Anda di halaman 1dari 13

Pendidikan Seksual

Menurut Sarlito dalam bukunya Psikologi Remaja (1994), secara umum pendidikan seksual
adalah suatu informasi mengenai persoalan seksualitas manusia yang jelas dan benar, yang
meliputi proses terjadinya pembuahan, kehamilan sampai kelahiran, tingkah laku seksual,
hubungan seksual, dan aspek-aspek kesehatan, kejiwaan dan kemasyarakatan. Masalah
pendidikan seksual yang diberikan sepatutnya berkaitan dengan norma-norma yang berlaku di
masyarakat, apa yang dilarang, apa yang dilazimkan dan bagaimana melakukannya tanpa
melanggar aturan-aturan yang berlaku di masyarakat.
Pendidikan seksual merupakan cara pengajaran atau pendidikan yang dapat menolong mudamudi untuk menghadapi masalah hidup yang bersumber pada dorongan seksual. Dengan
demikian pendidikan seksual ini bermaksud untuk menerangkan segala hal yang berhubungan
dengan seks dan seksualitas dalam bentuk yang wajar. Menurut Singgih, D. Gunarsa,
penyampaian materi pendidikan seksual ini seharusnya diberikan sejak dini ketika anak sudah
mulai bertanya tentang perbedaan kelamin antara dirinya dan orang lain, berkesinambungan dan
bertahap, disesuaikan dengan kebutuhan dan umur anak serta daya tangkap anak ( dalam
Psikologi praktis, anak, remaja dan keluarga, 1991). Dalam hal ini pendidikan seksual idealnya
diberikan pertama kali oleh orangtua di rumah, mengingat yang paling tahu keadaan anak adalah
orangtuanya sendiri. Tetapi sayangnya di Indonesia tidak semua orangtua mau terbuka terhadap
anak di dalam membicarakan permasalahan seksual. Selain itu tingkat sosial ekonomi maupun
tingkat pendidikan yang heterogen di Indonesia menyebabkan ada orang tua yang mau dan
mampu memberikan penerangan tentang seks tetapi lebih banyak yang tidak mampu dan tidak
memahami permasalahan tersebut. Dalam hal ini maka sebenarnya peran dunia pendidikan
sangatlah besar.(www.e-psikologi.com:2002)
Pendidikan Seks pada Anak
Dalam pendidikan seks pada anak-anak, Pendidikan seks lebih diarahkan sebagai pendidikan
mengenai anatomi organ tubuh, reproduksi seksual, sanggama serta aspek lain dari perilaku
seksual.
Memberikan pendidikan kepada buah hati, terutama yang masih duduk di Sekolah Dasar (SD)
harus dilakukan dengan bahasa konkrit (bukan abstrak) dan operasional.
Menurut pakar psikologi, Dr. Rose Mini A.P., M.Psi., Memberikan pendidikan seks pada anak
sangat penting, bahkan meski dia tidak bertanya soal itu. Seiring perkembangan zaman, anak
bisa mendapatkan informasi seks dari mana saja. jangan sampai dia menerima informasi yang
salah, karena konsepnya berbeda. Anak yang memiliki konsep beda mengenai seks akan
terbawa hingga dewasa dan memengaruhi pola pikirnya kelak.
Perkembangan Peserta Didik
Pertemuan ke-8,9

STKIP Purnama (Kampus Plumpang)


Drs. Jumanta, M.Pd.

Sebelum mencapai usia pubertas, hal-hal yang perlu diketahui anak adalah: [1] Nama dan fungsi
organ reproduksi, [2] Perubahan yang akan dialami saat memasuki masa puber (ditandai mimpi
basah pada laki-laki dan haid pada anak perempuan), [3] Masalah menstruasi (jelaskan sesuai
dengan batas kemampuan anak menerimanya), [4] Hubungan seksual dan kehamilan (imbangi
pendidikan seks dengan moral dan agama yang kuat), [5] Bagaimana mencegah kehamilan
(Berikan gambaran mengenai dampaknya, jangan lupa memasukkan unsur moral dan agama), [6]
Masturbasi (hal yang normal, namun berikan batasan-batasan pada si anak), [7] Penyakit yang
mungkin ditularkan melalui hubungan seksual, [8] Harapan dan nilai-nilai orang tua (mengenai
pergaulan, yang boleh dan tidak boleh). (www.hanyawanita.com:2006)
Pendidikan seks tetap harus diberikan, sesuai dengan tingkat perkembangan anak, tujuannya tak
lain adalah memberikan bekal pengetahuan serta membuka wawasan anak dan remaja seputar
masalah seks secara benar dan jelas. Dengan pendidikan seks yang benar berarti menghindarkan
anak dan remaja dari berbagai risiko negatif perilaku seksual, seperti kehamilan di luar nikah,
pelecehan seksual dan penyakit menular seksual. Dalam pendidikan seks pada anak, sebaiknya
menggunakan istilah yang sebenarnya. Menggunakan istilah aneh-aneh hanya akan
membingungkan
si
anak.
(Dr. Rose Mini A.P., M.Psi)
Namun, orang tua punya alasan sendiri kenapa enggan membahas masalah seks dengan anakanak. Mereka menganggap seks tabu dibicarakan secara terbuka. Tapi jangan lupa, anak-anak
bisa mendapatkan informasi ini dari teman sebaya, yang belum terjamin kebenarannya.
(www.hanyawanita.com:2006)
Definisi dan Permasalahan
Masalah seks pada remaja seringkali mencemaskan para orang tua, juga pendidik, pejabat
pemerintah, para ahli dan se-bagainya. Kasus Indra dan Lela tersebut di atas, merupakan contoh
betapa masalah seks bisa sampai meminta korban jiwa. Mungkin masalahnya jadi lain, jika Indra
dan Lela berada dalam masyarakat di mana anak-anak dinikahkan sejak usia dini. Di masyarakat
seperti itu, pada usia 13 dan 17 mereka bisa saja menikah sehingga tak usah bunuh diri. Akan
tetapi seperti halnya perkawinan pada usia awal remaja pun pada akhimya menimbulkan masalah
juga yang tidak kalah peliknya. Jadi, dalam situasi apa pun tingkah laku seksual pada remaja
tidak menguntungkan nampaknya. Padahal remaja adalah periode peralihan ke masa dewasa, di
mana mereka seyogyanya mulai mempersiapkan diri menuju kehidupan dewasa, termasuk dalam
aspek seksualnya. Dengan demikian memang dibutuhkan sikap yang sangat bijaksana dari para
orang tua, pendidik dan masyarakat nada umumnya serta tentunya dari para remaja itu sendiri,
agai nJteka dapat meliwati masa transisi itu dengan selamat.
Adapun yang dimaksud dengan perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh
hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah
laku ini bisa bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan,
bercumbu, dan bersenggama. Objek seksualnya bisa berupa orang lain, orang dalam hayalan atau
diri sendiri. Sebagian dari tingkah laku itu memang tidak berdampak apa-apa, terutama jika tidak
ada akibat fisik atau sosial yang dapat ditimbulkannya. Tetapi pada sebagian Perilaku seksual
yang lain, dampaknya bisa cukup serius, seperti perasaan bersalah, depresi, marah, misalnya
pada para gadis yang terpaksa menggugurkan kandungannya (Sir 1984, him. 53). Akibat psikososial lainnya adalah ketega mental, dan kebingungan akan peran sosial yang tiba-tiba 1 jika
Perkembangan Peserta Didik
Pertemuan ke-8,9

STKIP Purnama (Kampus Plumpang)


Drs. Jumanta, M.Pd.

seorang gadis tiba-tiba hamil. Juga akan terjadi cemooh penolakan dari masyarakat sekitarnya.
Akibat lainnya terganggunya kesehatan dan risiko kehamilan serta kematianf yang tinggi. Selain
itu juga ada akibat-akibat putus sekolah akibat-akibat ekonomis karena diperlukan ongkos
perawa lain-lain (Sanderowitz & Paxman, 1985, him. 24-26). Akibat tidak terlalu nampak jika
hanya dilihat sepintas, sehingga, kurang banyak dibicarakan adalah berkembangnya penj kelamin
di kalangan remaja. Prof. Dr. M. Sukandar selaku Panitia Konggres Nasional IV Perkumpulan
Ahli Dermato\ rologi (penyakit kulit dan kelamin) Indonesia, Juni 1983 di| marang menyatakan
bahwa sebagian besar penyakit kel; kelas berbahaya asal impor telah melanda remaja umur 16
tahun baik di kota maupun di pedesaan. Salah-satu jenis penyakit menular seksual (PMS) iu
adalah Gonorhoea (kencing yang saat ini sudah tidak mempan lagi diberantas dengan 300. IJ unit
Penicilin, tetapi paling tidak harus dengan 24 juta unit: penderita nampaknya jadi lebih kebal
terhadap pengot karena semakin ganasnya penyakit itu (Sinar Harapan, 24 1983).
Pada remaja yang tidak melakukan hubungan seks, tunya tidak terdapat PMS, karena panyakit
ini hanya bias menular melalui hubungan seks. Akan tetapi hal itu tidak berarti remaja yang tidak
atau belum bersenggama otomatis masalah. Misalnya dalam kenyataannya perasaan takut dan 1
dosa tetap melanda diri remaja yang melakukan mastur Padahal jumlah remaja yang melakukan
masturbasi cukup til sebagaimana terlihat dalam hasil penelitian Atswendo At wiloto di bawah
ini:
1. Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan seksual (libido seksualitas) remaja.
Peningkatan seksual ini membutuhkan penyaluran dalam bentuk tir laku seksual tertentu.
2.

Akan tetapi penyaluran itu tidak dapat segera dilaki karena adanya penundaan usia
perkawinan, baik hukum oleh karena adanya undang-undang tentang per winan yang
menetapkan batas usia menikah (sedikitnya tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria),
maupun ka norma sosial yang makin lama makin menuntut persyarat yang makin tinggi
untuk perkawinan (pendidikan, pekerjj persiapan mental, dan lain-lain).

3. Sementara usia kawin ditunda, norma-norma agama berlaku di mana seseorang dilarang untuk
melakukan bungan seks sebelum menikah. Bahkan larangannya berke bang lebih jauh kepada
tingkah-tingkah laku yang lain ser. berciuman dan masturbasi. Untuk remaja yang tidak da
menahan diri akan terdapat kecenderungan untuk melangg saja larangan-larangan tersebut.
4. Kecenderungan .pelanggaran. makin meningkat oleh ka adanya penyebaran informasi dan
rangsangan set melalui media massa yang dengan adanya teknologi canj (video casette, foto
copy, satelit Palapa, dan lain-la menjadi tidak terbendung lagi. Remaja yang sedang dala
periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa ya dilihat atau didengamya dari
media massa, khususnya ka mereka pada umumnya belum pernah mengetahui masa seksual
secara lengkap dari orang tuanya.
5. Orang tua sendiri, baik karena ketidaktahuannya mauf karena sikapnya yang masih
mentabukan pembic mengenai seks dengan anak tidak terbuka terhadap malah cenderung
membuat jarak dengan anak dalam masa yang satu ini.
5

Di fihak lain, tidak dapat diingkari adanya kecenderungan pergaulan yang makin bebas
antara pria dan wanita dalam masyarakat, sebagai akibat berkembangnya peran dan
pendidikan wanita sehingga kedudukan wanita makin sejajar dengan pria.

Perkembangan Peserta Didik


Pertemuan ke-8,9

STKIP Purnama (Kampus Plumpang)


Drs. Jumanta, M.Pd.

B. Faktor-faktor Penyebab
1. Meningkatnya Libido Seksualitas
Menurut Robert Havighurst, seorang remaja menghadapi tugas-tugas perkembangan
(developmental tasks) sehubungan dengan perubahan-perubahan fisik dan peran-sosial yang
sedang terjadi pada dirinya. Tugas-tugas perkembangan itu antara lain adalah menerima kondisi
fisiknya (yang berubah) dan meman-faatkan dengan teman sebaya dari jenis kelamin yang mana
pun, menerima peranan seksual masing-masing (laki-laki atau perem-puan) dan mempersiapkan
perkawinan dan kehidupan berkeluarga.
Di dalam upaya mdfigisi peran sosialnya yang baru itu, seorang remaja mendapatkan
motivasinya dari meningkatnya energi seksual atau libido. Menurut Sigmund Freud, energi
seksual ini berkaitan erat dengan kematangan fisik. Sedangkan menurut Anna Freud, fokus
utama dari energi seksual ini adalah perasaan-perasaan di sekitar alat kelamin, objek-objek
seksual dan tujuan-tujuan seksual (Jensen, 1982, him. 55-56). Dalam kaitannya dengan
kematangan fisik, Sanderowitz & Paxman, mencatat bahwa di berbagai masyarakat sekarang ini
ada kecenderungan menurunnya usia kematangan seksual seseorang. Di Inggris, usia haid
pertama (menarche) menurun dari rata-rata 14tahun(padatahun 1900) menjadi 12.9 tahun (pada
tahun 1980). Di Nigeria usia menarche merosot dari 14 tahun (1900) menjadi 12.3 tahun di
kalangan kelas sosial-ekonomi tingkat bawah
Menumnnya usia kematangan seksual ini kiranya terja hampir seluruh dunia, sehubungan dengan
membaiknya gizi s masa kanak-kanak di satu fihak dan meningkatnya infor melalui media massa
atau hubungan antar orang di fihak Menurut L. Simkins, di negara-negara maju rata-rata usia
narche menurun 4 bulan setiap 10 tahun, dan akan mencapai i stabil pada usia 12 tahun 9 bulan
(Simkins, 1984, him. 39-| Pada gilirannya, menurunnya usia kematangan seksual ini diikuti oleh
meningkatnya aktivitas seksual pada usia-usia dini. Gejala ini antara lain diungkapkan oleh K.
Fury (1980,1 61-64) yang membandingkan hasil survey Kinsey (1950) den|j temuannya sendiri
pada akhir 1970-an. Dalam laporan Kir yang terkenal itu tercatat 2% anak perempuan dan 10%
anak 1 laki di bawah usia 16 tahun telah melakukan hubungan Dalam penelitian Fury sendiri
yang dilakukan 25-30 tahun 1 dian, ternyata angka itu sudah menjadi 33% untuk anak per puan
dan 50% untuk anak laki-laki di bawah usia 16 tersebut.
2. Penundaan Usia Perkawinan
Di Indonesia, terutama di daerah-daerah pedesaan, ma terdapat banyak perkawinan di bawah
umur. Kebiasaan ini 1 dari adat yang berlaku sejak dahulu yang masih terbawa sa sekarang.
Ukuran perkawinan di masyarakat seperti itu kematangan fisik belaka (haid, bentuk tubuh yang
sudah me jukkan tanda-tanda seksual sekunder), atau bahkan hal-hal yang sama sekali tidak ada
kaitannya dengan calon pengantin. salnya: masa panen, utang-piutang antar orang tua, dan
bagainya. Tidak mengherankan jika di beberapa tempat di Indc sia masih terjadi anak-anak
berumur 9-13 tahun sudah dinili Akan tetapi dengan makin meningkatnya taraf pendidikan
masyarakat, dengan makin banyaknya anak-anak perempuan yang bersekolah, makin tertunda
kebutuhan untuk mengawinkan anak-anak. Para orang tua menyadari bahwa persiapan yang
lebih lama diperlukan untuk lebih menjamin masa depan anak-anak jnereka, sehingga para orang
tua menyuruh anak-anaknya sekolah dulu sebelum mengawinkan mereka. Kecenderungan ini
terutama terjadi pada masyarakat di kota-kota besar atau di kalangan fflasyarakat kelas sosialPerkembangan Peserta Didik
Pertemuan ke-8,9

STKIP Purnama (Kampus Plumpang)


Drs. Jumanta, M.Pd.

ekonomi menengah ke atas. Sebuah penelitian yang dilakukan terhadap sejumlah remaja di
Yogyakarta, Medan, Surabaya dan Kupang misalnya menunjuk-kan bahwa para remaja itu
sendiri fnengidealkan perkawinan pada usia 26 tahun (untuk putra) dan 21.5 tahun (untuk putri)
(Sarlito, dkk., 1986, him. 12).
Kecenderungan pada masyarakat untuk meningkatkan usia perkawinan ini ternyata didukung
juga oleh undang-undang yang berlaku di Republik Indonesia, yaitu Undang-Undang No. 1/1974
tentang perkawinan. Pasal 7 ayat 1 Undang-undang tersebut menyatakan bahwa "Perkawinan
hanya diizinkan jika fihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan fihak wanita sudah mencapai
umur 16 tahun". Sedangkan bagian lain dari Undang-undang itu, yaitu Pasal 6 ayat 2 berbunyi:
"untuk melangsungkan perkawinan, seorang yang belum mencapai umur 21 tahun, harus
mendapat izinkeduaorang ^\.
Dengan adanya undang-undang tersebut, yang pelak-sanaannya cukup ketat di lapangan, maka
makin terbataslah kesempatan untuk menikah di bawah usia yang ditetapkan. Ter-lebih lagi,
pemerintah sendiri melalui program KB-nya.berusaha untuk lebih meningkatkan lagi batas usia
perkawinan ke umur 20 tahun untuk wanita, dengan pertimbangan bahwa kehamilan pada wanita
di bawah usia 20 tahun adalah kehamilan berisiko tinggi sehingga harus dihindari.
Dari fihak individu-individu yang bersangkutan sendiri, menurut J.T. Fawcett ada sejumlah
faktor yang menyebabkan orang memilih untuk tidak menikah untuk sementara. Faktor-faktor itu
antara lain adalah apa yang dinamakannya "costs" (beban) dan "barriers" (hambatan) dari
perkawinan. Yang ter dalam "costs" antara lain adalah hilangnya kebebasan dan
mobilitas pribadi, bertambahnya kewajiban-kewajiban usaha, bertambahnya beban ekonomi.
Sedangkan yang ter dalam "barriers" adalah kebiasaan-kebiasaan dan norma-n yang menyulitkan
perkawinan, adanya pilihan lain ketimt menikah,. adanya hukum yang mempersulit perceraian
perkawinan, ada keserbabolehan seksual, adanya persya yang makin tinggi untuk melakukan
perkawinan dan undang-undang yang membatasi usia minimum dari perkaM Dalam masyarakat
di mana "costs"dan "barriers" tersebut ter dalam jumlah besar, maka dengan sendirinya rata-rata
perkawinan lebih tinggi (Fawcett, 1973, him. 22-24).
3. Tabu-Larangan
Kebiasaan-kebiasaan dan norma-norma yang menyuliti perkawinan yang disebutkan oleh
Fawcett tersebut di atas mu dalam masyarakat dalam berbagai bentuk. Hull & Adioet
menyebutkan dalam tulisan mereka (1984) beberapa pene tentang hubungan antar usia
perkawinan yang legal (sah menu hukum). Perkawinan di Barat biasanya didahului atau seg
diikuti dengan hubungan seksual dan hidup bersama (cohat tion). Tetapi di masyarakatmasyarakat yang sedang berkemt termasuk di Jawa, terdapat kebiasaan yang lain. Di sana ada
tahapan perkawinarj yang bisa berurutan dalam waktu de tetapi bisa juga saling berjauhan dalam
waktu. Keempat Dari berbagai jenis perkawinan yang disebutkan di atas, jelaslah bahwa dalam
masyarakat tradisional, pernikahan tidak langsung terkait dengan hubungan seks. Dengan
demikian, tingginya angka perkiK^ian juga tidak akan langsung menye-babkan tingginya angka
kehamilan atau kelahiran. Bahkan dengan berlangsungnya waktu, mungkin saja sebuah
perkawinan (R .L atau S) tidak diikuti dengan seks (X) sama sekali, atau sebuah hubungan seks
tidak jadi diikuti oleh perkawinan.
Perkembangan Peserta Didik
Pertemuan ke-8,9

STKIP Purnama (Kampus Plumpang)


Drs. Jumanta, M.Pd.

Pola nyata yang sekarang terjadi dalam masyarakat modem pada hakikatnya tidak jauh berbeda
dari pola no. 5 atau 6 pada skema Hull & Adioetomo tersebut di atas, khususnya dengan lebih
permisifnya (keserbabolehan) hubungan pergaulan antara pria dan wanita. Dengan demikian,
sama dengan pada masyarakat tradisional, pada masyarakat modern juga tidak dapat diramalkan
hubungan antara perilaku seks dengan pola perkawinan akan tetapi seringkali masyarakat
menganggap bahwa ada kaitan !angsung antara keduanya seakan-akan perkawinan berarti
hubungan seks dan hubungan seks sama dengan perkawinan. lebih tinggi daripada di Inggris dan
faktor penyebabnya masih kuatnya tabu dalam keluarga untuk bicara tentang seks! kurangnya
pendidikan seks (Washington Memo W-87).
4. Kurangnya Informasi Tentang Seks
Dari pengalaman saya. di ruang praktek, saya mend kesan bahwa hubungan seks antarremaja
terjadi hanya^ hubungan mereka sudah berjalan sedikitnya 6 bulan. demikian, hubungan tersebut
sudah cukup akrab dan Hampir-hampir tidak ada yang langsung berhubungan seks i lah
berkenalan tidak begitu lama.
Lamanya waktu yang diperlukan untuk terjadinya hub an seks (khususnya yang pertama kali)
dapat dimengerti karena memang diperlukan suasana hati tertentu untuk melakukan hal itu.
Khususnya pada remaja putri, harus perasaan cinta, perasaan suka, percaya, menyerah dan sebaj
terhadap pasangannya. Tetapi sekali perasaan itu timbul, kalau fihak laki-lakinya cukup tekun
dan sabar untuk me pacarnya, remaja putri seringkali tidak dapat lagi mengendalf! diri dan
terjadilah hubungan seks itu.
Melihat kenyataan ini, sebenamya cukup waktu remaja putra-putri itu untuk mempersiapkan
dirinya mencegah hal-hal yang tidak dikehendaki. Akan tetapi umumnya mereka ini memasuki
usia remaja tanpa penget yang memadai tentang seks dan selama hubungan pacaran langsung
pengetahuan itu bukan saja tidak bertambah, akan 1 malah bertambah dengan informasiinformasi yang salah. yang terakhir ini disebabkan orang tua tabu membicarakan: dengan
anaknya dan hubungan orang tua-anak sudah terla jauh sehingga anak berpaling ke sumbersumber lain yang akurat, khususnya teman.
Sikap mentabukan seks ini tidak hanya terdapat pada orang tua saja, tetapi juga pada anak-anak
itu sendiri. Sebuah peneliatian yang dilakukan oleh L.C. Jensen terhadap pelajar-pelajar yang
hamil menunjukkan bahwa hampir semua responden
ditelitinya tidak tertarik, bahkan jijik mendengarkan telucon-lelucon tentang seks atau gambargambar pria tanpa busana dan yang lebih penting lagi mereka tidak pemah membaca buku-buku
cabul- Dengan demikian mereka ini tidak terangsang oleh ba-nyaknya rangsang.yang sampai
pada mereka, akan tetapi oleh Jensen dibuktikan lebih lanjut bahwa terangsangnya mereka untuk
berhubungan intim adalah karena fantasi-fantasi sendiri tentang kemesraan dan cinta, yang jika
ia mempunyai pacar di-proyeksikannya pada pacarnya itu. Menurut Jensen perasaan-perasaan ini
bisa diperkuat oleh musik-musik tertentu (Jensen, 1985, him. 254).
Dengan demikian jelaslah bahwa sikap mentabukan seks pada remaja hanya mengurangi
kemungkinan untuk membica-rakannya secara terbuka akan tetapi tidak menghambat hubungan
seks itu sendiri. Hal ini akan semakin nyata jika kita simak hasil penelitian E. Ryde-Blomquist,
yang mengungkapkan bahwa di Amerika Serikat dan Finlandia frekuensi remaja yang sudah aktif
secara seksual lebih banyak di kota-kota besar dan terjadi pada remaja yang hubungan dengan
Perkembangan Peserta Didik
Pertemuan ke-8,9

STKIP Purnama (Kampus Plumpang)


Drs. Jumanta, M.Pd.

orang tuanya sangat terganggu atau di kalangan remaja berkulit hi tarn yang keadaan sosial-ekonominya dan thy ^tt pehdidikahnya tergolong rendah. Sebaliknya di negara yang ftrasih
berkembang seperti Afrika (misalnya di Accra), aktivitas seksual di kalangan remaja jauh lebih
tinggi di pedesaan, sebab pengetahuan tentang seks tidak ada sama sekali, sedangkan di kotakota besar, masuknya agama Kristen, makin intensifnya pendidikan formal dan mulai dikenalnya
bentuk keluarga inti menyebabkan berkurangnya aktivitas seksual remaja (Ryde-Blomquist,
1978, him. 130-132).
Penelitian lain yang menghubungkan perilaku seksual dengan kadar informasi remaja tentang
seks dilakukan di Hong Kong. Penelitian yang dilakukan pada tahun 1981 terhadap 3917 pelajar
ini mengungkapkan bahwa sebagian besar dari mereka memperoleh pengetahuannya terutama
dari surat kabar, majalah atau ceramah-ceramah tentang seks. Hanya 11% yang me-nyatakan
bahwa mereka bisa bertanya kepada orang tuanya. Dari5,
Pergaulan yang Makin Bebas
Kebebasan pergaulan antarjenis kelamin pada remaja, kiranya dengan mudah bisa disaksikan
dalam kehidupan sehari-hari, khususnya di kota-kota besar. Dalam penelitian yang pemah
dikutip di atas, yang respondennya adalah siswa-siswa kelas II SLTA di Jakarta dan Banjarmasin,
terungkap bahwa di antara remaja yang sudah berpacaran hampir semua (di atas 93%) pernah
berpegangan tangan dengan pacamya. Jumlah yang per-nah berciuman adalah 61.6% untuk pria
dan 39.4% untuk wanita, yang meraba payudara tercatat 2.32% (pria) dan 6.7% (wanita)
sedangkan yang memegang alatkelamin ada 7.1 % (pria) dan 1.0% (wanita) dan yang pemah
berhubungan kelamin dengan pacamya terdapat 2.0% (senr^^nya pria). Data-data tersebut adalah
khusus dari responden Jakarta (Fakultas Psikologi UI, 1987).
Angka-angka tersebut kiranya cukup mencerminkan keadaan pergaulan antara remaja pria dan
wanita yang sudah bergeser dan kesediaannya 20 atau 30 tahun yang lalu. Tetapi jika
dibandingkan dengan di negara-negara maju, angka-angka tersebut (yang mencerminkan
keadaan di Jakarta) bagaimanapun juga relatif masih rendah. Masalahnya sekarang, apakah
angka-angka yang dari Jakarta di masa yang akan datang akan berkembang ke arah keadaan di
negara-negara maju tersebut di atas atau justru makin berkurang?
C. Nilai-nilai Seksual
Pertanyaan tersebut di atas terkait erat dengan pandangan atau nilai-nilai masyarakat sendiri
terhadap seks. Makin permisif
(serba boleh) nilai-nilai itu, makin besar kecender remaja untuk melakukan hal-hal yang makin
dalam melibati mereka dalam hubungan fisik antar remaja yang berlainan jenis kelamia
Mengenai nilai-nilai tersebut ada beberapa penelitian; mencoba mengungkapkan dan pada
umumnya nilai-nilai terungkap itu ada 2 golongan, yaitu yang tradisional-konser dan yang lebih
pennisif . Ini pun masih lagi dalam nilai-nilai; tampil dalam pendapat flisan) dan nilai-nilai yang
tampil da perbuatan.
Sebuah penelitian di Muangthai, misalnya, menjj kapkan bahwa remaja yang sudah bisa mencari
nafkah (yang bekerja di pabrik-pabrik) lebih permisif daripada yang masih sekolah dalam
tindakan mereka, walaupun lisan pendapat mereka sama-sama konservatif. Penelitian diadakan
di Bangkok (daerah urban) dan di Provinsi Narkom Rajsima (daerah pedesaan) ini dilakukan atas
diri 1600 orang responden (800 orang dari tiap jenis daerah penelitian) (Muangman, 1980)
Perkembangan Peserta Didik
Pertemuan ke-8,9

STKIP Purnama (Kampus Plumpang)


Drs. Jumanta, M.Pd.

Nilai tradisional dalam perilaku seks yang paling utama adalah tidak melakukan hubungan seks
sebelum menikah. Nilai ini tercermin dalam bentuk keinginan untuk mempertahankan kegadisan
seorang wanita sebelum menikah. Kegadisan pada wanita seringkali dilambangkan sebagai
"mahkota" atau "harta yang paling berharga" atau "tandakesucian" atau"tandakesetiaan pada
suami". Hilangnya kegadisan bisa berakibat depresi pada wanita yang bersangkutan, walaupun
tidak membawa akibat-akibat lain seperti kehamilan atau penyakit kelamin. Bahkan
kemungkinan robekan pada selaput dara tanpa hubungan seks sekalipun, misalnya karena
terjatuh atau naik sepeda, bisa me-nimbulkan depresi atau kecemasan yang mendalam pada diri
wanita.
Nilai kegadisan yang masih dihargai tinggi nampaknya masih menggejala di kalangan bangsabangsa yang sedang berkembang. Di Manila, Filipina, misalnya, terungkap dari se-buah Survei
bahwa,,^ dari remaja berusia 15-20 tahun menya-takan bahwa kegadisan seorang wanita sangat
penting artinya bagi perkawinan (Population Forum, 1980). Demikian pula penelitian di Jakarta
dan Banjarmasin menunjukkan angka 62% di Jakarta (49% untuk laki-laki dan 75% untuk
perempuan) dan 67.8% di Banjarmasin (61.5% untuk laki-laki dan 74.0% untuk perempuan) dari
responden pelajar SLTA kelas II yang menya-takan bahwa kegadisan adalah suatu hal yang
penting sebelum pernikahan (Fak. Psikologi UI, 1987).
Yang perlu diperhatikan dari penelitian di Jakarta dan Banjarmasin itu adalah bahwa responden
pria lebih permisif ketimbang remaja putri. Dengari demikian remaja pria sebenarnya iebih
banyak yang bisa mengerti wanita yang sudah tidak gadis lagi.
Yang juga penting untuk diperhatikan dari penelitian yang
kejadian sanggama di rumah sendiri, yang berarti bahwa i remaja yang bersangkutan tidak lagi
mempedulikan ke bahwa rumah adalah teritori (wilayah psikologis yang tidak 1 dilanggar) dari
orang tua. Dengan peikataan lain, pela teritori prang tua ini berarti jugakurangny a rasahormat
dan j kepada orang tua. Basil penelitian ini kiranya tidak meleset j| dari kenyataan, karena
penelitian lain yang dilakukan ten juga menunjukkan hasil yang sama. Penelitian dimaksud dari
Dra. Ninuk Widiantoro (1988, him. 4) yang mengung bahwa dari pasien-pasien remaja putri
yang hamil dan da Klinik Wisma Pancawarga untuk mencari jalan keluar, antaranya melakukan
hubungan seks juga di rumah.
D. Kelainan dan Gangguan Seksual
Seringkali dalam masyarakat terdapat pengertian tingkah laku seksual, khususnya yang tidak
sesuai dengan nor norma agama atau norma-norma hukum atau susila, yang lakukan remaja
adalah kelainan atau gangguan atau pen} pangan seksual. Pengertian ini secara Psikologi tidak
benar,< karena tingkah laku seksual itu yaitu hubungan seks set menikah dan bermasturbasi dan
bahkan kadang-kadang mimpi basah adalah tingkah laku yang sesuai dengan pr tingkah laku
seksual yang lazim, kecuali bahwa hal ter dilakukan bertentangan dengan norma yang berlaku.
Dalam ukuran Psikologi, proses tingkah laku yang la terdiri dari ketertarikan pada orang lain,
timbulnya gairah, dii1 dengan tercapainya puncak kepuasan seksual (orgasme), dan I akhiri
dengan tahap pemulihan atau penenangan kembali (r lusi). Dalam hubungan seks perkawinan
(atau di luar winan), semua proses itu terpenuhi, sehingga tidak diragukan 1 kenormalannya
berdasarkan norma Psikologi. Masturbasi mimpi basah (pada laki-laki) juga memenuhi semua
proses i kecuali pada tingkat orgasme di mana tidak terdapat lawan s (orang lain). Hal ini bukan
Perkembangan Peserta Didik
Pertemuan ke-8,9

STKIP Purnama (Kampus Plumpang)


Drs. Jumanta, M.Pd.

merupakan kelainan, oleh karena 1 adanya lawan seksual itu bukan karena orang yang bersang
menginginkannya, melainkan karena memang pada usia remaja masih terbatas sekali kesempatan
(atau bahkan belum ada sama sekali) untuk mendapatkan pasangan dalam bertingkah laku
seksual. Jadi sebagai penyaluran hasrat seksual mereka, mereka melakukan masturbasi dan jika
terlalu lama tidak mengalami orgasme (khususnya pada anak laki-laki, tetapi bisa juga pada anak
perempuan), remaja itu akan mengalami mimpi basah. Jadi masturbasi dan mimpi basah secara
psikologik pun normal. Be-gitu pula aktivitas-aktivitas seksual remaja lainnya yang prasanggama seperti melihat buku atau film cabul, berciuman, ber-pacaran, dan sebagainya, adalah
normal menurut kriteria Psikologi karena semua tingkah laku itu merupakan bagian dari proses
tingkah laku seksual yang utuh.
Gangguan terhadap proses tingkah laku seksual yang utuh tersebut bisa bersifat psikologik, tetapi
bisa juga berasal dari gangguan atau kelainan fisik. Impotensia (ketidakmampuan ereksi penis
pada pria), misalnya, bisa disebabkan oleh kerusakan sumsum tulang belakang (PPDGJ II, 1985,
hlm.223). Gangguan seperti ini tidak akan dibicarakan dalam bab ini. Demikian pula gangguan
perilaku seksual yang bersumber pada gangguan kejiwaan lainnya (;^ \alnya sadisme yang
disebabkan oleh Skizofrenia) tidak akan dibicarakan di sini.
I. Jenis-jenis Gangguan Seksual Pada Umumnya
Gangguan-gangguan pada tingkah laku seksual yang berlaku umum (tidak khusus remaja),
menurut Buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia Edisi II, 1983
(PPDGJ, 1985, him. 223-249), terdiri dari 4 kelompok besar yang masing-masing terdiri lagi dari
beberapa subkelompok.
a. Gangguan identitas jenis
b. Parafilia
c- Disfungsi Psikoseksual
d- Gangguan Psikoseksual lainnya.
Semua jenis gangguan tersebut di atas bisa saja terdapat pada orang-orang normal sebagai variasi
dari tingkah laku ; yang normal, akan tetapi kalau tingkah laku tertentu menjadi keharusan,
dilakukan berulang-ulang dan merap satu-satunya syarat untuk tercapainya kepuasan seksual,
tingkah laku itu dilakukan sebagai kelainan, penyimpangan i gangguan.
(a)

Gangguan identifikasi jenis

Gambaran utama dari gangguan ini adalah ketidakses antara alat kelamin dengan identitas jenis
yang terdapat pada < seseorang. Jadi seorang yang beralat kelamin laki-laki me dirinya wanita,
atau sebaliknya. Identitas jenis yang menyimp ini dinyatakan dalam perbuatan (cara berpakaian,
ma kegemarannya seperti anak laki-laki suka bermain boneka sebaliknya anak perempuan suka
bermain sepak bola), uc maupun objek seksualnya:
1. Transeksualisme. Pada orang dewasa, gangguan ic jenis ini dinamakan transeksualisme.
Minat seksual transeksual ini biasanya adalah yang sejenis kelamin I seksual, walaupun
mereka tidak mau disebut sebagai 1 seks), tetapi ada juga yang melaporkan pernah menga
hubungan heteroseksual dan beberapa di antara mereka i laporkan aseksual (tidak berminat
Perkembangan Peserta Didik
Pertemuan ke-8,9

STKIP Purnama (Kampus Plumpang)


Drs. Jumanta, M.Pd.

pada seks).
2. Gangguan Identitas Jenis Masa Kanak-kanak. Walaup transeksualisme biasanya mulai timbul
sejak masa ka kanak, akan tetapi ada gangguan identitas jenis yang; terjadi pada masa kanakkanak saja.
3. Gangguan Identitas Jenis Tidak Khas, yaitu tidak seper nya menunjukkan tanda-tanda
transeksualisme, akan tet ada perasaan-perasaan tertentu yang menolak struktur < mi dirinya
seperti merasa tidak mempunyai vagina atau va nanya akan tumbuh menjadi penis (pada
wanita), atau mer tidak punya penis atau jijik pada penisnya sendiri (pada prM
(b)

Parafilia (Deviasi Seksual)

Ciri utama gangguan jiwa yang satu ini adalah diperlu nya suatu khayalan atau perbuatan seksual
yang tidak lazim untuk jnendapatkan gairah seksual.
1. Zoofilia (Bestialitas): Terdapat perbuatan atau fantasi mehg-adakan aktivitas seksual dengan
hewan.
2. Pedqfilia: Perbuatan atau fantasi untuk melakukan aktivitas dengan anak prapubertas.
3. Transvestisme: Pemakaian pakaian wanita oleh laki-laki heteroseksual untuk mendapatkan
kegairahan seksual. Transvestisme berlaku bagi laki-laki yang bukan transeksual.
4.

Ekshibisionisme: Mempertunjukkan alat kelamin secara tak terduga kepada orang yang tak
dikenalnya dengan tujuan untuk mendapat kegairahan seksual tanpa upaya lanjut untuk
mengadakan aktivitas seksual dengan orang yang tak dikenalnya itu.

5. Fetishisme: Penggunaan benda (fetish) yang lebih disukai atau sebagai satu-satunya cara
untuk mendapatkan kegairahan seksual. Benda itu tidak terbatas pada perangkat pakaian
wanita atau alat-alat perangsang gairah seksual (seperti vibrator).
6. Voyeurisme: Mengintip prang lain telanjang, membuka pakaian atau mel^Jkan aktivitas
seksual tanpa sepengetahu-annya dan tidak ada upaya lanjut untuk melakukan aktivitas
seksual dengan orang yang diintip itu.
7. Masokisme Seksual: Mendapatkan kegairahan seksual melalui cara dihina, dipukul atau
penderitaan lainnya.
8. Sadisme Seksual: Mencapai kepuasan seksual dengan cara menimbulkan penderitaan
psikologik atau fisik (bisa berakibat cedera ringan sampai kejnatian) pada pasangan seksnya.
9. Parafilia tidak khas: Yaitu pencapaian kepuasan melalui cara-cara yang tidak lazim yang
belum disebut di atas mis-alnya dengan tinju (koprofilia), dengan menggosok (froteur-isme),
dengan kotoran (misofilia), dengan mayat (nekrofilia), dengan air seni (urofilia) dan dengan
bicara kotor melalui telepon (skatologia telpon).
(c)

Disfungsi Psikoseksual..

Gambaran utama dari Disfungsi Psikoseksual ada dapat hambatan pada selera (minat) seksual
atau terdapat ] batan pada perubahan psikofisiologik yang biasanya terja orang yang sedang
bergairah seksual.
Perkembangan Peserta Didik
Pertemuan ke-8,9

STKIP Purnama (Kampus Plumpang)


Drs. Jumanta, M.Pd.

1. Hambatan selera seksual: sukar atau tidak bisa timbuli seksual sama sekali secara menetap
dan meresap.
2. Hambatan gairah seksual:
a. Pada laki-laki: gagal sebagian atau seluruhnya mencapai atau mempertahankan ereksi
sampai aktivitas seksual (impotensia).
b. Pada wanita: gagal sebagian atau seluruhnya untuk b capai atau mempertahankan
pelumasan dan bengkakan vagina (yang merupakan respons seksual wanita) sehingga
akhir dari aktivitas (frigiditas).
3. Hambatan orgasme wanita: berulang-ulang atau dm tidak tenadi orgasme pada wanita setelah
terjadi "seksual yang lazim selama aktivitas seksual.
4. Hambatan orgasmepria: berulang-ulang atau menetapl terjadi ejakulasi atau terlambat
berejakulasi setelah fase gairah seksual yang lazim selama aktivitas seksual^
5. Ejakulasi Prematur: secara berulang-ulang dan menetapl jadi ejakulasi sebelum dikehendaki
karena tidak ada pengendalian yang wajar terhadap ejakulasi selama akti\ seksual. .
6. Dispareunia Fungsional: rasa nyeri yang berulang dan i tap pada alat kelamin sewaktu
sanggama, baik pada: maupun wanita.
7. Vaginisme Fungsional: ketegangan otot vagina yang terkendali sehingga menghalangi
sanggama.
8. Disfungsi Psikoseksual tidak khas: disfungsi psikosei lain yang tidak tergolong di atas,
misalnya terjadi ane (mati rasa) pada alat kelamin walaupun terjadi kegaii seksual dan
orgasme.
Gangguan Psikoseksual lainnya.
Termasuk dalam golongan ini adalah Homoseksualitas yang akan dibicarakan pada bagian
tersendiri.
2. Gangguan Seksual Pada Remaja
Tidak semua gangguan seksual tersebut di atas sering terjadi pada remaja. Tetapi berapa banyak
prevalensi (kemungkinan terjadinya) setiap jenis gangguan seksual tersebut pada remaja,
khususnya di Indonesia, belum diketahui dengan pasti. Akan tetapi dari pengalaman penulis
dengan kasus-kasus remaja diperoleh kesan bahwa yang paling banyak terjadi adalah kasuskasus homoseksual (baik yang egosintonik maupun yang egodistonik), disusul dengan kasuskasus transeksualisme dengan minat homoseksual. Oleh karena itulah mengenai homoseksualitas ini akan dibicarakan secara khusus dalam bagian tersendiri.
Kasus gangguan seksual yang pernah penulis jumpai pada remaja pria adalah ejakulasi prematur
atau impotensia. Menurut Skinner (1977, Bab 7) ada 2 jenis impotensia yaitu impotensia primer
(tidak pernah ereksi sama sekali) dan impotensia sekunder (pernah ereksi tetapi su^ah beberapa
saat ereksi tersebut meng-hilang). Yang juga pernah dijumpai adalah hambatan selera seksual dan
hambatan gairah seksual (menurut Skinner: libido rendah).
Perkembangan Peserta Didik
Pertemuan ke-8,9

STKIP Purnama (Kampus Plumpang)


Drs. Jumanta, M.Pd.

Pada remaja putri, selain libido rendah dan kecemasan yang berkaitan terhadap seks, juga pernah
penulis jumpai hambatan orgasme, vaginismus, dan dyspareunia.
Akan tetapi sebagian besar dari gangguan itu belum bersifat menetap, melainkan bersifat
situasional. Jadi belum dapat di-golongkan kelainan. Faktor penyebabnya terutama adalah kecemasan dan perasaan bersalah yang begitu kuat sehingga meng-hambat dorongan seksual oleh
karena status mereka yang belum boleh melakukan hubungan tersebut (biasanya di rumah di kala
sedang sepi atau di tempat tersembunyi yang lain) juga tidak memberi peluang kepada mereka
untuk melakukan hubungan dengan tenang, sehingga terjadilah gangguan-gangguan ter di atas.
Hal lain yang menyebabkan timbulnya ganj gangguan tersebut di atas adalah ketidaktahuan
para remaja dan pengalaman yang sangat terbatas sehingga mereka tidak c melakukan hubungan
seks tersebut dengan sebaik-baiknya \ mencapai kepuasan kedua-belah fihak. Pada fihak remaja
sering timbul perasaan dipaksa atau terpaksa, sekedar memenuhi kemauan pacarnya.
Dengan demikian, dapatlah diperkirakan bahwa gang seksual pada remaja ini akan menghilang
dengan sendirinj kemudian hari. Dengan perkataan lain, gangguan-ganj tersebut lebih merupakan
akibat dari belum mampunya membawakan perasaan seksual mereka, ketimbang menif
penyimpangan atau kelainan.
3. Penyalahgunaan Seksual Pada Anak-anak
Mungkin yang cukup banyak terjadi di kalangan adalah gangguan perilaku seksual (misalnya
adanya ha terhadap selera dan gairah seksual atau adanya kecemasan! atau hilangnya
kepercayaan diri dan depresi) yang diseba pengalaman seksual yang traumatis di masa kanakkanak men
Dalam penelitian penulis di 4 kota (Purworedjo, Banja gara, Pontianak, dan Jakarta), dari 367
responden remaja, ter 2 orang yang mengaku pernah dipaksa untuk berhubungan; oleh orang tua
mereka (Sarlito, 1985). Selain orang tua, da pengalaman klinis penulis, pemaksaan hubungan
seks pada i anak dapat juga dilakukan oleh pembantu, kakak, paman, kost atau orang lain yang
akrab dengan korban. Ada kemung pelakunya adalah penderita pedofilia, atau mungkin
pelakunya hanya sekedar ingin menyalurkan hasrat sek sesaat karena tidak ada penyaluran lain.
Akan tetapi baga napun juga pengalaman traumatik ini bisa menimbulkan yang sangat mendalam
pada jiwa korban.
Korban yang biasanya adalah, anak-anak perempuan, Isanya menderita kecemasan yang
mendalam sehubungan dia inerasa diririya tidak gadis lagi. Hal ini terkait dengan status
kegadisan yang masih dinilai tinggi dalam masyarakat Indonesia. Akibat lain yang bisa timbul
dari penyalahgunaan seks semasa anak-anak ini adalah perasaan rendah diri, sulit bergaul
terutama dengan pria dan tidak pemah berani menjalin hubungan yang terlalu akrab dengan pria,
takut kalau menikah akan ketahuan statusnya yang bukan gadis lagi.
Angka prevalensi untuk penyalahgunaan seks anak di Indonesia sampai sekarang belum
diketahui. Hasil survei penulis sendiri yang telah disebutkan di atas (2 respons dari 367 responden atau 0,5%) kiranya masih perlu pembuktian lebih lanjut untuk dapat dijadikan patokan yang
pasti. Apalagi penyalahgunaan seks itu hanya oleh orang tua, jadi tidak termasuk oleh orang
dewasa lainnya. Tetapi pengalaman klinis juga tidak dapat mem-buktikan berapa banyaknya
kasus-kasus seperti itu dalam popu-lasi umum. Walaupun demikian, hasil penelitian di luar
Perkembangan Peserta Didik
Pertemuan ke-8,9

STKIP Purnama (Kampus Plumpang)


Drs. Jumanta, M.Pd.

negeri membuktikan bahwa kemungkinan terjadinya kasus tersebut bisa sangat tinggi.
Penelitian dim Jud dilakukan di Los Angeles County, Amerika Serikat terhadap 248 wanita kulit
putih dan kulit hitam yang berusia 18-36 tahun. Dari penelitian tersebut ternyata 154 responden
(62%) melaporkan bahwa mereka pemah dipaksa untuk melakukan hubungan seks atau
diperlakukan secara seksual sedikitnya sekali selama mereka hidup sampai menginjak usia 18
tahun (Wyatt, 1985, him. 507-519).
Sebuah penelitian lain di Inggris terhadap 2019 pria dan wanita menunjukkan angka yang lebih
kecil dibandingkan dengan angka di Los Angeles tersebut di atas. Dalam penelitian yang bersifat
nasional di Inggris ini, diperoleh informasi bahwa 10% dari responden pernah mengalami usaha
penyalahgunaan seks sebelum mereka berusia 16 tahun. Tetapi yang mengherankan di sini adalah
adanya pria yang melaporkan usaha penyalahgunaan seks itu atas dirinya (8%) sedangkan
memang pada responden wanita kecenderungannya lebih besar (12%) (Baker & Duncan).

Perkembangan Peserta Didik


Pertemuan ke-8,9

STKIP Purnama (Kampus Plumpang)


Drs. Jumanta, M.Pd.

Anda mungkin juga menyukai