Anda di halaman 1dari 3

Batasan Pemberian Urea pada Pakan Ternak

Oleh : Sri Hindrawati, S.Pt

Apa sesungguhnya Urea?


Urea adalah suatu senyawa organik yang terdiri dari unsur karbon, hidrogen, oksigen dan
nitrogen dengan rumus CON2H4 atau (NH2)2CO. Urea juga dikenal dengan nama carbamide yang
terutama digunakan di kawasan Eropa. Nama lain yang juga sering dipakai adalah carbamide
resin, isourea, carbonyl diamide dan carbonyldiamine. Senyawa ini adalah senyawa organik
sintesis pertama yang berhasil dibuat dari senyawa anorganik, yang akhirnya meruntuhkan
konsep vitalisme.
Urea untuk Tambahan pada Pakan Ternak
Strategi untuk meningkatkan konsumsi pakan oleh ternak pada kondisi pemeliharaan tradisional ialah
dengan memberikan suplemen yang tersusun dari kombinasi bahan ilmiah sumber protein dengan
tingkatan jumlah tertentu yang secara efisien dapat mendukung pertumbuhan, perkembangan dan kegiatan
mikroba secara efisiendi dalam rumen. Selanjutnya produktivitas hewan dapat ditingkatkan dengan
memberikan sumber N protein dan/ atau non protein serta mineral tertentu. Suplementasi secara
keseluruhan diharapkan dapat memberikan pengaruh yang baik melalui peningkatan protein mikrobial,
peningkatan daya cerna dan peningkatan konsumsi pakan hingga diperoleh keseimbangan yang lebih baik
antara amino dan energi di dalam zat-zat makanan yang terserap.

Kontroversi Pemberian Urea pada Pakan Ternak


Banyak informasi yang beredar yang sifatnya konteroversi yaitu tentang bahaya penggunaan urea antara
lain dipaparkan data-data berikut. Berawal pada tahun 1980-an, ketika pemerintah mengimpor sapi perah
secara besar-besaran, dan merasa kekurangan rumput berkualitas. Alternatif termudah yang ditempuh saat
itu adalah meningkatkan kualitas jerami padi yang secara kuantitas ketersediaannya tidak pernah
kekurangan, dengan teknologi yang dikenal sebagai urease ataupun amoniase. Seperti yang ditemukan
nutrisionis Jerman Bergner (1974) ataupun yang dilakukan Van der Merme (1976) di Afrika Selatan.
Urease yang diperkenalkan merupakan proses pengolahan jerami padi menjadi hijauan berkualitas untuk
pakan sapi perah dengan menggunakan urea (yang oleh kebanyakan masyarakat Indonesia hanya
digunakan untuk tanaman). Urea dicampur air dengan perbandingan tertentu, disiramkan ke jerami yang
sudah disusun kemudian ditutup plastik kedap udara selama waktu tertentu (metode Dolberg, 1981).
Alternatif lain adalah dengan memberi panas dan tekanan tertentu sehingga larutan urea menguapkan gas
amoniak, uapnya yang berbau sengak diserap oleh tumpukan jerami padi di sekelilngnya. Proses ini
dilakukan dalam kontainer kedap udara (metode yang dilakukan Bergner dan Van der Merme serta
diperbaiki pada tahun 1981 oleh Coredesse).
Banyak peternak sapi perah di Jawa pun dibekali ilmu urease untuk menyulap jerami padi yang semula
hanya hangus dibakar di pesawahan menjadi pengganti rumput hijau yang semakin sulit diperoleh. Tidak
lupa kontainer pun dikirimkan kepada koperasi peternak sapi perah. Dengan berbagai upaya tersebut,
kiranya pemerintah makin optimis bahwa dalam beberapa tahun setelah itu imbangan antara susu impor
dan produk dalam negeri mencapai 50 : 50. Para peternak sapi perah sangat antusias mempraktekan ilmu
tersebut. Pakan hijauan tidak akan ada masalah lagi ketersediaannya sepanjang musim. Namun, ketika
hijauan berkualitas hasil urease ini diberikan kepada sapi yang sedang laktasi maka produksi susunya tibatiba berkurang. Makin hari makin sedikit sampai beberapa dinataranya harus berhenti sebelum masa
kering tiba. Jerami padi berkualitas tinggi juga diberikan kepada sapi jantan yang sedang digemukan
(fattening). Sapi-sapi jantan FH yang sedang dalam proses akhir pemeliharaan penggemukan pun
beberapa diantaranya mati mendadak setelah beberapa hari urinenya kuning kemerahan sampai benarbenar keluar darah segar.
H. Abdoeri (almarhum) yang waktu itu menjabat sebagai ketua GKSI Cirebon pun segera menghentikan
penerapan teknologi baru tersebut. Urease ternyata tidak seindah hasil penelitian Dr. Ir. Abdel Komar di
Perancis. Bagusnya kesimpulan hasil riset di laboratorium ternyata berakibat fatal setelah diterapkan
begitu saja di lapangan. Atep, seorang peternak sapi perah di Desa Sukasari Kecamatan Pangalengan pun
mengalami nasib serupa. Pada awal tahun 1990-an, anggota KPBS tersebut hanya bisa mengurut dada

ketika beberapa ekor sapi laktasi andalannnya tiba-tiba produksi susunya turun drastis. Salah satunya
bahkan sakit-sakitan dan terpaksa ditolong Pak Jagal. Saat itu, sapi perahnya mendapatkan awetan hijauan
berprotein tinggi, silase jagung yang dibuat dengan tambahan larutan urea.
Kejadian belum lama pun terjadi di peternakan domba milik pesantren, Peternakan Domba AlMustaghfirun Desa Jatimulya Kecamatan Terisi Kabupaten Indramayu. Lebih dari 35 % domba yang
dipeliharanya terkapar secara bertahap setelah penggunaan UMB selama 2 6 bulan, 75 ekor harus
menemui ajal dari total populasi 200 ekor. Ahmad Syifa, teknisi yang menangani peternakan tersebut
mengatakan bahwa gejala yang muncul diare akut, bahkan disertai dengan perdarahan.
Hasil penelitian laboratorium, selalu dan akan selalu menghasilkan adanya perbaikan nitrisi terhadap
bahan makanan ternak yang diberi larutan urea. Protein, nutrisi terpenting dan relatif mahal ini menjadi
begitu murah dan mudah didapat dengan pemberian urea. Bahan pakan pun secara laboratorium
menunjukkan berbagai perbaikan. Serat kasar yang sulit dicerna rumen pun menjadi lebih bisa bermanfaat
setelah melalui proses urease.
Hasil penelitian pengolahan jerami padi IR 38 dengan pemberian urea 4 % bukan hanya meningkatkan
protein kasar secara drastis tetapi juga meningkatkan daya cernanya 50 % lebih baik, serat kasar bahkan
menunjukan perbaikan daya cernanya lebih dari itu. Perbaikan juga terjadi pada daya cerna bahan kering
dan bahan organik. (Komar, A, 1984 : 51). Sekali lagi, mahasiswa mendapatkan amanat yang harus
dipegang teguh bahwa sekalipun hasil kerja di laboratorium menunjukkan berbagai keindahan tetapi harus
hati-hati dalam penerapannya di lapangan. Penggunaan protein semu tersebut telah menunjukkan berbagai
bahaya. Misalnya, sapi laktasi tiba-tiba turun drastis produksinya, menyebabkan kemandulan, dan lainlainnya. Masalah sosial-budaya peternak yang tidak setinggi manusia laboratorium memperparah keadaan,
angka kematian tidak dapat dihindarkan.
Sejalan dengan bekal dari Kampus Rakyat, seorang nutrisionit dari Kansas University, Profesor Keith
Bolsen, pada awal tahun 1990-an mengatakan bahwa, Penggunaan urea untuk ternak, dengan metode dan
cara apapun, lebih banyak kerugiannya daripada manfaatnya.Bila ditarik garis merah ke masa lalu, Pada
sebuah catatan peternakan di Amerika Serikat terbitan tahun1918, sama dengan terjadinya Perang Dunia
Pertama. Ternyata, sejak awal abad ke-20 atau bahkan abad sebelumnya, urea sudah lazim digunakan
disana sebagai bagian penting dalam proses pengawetan hijauan, khususnya silase. Buku kuno itu
menjelaskan tentang berbagai aplikasi pengunaan urea dalam berbagai kadar terhadap berat badan sapi
potong penggemukan.
Dikaitkan dengan pendapat Profesor Keith Bolsen di atas, maka diantara awal abad dan menjelang akhir
abad ke-20 ini tentu ada perkembangan hasil penelitian dan penerepan penggunaan urea dalam pakan
ternak di Negeri Paman Sam. Dapat dipastikan bahwa perkembangannya negatif, oleh karena itu di sana
tidak lagi disarankan. Ironisnya, banyak ahli nutrisi Indonesia, yang menggembar-gemborkan kehebatan
urea sebagai sumber nutrisi dan bahkan bisa memperbaiki nutrisi pakan ternak. Para ahli lulusan dalam
dan luar negeri itu tetap pada pendiriannya sekalipun di hadapan matanya banyak korban bergelimpangan.
Mungkin mereka tidak menyadari bahwa ternak yang meregang nyawa tesebut adalah efek negatif dari
formula yang di benaknya akan melejitkan pertumbuhan dan produksi ternak yang mengkonsumsinya.
Kejadian ini bukan hanya terjadi pada ternak milik masyarakat awan tetapi juga terjadi di berbagai balai
penelitian yang semestinya menjadi tempat berguru masyarakat dan praktisi serta ahli.

Batasan Penggunaan Urea untuk Pakan Ternak


Sampai sekarang penambahan urea menjadi pro dan kontra. Namun sebagaian besar nutrisionis Indonesia
merekomendasikan penggunaan urea dengan batasan-batasan tertentu dengan beberapa alas an berikut.
Urea merupakan salah satu sumber Non Protein Nitrogen (NPN) yang mengandung 41-45 % N.
Disamping itu penggunaan urea dapat meningkatkan nilai gizi makanan dari bahan yang berserat tinggi
serta berkemampuan untuk merenggangkan ikatan kristal molekul selulosa sehingga memudahkan
mikroba rumen memecahkannya (Basya, 1981).
Pusat Diseminasi Iptek Nuklir telah melalukan percobaan-percobaan laboraturium untuk melaksanakan
penilaian biologis berbagai suplemen dengan komposisi bahan tertentu, baik secara in-vitro maupun invivo, ditinjau dari pengaruhnya terhadap fungsi rumen. Dalam aspek inilah ( dengan menggunakan P-32,
S-35, C-14 sebagai perunut radioisotop) teknik nuklir memberikan kontribusi yang penting. Untuk ini
sejumlah parameter harus diukur. P-32 dan S-35 dapat digunakan untuk mengukur sintesa protein
mikrobial di dalam rumen, Sedangkan C-14 untuk mengukur efisiensi pemanfaatan energi oleh mikroba

rumen. Dari hasil pengukuran parameter-parameter tersebut baik secara kovensional maupun dengan
teknik nuklir, dapat dirumuskan komposisi suplemen yang secara optimal dapat menjamin berlangsungnya
fungsi rumen dengan baik. Selanjutnya hasil rumusan tersebut dilakukan uji lapangan dengan mempelajari
pengaruh komposisi suplemen terhadap pertumbuhan dan produksi hewan. Agar teknologi suplemen
tersebut dapat diterapkan oleh peternak dan mudah dalampenyimpanan serta transportasinya, maka
suplemen tersebut dibuat dalam bentuk padat dari komposisi bahan tertentu [ urea, molase, onggok, dedak,
tepung tulang, lakta mineral ( kalsium, sulfur), garam dapur, tepung kedelai, dan kapur]. Pada awalnya uji
lapangan terhadap pakan suplemen dilakukan di berbagai daerah secara terbatas, yaitu: Jawa Barat, Jawa
Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur dan Lampung. Uji coba tersebut dilaksanakan bersama
dengan Direktorat Bina Produksi Peternakan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Dinas Peternakan
Daerah Tingkat Propinsi dan Kabupaten.
Van Soest (1982), menyatakan pemakaian urea sebagai sumber amonia pada rumput gajah yang berfungsi
untuk menghidrolisis ikatan lignoselulosa, dan menghancurkan lignohemiselulosa, melarutkan silika,
mengembangkan serat selulosa sehingga memudahkan enzim selulosa bekerja. Penggunaan Non Protein
Nitrogen (NPN) pada makanan sapi potong dalam batas tertentu, seperti penggunaan urea, cukup
membantu ternak untuk lebih mudah pembentukan asam asetat. Urea mempunyai kandungan nitrogen (N)
kurang lebih 45 %. Karena nitrogen mewakili 16 % dari protein atau bila dijabarkan protein setara dengan
5,25 kali kandungan nitrogen, maka ternak kambing rata-rata diberi 5 gram/ekor/hari akan sebanding
dengan 19,63 gram protein kasar (Murtidjo, 1993).
Sebagai pakan tambahan urea sering dipergunakan sebagai ransum ternak sapi, dimana nitrogen dengan
bantuan mikroba dalam rumen dapat disintesa menjadi zat protein yang bermanfaat. Apabila pembentukan
NH3 lebih lambat, maka NH3 didalam rumen tersebut dapat dipergunakan untuk pembentukan protein
bakteri secara efisien (Anggorodi, 1994).
Parakkasi (1999) mengemukakan bahwa pada penambahan urea sebagai sumber NPN ada beberapa syarat
yang harus dipenuhi yaitu pemberian urea tidak melebihi sepertiga bagian dari total N (protein equivalen),
pemberian urea tidak lebih dari 1% ransum lengkap atau 3% campuran penguat sumber protein, urea
hendaknya dicampur sehomogen mungkin dalam ransum dan perlu disertai dengan penambahan mineral.
Kemudian dijelaskan juga bila protein yang berkualitas tinggi tersebut dapat lolos dari proses degradasi
maka akan dicerna secara enzimatis di dalam usus halusyang memungkinkan asam amino essensial dapat
digunakan dengan baik oleh induk semangnya.
Ada juga pendapat yang mengatakan, takaran pemberian 100 mg/Kg Berat Badan sapi atau 10 gram/100
Kg Berat Badan sapi atau maksimal 115 gram/ekor sapi. Apabila diberikan lebih dari takaran akan
mengakibatkan keracunan. Gejala-gejala yang terlihat apabila terjadi keracunan urea : sapi tampak
gelisah, meneteskan air liur (ngiler), perut gembung, menyepak-nyepakan kakinya ke perut, jalan
sempoyongan, sesak nafas, mati apabila tidak cepat tertolong.
Dengan demikian, pemberian urea untuk pakan ternak sepanjang memenuhi syarat dan ketentuan yang
berlaku seperti diuraikan di atas, maka hal tersebut tidak berbahaya bagi ternak justru meningkatkan
kualitas pakan dan pertumbuhan yang baik bagi ternak

Daftar Pustaka :
Anggorodi, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT Gramedia. Jakarta
Basya S. 1981. Penggunaan dan Pemberian Urea sebagai Bahan Makanan Ternak. Lembaran LPP XI (2-4)
BATAN. 2005. Urea Molasses Multinutrient Block (UMMB). Batan.
Dinoto. Bahaya Urea Untuk Ternak. Pegawai di Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu
Komar, A. 1984. Teknologi Pengolahan Jerami Sebagai Makanan Ternak. Yayasan Dian Grahita Indonesia.
Bandung
Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Pusat Diseminasi Iptek Nuklir
http://www.batan.go.id, www.infonuklir.com
http://id.wikipedia.org/wiki
http://www.infonuklir.com/Tips/atomos_ummb.htm. [30 Mei 2005]

Anda mungkin juga menyukai