Anda di halaman 1dari 26

Case Report Session

EPISTAKSIS

Oleh:
Reza Zeski Andresia 0810313231
Wulan Sulistia

1010312113

Nurfazlina

1110312157

Pembimbing:
dr. Ade Asyari, Sp. THT-KL

ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG, DAN TENGGOROK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP M. DJAMIL PADANG
2015

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .....................................................................................................................i


DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ii

BAB 1 TINJAUAN PUSTAKA


1.1

Anatomi Hidung.............................................................................................3

1.2

Vaskularisasi Hidung......................................................................................3

1.3

Defenisi...........................................................................................................4

1.4

Epidemiologi...................................................................................................5

1.5

Etiologi...........................................................................................................7

1.6

Patofisiologi....................................................................................................9

1.7

Daignosis......................................................................................................17

1.8

Penatalaksanaan............................................................................................22

1.9

Komplikasi....................................................................................................29

1.10 Prognosis.......................................................................................................30
BAB 2 LAPORAN KASUS.................................................................................32
BAB 3 DISKUSI...................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................34

DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1.1 Anatomi Hidung Luar.....................................................................5
Gambar 1.2 Dinding Lateral Kavum Nasi.......................................................6
Gambar 1.3 Anatomi Vaskular yang memperdarahi septum nasal.................8
Gambar 1.4 Epistaksis Anterior.....................................................................19
Gambar 1.5 Epistaksis Posterior....................................................................20

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Anatomi Hidung


Hidung Luar

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: 1)


pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (tip),
4) ala nasi, 5) kolumela dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar
dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan
ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung (os nasal), 2)
prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal; sedangkan
kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di
bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2)
sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor) dan 3) tepi
anterior kartilago septum.1

Gambar 1.1 Anatomi Hidung Luar

Hidung Interna
Lubang luar yang menuju ke sisi dalam hidung dinamai nares, sementara lubang
posterior dari hidung ke nasopharink dinamai choana. Tepat setelah nares, terdapat
area kulit yang dinamai vestibulum dan berlapis mengandung bulu hidung atau
vibrase. Permukaan medial tiap ruang lingkup dibentuk oleh septum nasi. Sisi
lateral tiap cavitas nasalis terdiri dari sejumlah struktur yang penting secara klinik.
Biasanya ada tiga konvolusi mukosa yang tegas yang dinamai concha. Fungsinya
untuk meningkatkan luas permukaan hidung dan dinamai menurut lokasinya;
inferior, medialis, superior dan suprema, diantara concha terdapat lekukan pada
dinding hidung (meatus) tempat berdrainase cavitas nasalis.

Gambar 1.2 Dinding Lateral Kavum Nasi

1.2. Vaskularisasi Hidung


Suplai darah kavum nasi berasal dari sistem karotis; arteri karotis eksterna
dan karotis interna. Arteri karotis eksterna memberikan suplai darah terbanyak
pada kavum nasi melalui :2

1. Arteri sphenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris yang berjalan


melalui foramen sphenopalatina yang memperdarahi septum tiga perempat
posterior dan dinding lateral hidung.
2. Arteri palatina desenden memberikan cabang arteri palatina mayor, yang
berjalan melalui kanalis incisivus palatum durum dan menyuplai bagian
inferoanterior septum nasi.
3. Sistem karotis interna melalui arteri oftalmika mempercabangkan arteri
etmoid anterior dan posterior yang mendarahi septum dan dinding lateral
superior.

Gambar 1.3 Anatomi vaskular yang memperdarahi septum nasal.


Semua pembuluh darah hidung saling berhubungan melalui anastomosis. Suatu
pleksus

vaskuler

disepanjang

bagian

anterior

septum

kartilaginosa

menggabungkan anastomosis ini dan dikenal sebagai Little Area atau Pleksus
Kiesselbech.
1.3. Definisi

Epistaksis berasal dari bahasa Yunani epistazo yang berarti hidung


berdarah. Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung yang merupakan gejala
atau manifestasi penyakit lain, penyebabnya bisa lokal atau sistemik. Perdarahan
bisa ringan sampai serius dan bila tidak segera ditolong dapat berakibat fatal.
Sumber perdarahan biasanya berasal dari bagian depan (anterior) atau bagian
belakang hidung (posterior).1,2
1.4. Epidemiologi
Epistaksis atau perdarahan hidung dilaporkan timbul pada 60% populasi
umum. Epistaksis sering ditemukan sehari-hari baik pada anak maupun pada usia
lanjut dan 90% epistaksis dapat berhenti sendiri (spontan) atau dengan tindakan
sederhana yang dilakukan oleh pasien sendiri dengan cara menekan hidungnya
tanpa memerlukan bantuan medis. Puncak kejadian dari epistaksis didapatkan
berupa dua puncak (bimodal) yaitu pada usia <10 tahun dan >50 tahun. Epistaksis
jarang terjadi pada bayi, namun terdapat kecendrungan peningkatan insiden
seiring pertambahan usia.2,4,5
Epistaksis anterior lebih sering terjadi pada anak-anak dan dewasa muda,
sedangkan epistaksis posterior lebih sering terjadi pada usia yang lebih tua,
terutama

pada

laki-laki

dekade

50

dengan

penyakit

hipertensi

dan

arteriosklerosis.2,4,5
Epistaksis lebih sering terjadi pada musim dingin. Hal ini mungkin
disebabkan peningkatan kejadian infeksi pernafasan atas dan udara yang lebih
kering akibat pemakaian pemanas dan kelembaban lingkungan yang rendah.
Epistaksis juga sering terjadi pada iklim yang panas dengan kelembaban yang
rendah. Pasien yang menderita alergi, inflamasi hidung, dan penyakit sinus lebih
rentan terjadi epistaksis karena mukosanya lebih mudah kering dan hiperemis
disebabkan reaksi inflamasi.2,4,5

1.5. Etiologi
Secara umum epistaksis dapat disebabkan oleh sebab-sebab lokal seperti
trauma, infeksi, neoplasma, kelainan kongenital dan bisa juga disebabkan oleh
keadaan umum atau kelainan sistemik seperti penyakit kardiovaskuler, kelainan
darah, infeksi, perubahan tekanan atmosfir dan gangguan endokrin .2,4
1. Lokal
a. Trauma
Epistaksis yang berhubungan dengan trauma biasanya karena
mengeluarkan sekret dengan kuat, bersin, mengorek hidung, atau trauma
seperti terpukul. Selain itu iritasi oleh gas yang merangsang dan trauma
pada pembedahan bisa juga menyebabkan epistaksis.
b. Infeksi
Infeksi hidung dan sinus paranasal, rhinitis, sinusitis, serta granuloma
spesifik seperti sifilis, lepra, dan lupus dapat menyebabkan epistaksis.
c. Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan
intermiten,

kadang-kadang

disertai

mukus

yang

bernoda

darah.

Hemangioma, karsinoma,dan angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis


berat.
d. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah
teleangiektasis hemoragik herediter (hereditary hemorrhagic teleangiectasis
Oslers Disease). Pasien ini juga menderita teleangiektasis di tangan, wajah,
atau bahkan di traktus gastrointestinal atau di pembuluh darah paru.
e. Sebab sebab lain termasuk benda asing dan perforasi septum

Perforasi septum dan benda asing hidung dapat menjadi predisposisi


perdarahan hidung. Bagian anterior septum nasi, bila mengalami deviasi
atau perforasi akan terpapar aliran udara pernafasan yang cenderung
mengerikan aliran sekresi hidung . Pembentukan krusta yang keras dan
usaha pelepasan krusta dengan jari dapat menimbulkan trauma. Pengeluaran
krusta berulang menyebabkan erosi membran mukosa septum yang
menyebabkan perdarahan.
2. Sistemik
a. Kelainan darah
Kelainan darah penyebab epistaksis, misalnya trombositopenia,
hemofilia dan leukemia. Obat-obatan seperti terapi antikoagulan, aspirin dan
fenilbutazon dapat pula mempredisposisi epistaksis berulang.
b. Penyakit kardiovaskular
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada arteriosklerosis,
nefritis kronis, sirosis hepatis, sifilis, diabetes melitus dapat menyebabkan
epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi biasanya hebat, sering kambuh dan
prognosinya kurang baik.
Menurut Herkner dkk, ada dua hipotesis yang menerangkan kenapa
epistaksi dapat terjadi pada pasien-pasien dengan hipertensi, yaitu:
a. Pasien dengan hipertensi yang lama memiliki kerusakan pembuluh
darah yang kronis. Hal ini beresiko terjadi epistaksis terutama pada
kenaikan tekanan darah yang abnormal.
b. Pasien epistaksis dengan hipertensi cenderung mengalami perdarahan
berulang pada bagian hidng yang kaya dengan persarafan autonom
yaitu bagian pertengahan posterior dari bagian antara konka media
dan inferior.

Hubungan antara hipertensi dan epistaksis masih kontroversial.


Hedges (1969), seperti dikutip dari Ibarashi, membandingkan pengaruh
hipertensi pada aliran darah di retina denga aliran darah hidung. Hasilnya
didapatkan pada aliran darah dalam retina didukung oleh tekanan dari
intraokuler. Sebaliknya, aliran darah di hidung, tidak ada tekanan
pendukung dari mukoperikondrium dan mukoperiostium. Inilah yang
mungkin menjelaskan pada pasien hipertensi dengan gejala epistaksis, tapi
tidak ada gejala perdarhan retina dan eksudat pada kelompok yang
diperiksa.6
Knopholz dkk mengatakan hipertensi tidak berhubungan dengan
beratnya epistaksis yang terjadi. Tetapi hipertensi terbukti dapat membuat
kerusakan yang berat pada pembuluh darah di hidung (terjadi proses
degenerasi perubahan jaringan fibrosa di tunika media) yang dalam jangka
waktu lama merupakan faktor risiko terjadinya epistaksis.6
Hipertensi pada kejadian epistaksi berhubungan juga dengan tingkat
kecemasan yang berhubungan dengan rawatan rumah sakit dan perdarahan
berulang

dan

teknik

invasif

yang

digunakan

dalam

mengontrol

perdarahan.6,7
c. Infeksi sistemik
Yang paling sering menyebabkan epistaksis adalah demam berdarah
dengue, selain itu juga morbili, demam tifoid dan influensa dapat juga
disertai adanya epistaksis.
d. Gangguan endokrin
Wanita hamil, menars dan menopause sering juga dapat menimbulkan
epistaksis.
e. Perubahan tekanan atmosfir

Contoh dalam hal ini adalah Caisson Disease (pada penyelam)

1.6. Patofisiologi
Menentukan sumber perdarahan amat penting, meskipun kadang-kadang
sukar ditanggulangi. Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan, yaitu dari
bagian anterior dan posterior.8,9,10
1

Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach, merupakan


sumber perdarahan paling sering dijumpai anak-anak. Dapat juga berasal
dari arteri ethmoid anterior. Perdarahan dapat berhenti sendiri (spontan)
dan dapat dikendalikan dengan tindakan sederhana.

Gambar 1.4 Epistaksis anterior 10


2

Epistaksis posterior, berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid


posterior. Perdarahan cenderung lebih berat dan jarang berhenti sendiri,
sehingga dapat menyebabkan anemia, hipovolemi dan syok. Sering
ditemukan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular8,9,10.

Gambar 1.5 Epistaksis posterior 10


1.7. Diagnosis
1.7.1

Anamnesis 11

Keluhan
a. Pasien datang dengan keluhan keluar darah dari hidung atau riwayat keluar
darah dari hidung.
b. Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan
belakang hidung. Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal
terjadinya perdarahan atau pada bagian hidung yang terbanyak mengeluarkan
darah.
c. Pada anamnesis harus ditanyakan secara spesifik mengenai banyaknya
perdarahan, frekuensi, lamanya perdarahan. Penting mendapatkan riwayat
trauma terperinci. Riwayat pengobatan (misal : aspirin) harus dicari. Riwayat
penyakit sistemik seperti riwayat alergi pada hidung, hipertensi, penyakit
gangguan pembekuan darah, riwayat perdarahan sebelumnya, dan riwayat
gangguan perdarahan dalam keluarga.
Faktor Risiko
a. Trauma.
b. Infeksi/alergi seperti: rhinitis, sinusitis.
c. Penyakit kardiovaskuler, hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada
aterosklerosis, nefritis kronik.
d. Riwayat penggunaan obat-obatan seperti koumarin, NSAID, aspirin, warfarin,
heparin, tiklodipin.
e. Riwayat pemakaian semprot hidung steroid jangka lama.

f. Tumor, baik jinak maupun ganas yang terjadi di hidung, sinus paranasal
maupun nasofaring.
g. Kelainan kongenital. Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis
ialah perdarahan telangiektasis heriditer (hereditary hemorrhagic
telangiectasia/Osler's disease).
h. Adanya deviasi septum.
i. Pengaruh lingkungan, misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi, tekanan
udara rendah atau lingkungan udaranya sangat kering.

1.7.2. Pemeriksaan Fisik


Perhatikan keadaan umum pasien, nadi, pernapasan, dan tekanan darahnya.
Jalan napas yang tersumbat oleh darah atau bekuan darah perlu dibersihkan atau
diisap. Pasien diperiksa dalam posisi duduk, biarkan darah mengalir keluar dari
hidung sehingga bisa dimonitor. Apabila pasien datang dengan keadaan lemah
sebaiknya setengah duduk atau berbaring dengan kepala ditinggikan. Harus
diperhatikan jangan sampai darah mengalir ke saluran napas bawah.1
Pasien anak duduk dipangku, badan dan tangan dipeluk, kepala dipegangi
agar tegak dan tidak bergerak-gerak.
Sumber perdarahan dicari untuk membersihkan hidung dari darah dan
bekuan darah dengan bantuan alat penghisap. Kemudian pasang tampon
sementara yaitu kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1/5000-1/10.000 dan
pantocain atau lidocain 2% dimasukkan ke dalam rongga hidung untuk
menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa nyeri. Tampon dibiarkan selama
10-15 menit. Setelah terjadi vasokonstriksi biasanya dapat dilihat apakah
perdarahan berasal dari bagian anterior atau posterior hidung.

Memeriksa rongga hidung bagian dalam dari depan disebut rinoskopi


anterior. Diperlukan spekulum hidung. Otoskop dapat digunakan terutama untuk
mencari benda asing. speculum dimasukkan ke dalam lubang hidung dengna hatihati dan dibuka setelah spekulum berada di dalam dan waktu mengeluarkannya
jangan ditutup dulu di dalam, supaya bulu hidung tidak terjepit. Vestibulum
hidung, septum terutama bagian anterior, konka inferior, konka media, konka
superior serta meatus sinus paranasal dan keadaan mukosa rongga hidung harus
diperhatikan.
Untuk melihat bagian belakang hidung dilakukan rinoskopi posterior
sekaligus melihat keadaan nasofaring. Diperlukan spatula lidah dan kaca
nasofaring yang telah dihangatkan dengan api lampu spiritus untuk mencegah
udara pernapasan mengembun pada kaca. Pada rinoskopi posterior dapat dinilai
bagian belakang septum dan koana. Selain itu dapat melihat konka superior, meia
dan konka inferior, serta meatus superior dan meatus media.
Mulai pemeriksaan dengan inspeksi, lihat secara spesifik mencari sumber
perdarahan yang jelas pada septum. Epistaksis posterior dicurigai, apabila (a)
sumber perdarahan anterior tidak ditemukan, (b) perdarahan keluar dari kedua
lubang hidung, (c) bila darah menetes secara konstan dalam faring posterior, (d)
tampon anterior gagal mengontrol perdarahan, (e) nyata dari pemeriksaan hidung
bahwa perdarahan terletak di posterior dan superior.

1.7.3. Pemeriksaan Penunjang


Pada sebagian besar kasus, pemeriksaan laboratorium tidak diperlukan
atau tidak membantu pada pasien yang pertama kali epistaksis atau jarang kambuh

dengan riwayat trauma pada hidung. Namun pemeriksaan penunjang dianjurkan


jika perdarahan banyak atau jika curiga adanya koagulopati.
Jika pasien memiliki riwayat perdarahan berat yang persisten, periksa
jumlah hematokrit. Jika terdapat riwayat epistaksis berulang, gangguan platelet,
atau neoplasia, dapat dilakukan pemeriksaan darah lengkap. Pemeriksaan waktu
perdarahan adalah tes skrining yang baik jika dicurigai gangguan pembekuan
darah.
CT scan atau MRI dapat diindikasikan untuk mengevaluasi anatomi untuk
pembedahan dan untuk menentukan lokasi serta luas rinosinusitis, benda asing,
dan neoplasma.
Nasofaringoskopi juga dapat digunakan apabila curiga tumor sebagai
penyebab perdarahan.

1.8. Tatalaksana11
Alat yang diperlukan
a. Lampu kepala
b. Rekam medis
c. Spekulum hidung
d. Alat penghisap (suction)
e. Pinset bayonet
f. Kaca rinoskopi posterior
g. Kapas dan kain kassa
h. Lidi kapas
i. Nelaton kateter
j. Benang kasur
k. Tensimeter dan stetoskop

Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis, yaitu menghentikan


perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis.
a. Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk
kecuali bila penderita sangat lemah atau keadaaan syok, pasien bisa berbaring
dengan kepala dimiringkan.
b. Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat
dihentikan dengan cara duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian cuping
hidung ditekan ke arah septum selama 3-5 menit (metode Trotter).
c. Bila perdarahan berhenti, dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat
pengisap (suction) dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret
maupun darah yang sudah membeku.
d. Bila perdarahan tidak berhenti, kapas dimasukkan ke dalam hidung yang
dibasahi dengan larutan anestesi lokal yaitu 2 cc larutan pantokain 2% atau 2
cc larutan lidokain 2% yang ditetesi 0,2 cc larutan adrenalin 1/1000. Hal ini
bertujuan untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi
pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti sementara untuk mencari
sumber perdarahan. Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam hidung
dikeluarkan dan dilakukan evaluasi.
e. Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan jelas,
dilakukan kaustik dengan lidi kapas yang dibasahi larutan nitrasargenti 20 30% atau asam trikloroasetat 10%. Sesudahnya area tersebut diberi salep untuk
mukosa dengan antibiotik.
f. Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus berlangsung, diperlukan
pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin
yang dicampur betadin atau zat antibiotika. Dapat juga dipakai tampon rol yang
dibuat dari kasa sehingga menyerupai pita dengan lebar kurang cm,

diletakkan berlapis-lapis mulai dari dasar sampai ke puncak rongga hidung.


Tampon yang dipasang harus menekan tempat asal perdarahan dan dapat
dipertahankan selama 2 x 24 jam. Selama 2 hari dilakukan pemeriksaan
penunjang untuk mencari faktor penyebab epistaksis. Selama pemakaian
tampon, diberikan antibiotik sistemik dan analgetik.
g. Untuk perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon posterior, yang
disebut tampon Bellocq. Tampon ini terbuat dari kasa padat berbentuk bulat
atau kubus berdiameter kira-kira 3 cm. Pada tampon ini terdapat 3 buah
benang, yaitu 2 buah pada satu sisi dan sebuah pada sisi lainnya. Tampon harus
dapat menutupi koana (nares posterior). Teknik pemasangan tampon posterior,
yaitu:
1. Masukkan kateter karet melalui kedua nares anterior sampai tampak di
orofaring, lalu tarik keluar melalui mulut.
2. Kaitkan kedua ujung kateter masing-masing pada 2 buah benang tampon
Bellocq, kemudian tarik kembali kateter itu melalui hidung.
3. Tarik kedua ujung benang yang sudah keluar melalui nares anterior dengan
bantuan jari telunjuk, dorong tampon ke nasofaring. Jika dianggap perlu,
jika masih tampak perdarahan keluar dari rongga hidung, maka dapat pula
dimasukkan tampon anterior ke dalam cavum nasi.
4. Ikat kedua benang yang keluar dari nares anterior pada sebuah gulungan
kain kasa di depan lubang hidung, supaya tampon yang terletak di
nasofaring tidak bergerak. \
5. Lekatkan benang yang terdapat di rongga mulut dan terikat pada sisi lain
dari tampon Bellocq pada pipi pasien. Gunanya adalah untuk menarik
tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari.

6. Berikan juga obat hemostatik selain dari tindakan penghentian perdarahan


itu.

Rencana Tindak Lanjut


Pasien yang dilakukan pemasangan tampon perlu tindak lanjut untuk
mengeluarkan tampon dan mencari tahu penyebab epistaksis.

Konseling dan Edukasi


Memberitahu individu dan keluarga untuk:
1. Mengidentifikasi penyebab epistaksis, karena hal ini adalah gejala suatu
penyakit sehingga dapat mencegah timbulnya kembali epistaksis.
2. Mengontrol tekanan darah pada penderita dengan hipertensi.
3. Menghindari membuang lendir melalui hidung terlalu keras.
4. Menghindari memasukkan benda keras ke dalam hidung, termasuk jari
sehingga dibutuhkan pengawasan yang lebih ketat pada pasien anak.
5. Membatasi penggunaan obat-obatan yang dapat meningkatkan perdarahan
seperti aspirin atau ibuprofen.

Kriteria Rujukan
a. Pasien dengan epistaksis yang curiga akibat tumor di rongga hidung atau
nasofaring.
b. Epistaksis yang terus berulang.

1.9. Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksisnya sendiri atau
sebagai akibat dari usaha penanggulangan epistaksis. Akibat perdarahan yang

hebat dapar terjadi aspirasi darah kedalam saluran napas bawah, juga dapat
menyebabkan syok, anemia, dan gagal ginjal. Turunnya tekanan darah secara
mendadak dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri, insufisiensi
koroner sampai infark miokard sehingga dapat menyebabkan kematian. Dalam hal
ini pemberian infuse atau transfuse darah harus dilakukan secepatnya. Akibat
pembuluh darah yang terbuka dapat terjadi infeksi, sehingga perlu diberikan
antibiotic.1
Pemasangan tampon dapat menyebabkan rinosinusitis, otitis media,
septicemia, atau toxic shock syndrome. Oleh karena itu, harus selalu diberikan
antibiotic pada setiap pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon
harus dicabut. Bila perdarahan masih berlanjut dipasang tampon baru. Selain itu
dapat terjadi hemotimpanum sebagai akibat mengalirnya darah melalui tuba
eustachius, dan airmata berdarah akibat mengalirnya darah secara retrograde
melalui duktus nasolacrimalis.1
Pemasangan tampon posterior (tampon bellocq) dapat menyebabkan
laserasi palatum molle atau sudut bibir, jika benang yang keluar dari mulut terlalu
ketat dilekatkan pada pipi. Kateter balon atau tampon balon tidak boleh dipompa
terlalu keras karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa hidung atau septum.1

1.10. Prognosis
Secara umum prognosis epistaksis baik. dengan penanganan yang adekuat
dan masalah yang mendasari epistaksis teratasi, kebanyakan pasien tidak
mengalami perdarahan yang berulang. Sebagian kecil pasien bisa mengalami
kekambuhan yang hilang secara spontan atau dapat sembuh dengan pengobatan
sendiri. Sebagian kecil pasien mungkin perlu pengobatan yang agresif. 12

Follow up
Kamis, 11 Juni 2015
S/ O/

Keluar darah dari hidung dan mulut (+)


Demam (-)
Sakit kepala (-)
Batuk pilek (-)
Nafsu makan (+)
Keadaan umum

: sakit sedang

Kesadaran

: compos mentis cooperative

Tekanan darah

:140/80 mmHg

Nadi

: 82 x/menit

Nafas

: 120 x/menit

Status Lokalis
Hidung

: Terpasang tampon anterior kavum nasi dextra

A/

Epistaksis e.c Hipertensi grade II

P/

1. Awasi vital sign dan tanda tanda perdarahan


2. Terapi
-

Ceftriaxone inj ( skin test) 2x1 gr iv

Tramadol drip 2x 80 mg iv

Vitamin K 3x 1 amp iv

Vitamin C 3 x 1 amp iv

Transamin 3 x 1 amp iv

Ranitidin inj 2 x 1 amp iv

3. Diet makanan cair bila bising usus (+) normal


4. Posisi tidur miring ke salah satu sisi

Jumat, 12 Juni 2015


S/ O/

Keluar darah dari hidung dan mulut (+)


Demam (-)
Sakit kepala (-)
Batuk pilek (-)
Nafsu makan (+)
Keadaan umum

: sakit sedang

Kesadaran

: compos mentis cooperative

Tekanan darah

:140/80 mmHg

Nadi

: 82 x/menit

Nafas

: 120 x/menit

Status Lokalis
Hidung

: Terpasang tampon anterior kavum nasi dextra

A/

Epistaksis e.c Hipertensi grade II

P/

1. Awasi vital sign dan tanda tanda perdarahan


2. Terapi
-

Ceftriaxone inj ( skin test) 2x1 gr iv

Tramadol drip 2x 80 mg iv

Vitamin K 3x 1 amp iv

Vitamin C 3 x 1 amp iv

Transamin 3 x 1 amp iv

Ranitidin inj 2 x 1 amp iv

3. Diet makanan cair bila bising usus (+) normal


4. Posisi tidur miring ke salah satu sisi

Sabtu, 13 Juni 2015


S/ O/

Keluar darah dari hidung dan mulut (+)


Demam (-)
Sakit kepala (-)
Batuk pilek (-)
Nafsu makan (+)
Keadaan umum

: sakit sedang

Kesadaran

: compos mentis cooperative

Tekanan darah

:140/80 mmHg

Nadi

: 82 x/menit

Nafas

: 120 x/menit

Status Lokalis
Hidung

: Terpasang tampon anterior kavum nasi dextra

A/

Epistaksis e.c Hipertensi grade II

P/

1. Awasi vital sign dan tanda tanda perdarahan


2. Terapi
-

Ceftriaxone inj ( skin test) 2x1 gr iv

Tramadol drip 2x 80 mg iv

Vitamin K 3x 1 amp iv

Vitamin C 3 x 1 amp iv

Transamin 3 x 1 amp iv

Ranitidin inj 2 x 1 amp iv

3. Diet makanan cair bila bising usus (+) normal


4. Posisi tidur miring ke salah satu sisi

Minggu, 14 Juni 2015


S/ O/

Keluar darah dari hidung dan mulut (+)


Demam (-)
Sakit kepala (-)
Batuk pilek (-)
Nafsu makan (+)
Keadaan umum

: sakit sedang

Kesadaran

: compos mentis cooperative

Tekanan darah

:140/80 mmHg

Nadi

: 82 x/menit

Nafas

: 120 x/menit

Status Lokalis
Hidung

: Terpasang tampon anterior kavum nasi dextra

A/

Epistaksis e.c Hipertensi grade II

P/

1. Awasi vital sign dan tanda tanda perdarahan


2. Terapi
-

Ceftriaxone inj ( skin test) 2x1 gr iv

Tramadol drip 2x 80 mg iv

Vitamin K 3x 1 amp iv

Vitamin C 3 x 1 amp iv

Transamin 3 x 1 amp iv

Ranitidin inj 2 x 1 amp iv

3. Diet makanan cair bila bising usus (+) normal


4. Posisi tidur miring ke salah satu sisi

Senin, 15 Juni 2015


S/ O/

Keluar darah dari hidung dan mulut (+)


Demam (-)
Sakit kepala (-)
Batuk pilek (-)
Nafsu makan (+)
Keadaan umum

: sakit sedang

Kesadaran

: compos mentis cooperative

Tekanan darah

:140/80 mmHg

Nadi

: 82 x/menit

Nafas

: 120 x/menit

Status Lokalis
Hidung

: Terpasang tampon anterior kavum nasi dextra

A/

Epistaksis e.c Hipertensi grade II

P/

1. Awasi vital sign dan tanda tanda perdarahan


2. Terapi
-

Ceftriaxone inj ( skin test) 2x1 gr iv

Tramadol drip 2x 80 mg iv

Vitamin K 3x 1 amp iv

Vitamin C 3 x 1 amp iv

Transamin 3 x 1 amp iv

Ranitidin inj 2 x 1 amp iv

3. Diet makanan cair bila bising usus (+) normal


4. Posisi tidur miring ke salah satu sisi

DAFTAR PUSTAKA

1.

Soetjipto D, Mangunkusumo E, Wardini RS. Hidung. Buku Ajar Kesehatan


Telinga Hidung Tenggorokan kepala dan Leher. Balai penerbit FKUI, Jakarta;
2012

2.

Ikhsan

M, 2001. Cermin Dunia Kedokteran. Diakses dari: http

://www.kalbe.co.id/files/15

Penatalaksanaan

Epistaksis.pdf/15

Penatalaksanaan Epistaksis.html. Tanggal akses 24 Desember 2008, pukul


13.30 WIB.
3.

Nwaorgu OGB. Epistaxis: An Overview. Annals of Ibadan Postgraduate Medicine


2004; 1(2): 32-7.

4.

Mangunkusumo E, 2007. Perdarahan Hidung dan Gangguan Penghidu. In:


Soepardi EA, Iskandar N editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher. 6 th ed. Jakarta : Balai Penerbit FK-UI.

5.

Anto,

2007.

Epistaxis.

RCH

CPG.

Diakses

dari

http://

www.rch.org.au/clinicalguide/cpg.cmf?doc_id=97 49. Tanggal akses : 24


Desember 2008, pukul 13.40
6.

Gleeson M. J and Clarke R.C.2008. Scott-Browns Otorhinolaryngology:


Head and Neck Surgery. 7th ed.

7.

Budiman B. J dan Yolazenia. 2015. Epistaksis Berulang dengan Rinosinusitis


Kronik, Spina pada Septum dan Telangiektasis. Bagian Telinga Hidung
Tenggorok Bedah Kepala Leher. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas:
Padang.

8.

Schlosser RJ. Epistaxis. New England Journal Of Medicine [serial online]


2009

feb

19

[cited

2009

feb

28]

Available

from:

http://content.nejm.org/cgi/content/full/360/8/784
9.

Suryowati E. Epistaksis. Medical Study Club FKUII [cited 2009 Mar 1]


Available

from:

http://fkuii.org/tiki-download_wiki_attachment.php?

attId=2175&page=LEM%20FK%20UII

10. Anias CR. Epistaxis. Otorrhinolaryngology [serial online] cited 2009 Mar 4
Available from :http://www.medstudents.com.br/otor/otor3.htm
11. Menkes RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
2014 tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer
12. Nguyen QA. Epistaxis Clinical Presentation [serial online] 2015 (diunduh 6
Juni

2015).

Tersedia

dari:

URL:

http://emedicine.medscape.com/article/863220-overview

HYPERLINK

Anda mungkin juga menyukai