Pendahuluan
1.1
Latar Belakang
Demensia merupakan masalah besar dan serius yang dihadap oleh negara negara
maju, dan telah pula menjadi masalah kesehatan yang mulai muncul di negara negara
berkembang seperti Indonesia. Hal ini disebabkan oleh makin mengemukannya penyakit
penyaktit degeneratif (yang beberapa diantaranya merupakan faktor resiko timbulnya
demensia ) serta makin eningkatnya usia harapan hdup hampir di seluruh belahan dunia.
Studi prevalensi menunjukkan bahwa di Amerika Serikat, pada populasi di atas umur 65
tahun, persentase orang dengan penyakit alzheimer (penyebab terbesar demensia) meningkat
dua kali lipat.
1.2
Tujuan
a. Agar mahasiswa mendapat pengetahuan tentang penyakit alzheimer
b. Agar mahasiswa mengetahui cara pengobatan penyakit alzheimer
c. Agar mahasiswa mengetahui cara pencegahan penyakit alzheimer
BAB II
1
ISI
2.1
PEMERIKSAAN
2.1.1 ANAMNESIS
Anamnesis harus terfokus pada awitan (onset), lamanya, dan bagaimana laju
progresi penurunan fungsi kognitif yang terjadi. Kebingungan (confusion) yang
terjadi akut dan subakut mungkin merupakan manifestasi delirium dan harus
dicari kemungkinan penyebabnya seperti intoksikasi, infeksi, atau perubahan
metabolik. Seorang usia lanjut dengan kehilangan memori yang berlangsung
lambat selama beberapa tahun kemungkinan menderita penyakit Alzheimer.
Hampir 75% pasien penyakit Alzheimer dimulai dengan gejala memori, tetapi
gejala awal juga dapat meliputi kesulitan mengurus keuangan, berbelanja,
mengikuti perintah, menemukan kata, atau mengemudi. Perubahan kepribadian,
disinhibisi, peningkatan berat badan, atau obsesi terhadap makanan mengarah
pada fronto-temporal dementia (FTD), bukan penyakit Alzheimer. FTD juga
patut diduga bila ditemukan apati, hilangnya fungsi eksekutif, abnormalitas
progresif fungsi berbicara, atau keterbatasan kemampuan memori atau spasial.
Diagnosis demensia dengan Lewy body (DLB) dicurigai bila terdapat adanya
gejala awal berupa halusinasi visual, parkinsonisme, delirium, ganguan tidur
(rapid-eye movement) REM, atau sindrom Capgras, yaitu delusi bahwa
seseorang yang dikenal digantikan oleh penipu.1
Riwayat adanya strok dengan progresi bertahap dan tidak teratur mengarah pada
demensia multi-infark. Demensia multi-infark umumnya terjadi pada pasienpasien dengan faktor risiko hipertensi, fibrilasi atrium, penyakit vaskular perifer,
dan diabetes. Pada pasien yang menderita penyakit serebrovaskular dapat sulit
ditentukan apakah demensia yang teijadi adalah penyakit Alzheimer, demensia
multi-infark, atau campuran keduanya. Bila dikaitkan dengan berbagai
penyebab demensia, maka anamnesis harus diarahkan pula pada berbagai faktor
risiko seperti trauma kepala berulang, infeksi susunan saraf pusat akibat sifilis
(neurosifilis), konsumsi alkohol berlebihan, intoksikasi bahan kimia pada
pekerja pabrik, serta penggunaan obat-obat jangka panjang (sedatif dan
tranquilizer). Riwayat keluarga juga harus selalu menjadi bagian dari evaluasi,
mengingat bahwa pada penyakit Alzeimer, FTD, dan penyakit Huntington
2
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tes laboratorium pada pasien demensia tidak dilakukan dengan serta merta
pada semua kasus. Penyebab yang reversibel dan dapat diatasi seharusnya
tidak boleh terlewat. Pemeriksaan fungsi tiroid, kadar vitamin B12, darah
lengkap, elektrolit, dan VDRL direkomendasikan untuk diperiksa secara rutin.
Pemeriksaan tambahan yang perlu dipertimbangkan adalah pungsi lumbal,
fungsi hati, fungsi ginjal, pemeriksaan toksin di urin/darah, dan Apolipoprotein
E. Pemeriksaan penunjang yang juga direkomendasikan adalah CT/MRI
kepala. Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi tumor primer atau sekunder,
lokasi area infark, hematoma subdural, dan memperkirakan adanya
hidrosefalus bertekanan-normal atau penyakit white matter yang luas. MRI
dan CT juga dapat mendukung diagnosis penyakit Alzheimer, terutama bila
terdapat atrofi hipokampus selain adanya atrofi kortikal yang difus.
Abnormalitas white matter yang luas berkorelasi dengan demensia vaskular.
Peran pencitraan fungsional seperti single photon emission computed
tomography (SPECT) dan positron emission tomography (PET) scanning
masih dalam penelitian. SPECT dan PET scanning dapat menunjukkan
hipoperfusi atau hipometabolisme temporal-parietal pada penyakit Alzheimer
dan hipoperfusi atau hipometabolisme frontotemporal pada FTD. 1,5
2.2
DIFFERENSIAL DIAGNOSIK
2.2.1
dirasakan oleh penderita itu sendiri, mereka sulit mengingat nama cucu mereka
atau lupa meletakkan suatu barang. Mereka sering kali menutup-nutupi hal
tersebut dan meyakinkan diri sendiri bahwa itu adalah hal yang biasa pada usia
mereka. Kejanggalan berikutnya mulai dirasakan oleh orang-orang terdekat
yang tinggal bersama, mereka merasa khawatir terhadap penurunan daya ingat
yang semakin menjadi, namun sekali lagi keluarga merasa bahwa mungkin
Lansia kelelahan dan perlu lebih banyak istirahat. Mereka belum mencurigai
adanya sebuah masalah besar di balik penurunan daya ingat yang dialami oleh
orang tua mereka. 1,4
Gejala demensia berikutnya yang muncul biasanya berupa depresi pada
Lansia, mereka menjaga jarak dengan lingkungan dan lebih sensitif. Kondisi
seperti ini dapat saja diikuti oleh munculnya penyakit lain dan biasanya akan
memperparah kondisi Lansia. Pada saat ini mungkin saja Lansia menjadi
sangat ketakutan bahkan sampai berhalusinasi. Di sinilah keluarga membawa
Lansia penderita demensia ke rumah sakit di mana demensia bukanlah menjadi
hal utama fokus pemeriksaan. Seringkali demensia luput dari pemeriksaan dan
tidak terkaji oleh tim kesehatan. Tidak semua tenaga kesehatan memiliki
kemampuan untuk dapat mengkaji dan mengenali gejala demensia. Mengkaji
dan mendiagnosa demensia bukanlah hal yang mudah dan cepat, perlu waktu
yang panjang sebelum memastikan seseorang positif menderita demensia.
Setidaknya ada lima jenis pemeriksaan penting yang harus dilakukan, mulai
dari pengkajian latar belakang individu, pemeriksaan fisik, pengkajian syaraf,
pengkajian status mental dan sebagai penunjang perlu dilakukan juga tes
laboratorium. 1,4
Pada tahap lanjut demensia memunculkan perubahan tingkah laku yang
semakin mengkhawatirkan, sehingga perlu sekali bagi keluarga memahami
dengan baik perubahan tingkah laku yang dialami oleh Lansia penderita
demensia. Pemahaman perubahan tingkah laku pada demensia dapat
memunculkan sikap empati yang sangat dibutuhkan oleh para anggota
keluarga yang harus dengan sabar merawat mereka. Perubahan tingkah laku
(Behavioral symptom) yang dapat terjadi pada Lansia penderita demensia di
antaranya adalah delusi, halusinasi, depresi, kerusakan fungsi tubuh, cemas,
disorientasi spasial, ketidakmampuan melakukan tindakan yang berarti, tidak
5
demensia dini --dengan konsultasi pada dokter-- akan lebih jelas manfaatnya
dibandingkan demensia fase berat. 1,4
2.3
Diagnosis
Demensia yang ditegakkan oleh pemeriksaan klnis dan tercatat dengan pemeriksaan
the mini-mental test. Blessed dementia scale, atau pemeriksaan sejenis dan
aktivitas sow-wave.
Bukti adanya atrofi otak ada pemeriksaan CT yang progresif dan terdokmentasi
oleh pemeriksaan serial
Gambaran klinis lain yang konsisten dengan diagnosis probable penyakit alzheimer :
-
2.4
EPIDEMOLOGI
Insidensi demensia meninkat secara bermakna seiring meningktnya usia. Setelah usa
65 tahun, prevalensi demensia meningkat dua kali lipat setiap pertambahan usia 5 tahun.
Secara keseluruhan prevalensi demensia pada populasi berusia lebih dari 60 tahun adalah 5,6
%. Penyebab tersering demensia adalah penyakit alzheimer. Berbagai penelitian
menunjukkan laju insidensi penyakit alzheimer meningkat secara eksponensial seiring
bertambahnya umur, walaupun terjadi penuruan insidensi pada usia 95 tahun yang diduga
karena teratasnya jumlah subyek di atas usia 90 tahun. Secara umm dapat dikatakan bahwa
frekuensi penyakit alzheimer meningkat seiring sia, dan mencapai 0-40% populasi berusia 85
tahun atau lebih. Proporsi perempuan yang mengalami penyakit alzheimer lebih tunggi
dibandingkan laki laki (sekitar 2/3 pasien adalah perempuan), hal ini disebabkan
perempuan memiliki harapan hidup lebih baik dan bukan karena perempuan lebih mudah
menderita penyakit ini. Tingkat pendidikan yang rendah juga disebutkan berhubungan dengan
risiko terjadinya penyakit alzheimer. Faktor faktor risiko lain yang dari berbagai penelitan
diketahui berhubungan dengan penyakit alzheimer adalah hipertensi, diabetes mellitus,
dislipidemia, serta berbagai faktor risiko timbulnya aterosklerosis dan gangguan sirkulasi
pembuluh darah otak. Mutasi beberapa gen famlial penyakit Alzeimer pada kromosom 21,
kromosom 1, dan kromosom 1 ditemukan pada kurang dari 5% pasien dengna penyakit
Alzheimer. Sementara riwayat keluarga dan munculnya alel e4 dari Apolipoprotein E pada
lebih dari 30% pasien dengna penyakit ini menindikiasikan adanya faktor genetik yang
berperan ada munculnya penakit ini seseorang dengan riwayat keluarga pada anggota
keluarga tingkat pertama mempunya risiko dua sampai tiga kali menderita penyakit
alzheimer, walaupun sebagian besar pasien tidak mempunya riwayat keluarga yang positif.
Walapun alel e4 Apo E bukan penyebab timbulnya demensia, namun munculnya alel ini
merupakan faktor utama yang mempermudah seseorang menderita penyakit alzheimer. 1,5
2.5
antara amyloidogenesis dan Apo E. Plak neuritik juga mengandung protein komplemen,
mikroglia yang teraktivasi, sitokin-sitokin, dan protein fase akut, sehingga komponen
inflamasi juga diduga terliat pada patogenesis penyakit Alzheimer. Gen yang mengkode the
amyloidprecursor protein (APP) terletak pada kromosom 21, menunjukkan hubungan
potensial patologi penyakit Alzhimer dengna sindrom Down (trisomi-21), yang diderita oleh
semua pasien penyakit Alzheimer yang muncul pada usia 40 tahun. 1,5
Neurofibrillary tangles merupakan struktur intraneuron yang mengandung atau yang
terhiperfosforilasi pada pasangan filamen helix. Individu usia lanjut yang normal juga
diketahui mempunyai neurofibrillary tangles di beberapa lapisan hipokampus dan korteks
entorhinal, tapi struktur ini jarang ditemukan di neokorteks pada seseorang tanpa demensia.
Neurofibrillary tangles ini tidak spesifik untuk penyakit Alzheimer dan juga timbul pada
penyakit lain, seperti subacute sclerosing panencephalitis (SSPE), demensia pugilistika, dan
parkinsonian dementia complex of Guam. Pada dementia vaskular patologi yang dominan
adalah adanya infark multipel dan abnormalitas substansia alba. Infark jaringan otak yang
terjadi pasca strok dapat menyebabkan demensia bergantung pada volume total korteks yang
rusak dan hemisfer mana yang terkena. Umumnya demensia muncul pada strok yang
mengenai beberapa bagian otak atau hemisfer kiri otak. Sementara abnormalitas substansia
alba biasanya terjadi berhubungan denan infark lakunar. Abnormalitas substansia alba ini
dapat ditemukan pada pemeriksaan MRI pada daerah subkorteks bilateral, berupa gamaran
hiperdens abnormal yang umumnya tampak di beberapa tempat. Abnormlaitas substansia alba
ini juga dapat timbul pada suatu kelainan genetik yang dikenal sebagai cerebral autosomal
dominant arteriopathy with subaortical infarcts and leukoencephalopathy (CADASIL), yang
secara klinis terjadi emensia yang progresif yang muncul pada dekade kelima sampai keujuh
kehidupan pada beberapa anggota keluarga yang mempunya riwayat migren dan strok
berulang tanpa hipertensi. Petanda anatomis pada fronto-temporal dementia (FTD) adalah
terjadinya atrofi yang jelas pada lobus temporal dana/ata frontal, yang dapat diliat pada
pemeriksaan pencitraaan saraf (neuroimaging) seperti MRI dan CT. Atofi yang terjadi
terkadang sangat tidak simetris. Secara mikroskopis selalu didapatkan glikolisis dan
hilangnya neuron, serta pada beberapa kasus terjadi pembebgkakan dan penggelembungan
neuron yang berisi cytoplasmic inclusion. Sementara ada demensia dengan Lewy body, sesuai
dengan namanya, gambaran neuropatologinya adalah adanya Lewy body di seluruh korteks,
amigdala, cingulated corteks, dan substansia nigra. Lewy body adalah cytoplasmic inclsion
intraneuron yang terwarnai dengan periodic acid-Schiff (PAS) dan ubiquitin, yang terdiri dari
9
neurofilamen lurus sepanjang 7 sampai 20 nm yang dikelilingin material amorfik. Lewy body
dikenali melalui antigen terhadap protein neurofilamen yang terfosforilasi maupun yang tidak
terosforilasi, ubiquitin, dan orotein presinap yang disebut -synuclein. Jika pada seorang
demensia tidak ditemukan gambaran patologis selain adanya Lewy body maka kondisi ini
disebut diffuse Lewy body disesase, semetara bila ditemukan juga plak amyloid dan
neurofibrillary tangles maka disebut varian Lewy body dari penyakit Alzheimer. Defisit
neurotransmiter utama pada penyakit Alzheimer, juga pada demensia tipe lain, adalah sistem
kolinergik. Walaupun sistem noradrenergik dan serotonin, somatostatin-like reactivity, dan
corticotropin releasing factor juga berpengaruh pada penyakit Azheimer, defisit asetilkolin
tetap menjadi proses utama penyakit dan menjadi target sebagian besar terapi yang tersedia
saat ini untuk penyakit Alzheimer. 1,5
2.6
PENATALAKSANAAN
2.6.1
Pengobatan
halusinasi) dan tingkah laku. Pemberian oral Haloperiod 1-5 mg/hari selama 4
minggu akan memperbaiki gejala tersebut. Bila penderita alzheimer
menderita depresi sebaiknya diberikan tricyclic anti depresant (amitryptiline
25-100 mg/hari)
6. Acetyl L-Carnitine (ALC)
Merupakan suatu subtrate endogen yang disintesa didalam mitokomdria
dengan bantuan enzym ALC transferase. Penelitian ini menunjukkan bahwa
ALC dapat meningkatkan aktivitas asetil kolinesterase, kolin asetiltransferase.
Pada pemberian dosis 1-2 gr/hari/peroral selama 1 tahun dalam pengobatan,
disimpulkan bahwa dapat memperbaiki atau menghambat progresifitas
kerusakan fungsi kognitif. 1
2.6.2
Pencegahan
Mengonsumsi minyak ikan, berolahraga rutin dan mengisi teka teki silang
adalah aktivitas yang disebut-sebut bermanfaat bagi otak. Tetapi menurut kajian
terbaru, tidak ada bukti kuat bahwa semua itu dapat mencegah penyakit Alzheimer.
Sebuah panel ahli yang terdiri dari para ahli menyimpulkan, suplemen, obat atau
interaksi sosial juga belum terbukti dapat mencegah penyakit degenerasi otak tersebut.
Kelompok ahli itu mengamati puluhan riset yang menunjukkan cara-cara untuk
mencegah Alzheimer, penyakit yang merusak otak dan tidak dapat diobati. Tetapi
belum menemukan satu pun bukti yang cukup kuat akan dampaknya bagi pencegahan.
Ada definisi yang tidak konsisten tentang penyakit Alzheimer dan penurunan
kondisi kognitif yang menyebabkannya. Para dokter juga tidak sepenuhnya
memahami bagaimana penyakit itu berkembang. Contohnya, ada ketidaksepakatan
tentang apakah plak amiloid yang ditemukan dalam otak penderita menjadi penyebab
penyakit itu atau hanya sekadar gejala. Saat ini hanya ada sedikit obat untuk
mengobati Alzheimer, tetapi efeknya hanya sementara. Berikut beberapa cra untuk
mencegah terjadinya alzheimer : 1,2
12
2.7
Banyak latihan
PROGNOSIS
BAB III
KESIMPULAN
13
Penyakit alzheimer sangat sukar di diagnosa hanya berasarkan gejala gejala klinik
tanpa dikonfirmasikan pemeriksaan lainnya seperti neuropatologi, MRI. Sampai saat ini
penyebab yang pasti belum diketahui, tetapi faktor genetik sangat menentukan (riwayat
keluarga), sedangkan faktor lingkungan hanya sebagai pencetus ekspresi genetik.
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyono A. W , Setiyohadi B , Alwi I, Simadibrata M.K, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. 2009.
2. Yatim faisal. Pikun (Demensia), Penyakit Alzheimer dan sejenisnya : bagaimana cara
menghindarinya. 2003.
3. Fratiglioni L. Clinical diagnosis of alzheimer disease and other dementia in
population survey. Arc.Neurol. 2002.
4. E.Mohr. Clonidine treatment of alzheimer disease. Archive of Neurology, 2003.
5. Brashers, Valentina L. Aplikasi klinik patofisiologis : Pemeriksaan dan Management.
Jakarta : EGC,2007.
15