Chapter II PDF
Chapter II PDF
LANDASAN TEORI
A. KANKER PAYUDARA
1. Definisi kanker payudara
Kanker adalah istilah umum untuk pertumbuhan sel tidak normal yaitu
tumbuh sangat cepat dan tidak terkontrol yang dapat menyusup ke jaringan tubuh
normal dan menekan jaringan tubuh normal sehingga mempengaruhi fungsi tubuh
(dalam Diananda, 2009).
Kanker adalah kelompok penyakit, dimana sel tubuh berkembang, berubah,
dan menduplikasikan diri diluar kendali. Biasanya, nama kanker diberikan
berdasarkan bagian tubuh dimana kanker pertama kali tumbuh. Jadi, kanker
payudara adalah tumor ganas yang telah berkembang dari sel-sel yang ada di
dalam
payudara.
Kanker
payudara
merujuk
pada
pertumbuhan
serta
c. Obesitas
Terdapat hubungan yang positif antara berat badan dan bentuk tubuh dengan
kanker payudara pada wanita pasca menopause. Penelitian di negara-negara Barat
dan bukan Barat juga menunjukkan bahwa terdapat pengaruh diet terhadap
terjadinya keganasan ini.
d. Konsumsi lemak
Willet dkk., melakukan studi prospektif selama 8 tahun tentang konsumsi
lemak dan serat dalam hubungannya dengan risiko kanker payudara pada wanita
umur 34 sampai 59 tahun dan menemukan bahwa konsumsi lemak diperkirakan
sebagai suatu faktor risiko terjadinya kanker payudara.
e. Radiasi
Eksposur radiasi ionisasi selama atau sesudah pubertas meningkatkan
terjadinya risiko kanker payudara. Dari beberapa penelitian yang dilakukan
disimpulkan bahwa risiko kanker radiasi berhubungan secara linier dengan dosis
dan umur saat terjadinya eksposur.
f. Riwayat keluarga dan faktor genetik
Riwayat keluarga merupakan komponen yang penting dalam riwayat penderita
yang akan dilaksanakan screening untuk kanker payudara. Terdapat peningkatan
risiko keganasan ini pada wanita yang keluarganya menderita kanker payudara.
Pada studi genetik ditemukan bahwa kanker payudara berhubungan dengan gen
tertentu. Apabila terdapat BRCA 1, yaitu suatu gen suseptibilitas kanker payudara,
probabilitas untuk terjadi kanker payudara sebesar 60% pada umur 50 tahun dan
sebesar 85% pada umur 70 tahun.
e. Mengkonsumsi pil KB
Ada sedikit peningkatkan risiko pada wanita yang mengkonsumsi pil KB.
Risiko ini bersifat sementara dan hilang setelah 10 tahun berhenti mengkonsumsi
pil KB.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor risiko kanker
payudara adalah faktor reproduksi, penggunaan hormon, obesitas, konsumsi
lemak, radiasi, riwayat keluarga dan faktor genetik, penundaan kehamilan, tidak
menyusui, sel-sel payudara yang abnormal, minum alkohol dan merokok, serta
mengkonsumsi pil KB.
a. Pembedahan
Pembedahan merupakan pengobatan yang paling umum untuk kanker
payudara. Terdapat beberapa jenis pembedahan pada kanker payudara, yaitu:
lumpectomy (pembedahan yang dilakukan dengan cara mengangkat benjolan atau
tumor dan sejumlah kecil jaringan normal yang ada disekitarnya), total
mastectomy (pembedahan yang dilakukan dengan cara mengangkat keseluruhan
payudara yang terkena kanker), dan radical mastectomy (pembedahan yang
dilakukan dengan cara mengangkat keseluruhan payudara yang terkena kanker,
dinding otot dada di bawah payudara, dan semua limfa di bawah lengan) (dalam
Bellenir, 2009). Pembedahan dilakukan berdasarkan ukuran kanker, letak kanker
dan penyebarannya (dalam Odgen, 2004).
(1) Efek fisik pembedahan
Sejumlah pasien kanker payudara melaporkan masalah-masalah yang timbul
setelah dilakukannya pembedahan. Mulai dari rasa ketidaknyamanan segera
setelah pembedahan sampai dengan masalah-masalah kronik seperti kaku, mati
rasa, bengkak, dan lelah yang dapat dirasakan selama berminggu-minggu sampai
bertahun-tahun (dalam Ricks, 2005). Pembedahan juga dapat mengakibatkan
perubahan bentuk dan ukuran payudara (dalam Odgen, 2004). Efek samping yang
juga muncul dari pembedahan lumpectomy ataupun mastectomy adalah terjadinya
infeksi dan munculnya sejumlah cairan pada luka bekas pembedahan (dalam
Ricks, 2005). Dalam jangka panjang, terdapat risiko komplikasi yang besar,
kondisi ini dimanakan lymphedema dimana lengan akan membengkak yang
meskipun dapat diatasi namun tidak dapat disembuhkan (dalam Odgen, 2004).
sementara
wanita
lainnya
merasa
bahwa
mereka
hanya
dapat
setelah pembedahan untuk membunuh sel kanker yang masih tersisa. Terkadang,
terapi radiasi diberikan selama proses pembedahan sehingga dapat langsung
menuju ke kanker tanpa harus menyentuh kulit. Model terapi radiasi ini
dinamakan intraoperative radiation (dalam Feuerstein, 2007).
Radiasi juga dapat diberikan bersama dengan kemoterapi. Radiasi mungkin
akan diberikan pada saat sebelum, selama, dan sesudah kemoterapi. Pada saat
sebelum ataupun selama kemoterapi, terapi radiasi berfungsi untuk mengurangi
kanker sehingga kemoterapi dapat bekerja dengan lebih baik. Sedangkan setelah
kemoterapi, terapi radiasi dapat digunakan untuk membunuh sel kanker yang
tersisa (dalam Feuerstein, 2007).
(1) Efek fisik radiasi
Efek samping radiasi yang dapat dirasakan adalah mual dan muntah,
penurunan jumlah sel darah putih, infeksi/peradangan, reaksi pada kulit seperti
terbakar sinar matahari, rasa lelah, sakit pada mulut dan tenggorokan, diare dan
kebotakan (dalam Chyntia, 2009). Terapi radiasi dapat menyebabkan luka kecil
pada paru-paru, sehingga mengakibatkan iritasi dan batuk, atau terkadang sulit
bernapas (dalam Dixon & Leonard, 2002). Beberapa pasien kehilangan selera
makannya dan mengalami kesulitan pada sistem pencernaan mereka selama
pengobatan (Odgen, 2004).
Efek samping tersebut bersifat kumulatif; beberapa pasien semakin merasa
buruk pada akhir rangkaian pengobatan daripada awal pengobatan. Pada sebuah
studi, hampir sepertiga dari pasien masih mengeluh akan rasa lelah yang
berlebihan setelah terapi radiasi dan masih dirasakan setahun setelah pengobatan
berakhir (Fallowfield et al. dalam Tavistock & Routledge, 2002).
(2) Efek psikologis radiasi
Lucas et al. (dalam Tavistock & Routledge, 2002) menemukan bahwa terdapat
korelasi yang kuat antara jumlah terapi radiasi yang diberikan, reaksi yang tidak
menyenangkan, dan berikutnya psychiatric morbidity, akan tetapi terkadang
pikiran-pikiran akan pengobatan saja pun cukup untuk menciptakan kecemasan.
Tidak disangkal bahwa beberapa kecemasan dan depresi tersebut berkaitan
dengan adanya diagnosa kanker payudara, sehingga penyakit ini membuat wanita
khawatir bahkan meskipun mereka memulai terapi radiasi dengan pikiran positif
dan optimis.
c. Kemoterapi
Kemoterapi merupakan proses pemberian obat-obatan anti kanker dalam
bentuk pil cair atau kapsul atau melalui infus yang bertujuan membunuh sel
kanker (dalam Chyntia, 2009). Jadwal pengobatan kemoterapi sangat bervariasi.
Seberapa sering dan seberapa lama pasien mendapatkan kemoterapi tergantung
pada tipe dan stadium kanker; tujuan pengobatan (apakah kemoterapi digunakan
untuk mengobati kanker, mengontrol perkembangannya, atau mengurangi gejalagejala); tipe kemoterapi; dan bagaimana tubuh bereaksi terhadap kemoterapi
(dalam Bellenir, 2009).
Kemoterapi dibagi atas dua jenis yaitu kemoterapi sistemik dan kemoterapi
regional. Kemoterapi sistemik adalah kemoterapi yang diberikan melalui mulut
atau disuntik melalui pembuluh darah vena atau otot, sehingga obat-obatan masuk
ke aliran arah dan dapat mencapai sel kanker melalui tubuh. Sedangkan
kemoterapi regional adalah kemoterapi yang ditempatkan langsung ke dalam lajur
spinal, organ, atau rongga tubuh, seperti daerah perut, sehingga obat-obatan akan
mempengaruhi sel kanker di area tersebut.
Prinsip kerja pengobatan ini adalah dengan meracuni atau membunuh sel-sel
kanker, mengontrol pertumbuhan sel kanker, dan menghentikan pertumbuhannya
agar tidak menyebar atau untuk mengurangi gejala-gejala yang disebabkan oleh
kanker (dalam Chyntia, 2009). Sayangnya, obat-obatan anti kanker tidak dapat
mengenali sel-sel kanker secara spesifik, dan akan membunuh sel-sel lain yang
membelah secara aktif seperti sel-sel darah atau sumsum tulang (dan rambut)
(dalam Dixon & Leonard, 2002).
(1) Efek fisik kemoterapi
Kemoterapi mempengaruhi orang dengan cara yang berbeda. Bagaimana efek
fisik yang dirasakan tergantung dari seberapa sehat seseorang sebelum
pengobatan, tipe kanker, seberapa parah kanker tersebut, jenis kemoterapi yang
didapatkan, dan dosisnya. Beberapa efek samping yang umum terjadi akibat
kemoterapi adalah rasa sakit, nyeri dan luka pada mulut (dalam Bellenir, 2009).
Pasien yang menerima kemoterapi akan mengalami peningkatan risiko terkena
infeksi, dimana hal ini menandakan bahwa mereka membutuhkan perawatan
ekstra untuk menghindari situasi yang berisiko. Depresi dan rasa lelah akan
membuat keadaan tersebut semakin memburuk (dalam Odgen, 2004).
Kebanyakan pasien yang diberikan kemoterapi juga mengalami mual, muntah,
dan kerontokan rambut (dalam Tavistock & Routledge, 2002). Banyak orang yang
memandang bahwa rambut mereka merupakan bagian yang sangat penting dari
penampilan. Pada beberapa budaya, rambut juga merupakan lambang dari
kesuburan atau status, sehingga kerontokan rambut dapat menjadi pengalaman
yang begitu sulit (dalam Odgen, 2004).
Kebanyakan efek samping mereda setelah kemoterapi berakhir. Tetapi
terkadang efek tersebut dapat berlangsung berbulan-bulan atau bahkan bertahuntahun. Kemoterapi juga dapat menyebabkan efek samping jangka panjang yang
tidak kunjung reda seperti kerusakan hati, paru-paru, ginjal, saraf, atau organ
reproduksi. Beberapa tipe kemoterapi bahkan dapat menyebabkan kanker
tambahan beberapa tahun kemudian (dalam Bellenir, 2009).
(2) Efek psikologis kemoterapi
Pada wanita yang telah mengalami banyak penderitaan secara fisik dan
emosional akibat kanker payudara yang mereka derita, kabar bahwa sekarang
mereka harus menjalani beberapa rangkaian kemoterapi selama periode lebih dari
6 bulan, sering menciptakan rasa takut sekaligus curiga. Seperti ketika kebutuhan
akan terapi radiasi yang membuat ketakutan karena kanker yang tidak dapat
disembuhkan secara efektif dengan pembedahan, kebutuhan akan kemoterapi juga
akan menciptakan kecemasan yang serupa (dalam Tavistock & Routledge, 2002).
Dengan tidak melibatkan efek fisik yang muncul, terdapat banyak efek
samping psikologis berkaitan dengan kemoterapi. Maguire et al. (dalam Tavistock
& Routledge, 2002) mempelajari psychiatric morbidity pada wanita-wanita yang
sedang menjalani mastektomi disertai dengan pemberian kemoterapi dengan yang
menjalani mastektomi saja. Secara signifikan, wanita-wanita yang juga menerima
berbeda
antara
satu
dengan
yang
lainnya.
Pengobatan
samping dari terapi kanker yang dijalani. Pengobatan komplementer dapat terdiri
dari meditasi, pemijatan, yoga, diet dan konsumsi suplemen berupa vitamin,
mineral ataupun jamu. Di lain hal, pasien mungkin akan memilih menggunakan
terapi alternatif daripada terapi kanker medis. Beberapa pengobatan alternatif
identik dengan pengobatan komplementer. Pengobatan alternatif lainnya dapat
berupa pengobatan yang menggunakan peralatan kimiawi ataupun elektris.
Perbedaan antara pengobatan alternatif dan komplementer adalah pasien
menggunakan pengobatan alternatif dengan tujuan mengobati kanker dan sama
sekali tidak menggunakan pengobatan medis. (Lyons, 2007).
menggunakan setidaknya satu tipe dari CAM (Digianni, Garber, & Winner, 2002).
Dengan meningkatnya ketakutan akan sakit
akan hidup mereka (38%), dan untuk melengkapi pengobatan medis konvensional
yang mereka lakukan (38%). Richardson dkk melaporkan hasil yang mirip tentang
pengobatan CAM dari sekelompok pasien kanker di sebuah pusat kanker. Pasien
berharap dapat memperbaiki kualitas hidup (77%), menaikkan sistem kekebalan
(71%), dan memperpanjang usia (62%).
Bagaimanapun,
peningkatan pengobatan
B. RESILIENSI
1. Definisi Resiliensi
Reivich. K dan Shatte. A (2002) dalam bukunya the resiliency factor
menjelaskan bahwa arti resiliensi itu adalah kemampuan untuk mengatasi dan
beradaptasi bila terjadi sesuatu yang merugikan dalam hidupnya. Bertahan dalam
keadaan tertekan sekali pun, atau bahkan berhadapan dengan kesengsaraan
(adversity) maupun trauma yang dialami sepanjang kehidupannya. Resiliensi
bukanlahlah suatu trait, akan tetapi bersifat kontinum, sehingga tiap individu
dapat meningkatkan resiliensinya (Reivich & Shatte, 2002). Kemampuan
seseorang untuk menyembuhkan diri, beradaptasi, atau bangkit kembali ke kondisi
normal (resiliensi) bervariasi sepanjang hidup mereka (Norman, 2000).
Resiliensi pada individu didefinisikan oleh Grotberg (dalam Schoon, 2006)
sebagai kapasitas manusia untuk menghadapi, mengatasi, dan bahkan berubah
2. Domain resiliensi
Menurut Reivich dan Shatte (2002), terdapat tujuh domain yang membangun
resiliensi, yaitu aspek regulasi emosi, impuls kontrol, optimisme, analisis kausal,
empati, self-efficacy, dan reaching out.
a. Emotion Regulation
yang kurang
memiliki
sering terpaku pada rasa marah, sedih, dan gelisahnya sehingga mereka menjadi
kurang efektif dalam memecahkan dan mengatasi masalah yang muncul. Mereka
pun biasanya merasa kesulitan mencari pertolongan orang lain dan mengutip
pembelajaran dari suatu kejadian ketika mereka sedang dikuasai oleh emosi
mereka tersebut (Reivich & Shatte, 2002).
Reivich dan Shatte (2002) mengungkapkan dua buah keterampilan yang dapat
memudahkan individu dalam meningkatkan regulasi emosi, yaitu calming
(tenang) dan focusing (fokus). Dua buah keterampilan ini akan membantu
individu untuk mengontrol emosi yang tidak terkendali, memfokuskan pikiran
individu ketika muncul banyaknya hal yang mengganggu, serta mengurangi stres
yang dialami oleh individu
(1) Calming (Tenang)
Individu dapat mengurangi stres yang mereka alami dengan merubah cara
berpikir ketika berhadapan dengan stressor. Meskipun begitu, seorang individu
tidak akan mampu menghindar dari keseluruhan stres yang dialami, diperlukan
cara untuk membuat diri mereka berada dalam kondisi tenang ketika stres
menghadang.
Keterampilan ini adalah sebuah kemampuan untuk meningkatkan kontrol
individu terhadap respon tubuh dan pikiran ketika berhadapan dengan stres
dengan cara relaksasi. Dengan relaksasi individu dapat mengontrol jumlah stres
yang dialami. Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk relaksasi dan
membuat diri kita berada dalam keadaan tenang, yaitu dengan mengontrol
kesehatan yang lebih baik, jarang mengalami depresi, serta memiliki produktivitas
yang tinggi, apabila dibandingkan dengan individu yang cenderung pesimis.
Siebert (2005) mengungkapkan bahwa terdapat hubungan antara tindakan dan
ekspektasi kita dengan kondisi kehidupan yang dialami individu. Peterson dan
Chang (dalam Siebert, 2005) mengungkapkan bahwa optimisme sangat terkait
dengan karakteristik yang diinginkan oleh individu, kebahagiaan, ketekunan,
prestasi, dan kesehatan. Individu yang optimis percaya bahwa situasi yang sulit
suatu saat akan berubah menjadi situasi yang lebih baik. Sebagian individu
memiliki kecenderungan untuk optimis dalam memandang hidup ini secara
umum, sementara sebagian invidu yang lain optimis hanya pada beberapa situasi
tertentu (Siebert, 2005). Optimisme bukanlah sebuah sifat yang terberi melainkan
dapat dibentuk dan ditumbuhkan dalam diri individu (Siebert, 2005).
Optimisme menandakan bahwa adanya keyakinan bahwa kita mempunyai
kemampuan untuk mengatasi kemalangan atau ketidakberuntungan yang mungkin
terjadi di masa depan tersebut. Hal ini juga merefleksikan Self Efficacy yang
dimiliki oleh seseorang, yaitu kepercayaan individu bahwa ia mampu
menyelesaikan permasahan yang ada dan mengendalikan hidupnya. Reivich &
Shatte(2002) mengemukakan individu yang optimis mampu memprediksi masa
depan dengan akurat pada masalah potensial yang akan muncul dan membangun
strategi untuk mencegah dan mengatasi masalah yang terjadi.
Optimisme akan menjadi hal yang sangat bermanfaat untuk individu bila
diiringi dengan Self-Efficacy, hal ini dikarenakan dengan optimisme yang ada
pada seseorang akan mendorong individu untuk mampu menemukan solusi
permasalahan dan terus bekerja keras demi kondisi yang lebih baik (Reivich &
Shatte, 2002). Tentunya optimisme yang dimaksud adalah optimisme yang
realistis (realistic optimism), yaitu sebuah kepercayaan akan terwujudnya masa
depan yang lebih baik dengan diiringi segala usaha untuk mewujudkan hal
tersebut. Berbeda dengan unrealistis optimism dimana kepercayaan akan masa
depan yang cerah tidak dibarengi dengan usaha yang significan untuk
mewujudkannya. Pada kenyataannya unrealistic optimism akan membuat individu
mengabaikan ancaman yang sebenarnya yang perlu mereka antisipasi. Perpaduan
antara optimisme yang realistis dan self-efficacy adalah kunci resiliensi dan
kesuksesan.
d. Causal Analysis
Causal analysis merupakan istilah yang digunakan untuk mengartikan sebuah
kemampuan untuk mengidentifikasi penyebab masalah secara akurat. Analisis
kausal digunakan individu untuk mencari penjelasan dari suatu kejadian. Jika kita
tidak mampu memperkirakan penyebab masalah dengan akurat, maka kita akan
membuat kesalahan yang sama secara terus-menerus.
Seligman (dalam Reivich & Shatte, 2002) mengidentifikasikan gaya berpikir
explanatory yang merupakan kebiasaan cara seseorang untuk menjelaskan hal
baik dan buruk yang terjadi pada diri dan kehidupan mereka. Gaya berpikir ini
erat kaitannya dengan kemampuan causal analysis yang dimiliki individu. Gaya
berpikir explanatory dapat dibagi dalam tiga dimensi: personal (saya-bukan saya),
permanen (selalu-tidak selalu), dan pervasive (semua-tidak semua).
yang
resilien
mempunyai
fleksibilitas
kognitif
dan
dapat
hubungan personal, hal ini dikarenakan kebutuhan dasar manusia untuk dipahami
dan dihargai.
f. Self-efficacy
Efikasi diri merepresentasikan keyakinan seseorang bahwa ia dapat
memecahkan masalah yang dialami dengan efektif dan keyakinan akan
kemampuan untuk sukses. Dalam keseharian, individu yang memiliki keyakinan
pada kemampuan mereka untuk memecahkan masalah akan tampil sebagai
pemimpin, sebaliknya individu yang tidak memiliki keyakinan terhadap selfefficacy mereka akan selalu tertinggal dari yang lain dan terlihat ragu-ragu.
Efikasi diri merupakan hal yang sangat penting sebagai untuk mencapai resiliensi.
g. Reaching out
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa resiliensi lebih dari
sekedar bagaimana seorang individu memiliki kemampuan untuk mengatasi
kemalangan dan bangkit dari kemalangan yang menimpa dirinya. Resiliensi
membantu untuk meningkatkan aspek positif dalam kehidupan kita. Resiliensi
merupakan sumber dari kemampuan untuk menggapai sesuatu yang lebih
(reaching out) dimana orang lain cenderung tidak dapat melakukannya.
Banyak individu yang tidak mampu melakukan reaching out, hal ini
dikarenakan mereka telah diajarkan sejak kecil untuk sedapat mungkin
menghindari kegagalan dan situasi yang memalukan. Mereka adalah individuindividu yang lebih memilih memiliki kehidupan standar dibandingkan harus
meraih kesuksesan namun harus berhadapan dengan resiko kegagalan hidup dan
hinaan masyarakat. Mereka menganggap gagal ketika melakukan sesuatu lebih
untuk
berlebihan-lebihan
(overestimate)
dalam
memandang
kemungkinan hal-hal buruk yang dapat terjadi di masa mendatang. Individuindividu ini memiliki rasa ketakutan untuk mengoptimalkan kemampuan mereka
hingga batas akhir. Gaya berpikir ini dikenal dengan istilah self-handicapping, dan
secara tidak sadar membatasi diri mereka sendiri. Individu seperti ini cenderung
berlebihan (overestimate) dalam melihat kemungkinan kegagalan yang akan
mendatangkan bencana besar.
Reaching Out adalah kemampuan seseorang untuk menemukan dan
membentuk suatu hubungan dengan orang lain, untuk meminta bantuan, berbagi
cerita dan perasaan, untuk saling membantu dalam menyelesaikan masalah baik
personal maupun interpersonal atau membicarakan konflik dalam keluarga
(Reivich & Shatte, 2002). Menurut Reivich & Shatte (2002), resiliensi merupakan
kemampuan yang meliputi peningkatan aspek positif dalam hidup. Individu yang
meningkatkan aspek positif dalam hidup mampu melakukan dua aspek ini dengan
baik, yaitu: (1) mampu membedakan risiko yang realistis dan tidak realistis, (2)
memiliki makna dan tujuan hidup serta mampu melihat gambaran besar dari
kehidupan. Individu yang selalu meningkatkan aspek positifnya akan lebih mudah
dalam mengatasi permasalahan hidup, serta berperan dalam meningkatkan
kemampuan interpersonal dan pengendalian emosi.
C. PARADIGMA PENELITIAN
Kondisi Fisik:
- Efek Pengobatan
- Kemunduran Fisik
- Kerusakan Fungsional
Kondisi Psikologis
- Ketidakstabilan Emosi
- Perasaan Negatif
- Ketidakberdayaan
Kondisi Sosial
Life Situation
Work Status
Social Life
Domain Resiliensi:
- Emotion Regulation
- Impulse Control
- Optimism
- Causal Analysis
- Empathy
- Self-Efficacy
- Reaching Out
Faktor Protektif
Faktor Risiko
Keterangan:
: Menyebabkan
: Mempengaruhi satu sama lain
: Mempengaruhi
: Fokus penelitian