12
Oleh karena itu, visi Kemenkes tahun 2010 2014 adalah Mewujudkan Masyarakat yang
Mandiri dan Berkedaulatan. Sedangkan fokus pembangunan kesehatan adalah meningkatkan
akses masyarakat ke pelayanan kesehatan yang komprehensif dan bermutu.
Hal yang patut dibanggakan bagi masyarkat Indonesia adalah pada tahun 2014 telah
mendapatkan sertifikat Bebas Polio dari WHO. Hal ini adalah kedua kalinya badan dunia
tersebut memberikan sertifikat setelah sebelumnya Indonesia telah bebas penyakit cacar pada
tahun 1974.
Penulis: Irsyad Ilhami
untuk membangun kembali properti yang hilang, rencana ini dapat bekerja.
Kebanyakan masyarakat tidak dapat secara efektif mendukung sistem seperti di
atas dan sistem ini tidak akan bekerja untuk resiko besar.
Konsep asuransi kesehatan di Indonesia sudah dimulai sejak dulu. Pada tahun 1934
Pemerintah Hindia Belanda mengatur mekanisme pembiayaan pelayanan kesehatan
melalui gaji pegawai pemerintah Hindia Belanda. Sistem yang dianut adalah
restitusi (reimburstment) dengan landasan hukum sebagai berikut :
a. Staaats Regeling No. 1 tahun 1934 menyatakan bahwa peserta hanya PNS
dengan status Eropah/disamakan, pemberi pelayanan kesehatan (PPK) adalah RS
pemerintah. Paket santunan yang diberikan adalah pelayanan komprehensif
ditanggung/gratis.
b. Staats Regeling No. 110 tahun 1938 menyatakan bahwa peserta adalah semua
PNS dan anggota keluarganya. pemberi pelayanan kesehatan adalah RS
pemerintah. Paket santunan yang diberikan adalah pelayanan komprehensif
ditanggung/gratis.
c. Staatblad No. 104 tahun 1948 (merupakan periode revolusi) menyatakan bahwa
peserta adalah golongan berhak (derech hebbenden) yaitu pegawai yang berhak
dengan gaji kurang dari f.420/bln. Pemberi pelayanan kesehatan adalah RS
pemerintah. Paket santunan yang diberikan adalah pelayanan dasar merupakan
pelayanan gratis. Rawat inap membutuhkan co-payment 3% dari gaji pokok.
Golongan tidak berhak (de niet rech hebbeden) yaitu pegawai yang mempunyai gaji
> f.420/bln. Pemberi pelayanan kesehatan adalah RS pemerintah dengan pelayanan
dasar gratis. RS swasta harus melakukan reimburstment. Rawat inap co-payment
dari gaji pokok.
Pemerintah Indonesia sendiri sudah mulai mengenalkan prinsip asuransi sejak
tahun 1947 yang dimulai dalam bidang kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
Karena situasi keamanan dalam negeri masih terdapat berbagai pemberontakan
dan upaya Belanda untuk merebut kembali Indonesia maka belum memungkinkan
upaya tersebut terlaksana dengan baik.
2. Pasca Revolusi dan Orde Lama
Pada tahun 1960 pemerintah mencoba lagi untuk memperkenalkan konsep asuransi
kesehatan dimana terdapat UU Pokok Kesehatan 1960 yang meminta pemerintah
Indonesia mengembangkan Dana sakit dengan tujuan untuk menyediakan akses
pelayanan kesehatan untuk seluruh rakyat. Karena situasi yang masih belum
kondusif maka UU tersebut belum bisa dilaksanakan. Tahun 1967, Menteri Tenaga
Kerja mengeluarkan Surat Keputusan untuk mewujudkan amanat UU tersebut.
Konsep yang digunakan mirip HMO (Health Maintenace Organization) atau JPKM
(Jaringan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat) dimana Menteri menetapkan iuran
6% upah yang terdiri dari tanggungan majikan sebesar 5% dan 1% ditanggung oleh
karyawan. Sayangnya SK Menteri tersebut tidak diwajibkan sehingga SK tersebut
tidak berjalan sebagaimana mestinya.
3. Masa Orde Baru
Diawali tahun 1968 - Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan yang secara
jelas mengatur pemeliharaan kesehatan bagi Pegawai Negeri dan Penerima Pensiun
(PNS dan ABRI) beserta anggota keluarganya berdasarkan Keputusan Presiden
Nomor 230 Tahun 1968. Menteri Kesehatan membentuk Badan Khusus di
lingkungan Departemen Kesehatan RI yaitu Badan Penyelenggara Dana
Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK), dimana oleh Menteri Kesehatan RI pada waktu itu
(Prof. Dr. G.A. Siwabessy) dinyatakan sebagai cikal bakal Asuransi Kesehatan
Nasional.
Besaran premi yang ditentukan yaitu :
a. Kepres No. 122/1968 : 5% gaji pokok dan pensiunan pokok
b. Kepres No. 36/1969 : 5% gaji pokok dan pensiunan pokok
c. Kepres No. 22/1970 : 3,8% gaji pokok dan 5% pensiunan pokok
d. Kepres No. 56/1974 : 2,75% gaji pokok dan 5% pensiunan pokok
e. Kepres No. 7/1977 : 2% gaji pokok dan 5% pensiunan pokok
Pada tahun 1971, upaya asuransi sosial dalam bidang kecelakaan kerja juga dimulai
dengan didirikannya Perusahaan Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Astek). Pada
mulanya Astek hanya menangani asuransi kecelakaan kerja saja, namun kemudian
dilakukan perluasan dengan membentuk program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Tenaga Kerja di 5 propinsi yang mencakup 70.000 tenaga kerja di tahun 1985.
Program ini dimaksudkan untuk menilai kelayakan perluasan asuransi kesehatan
sosial ke sektor swasta yang memiliki ciri berbeda dengan sektor publik. Akhirnya
setelah 5 tahun masa uji coba, program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Tenaga
Kerja dinilai layak untuk masuk dalam program jaminan sosial.
Untuk lebih meningkatkan program jaminan pemeliharaan kesehatan bagi peserta
dan agar dapat dikelola secara profesional, pemerintah menerbitkan PP No. 22
Tahun 1984 tentang pemeliharaan kesehatan bagi Pegawai Negeri Sipil, Penerima
Pensiun (PNS, ABRI dan Pejabat Negara) beserta anggota keluarganya. Dengan PP
No. 23 Tahun 1984, status badan penyelenggara diubah menjadi Perusahaan
Husada Bhakti (PHB). Dengan perubahan menjadi PHB maka pengelolaan Askes
yang pada waktu itu dikenal juga dengan kartu kuning, dapat dilaksanakan lebih
fleksibel. Namun status perum juga dinilai kurang leluasa dalam pengembangan
asuransi kesehatan kepada pihak diluar pegawai negeri.
Pada tahun 1991, pemerintah menetapkan PP No. 69/1991 tentang kepesertaan
program jaminan pemeliharaan kesehatan yang dikelola PHB ditambah dengan
Veteran dan Perintis Kemerdekaan beserta anggota keluarganya. Disamping itu,
perusahaan diijinkan memperluas jangkauan kepesertaannya ke badan usaha dan
badan lainnya sebagai peserta sukarela. Dengan ditetapkannya peraturan
pemerintah tersebut kepesertaan dibagi menjadi dua kelompok yaitu peserta wajib
dan peserta sukarela.
Untuk mendukung kegiatan tersebut pada tahun 1992 pemerintah menetapkan PP
No. 6 Tahun 1992 tentang perubahan status Perum yang diubah menjadi
Perusahaan Perseroan (Persero) dengan pertimbangan fleksibilitas pengelolaan
keuangan, kontribusi kepada pemerintah dapat dinegosiasikan untuk kepentingan
pelayanan kepada peserta dan manajemen lebih mandiri. Dengan bentuk PT
Komunikasi yang buruk antara pemerintah pusat dan daerah dalam pelaksanaan
desentralisasi menunjukkan bahwa belum dilakukan suatu pembinaan,
pemberdayaan, dan pelatihan yang sistematis untuk staf Dinas Kesehatan Propinsi
dan Kabupaten/Kota agar mampu menjalankan urusannya dalam konteks
desentralisai. Kasus pengkajian UU SJSN di Mahkamah Agung timbul karena situasi
saling curiga, komunikasi yang buruk mengenai masalah pembagian urusan. Di
dalam kasus ini terkesan ada kompetisi mengenai pihak yang akan mengelola dana
kompensasi yang akhirnya menimbulkan konflik.
BEBERAPA KASUS DIDAERAH YANG TERKAIT DENGAN ASURANSI KESEHATAN
Sistem pembiayaan kesehatan untuk pelayanan kesehatan memiliki dampak
terhadap seberapa adilkah beban pembayaran didistribusikan diantara masyarakat .
Dapatkah kaum kaya dan mereka yang sehat mensubsidi mereka yang miskin dan
sakit?. Dalam rangka menjamin keadilan dan perlindungan terhadap resiko finansial
harus terdapat sistem pembayaran praupaya (Prepayment) yang cukup kuat. Si
miskin harus disubsidi melalui subsidi silang dari kelompok resiko rendah kepada
kelompok resiko tinggi, fragmentasi pengelolaan dana harus di hindari dan harus
terdapat sistem alokasi atau pembayaran yang strategis. Asuransi kesehatan sosial
adalah suatu sistem manajemen resiko sosial seperti risiko kehilangan pendapatan
atau biaya kebutuhan medis karena sakit yang risiko tersebut dipadukan (pooled)
atau dipindahkan dari individu ke kelompok dengan kepesertaannya yang bersifat
wajib, dimana kontribusi diatur oleh peraturan tanpa memperhatikan tingkat resiko
individu.
Beberapa kasus yang terjadi didaerah kami terkait dengan asuransi kesehatan ini
dalam semua aspek yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan
kemungkinannnya memliki kesamaan disemua daerah seperti peresepan obat yang
diberikan oleh dokter kadang tidak tersedia di apotik, Pemberian obat terkadang
tidak termasuk dalam DPHO Askes sehingga peserta harus menyediakan sejumlah
dana untuk membeli, adanya kesenjangan pelayanan pasien askes dengan pasien
umum, kecilnya reward yang diberikan PT Askes kepada Dokter, serta proses
administrasi yang sangat rumit dan lama.
Kami sempat melakukan tanya jawab dengan beberapa pasien Askes disalah satu
Rumah sakit milik Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan di Kota Makassar,kebetulan
pasien ini adalah pensiunan PNS yang secara rutin berobat selama 20 tahun, ada
yang 10 tahun dan ada yang 5 tahun, penyakit yang diderita adalah sakit jantung,
hipertensi, serta berbagai penyakit dalam lainnya. Seperti kita ketahui bahwa
Rumah sakit ini tingkat utilisasinya yang paling tinggi adalah para orang tua
khususnya para pensiunan.
Pelayanan Askes yang dikenal lambat,proses administrasi yang berbelit-belit
ternyata menurut mereka adalah pasien yang baru berobat sehingga prosedur yang
harus dijalaninya masih bingung selain itu keterlambatan pasien datang berobat
termasuk faktor penyebab lambatnya pelayanan tersebut akibat banyaknya pasien
yang datang berobat khususnya pada hari senin dan selasa, secara keseluruhan
mereka beranggapan bahwa Askes masih baik dalam pelayanan.
Ada hal yang menarik dari penuturan Pak Bejo seorang pensiunan PNS yang sudah
20 tahun berobat jantung, segala seluk beluk pengobatan yang memakai askes
sudah sangat dikuasainya, beliau mengungkapkan bahwa para dokter di rumah
sakit tersebut dalam memberikan palayanan dirasakan cukup baik, keluhan yang
Pak Bejo ungkapkan adalah dokter yang memberikan pelayanan tersebut jumlahnya
4 orang dibagi setiap hari. Dalam memberikan pelayanan,terkadang ketika
diresepkan obat di 10 hari pertama oleh dokter yang memeriksa namun ketika 10
hari yang kedua ketika pak bejo datang lagi diperiksa oleh dokter yang berbeda
memberikan obat yang berbeda dan ironisnya lagi katanya kadang ada obat yang
tidak dimasukkan ke resep tersebut, berkurang satu item dari resep terdahulu
sehingga hal ini sangat mempengaruhi pasien tersebut dalam hal ini sugesti saat
meminum obat itu yang sudah berkurang dan terkadang obat tersebut dirasakan
tidak cocok (ada indikasi lain yang dirasakan setelah meminum obat yang berbeda
tersebut). Sementara pasien yang berobat dibagian saraf yang kami panggil Pak
haji mengeluhkan seringnya terjadi keterlambatan dokter sementara pasien sudah
membeludak menunggu belum lagi tempatnya yang panas.
CHANDRA said...
Ass ...
Salut, ...... anto punya tulisan mana ?
Wasalam
June 16, 2008 at 8:12 AM
Post a Comment
Link ke posting ini
Create a Link
Newer Post Older Post Home