Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
1.1

Latar belakang
Teori interaksionisme-simbolik dikembangkan oleh kelompok The Chicago
School dengan tokoh-tokohnya seperti Goerge H.Mead dan Herbert Blummer. Awal
perkembangan interaksionisme simbolik dapat dibagi menjadi dua aliran / mahzab
yaitu aliran / mahzab Chicago, yang dipelopori oleh oleh Herbert Blumer,
melanjutkan penelitian yang dilakukan George Herbert Mead. Blumer meyakini
bahwa studi manusia tidak bisa diselenggarakan di dalam cara yang sama dari ketika
studi tentang benda mati. Peneliti perlu mencoba empati dengan pokok materi, masuk
pengalaman nya, dan usaha untuk memahami nilai dari tiap orang. Blumer dan
pengikut nya menghindarkan kwantitatif dan pendekatan ilmiah dan menekankan
riwayat hidup, autobiografi, studi kasus, buku harian, surat, dan nondirective
interviews. Blumer terutama sekali menekankan pentingnya pengamatan peserta di
dalam studi komunikasi. Lebih lanjut, tradisi Chicago melihat orang-orang sebagai
kreatif, inovatif, dalam situasi yang tak dapat diramalkan.
Masyarakat dan diri dipandang sebagai proses, yang bukan struktur untuk
membekukan proses adalah untuk menghilangkan inti sari hubungan sosial. Menurut
H. Blumer teori ini berpijak pada premis bahwa (1) manusia bertindak terhadap
sesuatu berdasarkan makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka, (2) makna
tersebut berasal atau muncul dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain, dan
(3) makna tersebut disempurnakan melalui proses penafsiran pada saat proses
interaksi sosial berlangsung. Sesuatu alih-alih disebut objek ini tidak
mempunyai makna yang intriksik. Sebab, makna yang dikenakan pada sesuatu ini
lebih merupakan produk interaksi simbolis.

1.2

Rumusan Masalah
Penulis ingin menngetahui prinsip dasar interaksionisme simbolik. Adapun
sub masalahnya adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan teori interaksionisme simbolik?
2. Apa fungsi dari teori interaksionisme simbolik?

1.3

Tujuan
Dengan penulisan makalah tentang teori interaksionisme simbolik diharapkan
kita dapat lebih mudah berinteraksi dengan orang lain, serta dapat membaca karakter
maupun budaya orang lain dgn lebih mudah

1.4

Manfaat
Mengetahui teori-teori dasar yang terdapat di dalam interaksionisme simbolik
dan mempelajari budaya-budaya yang ada di masyarakat.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1

Pengertian Interaksionis Simbolik


Interaksionis simbolik adalah salah satu model penelitian budaya yang

berusaha mengungkap realitas perilaku manusia. Falsafah dasar interaksionisme


simbolik adalah fenomenologi. Namun, dibanding penelitian naturalistik dan
etnografi yang juga memanfaatkan fenomenologi, interaksionisme simbolik memiliki
paradigma penelitian tersendiri. Model penelitian ini pun mulai bergeser dari
awalnya, jika semula lebih mendasarkan pada interaksi kultural antar personal,
sekarang telah berhubungan dengan aspek masyarakat dan atau kelompok. Karena itu
bukan mustahil kalau awalnya lebih banyak dimanfaatkan oleh penelitian sosial,
namun selanjutnya juga diminati oleh peneliti budaya.
Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami budaya lewat perilaku
manusia yang terpantul dalam komunikasi. Interaksi simbolik lebih menekankan pada
makna interaksi budaya sebuah komunitas. Makna esensial akan tercermin melalui
komunikasi budaya antar warga setempat. Pada saat berkomunikasi jelas banyak
menampilkan simbol yang bermakna, karenanya tugas peneliti menemukan makna
tersebut.
2.2

Jenis jenis Interaksi Simbolik


Menurut Blomer (Spradley, 1997:7) ada beberapa premis interaksionisme

simbolik yang perlu dipahami peneliti budaya, yaitu sebagai berikut:


Pertama, manusia melakukan berbagai hal atas dasar makna yang diberikan
oleh berbagai hal itu kepada mereka. Misalkan, para polisi, mobil polisi, penjual
minum, tipe orang, dan sebagainya dalam suatu kerumunan memiliki simbol yang
bermakna khusus.

Kedua, dasar interaksionisme simbolik adalah makna berbagai hal itu berasal
dari, atau muncul dari interaksi sosial seorang dengan orang lain. Kebudayaan
sebagai suatu sistem makna yang dimiliki bersama, dipelajari, diperbaiki,
dipertahankan, dan didefmisikan dalam konteks orang yang berinteraksi.
Ketiga, dari interaksionisme simbolik bahwa makna ditangani atau
dimodifikasi melalui suatu proses penafsiran yang digunakan oleh orang dalam
kaitannya dengan berbagai hal yang dia hadapi. Seorang polisi juga menggunakan
kebudayaan untuk menginterpretasikan situasi.
Di samping tiga premis tersebut, Muhadjir (2000:184-185) menambahkan lagi
tujuh proposisi. Tujuh proposisi tersebut terkait dengan para tokoh-tokoh penemu
pendahulunya, yakni: pertama, perilaku manusia itu mempunyai makna di balik yang
menggejala. Kedua pemaknaan kemanusiaan perlu dicari sumbernya ke dalam
interaksi sosial. Ketiga, komunitas manusia itu merupakan proses yang berkembang
holistik, tak terpisah, tidak linier, dan tidak terduga. Keempat, pemaknaan berlaku
menurut penafsiran fenomenologi, yaitu sejalan dengan tujuan, maksud, dan bukan
berdasarkan mekanik. Kelima, konsep mental manusia berkembang secara dialektik.
Keenam, perilaku manusia itu wajar, konstruktif, dan kreatif, bukan elementer-reaktif:
Ketujuh, perlu menggunakan metode introspeksi simpatetik, menekankan pendekatan
intuitif untuk menangkap makna.
Melalui premis dan proposisi dasar di atas, muncul tujuh prinsip
interaksionisme simbolik, yaitu: (1) simbol dan interaksi menyatu. Karena itu, tidak
cukup seorang peneliti hanya merekam fakta, melainkan harus sampai pada konteks;
(2) karena simbol juga bersifat personal, diperlukan pemahaman tentang jati diri
pribadi subyek penelitian; (3) peneliti sekaligus mengkaitkan antara simbol pribadi
dengan komunitas budaya yang mengitarinya; (4) perlu direkam situasi yang
melukiskan simbol; (5) metode perlu merefleksikan bentuk perilaku dan prosesnya;
(6) perlu menangkap makna di balik fenomena; (7) ketika memasuki lapangan,
sekedar mengarahkan pemikiran subyek, akan lebih baik.
Dalam pemaknaan interaksi simbolik, bisa melalui proses: (1) terjemah
(translation) dengan cara mengalih bahasakan dari penduduk asli dan memindahkan

rekaman ke tulisan; (2) penafsiran, perlu dicari latar belakangnya, konteksnya, agar
terangkum konsep yang jelas; (3) ekstrapolasi, lebih menekankan kemampuan daya
pikir manusia untuk mengungkap di balik yang tersaji; (4) pemaknaan, menuntut
kemampuan integratif manusia, inderawinya, daya pikirnya, dan akal budi.
Pemaknaan sebaiknya memang tidak mengandalkan pandangan subjektif
murni dari pemilik budaya, melainkan menggunakan wawasan intersubjektif.
Artinya, peneliti berusaha merekonstruksi realitas budaya yang terjadi melalui
interaksi antar anggota komunitas. Pada saat interaksi itu terjadi, peneliti bisa
melakukan umpan balik berupa pertanyaan-pertanyaan yang saling menunjang.
Pancingan-pancingan pertanyaan peneliti yang menggelitik, akan memunculkan
makna dalam sebuah interaksi antar pelaku budaya.
Penafsiran bukanlah tindakan bebas, melainkan perlu bantuan yang lain, yaitu
sebuah interaksi. Melalui interaksi seseorang dengan orang lain, akan terbentuk
pengertian yang utuh. Penafsiran semacam ini menurut Moleong (2001:11) lebih
esensial dalam interaksi simbolik. Oleh karena interaksi menjadi paradigma
konseptual yang melebihi dorongan dari dalam, sifat-sifat pribadi, motivasi
yang tidak disadari, kebetulan, status sosial ekonomi, kewajiban peranan, atau
lingkungan fisiknya. Konsep teoritik mungkin bermanfaat, namun hanya relevan
sepanjang memasuki proses pendefinisian.
Implikasi interaksi simbolik menurut Denzin (Mulyana, 2002:149) perlu
memperhatikan tujuh hal, yaitu: (1) simbol dan interaksi harus dipadukan sebelum
penelitian tuntas, (2) peneliti harus memandang dunia atas dasar sudut pandang
subjek, (3) peneliti harus mengaitkan simbol dan subjek dalam sebuah interaksi, (4)
setting dan pengamatan harus dicatat, (5) metode harus mencernunkan proses
perubahan, (6) pelaksanaan harus berbentuk interaksi simbolik, (7) penggunaan
konsep awalnya untuk mengarahkan kemudian ke operasional, proposisi yang
dibangun interaksional dan universal.
Atas dasar berbagai rujukan interaksionis simbolik, peneliti budaya memang
harus cermat dalam memperhatikan interaksi manusia dalam komunitas budaya.
Interaksi manusia tersebut, umumnya ada yang berencana, tertata, resmi, dan juga

tidak resmi. Berbagai momen interaksi dalam bentuk apa pun, perlu diperhatikan oleh
peneliti budaya. Pelaku budaya tidak dapat dianggap sebagai komunitas yang pasif,
melainkan penuh interaksi dinamis yang banyak menawarkan simbol-simbol. Pada
saat ini peneliti segera memasuki interaksi budaya pelaku.
Dalam setiap gerak, pelaku budaya akan berinteraksi dengan yang lain. Pada
saat itu, mereka secara langsung maupun tidak langsung telah membeberkan stock of
culture yang luar biasa banyaknya.
Persediaan pengetahuan budaya yang ditampilkan lewat interaksi itulah yang
menjadi fokus penelitian jnodel interaksionis simbolik. Dari interaksi tersebut, akan
muncul sejumlah tanda-tanda, baik verbal maupun non verbal yang unik.
Oleh karena kemajuan zaman semakin pesat, peneliti juga perlu
memperhatikan ketika pelaku budaya berinteraksi melalui alat-alat canggih. Mungkin
sekali mereka berinteraksi menggunakan HandPhone (HP), internet, faximile, surat
dan lain-lain. Seluruh aktivitas budaya semacam itu tidak lain merupakan incaran
peneliti interaksionis simbolik. Yang perlu diingat oleh peneliti budaya adalah, bahwa
pelaku itu sendiri adalah aktor yang tidak kalah cerdiknya dengan pemain drama.
Karena itu dari waktu ke waktu interaksi mereka perlu dicermati secara mendalam.
Jangan sampai ada interaksi semu yang sengaja menjebak peneliti.
Menurut pandangan model interaksionis simbolik perilaku budaya akan
berusaha menegakkan aturan-aturan, hukum, dan norma yang berlaku bagi
komunitasnya. Jadi, bukan sebalilrnya interaksi mereka dibingkai oleh aturan-aturan
mati, melainkan melalui interaksi simbolik akan muncul aturan-aturan yang
disepakati secara kolektif. Makna budaya akan tergantung proses interaksi pelaku.
Makna biasanya muncul dalam satuan interaksi yang kompleks, dan kadangkadang
juga dalam interaksi kecil antar individu.
Dengandemikian, model interaksionis simbolik akan menganalisis berbagai
hal tentang simbol yang terdapat dalam interaksi pelaku. Mungkin sekali pelaku
budaya menggunakan simbol-simbol , unik atau spesial yang hanya dapat dipahami
ketika mereka saling berinteraksi. Katakan saja, kemenyan dan bunga kantil,
keduanya kalau berdiri sendiri belum mewujudkan sebuah simbol bermakna. Namun,

ketika benda tersebut diletakkan pada salah satu prosesi budaya, diberi mantra oleh
seorang dukun dan sebagainya, barulah benda simbolik itu bermakna.
Itulah sebabnya ada beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan bagi
peneliti interaksionis simbolik, yaitu:
1. simbol akan bermakna penuh ketika berada dalam konteks interaksi aktif,
2. pelaku budaya akan mampu merubah simbol dalam interaksi sehingga
menimbulkan makna yang berbeda dengan makna yang lazim
3. pemanfaatan simbol dalam interaksi budaya kadang-kadang lentur dan
tergantung permainan bahasa si pelaku
4. makna simbol dalam interaksi dapat bergeser dari tempat dan waktu tertentu.
Atas dasar hal-hal tersebut di atas, berarti interaksionis simbolik merupakan
model penelitian yang lebih cocok diterapkan untuk mengungkap makna prosesi
budaya sebuah komunitas. Dari prosesi itu akan terungkap makna di balik interaksi
budaya antar pelaku. Tentu saja, yang diharapkan adalah pengungkapan proses
budaya secara natural, bukan situasi buatan.
Memang harus disadari bahwa interaksionis simbolik tetap memiliki berbagai
kelemahan dasar. Antara lain, seringkali model penelitian ini kurang memperhatikan
masalah emosi dan gerak bawah sadar manusia dalam interaksi. Interaksionisme
simbolik lebih memahami hal-hal yang konkret dalam interaksi baru ditafsirkan,
padahal di balik jiwa manusia terdapat gelombang besar yang kadang-kadang tidak
tampak. Namun demikian, interaksionis simbolik tetap memiliki kekuatan empiris
yang patut dipuji. Di samping itu, melalui pemaknaan simbol berdasarkan interaksi,
berarti penafsiran selalu berada pada konteksnya.
Grounded theory termasuk ragam atau model penelitian yang ingin mencari
rumusan teori budaya berdasarkan data empirik. Dasar pemikiran model ini adalah
simpulan secara induktif. Yang paling penting dalam grounded theory adalah lahirnya
sebuah teori. Dalam kaitannya dengan budaya, tentu akan merumuskan teori-teori
baru tentang budaya atas dasar data real. Teori tersebut akan lebih mengakar pada
budaya yang bersangkutan, karena lahir dari mereka, dan kelak bisa dimanfaatkan
ulang untuk mereka pula.

Grounded theory adalah ragam penelitian dasar yang berusaha: (a)


mengembangkan kategori-kategori yang menjelaskan data, (b) menjenuhkan
kategori dengan banyak kasus yang menunjukkan relevansinya, dan (c)
mengembangkan kategori-kategori ke dalam kerangka analitik yang lebih umum.
Jadi, grounded theory merupakan;.Z pengembangan etnografi yang tidak jauh
berbeda dengan penelitian budaya kognitif. Itulah sebabnya, grounded theory justru
memungkinkan lahirnya sebuah teori yang handal. Kehadiran teori baru berarti akan
mengurangi pemiskinan teori budaya yang selama ini diagungagungkan oleh
pengikutnya. Melalui grounded theory, berarti budaya dibiarkan berkembang sejalan
dengan zamannya.
Perkembangan justru akan menantang lahirnya teori baru. Dengan kata lain,
penelitian budaya melalui grounded theory bukan mengejar pembuktian teori yang
telah ada, melainkan menghimpun data untuk diciptakan teori.
Jika ada hipotesis, bukan seperti hipotesis positivisme rasionalistik yang
menghendaki pembuktian, melainkan lebih mengembangkan hipotesis. Malma boleh
berubah dan berkembang berdasarkan data di lapangan. Dengan demikian akan
ditemukan teori yang hakiki, sejalan dengan perkembangan budaya, dan sesuai
dengan kondisi setempat. Temuan teori yang berdasar data, dan bukan dari simpulan
deduktif-logik, berarti ilmu akan semakin berkembang dan progresif.
Sampel pada penelitian grounded (Muhadjir, 200:125) berbeda dengan sampel
positivistik-statistik. Jika positivistik ingin menguji atau verivikasi teori, sehingga
sampel dipilih berdasarkan struktur populasi, grounded tidak demikian. Grounded
justru bertujuan untuk menemukan dan atau tepatnya mengembangkan rumusan teori
atau mengembangkan konseptualisiasi teoritik berdasarkan data-data. Karena itu,
pemilihan sampel pada grounded ke arah pada kelompok atau subkelompok yang
akan memperkaya penemuan ciri-ciri utama.
Data yang digunakan, memang tidak terbatas pada wawancara dan
pengamatan, melainkan bisa menggunakan bahan dokumen atau referensi yang
relevan. Hal ini dilakukan agar ada efesiensi kerja penelitian. Dari data tersebut akan
menghasilkan sebuah teori substantif dan bukan teori formal. Dalam kaitannya

dengan budaya, grounded akan menemukan teori substansi budaya tertentu. Teori
substansi adalah teori yang dibangun dari data berdasarkan wilayah substansi
penelitian. Sedangkan teori formal jangkauannya boleh dikatakan lebih luas meliputi
sekian subtansi penelitian. Kendati demikian, grounded bukan tidak mungkin
menghasilkan teori formal, namun proses menuju ke situ cukup pelan-pelan dan
cermat. Yakni, manakala teori budaya tadi telah sahih berlaku pada salah satu
substansi, kelak akan dikembangkan pada substansi yang lebih luas atau substansi
lain, sampai menghasilkan teori formal.
Penelitian grounded terhadap budaya, tidak jauh berbeda dengan penelitian
kualitatif yang lain. Data dapat diperoleh dengan berbagai cara dan berbentuk apa
pun, seperti dokumen, hasil wawancara, pengamatan, otobiografi, videotip, dan
sebagainya. Yang paling harus ditekankan, grounded memang model penelitian untuk
pengembangan teori. Teori budaya yang selama ini berkisar pada analisis itu-itu saja,
kemungkinan besar bisa dikembangkan melalui~ model ini. Bangunan teori budaya
akan semakin handal apabila; didukung oleh data empiris.
Teori dalam pandangan grounded adalah rangkaian konsep yang jelas.
Konsep budaya seharusnya ditemukan pada realita. Konsep ` tersebut dilukiskan
secara deskriptif argumentatif. Konsep dibangun dan dikembangkan lebih analitis,
hubungan konsep jelas, dan meyakinkan. Namun, teori yang dihasilkan pun juga
tidak kekal, tetapi masih boleh diperdebatkan. Untuk itu, peneliti grounded dituntut
kecermatan luar biasa.
Basis grounded theory adalah analisis kualitatif data lapangan. Grounded
theory merupakan usaha penggalian yang mendalam dengan menganalisis data secara
sistematis dan intensif (sering kalimat demi kalimat) terhadap catatan lapangan, hasil
wawancara, atau dokumen. Dengan perbandingan yang konstan, data yang terkumpul,
diberi kode, lalu dianalisis sehingga menghasilkan teori yang baik.
Peneliti tidak perlu terburu-buru membatasi perhatiannya pada masalah
kategori. Mungkin setelah beberapa bulan di lapangan baru menemukan sejumlah
kategori yang tepat. Dalam proses pengkategorian, kemungkinan besar lalu muncul
kategori baru. Pada pertengahan penelitian, baru dilakukan pemilihan memo dan

kode. Kemudian memo-memo yang terpilih diperluas, diringkas, dan difokuskan


untuk menutup kesenjangnan teori yang telah muncul.
Menurut Glaser dan Strauss (Mulyana, 2002:174) ada tiga tahap yang perlu
dilalui peneliti grounded, yaitu: (a) awalnya adalah mengembangkan kategorikategori untuk menjelaskan data, (b) berusaha menjenuhkan kategori tersebut dengan
banyak kasus yang relevan, dan (c) mengembangkan kategori ke dalam kerangka
analitik yang lebih umum dengan relevansi di luar lingkungan yang bersangkutan.
Jika data kualitatif telah terkumpul seluruhnya, peneliti perlu mencurahkan
perhatiannya pada pengkodean. Pengkodean merupakan proses progresif pemilihan
dan pendeginisian bagian-bagian data yang terkumpul yang sejalan dengan tujuan
penelitian. Analisis data dilakukan pada setiap kode (kategori). Dalam hal ini,
membutuhkan kreativitas, kekekunan, ketegaran, dan sesitivitas teoritis.
Analisis harus menghasilkan sebuah konsep budaya tertentu secara jelas. Analisis ada
tiga macam pengkodean, yaitu:
(a) pengkodean terbuka.
Pengkodean ini merupakan analisis yang secara khusus mengenai penamaan
dan pengkategorian fenomena melalui pengkajian secara teliti terhadap data. Data
dikelompokkan ke dalam bagian-bagian terpisah, diselidiki secara cermat,
dibandingkan persamaan dan perbedaannya, dan diajukan pertanyaan tentang
fenomena yang tercermin dalam data;
(b) pengkodean berporos (aksial).
Pengkodean ini berupa analisis mendalam salah satu kategori. Hal ini
menghasilkan pengetahuan komulatif yang amat penting. Pengkodean berporos ini
dilakukan bukan pada bulan awal, melainkan setelah berproses panjang. Sus-sub
kategori dihubungan untuk melihat fenomena budaya sebagai kausal, fenomena,
konteks, kondisi yang mengintervensi, strategi tindakan, dan konsekuensi. Proses ini
meliputi langkah-langkah: menghubungkan subkategori, memverifikasi hipotesis
menggunakan data yang sebenarnya, melanjutkan mencari sifat-sifat kategori, dan
mulai mengeksplorasi fenomena.
(c) pengkodean selektif.

Pada saat ini peneliti mulai menentukan teori grounded (teori membumi).
Pada saat ini peneliti telah memperoleh kategori yang mantap dalam kejelasan sifat,
dimensi, dan hubungan paradigmatik antar katgeori. Selanjutnya tinggal membuat
konsepsi melalui kategori tersebut. Langkah yang perlu ditempuh, antara lain:
pertama, menyajikan konseptualisasi cerita; kedua, menghubungkan kategori-kategori
pendukung dengan, kategori inti menggunakan paradigma; ketiga, menghubungkan
kategori

berdasarkan

dimensinya;

keempat,

memvalidasi

kategori

tersebut

menggunakan data; kelima, melengkapi kategori ayng memerlukan perbaikan dan


atau pengembangan.
Analisis data grounded ke arah kesimpulan induksi analitik. Induksi analitik
akan memungkin seorang peneliti mencocokkan antara data dengan fenomena
budaya.
Adapun langkah-langkah yang harus ditempuh adalah sebagai berikut: (1)
membuat

batasan

memformulasikan

secara
hipotesis

kasar
untuk

tentang

fenomena,

menjelaskan

yang

fenomena

dijelaskan;
budaya

(2)

tersebut

berdasarkan data, penelitian lain, dan instuisi peneliti); (3) melihat satu kasus untuk
mencocokkan kasus dengan hipotesis; (4) jika hipotesis tidak mampu menjelaskan
kasus, sebaiknya formulasikan kembali hipotesis atau definisikan kembali fenomena;
(5) mencari secara aktif kasus-kasus negatif untuk menunjuk bahwa hipotesis tidak
terbukti; (6) jika kasus negatif ditemukan, formulasikan kembali hipotesis atau
definisikan kembali fenomena; (7) lanjutkan sampi hipotesis dapat dibuktikan secara
meyakinkan dengan menyelidiki sejumlah kasus yang berbeda (Bogdan dan Taylor,
1984:128)
Jadi hasil analisis grounded terhadap fenomena budaya bukan semata-mata
pada keakuratan deskripsi, melainkan pada pengkonsepan. Tidak seperti pada
peneltiian Geertz (1989) yang memiliki kekuatan deskripsi mendalam, grounded
justru harus ke arah penyusunan konsep budaya. Dalam kaitan ini kepekaan dan sikap
profesional peneliti amat menentukan pembentukan konsep atau teori budaya. Sikap
semacam ini tidak tentu harus dilakukan oleh peneliti berkaliber doktor atau pun

profesor. Maksudnya, siapa saja bisa melakukan grounded theory asalkan melalui
prosedur yang jelas.
Cross-cultural studies sesungguhnya telah berusia panjang. Namun,
aplikasinya sering terputus-putus, tergantung pemuka bidang kajian budaya. Jika
pemuka (pembimbing skripsi, tesis, dan desertasi) memiliki mood ke arah itu, studi
ini berkembang pesat. Sebaliknya, jika pemuka mulai lemah dan ingin
menghilangkan kejenuhan, berganti model lain, tentu studi perbandingan budaya
semakin minim frekuensinya.
Model tersebut adalah sebuah pilihan pemaknaan budaya. Target yang ingin
dicapai, kadang-kadang memang di luar bahasa teks budaya. Kadang-kadang lepas
pula dari budaya sebagai wacana atau teks. Hal ini harus diakui (untuk sementara)
karena model kajian budaya ini lebih menitik beratkan pada komparatif dan
pemahaman antar budaya. Jika dipandang dari aspek ontologis, cultural-studies
adalah upaya merefleksikan masalah-masalah yang muncul pada era transisi antara
gejala modernisme dan postmodernisme (Panuju, 2002:59).
Pemekaran cross-cultural studies, rupa-rupanya dipicu oleh kejenuhan melihat
budaya sebagai teks. Budaya sebagai teks yang sering mendewasakan bahasa simbol
dan terutama studi isi (analisis isi), sering mejenuhkan. Di samping itu, analisis
konten juga sering menaifkan sebuah gejala. Karena itu, kehadiran cross-cultural
studies menjadi sebuah tawaran. Hanya saja, apa yang terjadi di dunia barat memang
berbeda dengan di timur (Indonesia).
Di barat, mungkin banyak hal yang berupa fenomena budaya yang benarbenar nampak, sedangkan di timur fenomena justru sering simbolik. Bayangkan saja,
ketika kultur Jawa memanfaatkan berbagai ungkapan, ketika dia nampak sedih
padahal sebenarnya senang, ketika nampak tak bersalah padahal sebenarnya berdosa,
dan seterusnya. Itulah sebabnya penerapkan cross-cultural studies di barat dan di
timur memang harus bebrbeda. Perbedaan konteks fenomena budaya amat
menentukan aplikasi model penelitian semacam ini.
Model kajian cross-cultural studies sebenarnya merupakan sebuah model
perbandingan antar budaya. Tak jauh berbeda dengan bidang humaniora yang lain,

juga mengenal sebuah bandingan, seperti sastra perbandingan, bahasa bandingan, dan
sebagainya semua bertujuan untuk mencari korelasi. Asumsi dasar dari
perbandingan budaya, tak lain adanya persinggungan antar budaya. Pergesekan antar
budaya, proses inkulturasi, akulturasi, asimilasi, dan sebagainya akan mengubah
budaya asli. Itulah sebabnya, studi ini menjadi menarik ketika seorang peneliti
dengan jeli mencoba mencari unsur-unsur kemiripan budaya pada masing-masing
lokal atau wilayah.
Terjadi transformasi budaya sebagai akibat gejala mondial dan pluralisme,
memang sangat memungkinkan terjadinya hubungan antar budaya. Pentingnya kajian
semacam ini, tak lain untuk mencari induk dan orisinalitas budaya. Pada awalnya,
cross-cultural studies. yang dipelopori E.B. Tylor memang untuk menguji korelasi
antar unsur-unsur budaya, yang kemudian untuk memantapkan generalisasi
(Koentjaraningrat, 1990:16).
Tentu saja, cita-cita semacam ini telah bergeser dari waktu ke waktu, yakni
pada gilirannya tak semata-mata mencari generalisasi, melainkan untuk mengetahui
proses evolusi dan difusi budaya.
Kajian semacam itu biasanya membutuhkan sampel yang cukup besar. Tak
hanya dalam satu wilayah, tetapi juga dapat meliputi skup di luar wilayah budaya
yang bnersangkutan. Upaya demikian pernah dilakukan oleh Murdock yang mencoba
mencari korelasi budaya hubungan kekerabatan patrilineal dan multilateral mencari
seberapa jauh korelasi antar variabel, seperti mata pencaharian, kemampuan membuat
tembikar, menenun, keahlian sebagai tukang, dan stratifikasi sosial. Selanjutnya, dia
mengkaji masalah rasa tak sehat, bahwa dalam kebudayaan di dunia ternyata rasa
tak sehat berbeda dengan rasa sakit.
Gebragan Murdock tersebut, ternyata telah melahirkan sebuah lembaga di
Yale Universty dengan sebutan HRAF (Human Realations Area Files). Lembaga ini
berupaya menyempurnakan metodologi, serta penyebaran hasil-hasilnya. Dari hasilhasil berupa etnografi lengkap, mereka telah memproklamasikan adanya culture area.

Yakni, sebuah golongan budaya berdasarkan wilayah geografisnya. Misalkan


saja, melalui tokoh Wissler sempat membagi kebudayaan suku bangsa Indian menjadi
sembilan culture area. Gagasan serupa tampaknya juga telah mempengaruhi peneliti
budaya di Indonesia, sehingga ada etnografi Batak, etnografi Bugis, etnografi Jawa,
etnografi

Sunda,

dan

sebagainya-sebagaimana

tercantum

dalam

buku

Koentjaraningrat Manusia dan Kebudayaan Indonesia.


Dampak dari ide kajian di atas, Koentjaraningrat pun ketika membuat buku
Kebudayaan Jawa juga diwarnai oleh tujuh unsur kebudayaarl dunia yang dianggap
universal. Ide semacam ini, ternyata telah memberangus peneliti budaya Indonesia,
sehingga selalu membuat kategori etnografi sebatas tujuh unsur tersebut. Akibatnya,
di Jawa saja ada sekat-sekat (era budaya) Jawa Solo dan Yogyakarta yang dianggap
adiluhung, sementara di luar itu (baca: pesisiran) dianggap tak adiluhung.
Lepas dari beberapa kelemahan cross-cultural studies, kiranya telah membuka
wacana peneliti budaya, manakala ingin mengungkap aspek-aspek kesamaan dan
perbedaan antar budaya. Adopsi teori barat ini, tampaknya di Indonesia juga ada yang
mengembangkan. Paling tidak, melalui studi komparatif akan dapat direkonstruksi
kemiripan budaya, proses evolusi, serta transformasi budaya di era sekarang.
Rekonstruksi akan menggambarkan aspek historis dan homogenitas. Pilar yang
dikejar adalah mencari kesamaan-kesamaan budaya pada masing-masing daerah.
Ciri pokok cross-cultural studies adalah pemakaian paham positivistik. Di
dalamnya harus ada peninjauan unsur-unsur budaya dari sekian banyak kebudayaan
pada suatu wilayah. Usaha perbandingan tersebut, tak lain sebagai arah mencari
perampatan (generalisiasi) dari suatu ciri, pengertian, keteraturan struktural yang
diperoleh secara induktif dari penelitian kebudayaan tertentu.
Berbagai hal yang dapat diperbandingan dalam cross-cultural antara lain: (1)
persepsi, yaitu bagaimana tanggapan pelaku budaya satu dengan yang lain ketika
menerima dan atau menolak budaya yang hadir, (2) kognisi, yaitu membandingkan
pola pemikiran pendukung budaya masing-masing, (3) kepribadian dan jati diri, yaitu
membandingkan kepribadian dan jatidi pemilik budaya masing-masing. Tipetipe

karakter dan etos kerja masing-masing boleh diperbandingkan. Dari berbagai hal
yang dibandingkan ini, peneliti akan mencari korelasi atau hubungan kemiripan.
Hubungan tersebut akan membentuk varian-varian budaya satu sama lain, sehingga
dapat ditentukan mana budaya transformasi dan mana budaya yang asli.
Para ahli perspektif interaksionisme simbolik melihat bahwa individu adalah
obyek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan
individu yang lain. Mereka menemukan bahwa individu-individu tersebut berinteraksi
dengan menggunakan simbol-simbol, yang di dalamnya berisi tanda-tanda, isyarat
dan kata-kata. Simbol atau lambang adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk
sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Lambang meliputi katakata (pesan verbal), perilaku nonverbal, dan objek yang disepakati bersama
(Mulyana, 2001:84).
2.3

Karakteristik Interaksionisme Simbolik


Interaksi simbolik, menurut Herbert Blumer, merujuk pada karakter

interaksi khusus yang berlangsung antar manusia. Aktor tidak semata-mata bereaksi
terhadap tindakan yang lain tetapi dia menafsirkan dan mendefinisikan setiap
tindakan orang lain. Respon aktor baik secara langsung maupun tidak langsung,
selalu didasarkan atas makna penilaian tersebut. Oleh karenanya, interaksi manusia
dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol penafsiran atau dengan menemukan
makna tindakan orang lain.
Pertama teori interaksionisme simbolik sangat menekankan arti pentingnya
proses mental atau proses berpikir bagi manusia sebelum mereka bertindak.
Tindakan manusia itu sama sekali bukan stimulus respon, melainkan stimulus
proses berpikir respons. Jadi, terdapat variabel antara atau variabel yang
menjembatani antara stimulus dengan respon, yaitu proses mental atau proses
berpikir, yang tidak lain adalah interpretasi. Teori interaksionisme simbolik
memandang bahwa arti atau makna muncul dari proses interaksi sosial yang telah

dilakukan. Arti dari sebuah benda tumbuh dari cara-cara dimana orang lain bersikap
terhadap orang tersebut.
Kedua teori interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang
merupakan kegiatan sosial dinamis sosial manusia. Bagi perspektif ini, individu
bersifat aktif, reflektif dan kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit
dan sulit diramalkan. Paham ini menolak gagasan bahwa individu adalah organisme
pasif yang perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan struktur yang ada di luar
dirinya. Interaksilah yang dianggap variabel penting yang menentukan perilaku
manusia, bukan struktur masyarakat.
Esensi interaksionisme simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri
khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna.
Perspektif ini berupaya untuk memahami perilaku manusia dari sudut pandang
subjek. Teori ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses
yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan
mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka.
Manusia bertindak hanya berdasarkan definisi atau penafsiran mereka atas objekobjek di sekeliling mereka. Dalam pandangan perspektif ini, sebagaimana ditegaskan
Blumer, proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan
menegakan aturan-aturan, bukan aturan-aturan yang menciptakan dan menegakan
kehidupan kelompok.
Menurut teoritisi perspektif ini, kehidupan sosial adalah interaksi manusia
dengan

menggunakan

simbol-simbol.

Penganut

interaksionisme

simbolik

berpandangan, perilaku manusia adalah produk dari interpretasi mereka atas dunia di
sekeliling mereka, jadi tidak mengakui bahwa perilaku itu dipelajari atau ditentukan,
sebagaimana dianut teori behavioristik atau teori struktural.
Di dalam bukunya yang amat terkenal, yaitu Symbolic Interactionism;
Perspective, and Method, Herbert Blumer menegaskan bahwa ada tiga asumsi yang
mendasari tindakan manusia (dalam Sutaryo, 2005). Tiga asumsi tersebut adalah
sebagai berikut:

1)Human being act toward things on the basic of the meaning that the things have for
them;
2)The meaning of the things arises out of the social interaction one with ones fellow;
3)The meaning of things are handled in and modified through an interpretative
process used by the person in dealing with the thing he encounters.
Premis pertama sampai ketiga itu mempunyai pengertian seperti ini.Pertama,
bahwa manusia itu bertindak terhadap sesuatu (apakah itu benda, kejadian, maupun
fenomena tertentu) atas makna yang dimiliki oleh benda, kejadian, atau fenomena itu
bagi mereka. Individu merespon suatu situasi simbolik. Mereka merespon
lingkungan, termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial (perilaku manusia)
berdasarkan makna yang dikandung komponen tersebut bagi mereka.
Kedua, makna tadi diberikan oleh manusia sebagai hasil interaksi dengan
sesamanya. Jadi, makna tadi tidak inherent, tidak terlekat pada benda ataupun
fenomenanya itu sendiri, melainkan tergantung pada orang-orang yang terlibat dalam
interaksi itu. Makna dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Negosiasi itu
dimungkinkan karena manusia mampu menamai segala sesuatu, bukan hanya objek
fisik, tindakan, atau peristiwa (bahkan tanpa kehadiran objek fisik, tindakan, atau
peristiwa itu) namun juga gagasan yang abstrak. Akan tetapi, nama atau simbol yang
digunakan untuk menandai objek, tindakan, peristiwa, atau gagasan itu bersifat
arbitrer (sembarang). Melalui penggunaan simbol itulah manusia dapat berbagi
pengalaman dan pengetahuan tentang dunia.
Ketiga, makna tadi ditangani dan dimodifikasi melalui proses interpretasi
dalam rangka menghadapi fenomena tertentu lainnya. Makna yang diinterpretasikan
individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang
ditemukan dalam interaksi sosial. Perubahan interpretasi dimungkinkan karena
individu dapat melakukan proses mental, yakni berkomunikasi dengan dirinya
sendiri.

BAB III
PENUTUP
3.1

Kesimpulan
Menurut Ritzer, kesimpulan utama yang perlu diambil dari substansi teori

interaksionisme simbolik adalah sebagai berikut. Kehidupan bermasyarakat itu


terbentuk melalui proses komunikasi dan interaksi antarindividu dan antarkelompok
dengan menggunakan simbol-simbol yang dipahami maknanya melalui proses
belajar. Tindakan seseorang dalam proses interaksi itu bukan semata-mata merupakan
suatu tanggapan yang bersifat langsung terhadap stimulus yang datang dari
lingkungannya atau dari luar dirinya, melainkan dari hasil sebuah proses interpretasi
terhadap stimulus. Jadi jelas, bahwa hal ini merupakan hasil proses belajar, dalam arti
memahami simbol-simbol, dan saling menyesuaikan makna dari simbol-simbol
tersebut. Meskipun norma-norma, nilai-nilai sosial dan makna dari simbol-simbol itu
memberikan pembatasan terhadap tindakannya, namun dengan kemampuan berpikir
yang dimilikinya, manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan tindakan dan
tujuan-tujuan yang hendak dicapainya. Singkatnya, bahwa symbolic interactionist
(para pengikut teori interaksionisme simbolik) memberi dasar penalaran bahwa, there
is a mindingprocess that interveness between stimulus and response. It is this
mental process, and not simply the stimulus, that determines how a man will react
(Ritzer, 1980:194, dalam Sutaryo, 2005).
3.2

Saran

Interaksionisme simbolik, mengikuti Mead cenderung setuju pada signifikansi


kasul interaksi sosial. Jadi, makna tidak tumbuh dari proses mental soliter namun dari
interaksi. Focus ini berasal dari prgmatisme Mead, ia memusatkan pada perhatian
pada tindakan dan interaksi manusia, bukan pada proses mental yang terisolasi.
Diantaranya, pokok perhatian utamanya bukanlah pada bagaimana orang secara
mental menciptakan makna dan simbol, namun bagaimana mereka mempelajarinya
selama interaksi pada umunya dan khususnya selama sosialisasi.
Orang mempelajari makna sekaligus makna dalam interaksi sosial. Kendati
merespon tanpa berpikir, orang merespon simbol melalui proses berpikir. Tanda
memilki arti sendiri (misalnya gesture anjing yang marah atau air bagi orang yang
sekarat karena kehausan). Simbol adalah objek sosial yang digunakan untuk
merepresentasikan apa-apa yang yang memang disepakati bisa direpresentasikan oleh
simbol tersebut ( Charon, 1998: 47). Tidak semua objek sosial mewakili sesuatu
yang lain, sebaliknya, simbol justru sebaliknya. Kata-kata, artefak, dan tindakan fisik,
misalnya kata perahu, salib atau bintang daud, dan jabat tangan erat, semua itu dapat
menjadi simbol orang sering menggunakan simbol untuk mengartikan semua tentang
diri mereka. Semisal mereka menggunakan mobil BMW atau merek mobil lainya,
untuk mengkomunikasikan gaya hidup tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai