Anda di halaman 1dari 10

Nov

12

Sejarah Program Pembangunan Kesehatan


Indonesia Dari Era Ir. Soekarno Hingga
Sekarang
Sejak Indonesia merdeka dari penjajahan belanda. Rakyat indonesia dihadapkan dengan
permasalahan kesehatan serius. Yang kemudian mendorong pemerintah untuk segera bertindak
untuk menangani permasalahan kesehatan. Berikut ini sejarah program kesehatan yang pernah
dilakukan sejak pemerintahan ir soerakno hingga sekarang.
Era tahun 1959
Menilik kembali ke belakang pada era 50-an, penyakit malaria merupakan penyakit rakyat yang
terbanyak penderitanya dan berjangkit di seluruh Indonesia. Ratusan ribu jiwa mati akibat
malaria yang sebenarnya, melalui penyelidikan dan pengalaman penyakit malaria di Indonesia
dapat dieliminasi. Oleh karena itu pemerintah melakukan usaha pembasmian malaria (malaria
eradication) yang berarti melenyapkan malaria dari penjuru tanah air.
Untuk mencapai hal tersebut, pada tahun 1959 dibentulah Dinas Pembasmian Malaria yang pada
bulan Januari 1963 dirubah menjadi Komando Operasi Pembasmian Malaria (KOPEM).
Pembasmian malaria ditangani secara bersama oleh pemerintah, WHO, USAID dan
direncanakan pada tahun 1970 malaria akan hilang dari bumi Indonesia.
Era Pelita I 1969-1974
Perkembangan kesehatan nasional masih memprihatinkan. Ditemukan fakta bahwa, dari 1000
bayi yang lahir hidup setiap tahun, 125 150 meninggal sebelum berumur 1 tahun. Dilain pihak,
sejarah keberhasilan penyakit cacar misalnya- menjadi pelajaran berharga dalam sejarah
pemberantasan penyakit menular. Vaksin kering yang dibuat oleh Prof. Dr. Sardjito mudah
dibagikan ke sejumlah daerah di Indonesia, sehingga berhasil melakukan pencacaran.
Era Pelita II
Berbagai masalah kesehatan masih banyak dijumpai. Pembangunan kesehatan diarahkan untuk
tercapainya ketersediaan sarana, tenaga pelayanan kesehatan yang memenuhi kebutuhan
masyarakat, mengurangi jumlah penderita penyakit dan menekan timbulnya wabah penyakit.
Meningkatkan perbaikan gizi, ketersediaan sarana sanitasi dan pengembangan kesadaran
masyarakat untuk hidup sehat dan keluarga sejahtera.

Pada Pelita III (1978-1983)


Masih tetap memperihatinkan. AKI dan AKB masih tinggi. Namun demikian, program KB pada
era ini ternyata mencapai kemajuan yang sangat signifikan. Sejarah mencatat bahwa program KB
berhasil mencapai akseptor 12,8 juta. Tingkat kesuburan turun, angka kelahiran turun dari 2,7%
sebelum KB diluncurkan menjadi 2%.
Keberhasilan program KB di Indonesia merupakan kisah sukses dalam sejarah keluarga
berencana di dunia. dikutip dalam salah satu edisi Population. Di era ini juga dimulainya
Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD), Posyandu dan Penyuluhan Kesehatan.
Era 1993
Gebrakan untuk Larangan Merokok mulai digalakkan. Produsen rokok harus mencantumkan
tulisan bahaya merokok di kemasan produknya. Pembangunan kesehatan juga menentang stigma
dan diskriminasi terhadap ODHA. Pada tahun ini obat Generik diperkenalkan agar masyarakat
dapat lebih mudah mendapatkan obat.
Gizi masyarakat ditingkatkan melalui berbagai program seperti GAKI Iodium, Tablet tambah
darah untuk Anemia Gizi Besi, Pemberian Kapsul Vit A dan Energi Protein. Pekan Imunisasi
Nasional di tahun 1995 menjadi sebuah program nasional yang meraih kesuksesan dalam
penggerakan masyarakat. Upaya ini dimaksudkan agar anak Indonesia terbebas dari polio.
Era Paradigma Sehat (1998 2009)
Terkait dengan Visi Indonesia Sehat 2010, yang dimaknai dengan perubahan cara berfikir dari
makna kesehatan yang semula diarahkan bagaimana menyembuhkan orang sakit, menjadi
berfikir bagaimana sehat mental, fisik, spiritual, lingkungan dan faktor pendukung lain; itu
berarti masyakat mampu untuk menceegah penyakit. Hal ini memiliki konsekuensi bahwa
pembangunan semua sektor harus memperhatikan dampak terhadap bidang kesehatan,
memberikan kontribusi positif dan tidak merugikan manusia yang hidup dalam lingkungan dan
perilaku sehat.
Era 2005- 2014
Pembangunan kesehatan telah sejalan dengan visi kabinet Indonesia Bersatu, yaitu Indonesia
yang sejahtera, demokratis dan berkeadilan. Untuk mewujudkan visi kabinet tersebut, Kemenkes
telah merumuskan visi, misi, nilai-nilai, strategi, sasaran serta program prioritasnya.
Berbagai program dicanangkan antara lain: Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkeskas); Desa
Siaga, Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Dilaksanakan juga berbagai penanganan seperti: Flu Burung, Imunisasi, DTPK, PDBK dan
Eradikasi Polio.
Berkat pelaksanaan pembangunan kesehatan yang berkesinambungan selama beberapa
dasawarsa, maka derajat kesehatan masyarakat Indonesia meningkat. Namun masih terdapat
disparitas bidang kesehatan, sosial dan ekonomi.

Oleh karena itu, visi Kemenkes tahun 2010 2014 adalah Mewujudkan Masyarakat yang
Mandiri dan Berkedaulatan. Sedangkan fokus pembangunan kesehatan adalah meningkatkan
akses masyarakat ke pelayanan kesehatan yang komprehensif dan bermutu.
Hal yang patut dibanggakan bagi masyarkat Indonesia adalah pada tahun 2014 telah
mendapatkan sertifikat Bebas Polio dari WHO. Hal ini adalah kedua kalinya badan dunia
tersebut memberikan sertifikat setelah sebelumnya Indonesia telah bebas penyakit cacar pada
tahun 1974.
Penulis: Irsyad Ilhami

BULLETIN SISTEM INFORMASI KESEHATAN

DINAS KESEHATAN PROVINSI SULAWESI SELATAN

Sunday, June 15, 2008


Sejarah Panjang Perjalanan ASKES
Asuransi kesehatan adalah sebuah jenis produk asuransi yang secara khusus
menjamin biaya kesehatan atau perawatan para anggota asuransi tersebut jika
mereka jatuh sakit atau mengalami kecelakaan. Secara garis besar ada dua jenis
perawatan yang ditawarkan perusahaan-perusahaan asuransi, yaitu rawat inap (inpatient treatment) dan rawat jalan (out-patient treatment). Asuransi adalah sebuah
sistem untuk merendahkan kehilangan finansial dengan menyalurkan risiko
kehilangan dari seseorang atau badan ke lainnya
Badan yang menyalurkan risiko disebut tertanggung, dan badan yang menerima
resiko disebut penanggung. Perjanjian antara kedua badan ini disebut kebijakan:
ini adalah sebuah kontrak legal yang menjelaskan setiap istilah dan kondisi yang
dilindungi. Biaya yang dibayar oleh tetanggung kepada penanggung untuk
risiko yang ditanggung disebut premi. Ini biasanya ditentukan oleh penanggung
untuk dana yang bisa diklaim di masa depan, biaya administratif, dan keuntungan.
Asuransi dalam Undang-Undang No.2 Th 1992 tentang usaha perasuransian adalah
perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung
mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk
memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum pihak ketiga
yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang
tidak pasti, atau memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal
atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan
PT. Asuransi Kesehatan Indonesia atau juga dikenal dengan nama PT. Askes
Indonesia (Persero) adalah merupakan Badan Usaha Milik Negara yang ditugaskan
khusus oleh pemerintah untuk menyelenggarakan jaminan pemeliharaan kesehatan
bagi Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun PNS dan TNI/POLRI, Veteran, Perintis
Kemerdekaan beserta keluarganya dan Badan Usaha lainnya.
Sejarah Asuransi Kesehatan di Indonesia
Asuransi Kesehatan Di Indonesia dalam sejarah dan perkembangannya dapat
dibahas melalui beberapa tahap atau periode :
1. Periode Kolonial
Beberapa orang menganggap asuransi sebagai suatu bentuk taruhan yang berlaku
selama periode kebijakan. Perusahaan asuransi bertaruh bahwa properti pembeli
tidak akan hilang ketika pembeli membayarkan uangnya. Perbedaan di biaya yang
dibayar kepada perusahaan asuransi melawan dengan jumlah yang dapat mereka
terima bila kecelakaan terjadi hampir sama dengan bila seseorang bertaruh di balap
kuda (misalnya, 10 banding 1). Karena alasan ini, beberapa kelompok agama
termasuk Amish menghindari asuransi dan bergantung kepada dukungan yang
diterima oleh komunitas mereka ketika bencana terjadi. Di komunitas yang
hubungan erat dan mendukung di mana orang-orangnya dapat saling membantu

untuk membangun kembali properti yang hilang, rencana ini dapat bekerja.
Kebanyakan masyarakat tidak dapat secara efektif mendukung sistem seperti di
atas dan sistem ini tidak akan bekerja untuk resiko besar.
Konsep asuransi kesehatan di Indonesia sudah dimulai sejak dulu. Pada tahun 1934
Pemerintah Hindia Belanda mengatur mekanisme pembiayaan pelayanan kesehatan
melalui gaji pegawai pemerintah Hindia Belanda. Sistem yang dianut adalah
restitusi (reimburstment) dengan landasan hukum sebagai berikut :
a. Staaats Regeling No. 1 tahun 1934 menyatakan bahwa peserta hanya PNS
dengan status Eropah/disamakan, pemberi pelayanan kesehatan (PPK) adalah RS
pemerintah. Paket santunan yang diberikan adalah pelayanan komprehensif
ditanggung/gratis.
b. Staats Regeling No. 110 tahun 1938 menyatakan bahwa peserta adalah semua
PNS dan anggota keluarganya. pemberi pelayanan kesehatan adalah RS
pemerintah. Paket santunan yang diberikan adalah pelayanan komprehensif
ditanggung/gratis.
c. Staatblad No. 104 tahun 1948 (merupakan periode revolusi) menyatakan bahwa
peserta adalah golongan berhak (derech hebbenden) yaitu pegawai yang berhak
dengan gaji kurang dari f.420/bln. Pemberi pelayanan kesehatan adalah RS
pemerintah. Paket santunan yang diberikan adalah pelayanan dasar merupakan
pelayanan gratis. Rawat inap membutuhkan co-payment 3% dari gaji pokok.
Golongan tidak berhak (de niet rech hebbeden) yaitu pegawai yang mempunyai gaji
> f.420/bln. Pemberi pelayanan kesehatan adalah RS pemerintah dengan pelayanan
dasar gratis. RS swasta harus melakukan reimburstment. Rawat inap co-payment
dari gaji pokok.
Pemerintah Indonesia sendiri sudah mulai mengenalkan prinsip asuransi sejak
tahun 1947 yang dimulai dalam bidang kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
Karena situasi keamanan dalam negeri masih terdapat berbagai pemberontakan
dan upaya Belanda untuk merebut kembali Indonesia maka belum memungkinkan
upaya tersebut terlaksana dengan baik.
2. Pasca Revolusi dan Orde Lama
Pada tahun 1960 pemerintah mencoba lagi untuk memperkenalkan konsep asuransi
kesehatan dimana terdapat UU Pokok Kesehatan 1960 yang meminta pemerintah
Indonesia mengembangkan Dana sakit dengan tujuan untuk menyediakan akses
pelayanan kesehatan untuk seluruh rakyat. Karena situasi yang masih belum
kondusif maka UU tersebut belum bisa dilaksanakan. Tahun 1967, Menteri Tenaga
Kerja mengeluarkan Surat Keputusan untuk mewujudkan amanat UU tersebut.
Konsep yang digunakan mirip HMO (Health Maintenace Organization) atau JPKM
(Jaringan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat) dimana Menteri menetapkan iuran
6% upah yang terdiri dari tanggungan majikan sebesar 5% dan 1% ditanggung oleh
karyawan. Sayangnya SK Menteri tersebut tidak diwajibkan sehingga SK tersebut
tidak berjalan sebagaimana mestinya.
3. Masa Orde Baru
Diawali tahun 1968 - Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan yang secara

jelas mengatur pemeliharaan kesehatan bagi Pegawai Negeri dan Penerima Pensiun
(PNS dan ABRI) beserta anggota keluarganya berdasarkan Keputusan Presiden
Nomor 230 Tahun 1968. Menteri Kesehatan membentuk Badan Khusus di
lingkungan Departemen Kesehatan RI yaitu Badan Penyelenggara Dana
Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK), dimana oleh Menteri Kesehatan RI pada waktu itu
(Prof. Dr. G.A. Siwabessy) dinyatakan sebagai cikal bakal Asuransi Kesehatan
Nasional.
Besaran premi yang ditentukan yaitu :
a. Kepres No. 122/1968 : 5% gaji pokok dan pensiunan pokok
b. Kepres No. 36/1969 : 5% gaji pokok dan pensiunan pokok
c. Kepres No. 22/1970 : 3,8% gaji pokok dan 5% pensiunan pokok
d. Kepres No. 56/1974 : 2,75% gaji pokok dan 5% pensiunan pokok
e. Kepres No. 7/1977 : 2% gaji pokok dan 5% pensiunan pokok
Pada tahun 1971, upaya asuransi sosial dalam bidang kecelakaan kerja juga dimulai
dengan didirikannya Perusahaan Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Astek). Pada
mulanya Astek hanya menangani asuransi kecelakaan kerja saja, namun kemudian
dilakukan perluasan dengan membentuk program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Tenaga Kerja di 5 propinsi yang mencakup 70.000 tenaga kerja di tahun 1985.
Program ini dimaksudkan untuk menilai kelayakan perluasan asuransi kesehatan
sosial ke sektor swasta yang memiliki ciri berbeda dengan sektor publik. Akhirnya
setelah 5 tahun masa uji coba, program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Tenaga
Kerja dinilai layak untuk masuk dalam program jaminan sosial.
Untuk lebih meningkatkan program jaminan pemeliharaan kesehatan bagi peserta
dan agar dapat dikelola secara profesional, pemerintah menerbitkan PP No. 22
Tahun 1984 tentang pemeliharaan kesehatan bagi Pegawai Negeri Sipil, Penerima
Pensiun (PNS, ABRI dan Pejabat Negara) beserta anggota keluarganya. Dengan PP
No. 23 Tahun 1984, status badan penyelenggara diubah menjadi Perusahaan
Husada Bhakti (PHB). Dengan perubahan menjadi PHB maka pengelolaan Askes
yang pada waktu itu dikenal juga dengan kartu kuning, dapat dilaksanakan lebih
fleksibel. Namun status perum juga dinilai kurang leluasa dalam pengembangan
asuransi kesehatan kepada pihak diluar pegawai negeri.
Pada tahun 1991, pemerintah menetapkan PP No. 69/1991 tentang kepesertaan
program jaminan pemeliharaan kesehatan yang dikelola PHB ditambah dengan
Veteran dan Perintis Kemerdekaan beserta anggota keluarganya. Disamping itu,
perusahaan diijinkan memperluas jangkauan kepesertaannya ke badan usaha dan
badan lainnya sebagai peserta sukarela. Dengan ditetapkannya peraturan
pemerintah tersebut kepesertaan dibagi menjadi dua kelompok yaitu peserta wajib
dan peserta sukarela.
Untuk mendukung kegiatan tersebut pada tahun 1992 pemerintah menetapkan PP
No. 6 Tahun 1992 tentang perubahan status Perum yang diubah menjadi
Perusahaan Perseroan (Persero) dengan pertimbangan fleksibilitas pengelolaan
keuangan, kontribusi kepada pemerintah dapat dinegosiasikan untuk kepentingan
pelayanan kepada peserta dan manajemen lebih mandiri. Dengan bentuk PT

(Persero) ini yang kemudian disebut dengan PT (Persero) Asuransi Kesehatan


Indonesia diharapkan akan lebih memungkinkan untuk menjaring kepesertaan lebih
banyak lagi terutama peserta sukarela dan geraknya pun semakin flexibel.
Di penghujung masa Orde Baru banyak dikeluarkan peraturan mengenai Jaminan
Pelayanan Kesehatan Masyarakat (JPKM). Dalam periode ini terjadi pertentangan
antar berbagai pelaku khususnya pelaku asuransi kesehatan dengan pengelola
JPKM. Pertentangan tersebut terjadi akibat berbagai faktor antara lain :
a. Kurang fahamnya pelaku terhadap persamaan dan perbedaan arti asuransi
kesehatan dan jaminan kesehatan.
b. Battle of turf untuk lahan kegiatan dalam sistem pembiayaan kesehatan antara
Ditjen Binkesmas dengan pelaku asuransi kesehatan. Akibatnya pada periode
kebijakan JPKM ada pengkaburan arti jaminan dan asuransi.
Hal yang menarik adalah Departemen Kesehatan (melalui direktorat PSM di
Binkesmas) saat itu menjadi regulator lembaga JPKM. Akibatnya terjadi kegagalan
system governance dalam sejarah perkembangan asuransi kesehatan dan jaminan
sosial. Pihak regulator tidak mempunyai kemampuan melakukan fungsinya
sehingga ada masalah fraud yang terjadi dan secara hukum kurang kuat. Adanya
bapel JPKM di daerah yang stafnya merupakan staff Dinas Kesehatan setempat
membuat governance sektor asuransi kesehatan dan jaminan menjadi tidak
terkelola. Tidak jelas siapa pelaku usaha dan siapa pengatur (regulator) sistem
asuransi kesehatan. Pada tahun 1984 - Untuk lebih meningkatkan program jaminan
pemeliharaan kesehatan bagi peserta dan agar dapat dikelola secara profesional,
Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1984 tentang
Pemeliharaan Kesehatan bagi Pegawai Negeri Sipil,Penerima Pensiun (PNS, ABRI dan
Pejabat Negara) beserta anggota keluarganya. Dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 23 Tahun 1984, status badan penyelenggara diubah menjadi Perusahaan
Umum Husada Bhakti dan pada 1991 - Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
69 Tahun 1991, kepesertaan program jaminan pemeliharaan kesehatan yang
dikelola Perum Husada Bhakti ditambah dengan Veteran dan Perintis Kemerdekaan
beserta anggota keluarganya. Disamping itu, perusahaan diijinkan memperluas
jangkauan kepesertaannya ke badan usaha dan badan lainnya sebagai peserta
sukarela.Tahun 1992 - Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1992
status Perum diubah menjadi Perusahaan Perseroan (PT Persero) dengan
pertimbangan fleksibilitas pengelolaan keuangan, kontribusi kepada Pemerintah
dapat dinegosiasi untuk kepentingan pelayanan kepada peserta dan manajemen
lebih mandiri.
4. Masa Desentralisasi
Periode ini ditandai dengan kebijakan yang menggunakan dana kompensasi BBM
dan dikeluarkannya Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Dalam
UU SJSN, pemerintah menunjuk PT Askes sebagai pihak yang mengurusi jaminan
pemeliharaan kesehatan bagi rakyat miskin. Dalam kebijakan pemerintah ini, timbul
konflik antara pusat dan daerah akibat berbagai faktor.

Komunikasi yang buruk antara pemerintah pusat dan daerah dalam pelaksanaan
desentralisasi menunjukkan bahwa belum dilakukan suatu pembinaan,
pemberdayaan, dan pelatihan yang sistematis untuk staf Dinas Kesehatan Propinsi
dan Kabupaten/Kota agar mampu menjalankan urusannya dalam konteks
desentralisai. Kasus pengkajian UU SJSN di Mahkamah Agung timbul karena situasi
saling curiga, komunikasi yang buruk mengenai masalah pembagian urusan. Di
dalam kasus ini terkesan ada kompetisi mengenai pihak yang akan mengelola dana
kompensasi yang akhirnya menimbulkan konflik.
BEBERAPA KASUS DIDAERAH YANG TERKAIT DENGAN ASURANSI KESEHATAN
Sistem pembiayaan kesehatan untuk pelayanan kesehatan memiliki dampak
terhadap seberapa adilkah beban pembayaran didistribusikan diantara masyarakat .
Dapatkah kaum kaya dan mereka yang sehat mensubsidi mereka yang miskin dan
sakit?. Dalam rangka menjamin keadilan dan perlindungan terhadap resiko finansial
harus terdapat sistem pembayaran praupaya (Prepayment) yang cukup kuat. Si
miskin harus disubsidi melalui subsidi silang dari kelompok resiko rendah kepada
kelompok resiko tinggi, fragmentasi pengelolaan dana harus di hindari dan harus
terdapat sistem alokasi atau pembayaran yang strategis. Asuransi kesehatan sosial
adalah suatu sistem manajemen resiko sosial seperti risiko kehilangan pendapatan
atau biaya kebutuhan medis karena sakit yang risiko tersebut dipadukan (pooled)
atau dipindahkan dari individu ke kelompok dengan kepesertaannya yang bersifat
wajib, dimana kontribusi diatur oleh peraturan tanpa memperhatikan tingkat resiko
individu.
Beberapa kasus yang terjadi didaerah kami terkait dengan asuransi kesehatan ini
dalam semua aspek yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan
kemungkinannnya memliki kesamaan disemua daerah seperti peresepan obat yang
diberikan oleh dokter kadang tidak tersedia di apotik, Pemberian obat terkadang
tidak termasuk dalam DPHO Askes sehingga peserta harus menyediakan sejumlah
dana untuk membeli, adanya kesenjangan pelayanan pasien askes dengan pasien
umum, kecilnya reward yang diberikan PT Askes kepada Dokter, serta proses
administrasi yang sangat rumit dan lama.
Kami sempat melakukan tanya jawab dengan beberapa pasien Askes disalah satu
Rumah sakit milik Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan di Kota Makassar,kebetulan
pasien ini adalah pensiunan PNS yang secara rutin berobat selama 20 tahun, ada
yang 10 tahun dan ada yang 5 tahun, penyakit yang diderita adalah sakit jantung,
hipertensi, serta berbagai penyakit dalam lainnya. Seperti kita ketahui bahwa
Rumah sakit ini tingkat utilisasinya yang paling tinggi adalah para orang tua
khususnya para pensiunan.
Pelayanan Askes yang dikenal lambat,proses administrasi yang berbelit-belit
ternyata menurut mereka adalah pasien yang baru berobat sehingga prosedur yang
harus dijalaninya masih bingung selain itu keterlambatan pasien datang berobat
termasuk faktor penyebab lambatnya pelayanan tersebut akibat banyaknya pasien
yang datang berobat khususnya pada hari senin dan selasa, secara keseluruhan
mereka beranggapan bahwa Askes masih baik dalam pelayanan.

Ada hal yang menarik dari penuturan Pak Bejo seorang pensiunan PNS yang sudah
20 tahun berobat jantung, segala seluk beluk pengobatan yang memakai askes
sudah sangat dikuasainya, beliau mengungkapkan bahwa para dokter di rumah
sakit tersebut dalam memberikan palayanan dirasakan cukup baik, keluhan yang
Pak Bejo ungkapkan adalah dokter yang memberikan pelayanan tersebut jumlahnya
4 orang dibagi setiap hari. Dalam memberikan pelayanan,terkadang ketika
diresepkan obat di 10 hari pertama oleh dokter yang memeriksa namun ketika 10
hari yang kedua ketika pak bejo datang lagi diperiksa oleh dokter yang berbeda
memberikan obat yang berbeda dan ironisnya lagi katanya kadang ada obat yang
tidak dimasukkan ke resep tersebut, berkurang satu item dari resep terdahulu
sehingga hal ini sangat mempengaruhi pasien tersebut dalam hal ini sugesti saat
meminum obat itu yang sudah berkurang dan terkadang obat tersebut dirasakan
tidak cocok (ada indikasi lain yang dirasakan setelah meminum obat yang berbeda
tersebut). Sementara pasien yang berobat dibagian saraf yang kami panggil Pak
haji mengeluhkan seringnya terjadi keterlambatan dokter sementara pasien sudah
membeludak menunggu belum lagi tempatnya yang panas.

By. Salim (tetta_mangung)


Diposkan oleh Tim Datinkes Sulsel di 7:52 PM
1 comment:

CHANDRA said...

Ass ...
Salut, ...... anto punya tulisan mana ?
Wasalam
June 16, 2008 at 8:12 AM

Post a Comment
Link ke posting ini

Create a Link
Newer Post Older Post Home

Anda mungkin juga menyukai