BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kasus gizi buruk masih menjadi masalah dibeberapa negara. Tercatat
satu tiga anak di dunia meninggal setiap tahun akibat buruknya kualitas gizi. dari
data Departemen Kesehatan menunjukkan setidaknya 3,5 juta anak meninggal tiap
tahun karena masalah kekurangan gizi dan buruknya kualitas makanan, didukung
pula oleh kekurangan gizi selama masih didalam kandungan. Hal
ini dapat
berakibat kerusakan yang tidak dapat diperbaiki pada saat anak beranjak dewasa.
Dr.Bruce Cogill, seorang ahli gizi dari badan PBB UNICEF mengatakan bahwa
isu global tentang gizi buruk saat ini merupakan problem yang harus diatasi
(Litbang, 2008).
Gizi buruk pada balita tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi diawali dengan
kenaikan berat badan balita yang tidak cukup. Perubahan berat badan balita dari
waktu ke waktu merupakan petunjuk awal perubahan status gizi balita. Dalam
periode 6 bulan, bayi yang berat badannya tidak naik 2 kali berisiko mengalami
gizi buruk 12.6 kali dibandingkan pada balita yang berat badannya naik terus. Bila
frekuensi berat badan tidak naik lebih sering, maka risiko akan semakin besar
(Litbang, 2007). Penyebab gizi buruk dipengaruhi oleh beberapa faktor yang
saling terkait, antara lain asupan makanan yang kurang disebabkan karena tidak
tersedianya makanan secara adekuat, anak tidak cukup mendapat makanan bergizi
seimbang, pola makan yang salah, serta anak sering menderita sakit.
penanganan yang cepat dan tepat pada kasus gizi buruk, baik di tingkat puskesmas
maupun rumah sakit untuk membantu pemulihan kasus gizi buruk pada anak
balita.
Menurut WHO (2000) dalam Suwanti (2003) cara pemulihan gizi buruk
yang paling ideal adalah dengan rawat inap dirumah sakit, tetapi pada
kenyataannya hanya sedikit anak dengan gizi buruk yang dirawat karena berbagai
alasan. Salah satu contohnya dari keluarga yang tidak mampu, karena rawat inap
memerlukan biaya yang besar dan dapat mengganggu sosial ekonomi sehari-hari.
Alternatif
untuk
memecahkan
masalah
tersebut
dengan
melakukan
kajian
terhadap
pelaksanaan
pemantauan
pertumbuhan
untuk menyiapkan formula khusus untuk balita gizi buruk, serta kurangnya tindak
lanjut pemantauan setelah balita pulang ke rumah (Kemenkes , 2010).
Undang-undang kesehatan nomor 23 tahun 1992 menekankan pentingnya
upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Istilah mutu mempunyai arti dan
persepektif yang berbeda bagi setiap individu, tergantung dari sudut pandang
masing-masing. Hal ini terlihat dengan adanya pesan agar tenaga kesehatan
melakukan fungsinya secara professional sesuai dengan standard dan pedoman,
serta meningkatkan pengetahuannya tentang penatalaksanaan kasus yang ada,
sehingga didapatkan hasil berupa kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan.
Kebutuhan
untuk
meningkatkan
mutu
pelayanan
kesehatan
setidaknya
dipengaruhi oleh tiga perubahan besar yang memberikan tantangan dan peluang.
Perubahan itu meliputi sumberdaya yang terbatas, adanya kebijakan
desentralisasi dan berkembangnya kesadaran akan pentingnya mutu dalam
pelayanan kesehatan, begitu juga dalam penatalaksanaan gizi harus dilakukan
sesuai dengan standar yang telah di tetapkan dan disesuaikan dengan standar
asuhan gizi dan pedoman tatalaksana gizi, sehingga mutu penatalaksanaan gizi
dapat dicapai secara optimal (Depkes, 2011). Pada penelitian Primasari (2007)
diketahui bahwa gambaran pertumbuhan anak yang pernah mengikuti program
penatalaksanaan gizi buruk di Dinas Kesehatan Semarang tahun 2007, persentasi
status gizi buruk menunjukkan penurunan yaitu dari 80 persen pada akhir 2007
menjadi 50 persen pada juli 2009 dan 56,3 persen pada agustus 2009. Ini
menunjukkan apabila kasus gizi buruk yang ditangani dan dilakukan
penatalaksanaan gizi secara baik dan bermutu sesuai dengan pedoman dan
prosedur tatalaksana gizi buruk, akan menurunkan angka kejadian kasus gizi
buruk.
Pada survei awal dan dari laporan gizi buruk tahun 2010 kasus gizi buruk
yang ditemukan Januari sampai dengan Desember 2010 ada 1909 kasus (tidak ada
penjelasan apakah angka tersebut termasuk kasus lama atau hanya kasus baru)
semua balita yang gizi buruk hanya diberi makanan tambahan dan tidak dilakukan
perawatan di puskesmas maupun dirujuk ke tingkat yang lebih lanjut seperti
rumah sakit. Berdasarkan pedoman tatalaksana gizi buruk yang keluarkan oleh
Departemen Kesehatan (2009), sebaiknya yang harus dilakukan mulai dari
penemuan kasus gizi buruk adalah perlunya pengorganisasian yaitu adanya tim
asuhan gizi yang akan mengidentifikasi sesuai tatacara yang sudah ditetapkan
sampai membuat rencana tindak lanjut, kemudian melakukan tindak lanjut dengan
memberi pengobatan sesuai diagnosa yang telah ditegakkan, serta memberikan
makanan pemulihan sesuai dengan tingkat keadaan gizi buruk yang diderita balita
sampai balita tersebut dinyatakan sembuh atau mengalami perbaikan dari
keadaannya semula, kemudian selanjutnya tetap dilakukan pengawasan keadaan
dan status gizinya dengan melakukan pengukuran antropometri (BB/TB) sampai
balita tersebut status gizinya kembali normal. Dan apabila pada tahap identifikasi
ditemukan penyakit penyerta atau tanda-tanda klinis berat pada balita, hendaknya
balita dengan gizi buruk tersebut dirujuk ke tingkat perawatan lanjut seperti
rumah sakit.
Dari keterangan yang di peroleh tenaga pelaksana gizi di puskesmas
seluruhnya telah dilatih tatalaksana anak gizi buruk. Sehingga permasalahan yang
muncul dan ingin diketahui apa yang dilakukan tenaga pelaksana gizi puskesmas
dalam menangani kasus gizi buruk yang ada di wilayah kerjanya, dan apakah
sudah sesuai dengan prosedur dan standar tatalaksana gizi buruk serta apakah
pengetahuannya sudah baik tentang penatalaksanaaan gizi buruk itu sendiri.
Atas dasar semua permasalahan diatas peneliti tertarik untuk melihat
apakah dengan penatalaksanaan gizi (pengorganisasian, tatacara, tindak lanjut
serta pengawasan) dan pengetahuan tenaga pelaksana gizi yang baik tentang
tatalaksana gizi buruk mempunyai atau berpengaruh terhadap perbaikan status gizi
pada balita gizi buruk yang ada di puskesmas se- Kabupaten Muaro Jambi.