Anda di halaman 1dari 15

BAB I

Pendahuluan
1.1

Latar Belakang
Demensia merupakan masalah besar dan serius yang dihadap oleh negara negara

maju, dan telah pula menjadi masalah kesehatan yang mulai muncul di negara negara
berkembang seperti Indonesia. Hal ini disebabkan oleh makin mengemukannya penyakit
penyaktit degeneratif (yang beberapa diantaranya merupakan faktor resiko timbulnya
demensia ) serta makin eningkatnya usia harapan hdup hampir di seluruh belahan dunia.
Studi prevalensi menunjukkan bahwa di Amerika Serikat, pada populasi di atas umur 65
tahun, persentase orang dengan penyakit alzheimer (penyebab terbesar demensia) meningkat
dua kali lipat.
1.2

Tujuan
a. Agar mahasiswa mendapat pengetahuan tentang penyakit alzheimer
b. Agar mahasiswa mengetahui cara pengobatan penyakit alzheimer
c. Agar mahasiswa mengetahui cara pencegahan penyakit alzheimer

BAB II
1

ISI
2.1

PEMERIKSAAN
2.1.1 ANAMNESIS
Anamnesis harus terfokus pada awitan (onset), lamanya, dan bagaimana laju
progresi penurunan fungsi kognitif yang terjadi. Kebingungan (confusion) yang
terjadi akut dan subakut mungkin merupakan manifestasi delirium dan harus
dicari kemungkinan penyebabnya seperti intoksikasi, infeksi, atau perubahan
metabolik. Seorang usia lanjut dengan kehilangan memori yang berlangsung
lambat selama beberapa tahun kemungkinan menderita penyakit Alzheimer.
Hampir 75% pasien penyakit Alzheimer dimulai dengan gejala memori, tetapi
gejala awal juga dapat meliputi kesulitan mengurus keuangan, berbelanja,
mengikuti perintah, menemukan kata, atau mengemudi. Perubahan kepribadian,
disinhibisi, peningkatan berat badan, atau obsesi terhadap makanan mengarah
pada fronto-temporal dementia (FTD), bukan penyakit Alzheimer. FTD juga
patut diduga bila ditemukan apati, hilangnya fungsi eksekutif, abnormalitas
progresif fungsi berbicara, atau keterbatasan kemampuan memori atau spasial.
Diagnosis demensia dengan Lewy body (DLB) dicurigai bila terdapat adanya
gejala awal berupa halusinasi visual, parkinsonisme, delirium, ganguan tidur
(rapid-eye movement) REM, atau sindrom Capgras, yaitu delusi bahwa
seseorang yang dikenal digantikan oleh penipu.1
Riwayat adanya strok dengan progresi bertahap dan tidak teratur mengarah pada
demensia multi-infark. Demensia multi-infark umumnya terjadi pada pasienpasien dengan faktor risiko hipertensi, fibrilasi atrium, penyakit vaskular perifer,
dan diabetes. Pada pasien yang menderita penyakit serebrovaskular dapat sulit
ditentukan apakah demensia yang teijadi adalah penyakit Alzheimer, demensia
multi-infark, atau campuran keduanya. Bila dikaitkan dengan berbagai
penyebab demensia, maka anamnesis harus diarahkan pula pada berbagai faktor
risiko seperti trauma kepala berulang, infeksi susunan saraf pusat akibat sifilis
(neurosifilis), konsumsi alkohol berlebihan, intoksikasi bahan kimia pada
pekerja pabrik, serta penggunaan obat-obat jangka panjang (sedatif dan
tranquilizer). Riwayat keluarga juga harus selalu menjadi bagian dari evaluasi,
mengingat bahwa pada penyakit Alzeimer, FTD, dan penyakit Huntington
2

(sebagai salah satu penyebab demensia) terdapat kecenderungan familial. Gejala


depresi seperti insomnia dan kehilangan berat badan sering tampak pada
pseudodemensia akibat depresi, yang dapat disebabkan oleh anggota keluarga
yang baru-baru ini meninggal. 1,3
2.1.2

Pemeriksaan Fisik dan Neurologis


Pemeriksaan fisis dan neurologis pada pasien dengan demensia dilakukan untuk
mencari keterlibatan sistem saraf dan penyakit sistemik yang mungkin dapat
dihubungkan dengan gangguan kognitifnya. Umumnya penyakit Alzheimer
tidak menunjukkan gangguan sistem motorik kecuali pada tahap lanjut.
Kekakuan motorik dan bagian tubuh aksial, hemi-paresis, parkinsonisme,
mioklonus, atau berbagai gangguan motorik lain umumnya timbul pada FTD,
DLB, atau demensia multi-infark. Penyebab sistemik seperti defisiensi vitamin
B12, intoksikasi logam berat, dan hipotiroidisme dapat menunjukkan gejalagejala yang khas. Yang tidak boleh dilupakan adalah adanya gangguan
pendengaran dan penglihatan yang menimbulkan kebingungan dan disorientasi
pada pasien yang sering disalahartikan sebagai demensia. Pada usia lanjut
defisit sensorik seperti ini sering terjadi. Pemeriksaan kognitif dan
neuropsikiatrik. Pemeriksaan yang sering digunakan untuk evaluasi dan
konfirmasi penurunan fungsi kognitif adalah the mini mental status examination
(MMSE), yang dapat pula digunakan untuk memantau perjalanan penyakit.
MMSE merupakan pemeriksaan yang mudah dan cepat dikerjakan, berupa 30
point-test terhadap fungsi kognitif dan berisikan pula uji orientasi, memori kerja
dan memori episodik, komprehensi bahasa, menyebutkan kata, dan mengulang
kata. Pada penyakit Alzheimer defisit yang terlibat berupa memori episodik,
category generation (sebutkan sebanyak-banyaknya binatang dalam satu menit),
dan kemampuan visuokonstruktif. Defisit pada kemampuan verbal dan memori
episodik visual sering merupakan abnormalitas neuropsikologis awal yang
terlihat pada penyakit Alzheimer, dan tugas yang membutuhkan pasien untuk
menyebutkan ulang daftar panjang kata atau gambar setelah jeda waktu tertentu
akan menunjukkan defisit pada sebagian pasien penyakit Alzheimer. Pada FTD
defisit awal sering melibatkan fungsi eksekutif frontal atau bahasa (berbicara
atau menyebutkan kata). Pasien DLB mempunyai defisit lebih berat pada fungsi
visuospasial tetapi melakukan tugas memori episodik lebih baik dibandingkan
3

pasien dengan penyakit Alzheimer. Pasien dengan demensia vaskular sering


menunjukkan campuran defisit eksekutif frontal dan visuospasial. Pada
delirium, defisit cenderung terjadi pada area pemusatan perhatian, memori kerja,
dan fungsi frontal. 1,5
2.1.3

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tes laboratorium pada pasien demensia tidak dilakukan dengan serta merta
pada semua kasus. Penyebab yang reversibel dan dapat diatasi seharusnya
tidak boleh terlewat. Pemeriksaan fungsi tiroid, kadar vitamin B12, darah
lengkap, elektrolit, dan VDRL direkomendasikan untuk diperiksa secara rutin.
Pemeriksaan tambahan yang perlu dipertimbangkan adalah pungsi lumbal,
fungsi hati, fungsi ginjal, pemeriksaan toksin di urin/darah, dan Apolipoprotein
E. Pemeriksaan penunjang yang juga direkomendasikan adalah CT/MRI
kepala. Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi tumor primer atau sekunder,
lokasi area infark, hematoma subdural, dan memperkirakan adanya
hidrosefalus bertekanan-normal atau penyakit white matter yang luas. MRI
dan CT juga dapat mendukung diagnosis penyakit Alzheimer, terutama bila
terdapat atrofi hipokampus selain adanya atrofi kortikal yang difus.
Abnormalitas white matter yang luas berkorelasi dengan demensia vaskular.
Peran pencitraan fungsional seperti single photon emission computed
tomography (SPECT) dan positron emission tomography (PET) scanning
masih dalam penelitian. SPECT dan PET scanning dapat menunjukkan
hipoperfusi atau hipometabolisme temporal-parietal pada penyakit Alzheimer
dan hipoperfusi atau hipometabolisme frontotemporal pada FTD. 1,5

2.2

DIFFERENSIAL DIAGNOSIK
2.2.1

Demensia lanjut usia


Hal yang menarik dari gejala penderita demensia adalah adanya perubahan
kepribadian dan tingkah laku sehingga mempengaruhi aktivitas sehari-hari.
Penderita yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah Lansia dengan usia enam
puluh lima tahun keatas. Lansia penderita demensia tidak memperlihatkan
gejala yang menonjol pada tahap awal, mereka sebagaimana Lansia pada
umumnya mengalami proses penuaan dan degeneratif. Kejanggalan awal
4

dirasakan oleh penderita itu sendiri, mereka sulit mengingat nama cucu mereka
atau lupa meletakkan suatu barang. Mereka sering kali menutup-nutupi hal
tersebut dan meyakinkan diri sendiri bahwa itu adalah hal yang biasa pada usia
mereka. Kejanggalan berikutnya mulai dirasakan oleh orang-orang terdekat
yang tinggal bersama, mereka merasa khawatir terhadap penurunan daya ingat
yang semakin menjadi, namun sekali lagi keluarga merasa bahwa mungkin
Lansia kelelahan dan perlu lebih banyak istirahat. Mereka belum mencurigai
adanya sebuah masalah besar di balik penurunan daya ingat yang dialami oleh
orang tua mereka. 1,4
Gejala demensia berikutnya yang muncul biasanya berupa depresi pada
Lansia, mereka menjaga jarak dengan lingkungan dan lebih sensitif. Kondisi
seperti ini dapat saja diikuti oleh munculnya penyakit lain dan biasanya akan
memperparah kondisi Lansia. Pada saat ini mungkin saja Lansia menjadi
sangat ketakutan bahkan sampai berhalusinasi. Di sinilah keluarga membawa
Lansia penderita demensia ke rumah sakit di mana demensia bukanlah menjadi
hal utama fokus pemeriksaan. Seringkali demensia luput dari pemeriksaan dan
tidak terkaji oleh tim kesehatan. Tidak semua tenaga kesehatan memiliki
kemampuan untuk dapat mengkaji dan mengenali gejala demensia. Mengkaji
dan mendiagnosa demensia bukanlah hal yang mudah dan cepat, perlu waktu
yang panjang sebelum memastikan seseorang positif menderita demensia.
Setidaknya ada lima jenis pemeriksaan penting yang harus dilakukan, mulai
dari pengkajian latar belakang individu, pemeriksaan fisik, pengkajian syaraf,
pengkajian status mental dan sebagai penunjang perlu dilakukan juga tes
laboratorium. 1,4
Pada tahap lanjut demensia memunculkan perubahan tingkah laku yang
semakin mengkhawatirkan, sehingga perlu sekali bagi keluarga memahami
dengan baik perubahan tingkah laku yang dialami oleh Lansia penderita
demensia. Pemahaman perubahan tingkah laku pada demensia dapat
memunculkan sikap empati yang sangat dibutuhkan oleh para anggota
keluarga yang harus dengan sabar merawat mereka. Perubahan tingkah laku
(Behavioral symptom) yang dapat terjadi pada Lansia penderita demensia di
antaranya adalah delusi, halusinasi, depresi, kerusakan fungsi tubuh, cemas,
disorientasi spasial, ketidakmampuan melakukan tindakan yang berarti, tidak
5

dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri, melawan, marah, agitasi,


apatis, dan kabur dari tempat tinggal. 1,4
2.2.2

Penurunan Fungsi Kognitif


Penurunan fungsi kognitif adalah menurun atau hilangnya daya mengingat,
daya menilai (intelektualitas), ketrampilan sosial (berbahasa, merawat diri,
kecakapan khusus dsb.), dan reaksi emosi. Penderita demensia memang
tampak sehat namun fungsi otak sebenarnya tidak lagi bekerja dengan baik.
Sedang gangguan kognitif ringan, menurut para ahli disebut Mild Cognitive
Impairment (MCI). Gangguan kognitif ini merupakan fase peralihan antara
menua normal dengan demensia. Pada fase ini, seseorang mempunyai keluhan
penurunan fungsi memori yang mulai mengganggu kehidupannya, namun
aktivitas sehari-hari masih sanggup dilaksanakannya. Secara umum fungsi
kognitifnya masih baik, baik dari segi daya nalar, penilaian, ketrampilan sosial,
maupun berbahasa, sehingga belum dapat dikatakan menderita demensia
(pikun). Jika pada pemeriksaan didapati penurunan fungsi memori dari yang
semestinya untuk usianya, maka kondisi MCI bukan fenomena yang normal.
Sebagian dapat berkembang menjadi demensia dan sebagian lagi dapat
menetap. Oleh karena itu, penyandang MCI sebaiknya dievaluasi fungsi
kognitifnya secara berkala. Dengan pemeriksaan berkala diharapkan dapat
dipantau perkembangannya sehingga dapat diketahui lebih dini bila ada tandatanda ke arah demensia. Pada usia lanjut, dengan adanya penambahan usia
keluhan mudah lupa secara subyektif dianggap wajar. Tidak terjadi adanya
gangguan kognitif yang mengarah kepada demensia. Kondisi pra demensia
ditandai dengan adanya gangguan kognitif pada usia lanjut dengan ciri mudah
lupa yang makin nyata dan mudah dikenali, terutama oleh orang dekat. Mudah
lupa masih dianggap sebagai unsur subyektif dan obyektif meski ditemukan
kinerja kognitif yang merendah, namun belum ada tanda-tanda demensia. Jika
terjadi berbagai jenis gangguan kognitif, terutama pada lanjut usia seperti
mudah lupa yang konsisten, maka tanda-tanda demensia mulai muncul.
Disorientasi terutama dalam hal waktu, gangguan pada kemampuan memberi
pendapat dan pemecahan masalah, gangguan dalam bermasyarakat, gangguan
aktivitas di rumah dan minat intelektual, serta gangguan dalam pemeliharaan
diri mulai muncul secara jelas. Pemberian obat anti demensia pada fase
6

demensia dini --dengan konsultasi pada dokter-- akan lebih jelas manfaatnya
dibandingkan demensia fase berat. 1,4
2.3

Diagnosis

Kriteria diagnosis klinis untuk probable penyakit alzheimer mencakup :


-

Demensia yang ditegakkan oleh pemeriksaan klnis dan tercatat dengan pemeriksaan
the mini-mental test. Blessed dementia scale, atau pemeriksaan sejenis dan

dikonfirmasi oleh tes neuropsikologis


Defisit pada dua atau lebih area kognitif
Tidak ada gangguan kesadaran
Tidak adanya kelainan sistemik atau penyakit otak lain yang dapat menyebabkan
defisit progresif pada memori dan kognitif.

Diagnosis probable alzheimer didukung oleh:

Penurunan progresif fungsi kognitif spesifik seperti afasia, apraksia, da n agnosia


Gangguan aktiitas hidup sehari haridan perubahan pola perilaku
Riwayat keluarga dengan gangguan yang sama, terutama bila sudah dikonfirmasi
secara neuropatologi .
Hasil laboratorium menunjukkan :
- Pungsi lumbal yang normal yang dievaluasi dengna teknik standar
- Pola normal ata perubaha yang nonspesifik pada EEG, seperti peningkatan
-

aktivitas sow-wave.
Bukti adanya atrofi otak ada pemeriksaan CT yang progresif dan terdokmentasi
oleh pemeriksaan serial

Gambaran klinis lain yang konsisten dengan diagnosis probable penyakit alzheimer :
-

Perjalanan penyakit yang progresif namun lambat


Gejala gejala yang berhubungan seperti depresi depresi, insomnia,
inkontinensia, delusi, halusinasi, verbal katastrofik, emosional, gangguan seksual,

2.4

dan penurunan berat badan.


Abnormalitas neuologis pada beberapa pasien, terutama pada penyakit tahap

lanjut, seperti peningkatan tonus otot, mioklonus, dan gangguan melangkah.


Kejang pada penyakit yang lanjut
Pemeriksaan CT normal untuk usianya

EPIDEMOLOGI

Insidensi demensia meninkat secara bermakna seiring meningktnya usia. Setelah usa
65 tahun, prevalensi demensia meningkat dua kali lipat setiap pertambahan usia 5 tahun.
Secara keseluruhan prevalensi demensia pada populasi berusia lebih dari 60 tahun adalah 5,6
%. Penyebab tersering demensia adalah penyakit alzheimer. Berbagai penelitian
menunjukkan laju insidensi penyakit alzheimer meningkat secara eksponensial seiring
bertambahnya umur, walaupun terjadi penuruan insidensi pada usia 95 tahun yang diduga
karena teratasnya jumlah subyek di atas usia 90 tahun. Secara umm dapat dikatakan bahwa
frekuensi penyakit alzheimer meningkat seiring sia, dan mencapai 0-40% populasi berusia 85
tahun atau lebih. Proporsi perempuan yang mengalami penyakit alzheimer lebih tunggi
dibandingkan laki laki (sekitar 2/3 pasien adalah perempuan), hal ini disebabkan
perempuan memiliki harapan hidup lebih baik dan bukan karena perempuan lebih mudah
menderita penyakit ini. Tingkat pendidikan yang rendah juga disebutkan berhubungan dengan
risiko terjadinya penyakit alzheimer. Faktor faktor risiko lain yang dari berbagai penelitan
diketahui berhubungan dengan penyakit alzheimer adalah hipertensi, diabetes mellitus,
dislipidemia, serta berbagai faktor risiko timbulnya aterosklerosis dan gangguan sirkulasi
pembuluh darah otak. Mutasi beberapa gen famlial penyakit Alzeimer pada kromosom 21,
kromosom 1, dan kromosom 1 ditemukan pada kurang dari 5% pasien dengna penyakit
Alzheimer. Sementara riwayat keluarga dan munculnya alel e4 dari Apolipoprotein E pada
lebih dari 30% pasien dengna penyakit ini menindikiasikan adanya faktor genetik yang
berperan ada munculnya penakit ini seseorang dengan riwayat keluarga pada anggota
keluarga tingkat pertama mempunya risiko dua sampai tiga kali menderita penyakit
alzheimer, walaupun sebagian besar pasien tidak mempunya riwayat keluarga yang positif.
Walapun alel e4 Apo E bukan penyebab timbulnya demensia, namun munculnya alel ini
merupakan faktor utama yang mempermudah seseorang menderita penyakit alzheimer. 1,5

2.5

PATOBIOLOGI dan PATOGENESIS


Komponen utama patologi penyakit Alzheimer adalah plak senilis dan neuritik,

neurofibrillaru tangles, hilangnya neuron/sinaps, degenerasi granulovakuolar, dan Hirano


bodies. Plak neuritik mengandung b-amyloid ekstrasellular yang dikelilingi neuritis distrofik,
sementara plak difus (atau nonneuritik) adlaah istilah yang kadang digunakan untuk deposisi
amyloid tanpa abnormalitas neuron. Deteksi adanya Apo E di dalam plak -amyloid dan studi
mengenai ikatan high-avidity antara Apo E dengan -amyloid menunjukkan bukti hubungan
8

antara amyloidogenesis dan Apo E. Plak neuritik juga mengandung protein komplemen,
mikroglia yang teraktivasi, sitokin-sitokin, dan protein fase akut, sehingga komponen
inflamasi juga diduga terliat pada patogenesis penyakit Alzheimer. Gen yang mengkode the
amyloidprecursor protein (APP) terletak pada kromosom 21, menunjukkan hubungan
potensial patologi penyakit Alzhimer dengna sindrom Down (trisomi-21), yang diderita oleh
semua pasien penyakit Alzheimer yang muncul pada usia 40 tahun. 1,5
Neurofibrillary tangles merupakan struktur intraneuron yang mengandung atau yang
terhiperfosforilasi pada pasangan filamen helix. Individu usia lanjut yang normal juga
diketahui mempunyai neurofibrillary tangles di beberapa lapisan hipokampus dan korteks
entorhinal, tapi struktur ini jarang ditemukan di neokorteks pada seseorang tanpa demensia.
Neurofibrillary tangles ini tidak spesifik untuk penyakit Alzheimer dan juga timbul pada
penyakit lain, seperti subacute sclerosing panencephalitis (SSPE), demensia pugilistika, dan
parkinsonian dementia complex of Guam. Pada dementia vaskular patologi yang dominan
adalah adanya infark multipel dan abnormalitas substansia alba. Infark jaringan otak yang
terjadi pasca strok dapat menyebabkan demensia bergantung pada volume total korteks yang
rusak dan hemisfer mana yang terkena. Umumnya demensia muncul pada strok yang
mengenai beberapa bagian otak atau hemisfer kiri otak. Sementara abnormalitas substansia
alba biasanya terjadi berhubungan denan infark lakunar. Abnormalitas substansia alba ini
dapat ditemukan pada pemeriksaan MRI pada daerah subkorteks bilateral, berupa gamaran
hiperdens abnormal yang umumnya tampak di beberapa tempat. Abnormlaitas substansia alba
ini juga dapat timbul pada suatu kelainan genetik yang dikenal sebagai cerebral autosomal
dominant arteriopathy with subaortical infarcts and leukoencephalopathy (CADASIL), yang
secara klinis terjadi emensia yang progresif yang muncul pada dekade kelima sampai keujuh
kehidupan pada beberapa anggota keluarga yang mempunya riwayat migren dan strok
berulang tanpa hipertensi. Petanda anatomis pada fronto-temporal dementia (FTD) adalah
terjadinya atrofi yang jelas pada lobus temporal dana/ata frontal, yang dapat diliat pada
pemeriksaan pencitraaan saraf (neuroimaging) seperti MRI dan CT. Atofi yang terjadi
terkadang sangat tidak simetris. Secara mikroskopis selalu didapatkan glikolisis dan
hilangnya neuron, serta pada beberapa kasus terjadi pembebgkakan dan penggelembungan
neuron yang berisi cytoplasmic inclusion. Sementara ada demensia dengan Lewy body, sesuai
dengan namanya, gambaran neuropatologinya adalah adanya Lewy body di seluruh korteks,
amigdala, cingulated corteks, dan substansia nigra. Lewy body adalah cytoplasmic inclsion
intraneuron yang terwarnai dengan periodic acid-Schiff (PAS) dan ubiquitin, yang terdiri dari
9

neurofilamen lurus sepanjang 7 sampai 20 nm yang dikelilingin material amorfik. Lewy body
dikenali melalui antigen terhadap protein neurofilamen yang terfosforilasi maupun yang tidak
terosforilasi, ubiquitin, dan orotein presinap yang disebut -synuclein. Jika pada seorang
demensia tidak ditemukan gambaran patologis selain adanya Lewy body maka kondisi ini
disebut diffuse Lewy body disesase, semetara bila ditemukan juga plak amyloid dan
neurofibrillary tangles maka disebut varian Lewy body dari penyakit Alzheimer. Defisit
neurotransmiter utama pada penyakit Alzheimer, juga pada demensia tipe lain, adalah sistem
kolinergik. Walaupun sistem noradrenergik dan serotonin, somatostatin-like reactivity, dan
corticotropin releasing factor juga berpengaruh pada penyakit Azheimer, defisit asetilkolin
tetap menjadi proses utama penyakit dan menjadi target sebagian besar terapi yang tersedia
saat ini untuk penyakit Alzheimer. 1,5

2.6

PENATALAKSANAAN
2.6.1

Pengobatan

Pengobatan penyakit alzheimer masih sangat terbatas oleh karena


penyebab dan patofisiologis masih belun jelas. Pengobatan simptomatik dan
suportif seakan hanya memberikan rasa puas pada penderita dankeluarga.
Pemberian obat stimulan, vitamin B, C, dan E belum mempunyai efek yang
menguntungkan. 1
1. Inhibitor kolinesterase
Beberapa tahun terakhir ini, banyak peneliti menggunakan inhibitor untuk
pengobatan simptomatik penyakit alzheimer, dimana penderita alzheimer
didapatkan penurunan kadar asetilkolin. 1
Untuk mencegah penurunan kadar asetilkolin dapat digunakan anti
kolinesterase yang bekerja secara sentral seperti fisostigmin, THA
(tetrahydroaminoacridine). Pemberian obat ini dikatakan dapat memperbaiki
10

memori dan apraksia selama pemberian berlangsung. Beberapa peneliti


mengatakan bahwa obat-obatan anti kolinergik akan memperburuk
penampilan intelektual pada orang normal dan penderita alzheimer. 1
2. Thiamin
Penelitian telah membuktikan bahwa pada penderita alzheimer didapatkan
penurunan thiamin pyrophosphatase dependent enzym yaitu 2 ketoglutarate
(75%) dan transketolase (45%), hal ini disebabkan kerusakan neuronal pada
nukleus basalis. Pemberian thiamin hydrochlorida dengan dosis 3 gr/hari
selama 3 bulan peroral, menunjukkan perbaikan bermakna terhadap fungsi
kognisi dibandingkan placebo selama periode yang sama. 1
3. Nootropik
Nootropik merupakan obat psikotropik, telah dibuktikan dapat memperbaiki
fungsi kognisi dan proses belajar pada percobaan binatang. Tetapi pemberian
4000 mg pada penderita alzheimer tidak menunjukkan perbaikan klinis yang
bermakna. 1
4. Klonidin
Gangguan fungsi intelektual pada penderita alzheimer dapat disebabkan
kerusakan noradrenergik kortikal. Pemberian klonidin (catapres) yang
merupakan noradrenergik alfa 2 reseptor agonis dengan dosis maksimal 1,2
mg peroral selama 4 minggu, didapatkan hasil yang kurang memuaskan
untuk memperbaiki fungsi kognitif. 1
5. Haloperiodol
Pada penderita alzheimer, sering kali terjadi gangguan psikosis (delusi,
11

halusinasi) dan tingkah laku. Pemberian oral Haloperiod 1-5 mg/hari selama 4
minggu akan memperbaiki gejala tersebut. Bila penderita alzheimer
menderita depresi sebaiknya diberikan tricyclic anti depresant (amitryptiline
25-100 mg/hari)
6. Acetyl L-Carnitine (ALC)
Merupakan suatu subtrate endogen yang disintesa didalam mitokomdria
dengan bantuan enzym ALC transferase. Penelitian ini menunjukkan bahwa
ALC dapat meningkatkan aktivitas asetil kolinesterase, kolin asetiltransferase.
Pada pemberian dosis 1-2 gr/hari/peroral selama 1 tahun dalam pengobatan,
disimpulkan bahwa dapat memperbaiki atau menghambat progresifitas
kerusakan fungsi kognitif. 1
2.6.2

Pencegahan
Mengonsumsi minyak ikan, berolahraga rutin dan mengisi teka teki silang

adalah aktivitas yang disebut-sebut bermanfaat bagi otak. Tetapi menurut kajian
terbaru, tidak ada bukti kuat bahwa semua itu dapat mencegah penyakit Alzheimer.
Sebuah panel ahli yang terdiri dari para ahli menyimpulkan, suplemen, obat atau
interaksi sosial juga belum terbukti dapat mencegah penyakit degenerasi otak tersebut.
Kelompok ahli itu mengamati puluhan riset yang menunjukkan cara-cara untuk
mencegah Alzheimer, penyakit yang merusak otak dan tidak dapat diobati. Tetapi
belum menemukan satu pun bukti yang cukup kuat akan dampaknya bagi pencegahan.
Ada definisi yang tidak konsisten tentang penyakit Alzheimer dan penurunan
kondisi kognitif yang menyebabkannya. Para dokter juga tidak sepenuhnya
memahami bagaimana penyakit itu berkembang. Contohnya, ada ketidaksepakatan
tentang apakah plak amiloid yang ditemukan dalam otak penderita menjadi penyebab
penyakit itu atau hanya sekadar gejala. Saat ini hanya ada sedikit obat untuk
mengobati Alzheimer, tetapi efeknya hanya sementara. Berikut beberapa cra untuk
mencegah terjadinya alzheimer : 1,2
12

2.7

Banyak latihan

Makan makanan yang sehat otak

Jaga pikiran anda aktif

Tidur secara teratur dan restfully

Melindungi otak anda

Belajarlah untuk bersantai

PROGNOSIS

Dari pemeriksaan klinis 42 penderita probable alzheimer menunjukkan


bahwa nilai prognostik tergantung pada 3 faktor yaitu:
1. Derajat beratnya penyakit
2. Variabilitas gambaran klinis
3. Perbedaan individual seperti usia, keluarga demensia dan jenis
kelamin
Ketiga faktor ini diuji secara statistik, ternyata faktor pertama yang
paling mempengaruhi prognostik penderita alzheimer. Pasien dengan penyakit
alzheimer mempunyai angka harapan hidup rata-rata 4-10 tahun sesudah
diagnosis dan biasanya meninggal dunia akibat infeksi sekunder

BAB III
KESIMPULAN
13

Penyakit alzheimer sangat sukar di diagnosa hanya berasarkan gejala gejala klinik
tanpa dikonfirmasikan pemeriksaan lainnya seperti neuropatologi, MRI. Sampai saat ini
penyebab yang pasti belum diketahui, tetapi faktor genetik sangat menentukan (riwayat
keluarga), sedangkan faktor lingkungan hanya sebagai pencetus ekspresi genetik.

14

DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyono A. W , Setiyohadi B , Alwi I, Simadibrata M.K, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. 2009.
2. Yatim faisal. Pikun (Demensia), Penyakit Alzheimer dan sejenisnya : bagaimana cara
menghindarinya. 2003.
3. Fratiglioni L. Clinical diagnosis of alzheimer disease and other dementia in
population survey. Arc.Neurol. 2002.
4. E.Mohr. Clonidine treatment of alzheimer disease. Archive of Neurology, 2003.
5. Brashers, Valentina L. Aplikasi klinik patofisiologis : Pemeriksaan dan Management.
Jakarta : EGC,2007.

15

Anda mungkin juga menyukai