Anda di halaman 1dari 76
ISI BUKU kata pengantar PENDAHULUAN. MASA PERTAMA (1900—1940) MASA KEDUA (1940-1960) MENUJU SENI LUKIS ABSTRAK (1955—1960) MASA KETIGA (Sesudeh 1960) LATAR BELAKANG SENI LUKIS INDONESIA BARU ALBUM LUKISAN ‘The New Indonesian Painting ‘Buku ink erbitkan oleh Dewan Kessnsan Jekoea Cetahan Porta 1975 Fak Cota oiingungl Undang Undors editor Jim Supangkat ‘Goonawan Mohammad Pemotetanukin Prvanto S Rencane dan penge ‘syahenur Pinks ‘ustan kultbaky Wesione 5 KATA PENGANTAR SSetelah _menerbitkan buku’"Raden Saleh"’yang disusun oleh Saudara Baharudin M.S., Dewan Kesenian Jakarta ingin mengusahakan pe- erbitan buku-buku lain tentang seni lukis Indonesia Khususnya, seni rupa umumnya, yang memang telah sejak lama dirasakan kekurengan- ya. Tapi temyata penulisan buku semacam itu tideklah semudah membust rencana. Bahan-bahan tentang seni lukis dan seni rupa Indonesia masih langka, sehingga orang yang hendak menulis buku semacam itu harus benar-benar mencari sendiri bahar-behan yang ‘masih terserak berpencar di berbagai tempat, bahkan soring tidak diketahui orang lagi di mana tempatnya. ‘Saudara Drs. Sanento Yuliman, seorang ahli senirupe Indonesia lulusan Jurusan Senirupa Institut Teknologi Bandung yang dikenal sebagai penulis esai yang tajam, kami minta untuk menulis naskah tentang seni lukis Indonesia sokarang. Berlainan daripade para penulis ‘tentang senilukis Indonesia sebelumnya, yang biasanya lebih terikat kepada pengisahan secara kronologis perkembangan seni lukis kita, maka tulisan Saudara Sanento Yuliman lebih cenderung membawa kita untuk melihat panorama kehidupan senilukis Indonesia melalui ragam gaya yang terdapat di dalamnya. Tentu saja cara ini mom- punyai keuntungan dan kerugiannya: Keuntungannya ia memberikan ‘gembaran keseluruhen schingga mudah bagi kite untuk menangkep kehidupan berbagsi gagasan yang terdapat dalam senilukis Indonesia; Kerugiannya Karena dengan demikian tidak sampai pada penilaian kwalitatifterhadap prestasi pelukis secara individual. Tentu. saja cara Saudara Sanento Yuliman memandang kehidupan ‘senilukis Indonesia ini dapat menimbulkan persoalan bagi orang lain. ‘Tepi justru hal itulah yang antara lain kami herapkan dengan pener- bitan’ buku ini—di samping menambah jumlsh buku tentang seni lukis Indonesia yang memang sangat sedikit sekali itu. Mudah-mudahan ppenerbitan ini akan merangsang penulis yang lain untuk mengangkat pena dan memberikan visinya sendiri tentang Kehidupan seni lukis Indonesia. Kian banyak cara dan ragam penulisan yang tampil, kian ayalah kita dengan berbagal pandangan yang berbeda-beda, yang mudah-mudahen dengan demikien ekan tergambsrlah keadsan sebe- narnya kehidupan seni lukis kita. Di samping penerbitan tulisan- Saudara Sanento Yuliman ini, dalam rangkaian penerbitan ini, insya Allah akan kami usehakan pula ‘menerbitkan buku-buku tentang senilukis zaman Persagi, senilukis ‘zaman Jepang, dan tentang tokoh-tokoh penting dunia senilukis kita. Kami akan sangat berbahagia sekali apabila usaha ini akan di- terima masyaraket dengan tangan terbuka. Kepada Saudata Sanento Yuliman dan berbagai pihak yang telah memungkinkan terbitnya buku ini, kami sampalkan terimakasih se- ‘tulus-tulusnya. Jakarta, § Nopember 1976 DEWAN KESENIAN JAKARTA ~ Dewan Pekerja Harian, Allp.Rosidi - Kena, \s PEMILIK PEMILIK LUKISAN YANG ADA PADA BUKU INI mana Kepresdanan Repubik Indonesia, 41,2, 6,11, 14, 15, 36,37, 46, 48,47 Dirktorat Pembinaan Kesonian Dept. PD & K. 4,7,8,8, 12, 16,20, 25, 27, 28, 29, 8, 8, 0,48, 54, 56,87, 64, 68 ‘Dewan Kesonian Jakart 13,21, 23, 24, 2,36, 38, 88,61, 62,68, €6, 68, 70, 71. LUngkar Mira Bday. 31,89, 72 Ruslan Majid. 2 ‘lox Pepadimtrou. 10, 18, 2, 25, 48, 48,49, 61,63, 8, 68 AAD Pious. 17,19, 2 ut Mucha, a ‘Adom Mab. o ‘Semua ukuranlukisan yang terdapat pada buku ini dlam cm. SENI LUKIS INDONESIA BARU sebuah pengantar catatan, Raden Saleh tiga masa perkembangen seni lukis beru golongan kedua yang sesungguhnya. Ini disebabkan Sieh dua hal. Pertama, oleh kekosongan selama satu angkatan, Karena Raden Seleh tidak punya kawan pelukis semasa dan tidak pula meng- djarkan seni lukisnya Kepada angkatan yang lebih muda. Kedue—dan ini lebih penting—olgh perbedaan gaya. Raden Saleh Syarif Bustaman (1807— 1860) mula-mula belajar me- lukis pada A.A.J. Payen, seorang polukis Belgia yang didatangkan ipemerintah Hindia Belande ke Indonesia untuk membuat dokumentesi Siam Indonesia. Berada lama di Eropah (180-1851), ia meresapkan ‘pengaruh Geraken romantik dalam seni lukis di sane. Lukisan Raden Saleh dikenal dengan gaya yang bergerak, adegan petualangan atau adegan berdrema, séperti pada lukisannya "Antara Hidup Dan Mati” (1842) yang melukiskan porkelshian bison dengan singa, "Berburu Banteng di Jawa’ (1870), yang melukiskan pengendare-pengendera kuda menyerang seekor banteng, “Hutan Terbaker”, yang menggam- ‘barkan sejumfah binatang kebingungan oleh amukan api, “Benj” yang matukiskan orang Ketakuten ditengah bencana alam, dan Isin-tain. ‘Seni lukis Raden Saleh ialah seni lukis yang bersemangat. SSejak kira-kira satu angkatan sepeninggal, Raden Saleh, bermunculan pelukis. Indonesia lainnya, dalam jumiah semakin besar. Seni lukis barupun tumbuh dan berkembang di Indonesia. Kita dapat melihat tiga masa dalam perkembangan itu. = Masa Pertama berlangsung dalam empat puluhan tahun pertama ‘bad ini. Berdiri tumbuhnya seni lukis pemandangen alam. Sudah mtu para pelukis masa itu melukis pula pokok lain, misainya orang, amun pemandangan alam mempunyai kedudukan utama dalam ‘seni lukis mereka + Masa Kedua bermula menjelang 1940. Pada masa ini kita menyaksi- kan tumbuhnya seni lukis yang hendak mengungkapkan pengalaman dan kehidupan manusia, dan bukan menggambarkan keelokan alam. Lagi pula watak dan keadaan jiwa pelukis ‘yang pada umumnya tegeng dan gelissh—di pandang penting dan harus nampak dalam lubisan. Dalam melukis alam, mahusia dan benda, yang dianggap ‘Utama ialah peresaan atau emosi si pelukis terhadap obyek itu. + Masa Ketiga berlangsung sesudah 1960. Masa ini ditandsi oleh ‘seni lukis yang disebut “abstrak”. Pada lukisannya orang sukar ‘atau sama sekali tidak melihat bentuk yang dapat dikenali sebagai bentuk obyek dalam kenyataan. ‘Sudah barang tentu pembagian ke dalam tiga masa itu tidak berarti bahwa secara serempak para polukis meninggalkan suatu. macam seni lukis pada suatu masa, dan beralin kepada seni lukis macam lain dalam masa berikutnya. Hingga kinipun terdapat pelukis peman- dangan alam. Dan pelukis muda yang muncul dalam masa tahun fenampuluhan atau tujuhpuluhan tidak niscaya pelukis abstrak. Pem- agian masa itu hanya hendak menunjukkan adanya kecenderungan baru yang muncul dan tumbuh pada suatu masa, MASA PERTAMA 1900-1940 faktor-faktor penyebab ‘Tumbuhnya seni lukis pemandangan alam pada awal abad ini ditunjang oleh beberape faktor. Salah satu faktor yang terpenting ialah adanya sejumieh pelukis, Be- lande, beik yang didatangkan oleh pemerinah Hindia Belands, dengan ‘tuges resmi (misainya untuk melukis keadsan alam, kota dan lain- in di Indonesia) maupun yang datang Karena semangat bertualang tertorik akan alam sekitar lautan teduh. Ada pula pelukis Belanda ‘yang lahir dan dibesarken di Indonesia. Para pelukis itu memperkenal- kan’ kepada orang Indonesia seni lukis pemandangan alam yang negeri Belanda telah berkembang sejak tiga-empat abad yang lalu. ‘terdapat sejumiah orang Indonesia yang tertarik ji pelukis pemandangan alam, seperti Abdullah Surio Subroto (1878—1941) yang sempat belajar di akademi seni rupa di Negeri Belanda, Mas Pimgadi (1865-1936), Wekidi (lahir 1889) dan Iain-iain, Tekhnik dan gaya seni lukis ini di masa kemudian dilanjutkan oleh pelukis Basuki Abdullah, Sukardj, Omar Basalameh, Wehdi dan lain-ain Faktor lainnya ialah cita-cita kelas menengah (burjuasi) Eropah. Di Ero- ah, seni lukis pemandangan slam berkembang bersama perkembangan elas menengah itu, Kelas masyarakat ini, yang intinya ialah kaum sau- ‘dagar dan pengusahe, Kurang menyukai lukisan yang menggambarkan ‘adegan ceritera dari Injil dan kesusasteraan Klasik yang menjadi kege- aren kau bangsawan. Mereka lebih menyukai lukisan yang meng- ‘gambarkan hal-khwal yang biasa saja, misalnya pemandangan alam. Llebih-lebih lagi, pemandangan alam membawa mereka istirahat,sele~ nak dati kesibukan dagang dan industri di kota yang bising den kotor. Para saudagar, pengusaha, pegawai Belanda, juga para wisatawan 98.2 Abdulah SR 1895 “Ostaran Tingol Bandung” (200 x 56) tekhnie membawa cita-rasa ini ke Indonesia. Lapisan teratas mesyarakat Indo- rnesia, yakni golongan terpelejar yang banyak bergaul dengan orang Belanda, terpengaruh cita-rasa ini Dengan demikian pada ewal abad duapuluh terbentuklah konsumen lukisan pemandangan slam di Indonesia, yaitu. saudagar, pengusaha, pegawai Belanda dan para wisatawan — semua menginginkan kenang- kenangan alam Indonesia — dan lapisan terpelajar Indonesia. Sudah tentu cita-rasa konsumen ini meluas ke lapisan bawah masyarakat. Faktor lain yang menyebabkan berkembangnya seni lukis pemandangan ‘alam, tentu saja, ialah karena kebanyakan pelukis masa itu memang ‘senang melukis pemandangan alam. Kesenangan itu — beserta hasil panjualan dan kekaguman masyarakat (yang segera kagum melihat lu- kisan pemandangan yang nampak “seolah-olah kenyataan"’) — bagi pelukis merupakan imbalan yang cukup bagi jerih payah mereka. Pe- Tukis seperti Abdullah Surio Subroto, Mas Pimgadi dan Wakidi meluang- kan banyak waktu untuk menyingkir dari kehidupan ramai, pergi ke ‘tempat sepi di lereng Tangkuban Perahu, di kaki Merapi, di Pantai Pelabuhan Retu atau di Ngarai Sianok untuk merenungi pemandangan ‘lam dan dengan tekun melukisnya. Agaknya dalam alam yang mem- bentang sejauh jauh mata memandang, dalam keaslian, keelokan dan ketentramannya, mereka menjumpai ternan yang menyambut perasaan hhalus mereka, dan memberi pelipur dan keasyikan. Untuk semua itu, ppelukis pemandangan alam kerap kali melukis pemandangan “tidak” sebagaimana adanya. Pada kanvas mereka membuat sejumiah perubah: ‘an, misalaya : "menghilangkan” jejak peradaban modern (tiang listrik, bbengunan pabrik), "memindahkan” pohon, semak-semak dan lain-lain Seakan-akan dengan demikian mereka hendak "memperbsiki alam’ Mereke memperhatikan betul kesan-kesan warna, misalnya panas, di jn. Ini dihubungkan dengan penempatan lukisan agar dapat memberi rasa segar”. Pelukis pemandangan alam melukis dengan tekhnik yang telah men- jadi kebiasaan dan ketentuan dalam seni lukis Belanda, dan yan¢ igjarkan di akademi seni rupa di Negeri Belanda. Dalam tekhnik ini, perspektit harus diperhitungkan dengan elit Ruang lukisan dibagi tiga; depan, tengah dan belakang. Salah satu dari ruang itu, yang ‘akan ditonjotkan, diberi cahaya. Ruang-ruang lainnya diredam atau imatikan. Warna-werna_diambil_ menurut ketentuan yang lazim; di- ‘camput baik-balk pada palet untuk menghindari percampuran di kanvas gb. 3 Waid... "Pemandangon oi Sumatra” (158 x 92), catatan, Sudjojono ‘yang akan menimbulkan kesan kotor; lalu divlaskan secara halus di kanvas. Ketika Mas Pimgadi di tahun 1928 mengajar melukis kepada sseorang muridnya, Sudjojono, ia masygul melihat kasarnya sapuan ‘kwas Sudjojono dan kotornya warna-warna yang dipilih semaunya sen- diri. Kata Pirngadi: “Menggambar ewan, gunakan warne putih, oker, dicempur ver- ‘ition sedikt. Sedengkan bayangannya ialah wame-werna itu di- fambah dengan biru. Untuk bayengan peda air dh sawah, gune- an werne-warna tsb. dtambah oker dan biru sedikit lagi. Warne ‘ker adalah warna kunci. Hindarkan pomaksian wera hitem dan putin” 1) Tetapi Sudjojono itulah justru_penentang utama tekhnik, gaya dan festetika seni lukis pemandangan alam. Dengan penentangan itu mu- lailah masa kedua dalam perkembangan seni lukis Indonesia baru. ‘Sudjojono, yang dilahirkan df Kisaran, Sumatera Utere, tahun 1913, berkeyakinan: pelukis harus bebas dari kaidah-kaideh, agar jiwa bise tercurah isinya dengan sebebas-bebasnya. Dengan demikian, lukisan Glukur tidak dari ketetepannya melukiskan obyek, tetepi dari bagat- ‘mana intensnya suatu kegemasan (hubungan subyek-obyek) dapat ter- ‘that pada garis-garis yang disapuken di atas kanvas. Dengan pendepat ini, den penempatan seni fukis pemandangan alam pada kubu-kubu “Barat”, Sudjojono dan sejumiah pelukis ‘vin saat ‘ity mendapat motivasi dalam penentangannye. Sudjojono sendiri ‘mengatakan: "Saya ingin tahu, seberapa jauh saya ketinggalan dari ‘orang-orang Eropah”. Pade kate-kata itu terkandung svatu keyakinan ‘bahwa dengan memilih cara yang lebih nggreget semangat Indonesia yang ada pada mereka akan menjadi sumber yang kuat. Di tahun 1887, Sudjojono berhasit mengikuti pameran bersama orang- orang Eropeh. ta mendapat pujian. Dan kire-kira pada tehun yang sama bordirlah PERSAGI. le menjadi tokoh pade perkumpulen ini ‘arena pikirerpikirennye. Lalu, berturut-turut ia aktit pula pada per ‘kumpuler-perkumpulan POETRA dan SIM. Pendepatnye, “lukisan 1) mam Buchori Zainudsin, "Lata Blakang, Sejran Pambinaan Dan Perkembangen ‘Sen LutisIndonesio Modorn 1855—1960.", Tels Bag, 6.R. OPSR. ITB. ha. 105/6 ‘2dolah jiwa nampak” dibantu suasana saat itu, banyak mempengarubi pelukis-pelukis Jain. Di tahun 1945 Sudjojono menyatakan "Pergi ke Realisme”. ta saat ‘tu tidak setuju pada cara melukis yang terlampau nggreget yang meng- ‘hasilkan abstraksi dan demorfasi. Lukisan ini dlanggapnya tidak bisa dimengenti rakyat. Sudjojono menyatakan “Realisme”-nya dengan me- ‘ukis tebin cermat, lukisannya pada masa ini nyaris nampak sebagai potret. Sudjoiono bertahan pada realismenya sampai kurang lebih tahun 1968. Tahun 1960 lukisannye nampak kembali pada keyakinannye, yang semula, menampilkan sspuan-sapuan yang kuat. Akan tetapi fema-tema dala lukisannya tidek banyak berubah. Sejak mula, ia ‘memperiihatkan ikatan yang kuat dengan peristiva-peristiwa di se- kelfingnya. 10 MASA KEDUA 1940 ~1960 PERTUMBUHANNYA S. Sudjojono bersama beberapa_pelukis_mendirikan _perkumpulan Persatuan Ahli Gambar Indonesia, aisingkat PERSAGI, di tahun 1937, Gi Jakarta. Dalam kegiatannya ‘selama empat tahun, perkumpulan ini menarik berkumpul kurang lebih tiga-puluh orang pelukis. PERSAGI diketuai oleh Agus Djaja dan anggautanya a.l. Sudjojono, ‘Abdul Salam, Sumitro, Sudibio, Sukimo, Suromo, Surono, Setyoso, Herbert Hutagalung, Syoeaib, Emiria Sunasa dll. Terhadap’ seni lukis (seperti mereka menyebutnya) yang berkembang di se- kelling mereka, mereka sepakat untuk membuat “akademi” senditi— dengan jalan berlatih di rumah masing-masing dan bersama-sama. ‘Terhadap keadaan penjajahan yang menciptakan lingkungan kesenian, ‘semata-mats tersedia bagi orang Bolanda saja, dan menghalangi ‘seniman Indonesia untuk muncul dan terkenal, mereka sepakat untuk menerobosnya dan memperlihatkan pada dunia bahwa orang Indonesia- pun bisa melukis dan mampu menciptakan kesenian sendiri yang baru “corak persatuan Indonesia baru”. Sudjojono oleh kemampu nya bicara dan menulis, menjadi penggerak dan juru bicara PERSAGI. ‘Sementara di Jakarta bekerja para pelukis PERSAGI, ditempat lain yaitu. Bandung, bekerja pelukis-pelukis Sjafei Sumardja, Aftandi dan Hendra Gunawan. Di masa-masa kemudian Sjafei Sumardja dikenal so- bbagai salah seorang pendicik seni rupa terkemuka, sedang dua yang lainnya dikenal sebagai pelukis penting, Dengan datangnya masa penjajahan Jepang di Indonesia (1942— 1945) para pelukis_menghadapi keadaan baru. ‘Pemerintah milter Jepang, dalam usaha “membangunkan kebudayaan Timur” untuk “memajukan bangsa Asia Timur Raya memandang perlu untuk " ob. 4 Agus Di, 1950 — “Poel 535) mengerahkan para budayawan dan seniman untuk “mencapal ke- menangan terakhir dalam peperangan’. 2) Maka pada tahun 1945 didirikanlah Kelmin Bunka Shidoso (Pusat Ke- budayaan) yang menyediakan sarana untuk kegiatan kesenian. Para Ppelukis Indonesia memanfaatkan kesompatan ini untuk melatih diti dan mmelatih bakat-bakat muda, sekaligus untuk memperkenalkan seni lukis baru kepada masyarakat vas. Sampal-sampai para pemimpin’ Indonesia sendiri juga memberi tempat latihan melukis didalam POETRA (Pusat Tenaga Rakyat) Dalam membina perkembangan seni lukis di masa Jepang ini Sudjo- jono, Agus Djaja dan Affandi memegang peranan penting, Dalam masa ini muncul sejumiah pelukis lainnya, antaranya: Otto Diaja, Kartono Yudhokusumo, Henk Ngantung, Djajengasmoro, Basuki Resobowo, Baharudin, Subanto Surio Subandtio, Rusii, Bari, Mochtar Apin, Dullah,Harjadi, Hendra Gunawan, Kusnadi, Kerton, Trubus, dil, Pergolakan politk dan militer sesudah Proklamasi Kemerdekaan 1945 tidak menghentikan kegiatan soni lukis. Kebanyakan pelukis dan pe- mimpin politik percaya bahwa seni lukis dapat berperan dalam per- juangan. Pindahnya pusat pemerintahan dari Jakarta ke Yogyakarta ditahun 1946 dikuti oleh hijrahnya para pelukis, dan Yogyakarta men- jadi pusat kegiatan seni luke. Di Yogyakarta, Affandi, Rusti, Hendra dan Harjadi membentuk per- kumpulan Seni Rupa Masyarakat pada tahun 1946. Setahun kemucian (1947) mereka bergabung dengan Sudjojono dalam Seniman Indonesia Muda (SIM) yang terbentuk di Madiun pada tahun 1946, tetapi yang kemudian pindah ke Surakarta di tahun 1947 dan akhimya ke Yoo- yakarta 1948. SIM menghimpun banyak pelukis, di antaranya Suromo, Surono, Abdul Salam, Sudibio, Kertono Yudhokusumo, Basuki Ri sobowo, Oesman Effendi, Srihadi Sudarsono dan Zaini. Para pélukis SIM membuat lukisan bertema perjuangan, di antaranya banyak Iu- kisan besar-besar berukuran 2m x 3m, membuat poster, menyeleng- garakan pameran, dan menerbitkan majalah kebudayaan SENIMAN yang dengan demikian menarik pula penulis seperti Wiratmo Sukito, Usmar Ismail, Anas Makruf dan Trisno Sumardjo ke lingkungan ke- giatan SIM. Trisno Sumdrdjo bahkan terangsang untuk melukis 2) Lat Pcato pénpinan tertngg! Kein Bonka Shidoso pads pelantian para pejabet lembog ii. Dimuat dalam maalh Keboedsan Taroer 1/2803 12 ccatatan, Affandi Pada tahun 1945 Djejengasmoro dan beberapa _temannya_mem- bentuk Pusat Tenaga Pelukis Indonesia (PTPI). Mereka membuat lukisan_periuangan, poster-poster dan spanduk dengan keyakinan bahwa “cat, pens dan kertas akan bersama-sama poluru-pelor dan kata-kata diplomasi mengusir sisa-sisa penjajahan"” 3) Karena pertentangan pendapat, pada tahun 1947 Hendra, Affandi meninggalkan SIM dan mendirikan Pelukis Rakyat. Dalam perkum- pulan ini bergabung Sudarso, Kusnadi, Sasongko, Trubus, Sumitro, Sudiardjo, Setioso dll. Dalam masa perjuangan itu terdspat pengertian dan hubungan yang erat antara para pemimpin polik dan para pelukis. Kementerian Pe- ‘nerangan, Sekretariat Menteri Negara Urusan Pemuda dan Markas Besar Tentara Keamanan Rakyat, menjadi penunjang seni lukis, dengan memberikan biaya, sarana dan pesanan. Karya para pelukis dibeli dan dikumpulken Pemerintah dengan maksud mendirikan Museum Dokumentasi Perjuangan Negara Republik Indonesia. Dalam masa itu tamasya seni lukis bukan saja dikuasai oleh tema per- juangan dan penggambaran kehidupan rakyat jelata, melainkan juga ‘oleh pengaruh gaya Sudjojono den Affandi 4) Affandi lahir kurang lebih tahun 1910, di Cirebon. le mulaé sebagai pem- ‘buat gambar iklan bioskop di Bandung sekitar tahun 1933. Pade tahun 1838 fa masuk Perkumpulan PERSAGI, dan seteleh perang kemerdeka- an ia keliing Eropah untuk menghimpun pengalamen yang diresakan- ‘nya perlu bagi perkembangan melukisnye. Lukisan-tukisan Affandi, delem perkembangan menampakkan rasa nggreget_ yang intens. Weleupun pada lukisan-tukisennye yang mule- ‘mule, obyek yang dilukisnya masih nampak jelas, rasa nggreget in ‘sudeh teribet. Kemudian, geris-garis dalem lukisannye kian lame kian ‘iuh; Hingga lukisan-tukisennya yang mutakhir nyaris menjadi abstrak, ‘obyek yang dilukiskennya sudeh suker untuk dlikenel Cara Affandi melukis paling tegas depat dilihat sebagai cara yang per- 53) “Perdjosangan PTPI", Revolus| Peroede, 25 Desember 1946. 41 Derkion pullah kesaksian Rival Apin dalam "Pembicarean Luiaan”, Minbar Indo- aia 28 Agusta 1948 13 | ‘9.8 Aandi, 1940 —" "ok" xa ‘caya akan kegemesan yang mendorong deri delam. Rasa menyengat, yang didepat deri tatsiran suatu obyek dihimpun, lalu ditumpahkan se- aligus ke” dolam sebuah lukisan, tenpa banyak memperhatikan ke- tentuen-ketentuan melukis, Cara Aftandi ini — pada gaya lain sekalipun — mendeseri bangkitnya vasa percaye pada garis/sepuan yang ditarik, sebagai catatan dari pe- vasaan sesaat yeng unik, yang mungkin tak depet ditemukan legi pada kala lain Pelibatan seni lukis dengan politik di masa perjuangan itu dilanjutkan ‘oleh SIM dan Polukis Rakyat, sesudah 1950, dengan kecenderungan ‘yang kust kepada ideologi Komunisme. Pelukis-pelukis yang meng- hhendeki seni lukis bebas dari politik, memisahkan diri. Oesman Effendi ddan Zaini sudah pada tahun 1949 meninggalkan SIM dan menggabung- kan iri dalam Gabungan Pelukis indonesia (GP!) yang didirikan oleh ‘Sutiksna dan Affandi di Jakarta pada tahun 1948. Pada tahun 1960 Kusnadi, Sumitro, Sasongko keluar dari Pelukis Rakyat dan_mem- bentuk Pelukis Indonesia, dengan anggautanya a.|. Sholihin dan Bagong Kusudiardjo. Berbeda dengan SIM yang sesudah 1960 semakin lesu, Pelukis Rakyat ‘semakin berkembang. Perkumpulan ini mempunyai hubungan yang rapet dengan banyak tokoh pemerintahan, sehingga banyak pesanan lukisan, patung dan relief untuk gedung-gedung pemerintahan datang kepada Pelukis Rekyat. Perkumpulan ini juga. mempunyai hubungan yang erat dengan Lembaga Kebudayaen Rakyat (Lekra) yang didirikan, ada tahun 1950 oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) sebuah pertai Yang semakin kuat dan luas pengaruhnya di Indonesia selama_ masa 1950 — 1965. Oleh persaingan pengaruh, terutama sesudah Manifesto Politik 1959, ppartai poltk lainnya terdorong pula membentuk lembaga kebudayaan, ‘misainya Partai Nasional Indonesia (PNI) membentuk Lembaga Ke budayaan Nasional (LKN). Selain di Yogyakarta, sebelum 1950 terdapat pula perkumpulan pelukis di kota lainnya. Kita sudah sebutkan GPI di Jakarta. Di Bandung ter- dapat Jiva Mukti (berdiri 1948; Barli, Mochtar Apin, Karnedi), di Sura- baya Pelangi (1947; Sularko). Selanjutnya bermunculan perkumpulan lainnya. Di Yogyakarta: Pelukis Indonesia Muda (1952; Widayat, 15 hal | Za 0b. 11 Surono, 1960, “Ketoprak”,(120%81) DASAR SENINYA, G. Sidharta, Handrio) Sanger Bambu (1969; Soenarto Pr, Muljadi W, Handogo S, Danarto, Ariaf Sudersono), Bumi Tarung (Amrus Natalsya), i Bandung; Sanggar Seniman (1952; Kartono Yudhokusumo, But Muchtar, Srihadi, A.D. Pirous), Cipta Pancaran Rasa (1962; Angkama Setjadipradja, Abedy). Di Jakarta; Lembaga Seniman Yin Hua (1955; Lee Man-Fong) Matahari (1957; Mardian, Wakidjan, Nashar, Alex Wetik) Jajasan Seni dan Design (1968; Oesman Effendi, Trisno Sumardjo, Zaini). Di Surakarta; Himpunan Budaya Surakarta (Murdowo). Di ‘Surabaya; Prabangkara (1982; Karjono Js.) dan diberbagai kota lai ‘nya seperti Malang, Madiun, Bukit Tinggi, Ujung Pandang. Perkumpulan itu, di samping menjadi tempat para pelukis bekerja dan bertukar pikiran, juga menjadi tempat melatih para pelukis muda. Perlu dicatat latinan melukis diselenggarakan pula oleh Badan Musy. warah Kebudayaan Nasional (BMKN) di Jakarta (1956) dengan pelati Oesman Effendi dan Zaini Lembaga pendidikan formil kejuruan yang menyelenggarakan pendicik- ‘an seni lukis, baru tumbuh sejak menjelang 1950. Tentang lembaga Pendidikan umum, yang menekankan pentingnya seni lukis dan seni lainnya dalam proses pendidikan harus kita sebutkan Taman Siswa yang didiikan oleh Ki Hajar Dewantara di Yogyakarta pada tahun 1922 dan |.N.S. yang didirikan oleh Moch. Sjafei di Kaya Tanam, ‘Sumatera pada tahun 1928. Akan tetapi lembaga pendidikan yang mengarah kepada seni lukis, mula-mula berdiri pada tahun 1947 di Bandung, yaitu Universitaire Leergang tot Opleiding voor Tekenleraren (Balai Perguruan Tinggi. Guru Gambar) yang dipimpin oleh orang: ‘orang Belanda, kemudian, baru pada tahun 1951 oleh Sjafel Sumardja, ‘sebagai bagian dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia, dan seje 1959 menjadi Departemen Seni Rupa pada Institut Teknologi Bandung. Lembaga pendidikan lainnya berdiri pada tahun 1950, yaity Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Yogyakarta, berkat’idealisme pen- didik A.J. Katamsi, Dan lemibaga ini memperoieh status penuh sebagai lembaga pendidikan tinggi pada tahun 1968 dan menjedi Sekolah Tinggi Seni Rupa indonesia Asri (STSRI “ASRI"). Bormacam-macam gaya perseorangan, bermacam-macam pandangan tentang kesenien nampak dalam seni lukis masa 1940-1960 itu. Namun dari yang bermacam-macam itu kita dapat melihat bingkai kecenderungan umum dan di dalam bingkai umum itu ada kecen-

Anda mungkin juga menyukai