Oleh:
Afifah Rahmi
240110120043
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu komoditas nasional
andalan dan berperan penting perekonomian Indonesia karena perkebunan kakao
dapat menjadi lapangan kerja, sumber pendapatan petani dan sumber devisa
negara disamping berkembanganya agrobisnis dan agroindustri kakao. Sentra
kakao terbesar di Indoenesia yaitu di Pulau Sulawesi sebesar 62,3%, di Sumatera
sebesar 17,3%, di Jawa sebesar 5,6%, di Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara
Barat dan Bali sebesar 4,1%, di Kalimantan sebesar 3,7%, dan di Maluku serta
Papua sebesar 7,0% (Muis, Mahdonna, 2009).
Indonesia merupakan produsen kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai
Gading dan Ghana dengan luas areal 1.462.000 ha. Produksi kakao di Indonesia
mencapai 1.315.800 ton per tahun atau setara dengan 15% dari produksi kakao
dunia (Karmawati et al., dalam Litbang Yogyakarta, 2010).
Kakao di Sumatera Barat merupakan komoditas ekspor ketiga setelah kelapa
sawit dan karet. Pemeritah dan masyarakat bertekad menjadikan Sumatera Barat
sebagai sentra produksi kakao di Kawasan Indonesia Barat (KIB). Perkembangan
luas tanam kakao dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Pada tahun
2004 luas kakao hanya 13.197 ha dan akhir tahun 2010 sudah mencapai 101.014
ha (Dinas Perkebunan Sumatera Barat, 2010).
Salah satu sentra produksi kakao di Sumatera Barat adalah Kotamadya
Payakumbuh. Secara geografis berada pada 0o10-0o17 LS dan 100o 100o42 BT
dengan curah hujan rata-rata 2000-2500 mm/tahun. Keadaan topografi bervariasi
antara dataran dan bukit sera kondisi tanah yang relatif subur dengan jenis tanah
Latosol. Ketinggian tempat 514 mdpl, suhu rata-rata 26oC dengan tingkat
kelembaban 45-50%. Pada tahun 2008, produksi kakao di Kotamadya
Payakumbuh sebesar 172 ton dengan luas lahan 287 ha (Dinas Pertanian Kota
Payakumbuh, 2010).
Hingga Desember 2013, luas lahan kakao di Payakumbuh berjumlah sekitar
1.130 ha. Dari 1.130 ha tanaman kakao miliki masyarakat, sebanyak 920 ha
diantaranya sudah menghasilkan dengan total produksi 552 ton per tahun. Luas
areal terbesar berada di Kecamatan Payakumbuh Selatan seluas 417 ha dan luas
terkecil berada did Payakumbuh Utara seluas 111 ha (Morena, N, 2014).
penghasil kakao dunia setelah Pantai Gading dan Ghana dengan luas areal
1.462.000 ha dan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir areal perkebunannya
meningkat pesat dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 8% per tahun (Karmawati
et al., 2010 dalam Utami, 2012). Kakao Indonesia mampu menyumbangkan
devisa bagi negara sebesar US$ 668 juta per tahun atau nomor tiga dari sektor
pertanian setelah kelapa sawit dan karet.
Biji kakao Indonesia menjadi salah satu komoditi perdagangan yang
menghasilkan devisa bagi negara. Selain itu, kakao Indonesia juga mempunyai
keunggulan yaitu mempunyai titik leleh tinggi, mengandung lemak coklat dan
dapat menghasilkan bubuk kakao dengan mutu yang baik. Mutu produk akhir
kakao, seperti aspek fisik, cita rasa, kebersihan serta aspek keseragaman sangat
ditentukan oleh perlakuan pada setiap tahapan proses produksinya. Pada proses ini
terjadi pembentukan calon citarasa khas kakao dan pengurangan cita rasa yang
tidak dikehendaki, misalnya rasa pahit dan sepat. Mutu biji kakao juga menjadi
bahan perhatian oleh konsumen, dikarenakan biji kakao digunakan sebagai bahan
baku makanan atau minuman.
Produksi biji kakao Indonesia secara signifikan terus meningkat, namun mutu
yang dihasilkan sangatrendah dan beragam. Keberagaman mutu biji
kakaoIndonesia disebabkan oleh beberapa faktor, sepertiminimnya sarana
pengolahan, lemahnya pengawasanmutu pada seluruh tahapan proses pengolahan
biji kakao rakyat, serta pengelolaan biji kakao yang masihtradisional (85% biji
kakao produksi nasional tidakdifermentasi). Kemampuan Indonesia sebagai
negaraprodusen kakao tidak diimbangi dengan kemampuanmengolahnya.
Indonesia hanya mampu menyediakanbahan baku bagi industri negara lain,
sedangkan
industri pengolahan di dalam negeri masih mengimporbahan olah dari luar, hal ini
kurang menguntungkan bagi agroindustri dalam negeri (Utami, 2012).
berat biji per 100 gram. Menurut jenis tanaman kakao,biji kakao digolongkan
menjadi dua, yaitu biji mulia (bijikakao yang berasal dari tanaman kakao jenis
Criolo atauTrinitario serta hasil persilangannya dan biji kakaolindak (biji kakao
yang berasal dari tanaman kakaojenis Forastero) (BSN, 2008 dalam Utami,
2012).
Biji kakao kering menurut persyaratan mutunya,terbagi menjadi 3 kelas, yaitu
mutu kelas I, II, dan III,dengan ketentuan telah memenuhi persyaratan umumdan
khusus. Persyaratan umum dan khusus biji kakaokering tercantum dalam Tabel 1
dan Tabel 2.
Tabel 1. Persyaratan Umum Biji Kakao Menurut SNI 01-2323-2008
Cara Fermentasi :
- Siapkan perlengkapan fermentasi biji kakao, seperti :timbangan, kotak
fermentasi berjenjang, bagor/karung goni/daun pisang.
- Timbang biji kakao baik sesuai dengan kapasitaskotak fermentasi (minimal 40
kg)
- Masukkan biji kakao baik kedalam kotak fermentasihingga mencapai 10 cm dari
mulut kotak
- Tutup biji kakao dalam kotak dengan bagor/karunggoni/daun pisang.
- Peram biji kakao selama 5 hari untuk biji kakaolindak dan 3 hari untuk biji
kakao mulia. Pengadukanpertama biji kakao pada saat pemeraman, dilakukan
setelah 48 jam pemeraman dan diulang setelah duahari. Hal ini untuk
menghomogenisasikan fermentasibiji kakao.
2.5 Perendaman dan Pencucian
Kegiatan perendaman bertujuan untuk menghentikan aktivitas fermentasi,
dapat mengurangikadar asam asetat yang terdapat dalam biji dan
menaikkan persentase biji bulat. Perendamansebaiknya dilakukan selama 2-3 jam,
lebih dari itu tidakmemberikan perbedaan yang nyata. Sedangkanpencucian
bertujuan untuk menghilangkan sisa pulpyang masih menempel, sehingga
meminimalisirserangan jamur dan hama pada biji kakao kering selama
penyimpanan dan memperbaiki warna dankenampakan biji kering menjadi lebih
bersih.
Kegiatan perendaman dan pencucian kakao hasil fermentasi juga berpotensi
memiliki pengaruhkurang baik diantaranya berat masa biji kakaoberkurang
(4,5%), karena beberapa senyawa darikeping biji keluar, persentase biji pecah
menjadi lebihbesar, kulit biji menjadi lemah dan membutuhkantenaga dan air
lebih banyak. Oleh karena itu, kegiatanini baik dilakukan untuk hasil akhir yang
lebih baik,apabila harga biji kakao kering telah memadai denganbiaya proses
produksinya.
III. PENERAPAN ALSINTAN
Penerapan mesin kotak fermentasi ini belum ada di kota Payakumbuh. Proses
fermentasi, perendaman dan pencucian semuanyadilakukan secara manual dan
tradisional. Proses fermentasi dilakukan dengan menyimpan biji kakao di dalam
karung goni tanpa adanya proses pengadukan. Perendaman dan pencucian juga
dilakukan secara manual pada ember-ember.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2012. I. PENDAHULUAN. Terdapat pada:
http://repository.unand.ac.id/22337/3/bab%201.pdf
Morena, N. 2014. Jadikan Payakumbuh Sentra Kakao Sumatera Barat. Terdapat
pada: http://payakumbuhkota.go.id/2014/01/17/jadikan-payakumbuhsentra-kakao-sumatra-barat/
Utami, R, dkk. 2012. Teknologi Pengolahan Biji Kakao Menuju SNI Biji Kakao
01-2323-2008. Terdapat pada:
http://yogya.litbang.pertanian.go.id/ind/phocadownload/Teknologi
%20Pengolahan%20Biji%20Kakao%20Menuju%20SNI%20Kakao.pdf