aspirasi
ketuban untuk anak.
F. Riwayat penyakit keluarga
Merupakan gambaran kesehatan keluarga, apakah ada kaitannya dengan
penyakit yangdideritanya. Pada keadaan ini status kesehatan keluarga perlu
diketahui, apakah ada yangmenderita gangguan hematologi, adanya faktor hereditas
misalnya kembar monozigot. Obsevasi dan pengkajian selama dan setelah kejang
akan membantu dalam mengindentifikasitipe kejang dan penatalaksanaannya.
1. Selama serangan :
Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan.
14

Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.


Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.
Apakah disertai komponen motorik seperti kejang tonik, kejang klonik,

kejang tonik-klonik, kejang mioklonik, kejang atonik.


Apakah pasien menggigit lidah.
Apakah mulut berbuih.
Apakah ada inkontinen urin.
Apakah bibir atau muka berubah warna.
Apakah mata atau kepala menyimpang pada satu posisi.
Berapa lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya berubah pada satu

sisi atau keduanya


2. Sesudah serangan
Apakah pasien : letargi , bingung, sakit kepala, otot-otot sakit, gangguan

bicara
Apakah ada perubahan dalam gerakan.
Sesudah serangan apakah pasien masih ingat apa yang terjadi sebelum,

selama dan sesudah serangan.


Apakah terjadi perubahan tingkat kesadaran, pernapasan atau frekuensi

denut jantung.
Evaluasi kemungkinan terjadi cedera selama kejang.
3. Riwayat sebelum serangan
Apakah ada gangguan tingkah laku, emosi.
Apakah disertai aktivitas otonomik yaitu berkeringat, jantung berdebar.
Apakah ada aura yang mendahului serangan, baik sensori, auditorik,
olfaktrik maupunvisual.
4. Riwayat Penyakit Sejak kapan serangan terjadi.
Pada usia berapa serangan pertama.
Frekuensi serangan.
Apakah ada keadaan yang mempresipitasi serangan, seperti demam, kurang

2.2

tidur,keadaan emosional.
Apakah penderita pernah menderita sakit berat, khususnya yang disertai

dengangangguan kesadaran, kejang-kejang.


Apakah pernah menderita cedera otak, operasi otak.
Apakah makan obat-obat tertentu.
Apakah ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga

Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnose keperawatan dari epilepsy (anak) sebagai berikut:
15

1. Resiko cedera berhubungan dengan aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan
keseimbangan).
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di
endotrakea, peningkatan sekresi saliva.
3. Isolasi sosial berhubungan dengan rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma
buruk penyakit epilepsi dalam masyarakat.
4. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan dispnea dan apnea.
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan kardiac output, takikardia.
6. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan gangguan pada nervus organ sensori
persepsi.
7. Ansietas berhubungan dengankurang pengetahuan mengenai penyakit.
8. Resiko penurunan perfusi serebral berhubungan dengan penurunan suplai oksigen ke
otak.

2.3 Intervensi Keperawatan


1. Resiko cedera berhubungan dengan aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan
keseimbangan).
Tujuan

Kriteria

Intervensi

rasional
16

Klien dapat mengidentifikasi

hasil
tidak

faktor presipitasi serangan dan

terjadi

dapat

Keperawatan
Observasi:

Barang- barang

Identivikasi

di sekitar pasien

cedera

factor

dapat

meminimalkan/menghindarinya

fisik

lingkungan

membahayakan

, menciptakan keadaan yang

pada

yang

saat terjadi

aman untuk klien, menghindari

klien
klien

memungkin

kejang
Mengidentifikasi

dalam

terjadinya

perkembangan

kondisi

cedera
Pantau status

atau

neurologis

hasil yang

setiap 8 jam

diharapkan

adanya cedera fisik,

menghindari jatuh.

aman
tidak
ada

kan resiko

penyimpangan

memar
tidak
jatuh

17

Mandiri

terjadinya cedera

benda- benda

seperti akibat

yang dapat

aktivitas kejang

mengakibatka

yang tidak

cedera pada
terjadi kejang
Pasang

mencegah cidera

atau jatuh
Area yang

tempat tidur

rendah dan datar

pasien
Letakkan

dapat mencegah

pasien di

pada pasien
Memberi

terjadinya cedera

rendah dan

penjagaan untuk

datar
Tinggal

keamanan pasien

bersama

kemungkinan

pasien dalam

terjadi kejang

untuk

waktu
beberapa

terkontrol
Penjagaan untuk
keamanan, untuk

tempat yang

pasien saat

penghalang

Mengurangi

Jauhkan

n terjadinya

kembali
Lidah berpotensi

lama setelah

tergigit saat

kejang
Menyiapkan

kejang karena

kain lunak

menjulur keluar
Untuk

untuk

mengidentifikasi

mencegah

manifestasi awal

terjadinya

sebelum

tergigitnya

terjadinya kejang

lidah saat

pada pasien
18

terjadi kejang
Tanyakan
pasien bila
ada perasaan
yang tidak
biasa yang
dialami
beberapa saat
sebelum
kejang

Kolaborasi:

Berikan obat
anti
konvulsan

Mengurangi
aktivitas kejang

sesuai advice

yang

dokter

berkepanjangan,
yang dapat

Edukasi:

mengurangi

suplai oksigen

Anjurkan

ke otak

pasien untuk
memberi tahu

Sebagai

jika merasa

informasi pada

ada sesuatu

perawat untuk

yang tidak

segera

nyaman, atau

melakukan

mengalami

tindakan

sesuatu yang

sebelum

tidak biasa

terjadinya
19

sebagai

kejang

permulaan
terjadinya

berkelanjutan
Melibatkan

kejang
Berikan

keluarga untuk

informasi

resiko cedera

mengurangi

pada keluarga
tentang
tindakan yang
harus
dilakukan
selama pasien
kejang.

2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di endotrakea,


peningkatan sekresi saliva.
Tujuan
Jalan nafas

Kriteria Hasil

menjadi efektif

nafas normal

Intervensi
Keperawatan
Mandiri

Rasional

menurunkan resiko

Anjurkan klien

aspirasi atau

menit)
tidak terjadi

untuk

masuknya sesuatu

mengosongkan

benda asing ke faring.

aspirasi
tidak ada

mulut dari benda

(16-20 kali/

dispnea

/ zat tertentu /
gigi palsu atau
alat yang lain
jika fase aura
terjadi dan untuk

meningkatkan aliran
(drainase) sekret,
20

menghindari

mencegah lidah jatuh

rahang

dan menyumbat jalan

mengatup jika
kejang terjadi

nafas
untuk memfasilitasi

tanpa ditandai

usaha bernafas /

gejala awal.
Letakkan pasien

ekspansi dada

dalam posisi

Mengeluarkan mukus

miring,

yang berlebih,

permukaan datar

menurunkan resiko
aspirasi atau asfiksia.

Tanggalkan
pakaian pada
daerah leher /
dada dan
abdomen

Melakukan
suction sesuai
indikasi

Kolaborasi

Membantu memenuhi
kebutuhan oksigen

Berikan oksigen

agar tetap adekuat,

sesuai program

dapat menurunkan

terapi

hipoksia serebral
sebagai akibat dari
sirkulasi yang
menurun atau oksigen
sekunder terhadap
spasme vaskuler
selama serangan
21

kejang.
3. Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk penyakit
epilepsi dalam masyarakat
Tujuan
mengurangi

Kriteria Hasil

rendah diri pasien

adanya interaksi

Intervensi

pasien dengan
lingkungan

Identifikasi dengan

sekitar
menunjukkan

pasien, factor- factor

adanya partisipasi

pada perasaan isolasi

perawat tentang
factor yang
menyebabkan

sosial pasien

isolasi sosial
pasien

Mandiri

Memberikan
dukungan

Memberi
informasi pada

yang berpengaruh

pasien dalam
lingkungan

Rasional

Keperawatan
Observasi:

Dukungan
psikologis dan

psikologis dan

motivasi dapat

motivasi pada

membuat pasien

pasien

lebih percaya diri

Kolaborasi:

Kolaborasi dengan

tim psikiater
Rujuk pasien/ orang

Konseling dapat
membantu
mengatasi

terdekat pada

perasaan terhadap

kelompok

kesadaran diri
kesempatan untuk

penyokong, seperti
yayasan epilepsi dan
sebagainya.

mendapatkan
informasi,
dukungan ide-ide
22

untuk mengatasi
masalah dari orang
lain yang telah
mempunyai
pengalaman yang
sama.
Edukasi:

Anjurkan

keluarga

untuk

memberi

motivasi

orang terdekat

kepada

pasien, sangat

pasien
Memberi informasi pada

mempunyai
pengaruh besar

keluarga dan teman dekat

dalam keadaan

pasien bahwa penyakit


epilepsi tidak menular

Keluarga sebagai

psikologis pasien
Menghilangkan
stigma buruk
terhadap penderita
epilepsi (bahwa
penyakit epilepsi
dapat menular).

23

Anda mungkin juga menyukai