Anda di halaman 1dari 3

Bureucratic Power in Japan

1210853008

Vanny Mayang Sari -

John O. Haley
Governance by Negotiation: A Reappraisal of Bureaucratic Power
in Japan
Dalam tulisan ini diterangkan bahwa Jepang telah menjadikan Amerika
sebagai dasar dalam birokrasinya, oleh karenanya birokrasi di Jepang akan
mendatangkan konsekuensi yang cukup signifikan. Misalnya terkait dengan siapa
yang akan ditunjuk untuk merepresentasikan Jepang, bagaimana cara sosok yang
mewakili Jepang tersebut untuk mengabaikan kepentingan tambahan yang akan
berpengaruh kepada proses politik di Jepang. Bahkan ada yang menggangap
bahwa birokrasi di Jepang terlalu dibesar besarkan, karena pengaruh langsung
dari birokrasi tidak sebesar apa yang dinyatakan, power dari birokrasi tersebut
juga tidak dirasakan pada periode perang dingin. Jepang menetapkan batasan
pada

power

pemerintahnya,

sebagai

imbas

dari

hubungan

kerjasama

perdangangan Jepang dan Amerika Serikat.


The Decline of Bureucratic Influence in the Making of Public Policy in Japan.
Berakhirnya okupasi persekutuan Jepang pada 30 April 1952, Jepang
membuka karir dibidang bidang dengan jabatan yang berbeda dari sebelumnya,
diantaranya Bagian Perencanaan Ekonomi, Menteri Perdagangan Internasional
dan Industri, serta Menteri Bidang Finansial. Jepang dalam beberapa waktu
tampak menerapkan pemerintah dibawah arahan dari Supreme Comender of the
Allied Power (SCAP) mennggiring pemerintahan Jepang bertranformasi menjadi
pemerintahan yang Diet atau konstitusi pasca perang dingin dengan supremasi
parlemen dan cabinet yang bertanggung jawab.
Seiring menghilangnya persaingan bidang militer dan politik sebagaimana
yang SCAP tentukan kepada pemerintah menjadikan kehadiran birokrasi untuk
menyingkirkan sisa sisa perang, menjamin dominasi karir pegawai negeri dalam
setiap bagian fundamental dari kebijakan public meski Jepang belum
mendapatkan kembali kedaulatan secara penuh. Pada tahun 1948, birokrasi Jepang
memiliki tatanan baru dengan susunan instrument legal baru, birokrasi Jepang
mengarah kepada birokrasi ekonomi dengan diperkenalkannya Foreign Exchange

Bureucratic Power in Japan


1210853008

Vanny Mayang Sari -

dan Foreign Trade Control Law. Birokrasi Jepang dianggap menguntungkan


karena jauh dari tradisi samurai dan mendekati tradisi yang diwariskan oleh
pahlawan nasional Jepang Tokugawa saat menjadi bagian dari pegawai dari Meiji
yang menjadi cikal bakal Jepang saat ini. Birokrasi pasca perang dingin Jepang
menempatkan rekonstruksi dan pertumbuhan ekonomi sebagai prioritas tertinggi
negara, para birokrat menempatkan diri mereka dalam misi mengatur ekonomi
Jepang.
Pada tahun 1948 sebagai hasil dari kontrofersi politik yang terjadi di
Amerika Serikat hingga upaya perbaikan Amerika, SCAP turut menghentikan
upaya dekosentrasi dan meningalkan bank serta industry asuransi tak tersentuh.
Setahun kemudian, dikembangkan hukum anti-monopoli dan perdagangan adil
dengan persetujuan SCAP. Pemerintah Jepang bereaksi cepat dengan mencabut
larangan penggunaan nama zaibatsu dan mengamandemen Trade Association
Law, legislasi juga mengurangi personil dari Fair Trade Commission (FTC).
September 1953 Diet turut memberikan imbas dalam Antimonopoly and Fair
Trade Law.
Pada tahun 1952, Export Transactions Law memainkan peran sebagai
pemberi izin ekspor bagi perusahaan perusahaan sebagai bentuk pembebasan
dari Antimonopoly and Fair Trade Law. Pada 1955, statute diamandemen dan
kekuasaan diganti dan diberikan kepada MITI, meski MITI tidak dapat
mendapatkan power yang diharapkan karena statute menyangkal MITI sebagai
otoritas yang mengatur kartel ekspor dan impor. Akhir 1950, MMI mendapat ujian
dalam pengaruh politik berdepatan dengan kemunduran besar dalam ekonomi
setelah perang Kora dan permintaan dari Amerika Serikat kepada Jepang untuk
membebaskna hambatan dalam perdagangan internasional dan investasi. Untuk
menanggapi hal tersebut, cabinet yang saat itu dipimpin oleh Kishi membentuk
komisi khusus untuk mempelajari amandemen dalam Antimonopoly and Fair
Trade Law. Tahun 1958 FTC kehilangan peran sebagai perwakilan independen,
FTC pasca revisi diwajibkan mendengarkan pendapat para menteri kompeten
sebelum mengambil keputusan, mengakui, atau menolak sesuatu.

Bureucratic Power in Japan


1210853008

Vanny Mayang Sari -

Dibawah MITI, pemerintahan berupaya untuk mencapai ambisi dengan


mengusulkan Designated Industries Promotion Special Measures bill atau dikenal
juga dengan Tokushinhan yang kemudian membuat aturan terutama pada
bebebrapa industry seperti; automobile, protoleum dan manufaktur baja dalam
maksud untuk membentuk batasan dan konsentrasi produksi. MITI dalam hal ini
telah mendapat peningkatan intervensi dan pengawasan.
Hampir semua analisis mengenai ekonomi Jepang dipertengahan 1950-an
hingga 1960-an menunjukan peningkatan jumlah aturan guna meningkatkan
stabilitas harga dan menyesuaikan produksi. Dalam pandangan pengamat
outsider, kebijakan akan menjadi patokan sebagai sebuah gambaran dari
keputusan pemimpin birokrasi, sebagaimana yang terjadi di Jepang tahun 1950-an
hingga 1960-an pada saat itu di Jepang terjadi pemerintahan dengan durasi jabatan
yang lama dan terdapat kerjasama antara birokrat dan pebisnis.
Caldwell menegaskan kembali pandangan orthodox Jepang dalam
pembuatan kebijakan ekonomi sebagai produksi terus menerus, tertutup, dan
upaya kooperatif dari ketua organisasi bisnis dan MITI. Tahun 1954 nelayan
Jepang mulai mencoba melakukan impor untuk komoditas minyak secara besar
melalui

asosiasi

industri

perikanan

(Zengyoren)

dan

berhujung

pada

penghematan. Hal tersebut memunculkan perdebatan dan tarik ulur antara komite
kegiatan maritim dan asosiasi industri perikanan dan berlanjut dengan putusan
hasil kesepakatan anatara dua pihak bahwa industry Jepang hanya diper bolehkan
mengimpor setengah dari kebutuhan mereka. Perselisihan ini dianggap oleh
Caldwell sebagai bentuk kelemahan dari industri minyak yang juga menunjukan
kelemahan dari MITI. Proses negosiasi dengan akomodasi birokrasi dan
kepentingan menjelaskan akurasi paradigm dari pemerintah Jepang.

Anda mungkin juga menyukai