Anda di halaman 1dari 32

PendapatanNasionalNegaraNegaraKawasanASEAN2011

1. Indonesia
2. Thailand
3. Malaysia
4. Philippines
5. Vietnam
6. Singapura
7. Myanmar
8. Kamboja
9. Brunei Darussalam
1 Laos
0.
1 Timor Leste
1.

US$
1,057,563,929,760
US$
560,632,715,289
US$
343,498,804,646
US$
321,250,321,325
US$
308,018,454,550
US$
249,208,127,534
US$
53,229,364,216
US$
27,876,096,206
US$
17,239,847,200
US$
13,712,909,475
US$
1,936,578,800

Pendapatan per Kapita Negara ASEAN Tahun 2010 & 2011


International Monetary Fund (2010)
No
.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Negara
Singapore
Brunei
Malaysia
Thailand
Indonesia
Philippines
Vietnam
Laos
Myanmar
Kamboja

Pendapatan
Perkapita
US$ 41,122
US$ 33,000
US$ 8,373
US$ 4,608
US$ 2,946
US$ 2,140
US$ 1,224
US$ 1,177
US$ 800
US$ 795

International Monetary Fund (2011)

No
.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Negara
Singapore
Brunei
Malaysia
Thailand
Indonesia
Philippines
Vietnam
Laos
Myanmar
Kamboja

Pendapatan
Perkapita
US$ 50,714
US$ 36,521
US$ 8,617
US$ 5,281
US$ 3,469
US$ 2,255
US$ 1,362
US$ 1,204
US$ 804
US$ 912

Asal Mula Kota Cianjur


Cerita dari Tanah Pasundan, Jawa Barat
Konon, di suatu daerah di Jawa Barat, sekitar daerah Cianjur, hiduplah
seorang lelaki yang kaya raya. Kekayaannya meliputi seluruh sawah dan
ladang yang ada di desanya. Penduduk hanya menjadi buruh tani yang
menggarap sawah dan ladang lelaki kaya tersebut. Sayang, dengan
kekayaannya, lelaki tersebut menjadi orang yang sangat susah menolong,
tidak mau memberi barang sedikitpun, sehingga warga sekelilingnya
memanggilnya dengan sebutan Pak Kikir. Sedemikian kikirnya, bahkan
terhadap anak lelakinya sekalipun.
Di luar sepengetahuan ayahnya, anak Pak Kikir yang berperangai baik hati
sering menolong orang yang membutuhkan pertolongannya.
Salah satu kebiasaan di daerah tersebut adalah mengadakan pesta
syukuran, dengan harapan bahwa panen di musim berikutnya akan
menjadi lebih baik dari panen sebelumnya. Karena ketakutan semata, Pak
Kikir mengadakan pesta dengan mengundang para tetangganya.
Tetangga Pak Kikir yang diundang berharap akan mendapat jamuan
makan dan minum yang menyenangkan. Akan tetapi mereka hanya bisa
mengelus dada manakala jamuan yang disediakan Pak Kikir hanya ala
kadarnya saja, dengan jumlah yang tidak mencukupi sehingga banyak
undangan yang tidak dapat menikmati jamuan. Diantara mereka ada
yang mengeluh,Mengundang tamu datang ke pesta, tapi jamuannya
tidak mencukupi! sungguh kikir orang itu. Bahkan ada yang mendoakan
yang tidak baik kepada Pak Kikir karena kekikirannya tersebut.
Di tengah-tengah pesta, datanglah seorang nenek tua renta, yang
langsung meminta sedekah kepada Pak Kikir. Tuan, berilah saya sedekah

dari harta tuan yang berlimpah ini, kata sang nenek dengan terbatabata. Bukannya memberi, Pak Kikir malah menghardik nenek tersebut
dengan ucapan yang menyakitkan hati, bahkan mengusirnya.
Dengan menahan sakit hati yang sangat mendalam, nenek tersebut
akhirnya meninggalkan tempat pesta yang diadakan Pak Kikir. Sementara
itu, karena tidak tega menyaksikan kelakuan ayahnya, anak Pak Kikir
mengambil makanan dan membungkusnya. Kemudian dengan sembunyisembunyi dia mengikuti si nenek tersebut hingga di ujung desa. Makanan
tersebut diserahkannya kepada sang nenek.
Mendapatkan makanan yang sedemikian diharapkannya, sang nenekpun
memakannya dengan lahap. Selesai makan, dia mengucapkan terima
kasih dan mendoakan anak Pak Kikir agar menjadi orang yang hidup
dengan kemuliaan. Kemudian dia melanjutkan perjalanannya hingga
tibalah di salahsatu bukit yang dekat dengan desa tersebut.
Dari atas bukit, dia menyaksikan satu-satunya rumah yang paling besar
dan megah adalah rumah Pak Kikir. Mengingat apa yang dialaminya
sebelumnya, maka kemarahan sang nenek kembali muncul, sekali lagi dia
mengucapkan doa agar Pak Kikir yang serakah dan kikir itu mendapat
balasan yang setimpal. Kemudian dia menancapkan tongkat yang sejak
tadi dibawanya, ke tanah tempat dia berdiri, kemudian dicabutnya lagi
tongkat tersebut. Aneh bin ajaib, dari tempat ditancapkannya tongkat
tersbut kemudian mencarlah air yang semakin lama semakin besar dan
banyak, dan mengalir tepat ke arah desa Pak Kikir.
Menyaksikan datangnya air yang seperti air bah, beberapa warga desa
yang kebetulan berada dekat dengan bukitpun berteriak saling
bersahutan mengingatkan warga desa, banjir!!!
Penduduk desa kemudian menjadi panik, dan saling berserabutan ke sana
ke mari. Ada yang segera mengambil harta yang dimilikinya, ada yang
segera mencari dan mengajak sanak keluarganya untuk mengamankan
diri. Melihat kepanikan tersebut, anak Pak Kikir segera menganjurkan
para penduduk untuk segera meninggalkan rumah mereka. Cepat
tinggalkan desa ini, larilah ke atas bukit yang aman katanya
memerintahkan. Dia menyuruh warga untuk meninggalkan segala harta
sawah dan ternak mereka untuk lebih mengutamakan keselamatan jiwa
masing-masing.

Sementara itu, Pak Kikir yang sangat menyayangi hartanya tidak mau
begitu saja pergi ke bukit sebagaimana anjuran anaknya. Di berpikir
bahwa apa yang dimilikinya bisa menyelematkannya. Dia tidak mau diajak
pergi, walau air semakin naik dan menenggelamkan segala apa yang ada
di desa tersebut. Ajakan anaknya untuk segera pergi dibalas dengan
bentakan dan makian yang sungguh tidak enak didengar. Akhirnya anak
Pak Kikir meninggalkan ayahnya yang sudah tidak bisa dibujuk lagi.
Warga yang selamat sungguh bersedih meliaht desanya yang hilang bak
ditelan air banjir. Tetapi mereka bersyukur karena masih selamat.
Kemudian bersama-sama mereka mencari tempat tinggal baru yang
aman. Atas jasa-jasanya, anak Pak Kikirpun diangkat menjadi pemimpin
mereka yang baru.
Dengan dipimpin pemimpin barunya, warga bersepakat untuk membagi
tanah di daerah baru tersebut untuk digarap masing-masing. Anak Pak
Kikirpun mengajarkan mereka menanam padi dan bagaimana caranya
menggarap sawah yang kemudian dijadikan sawah tersebut. Warga selalu
menuruti anjuran pemimpin mereka, sehingga daerah ini kemudian
dinamakan Desa Anjuran.
Desa yang kemudian berkembang menjadi kota kecil inipun kemudian
dikenal sebagai Kota Cianjur.

CINDUA MATO
Cerita dari Sumatera Barat
Pada zaman dahulu kala hiduplah seorang ratu bernama Bundo
Kanduang, yang konon diciptakan bersamaan dengan alam semesta ini
(samo tajadi jo alamko). Dia adalah timpalan Raja Rum, Raja Tiongkok
dan Raja dari Laut. Suatu hari Bundo Kanduang menyuruh Kembang
Bendahari, seorang dayangnya yang setia, untuk membangunkan
putranya Dang Tuanku, yang sedang tidur di anjungan istana. Kembang
Bendahari menolak, karena Dang Tuanku adalah Raja Alam, orang yang
sakti. Bundo Kanduang lalu membangunkan sendiri Dang Tuanku, dan
berkata bahwa Bendahara sedang mengadakan gelanggang di nagarinya
Sungai Tarab, untuk memilih suami buat putrinya. Karena gelanggang
tersebut akan dikunjungi banyak pangeran, marah dan sutan, dan putraputra orang-orang terpandang, Dang Tuanku dan Cindua Mato seharusnya
ikut serta di dalamnya. Bundo Kanduang memerintahkan Dang Tuanku
untuk menanyakan apakah Bendahara akan menerima Cindua Mato
sebagai suami dari putrinya, Puti Lenggo Geni. Setelah menerima
pengajaran tentang adat Minangkabau dari Bundo Kanduang, Dang
Tuanku, Cindua Mato dan para pengiringnya berangkat ke Sungai Tarab.
Di Sungai Tarab mereka disambut oleh Bendahara. Dang Tuanku bertanya
apakah Bendahara bersedia menerima Cindua Mato yang bodoh dan
miskin sebagai menantunya. Sebenarnya Cindua Mato adalah calon

menantu ideal, dan karena itu lamaran tersebut diterima. Dang Tuanku
kemudian berbincang-bincang dengan Bendahara, yang merupakan ahli
adat di dalam Basa Ampek Balai, membahas adat Minangkabau dan
apakah telah terjadi perubahan dari adat nenek moyang. Menurut
Bendahara prinsip-prinsip yang diwariskan dari perumus adat Datuk
Ketemanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang tetap tak berubah.
Sementara itu Cindua Mato mendengar pergunjingan di pasar bahwa Puti
Bungsu, tunangan Dang Tuanku, akan dinikahkan dengan Imbang Jayo,
Raja Sungai Ngiang, sebuah negeri di rantau timur Minangkabau. Menurut
kabar itu, di sana tersebar berita bahwa Dang Tuanku diasingkan karena
menderita penyakit. Puti Bungsu adalah putri Rajo Mudo, saudara Bundo
Kanduang, yang memerintah sebagai wakil Pagaruyung di Ranah Sikalawi,
tetangga Sungai Ngiang. Ketika menemukan bahwa cerita ini disebarkan
oleh kaki tangan Imbang Jayo, Cindua Mato bergegas mendesak Dang
Tuanku untuk meminta permisi pada Bendahara dan kembali ke
Pagaruyung. Gunjingan seperti itu adalah hinaan kepada Raja Alam.
Di Pagaruyung Cindua Mato menceritakan Dang Tuanku dan Bundo
Kanduang apa yang didengarnya di pasar. Bundo Kanduang naik pitam,
namun sebelum bertindak dia mesti berunding dulu dengan Basa Ampek
Balai. Dalam rapat-rapat berikutnya para menteri tersebut berusaha
menengahi Bundo Kanduang pada satu pihak, yang tak dapat menerima
hinaan dari saudaranya, dan Dang Tuanku beserta Cindua Mato pada
pihak lain, yang menganjurkan kesabaran. Pertemuan tersebut berakhir
dengan kesepakatan bahwa Cindua Mato akan berangkat sebagai utusan
Bundo Kanduang dan Dang Tuanku ke Sikalawi, dengan membawa
Sibinuang, seekor kerbau sakti, sebagai mas kimpoi untuk Puti Bungsu.
Dengan menunggang kuda sakti, Si Gumarang, dan ditemani kerbau
sakti, Si Binuang, Cindua Mato berjalan menuju Ranah Sikalawi. Di
perbatasan sebelah timur, di dekat Bukit Tambun Tulang, dia menemukan
tengkorak-tengkorak berserakan. Setelah membacakan jampi-jampi, dan
berkat tuah Dang Tuanku, tengkorak-tengkorak tersebut mampu
menceritakan kisah mereka. Mereka sebelumnya adalah para pedagang
yang bepergian melalui bukit Tambun Tulang dan dibunuh para
penyamun. Mereka mendesak Cindua Mato untuk berbalik dan kembali,
namun Cindua Mato menolak. Tak lama sesudahnya para penyamun
menyerang, namun dengan bantuan Si Binuang, ia berhasil mengalahkan
mereka. Para penyamun tersebut mengaku bahwa Imbang Jayo, raja
Sungai Ngiang, mempekerjakan mereka tak hanya buat memperkaya

dirinya, tetapi juga untuk memutus hubungan antara Pagaruyung dan


Rantau Timur, dan dengan demikian melempangkan rencananya untuk
mengawini Puti Bungsu.
Kedatangan Cindua Mato menggembirakan keluarga Rajo Mudo, yang
berduka mendengar kabar penyakit Dang Tuanku. Kehadiran Cindua Mato
dianggap sebagai pertanda restu Bundo Kanduang atas perkimpoian yang
hendak dilangsungkan.
Dengan berpura-pura kesurupan Cindua Mato berhasil bertemu empat
mata dengan Puti Bungsu tanpa memancing kecurigaan keluarga Rajo
Mudo. Mereka percaya hanya Puti Bungsu saja yang mampu
menenangkannya. Cindua Mato bertutur pada Puti Bungsu bahwa Dang
Tuanku mengirimnya untuk membawanya ke Pagaruyung, karena ia
sudah ditakdirkan untuk menikah dengan Dang Tuanku. Dalam pesta
perkimpoian yang berlangsung, saat Imbang Jayo tengah berperan
sebagai pengantin pria, Cindua Mato melakukan hal-hal ajaib yang
menarik perhatian lain dan menculik Puti Bungsu. Cindua Mato
membawanya ke Padang Ganting, tempat Tuan Kadi, anggota Basa
Ampek Balai yang mengurus soal-soal keagamaan bersemayam.
Dengan menculik Puti Bungsu Cindua Mato telah melanggar hukum dan
melampaui wewenangnya sebagai utusan Pagaruyung. Tuan Kadi lalu
memanggil anggota Basa Ampek Balai lainnya untuk membahas
pelanggaran yang dilakukan Cindua Mato. Namun pada pertemuan yang
diadakan Cindua Mato menolak menjelaskan perbuatannya.
Basa Ampek Balai lalu menceritakan kejadian ini pada Bundo Kanduang,
yang murka pada kelakuan Cindua Mato. Namun ia masih tetap menolak
menjawab. Keempat menteri ini lalu memutuskan berunding dengan Raja
Nan Duo Selo, Raja Adat dan Raja Ibadat. Keduanya, mengetahui latar
belakang kejadian tersebut, sambil tersenyum menyuruh keempat
menteri tersebut menyerahkan keputusan kepada Dang Tuanku, Raja
Alam.
Pada pertemuan berikutnya perdebatan terjadi antara Bundo Kanduang,
yang berteguh mempertahankan adat raja-raja, dan Dang Tuanku, yang
menganjurkan memeriksa alasan di balik tindakan Cindua Mato. Imbang
Jayo telah menghina Dang Tuanku dengan berusaha mengawini
tunangannya, dan menceritakan fitnah. Sekarang giliran Imbang Jayo
buat dihina. Imbang Jayo juga mempekerjakan penyamun untuk
memperkaya dirinya dan memutus hubungan antara Minangkabau dan

rantau timurnya. Cindua Mato tak layak dihukum karena dia hanya alat
untuk utang malu dibayar malu.
Cindua Mato dilepaskan dari hukuman, dan rapat itu kemudian membahas
perkimpoian antara Cindua Mato dan Puti Lenggo Geni, dan juga antara
Dang Tuanku dan Puti Bungsu. Setelah masa persiapan, perkimpoian
kerajaan tersebut dilangsungkan di Pagaruyung, dilanjutkan dengan pesta
yang dihadiri oleh banyak pangeran dan raja dari segenap penjuru Pulau
Perca.
Sementara itu, Imbang Jayo yang merasa dipermalukan oleh Cindua Mato
bersiap-siap menyerang Pagaruyung. Dengan senjata pusakanya, Cermin
Terus (camin taruih), dia menghancurkan sebagian negeri Pagaruyung.
Cermin itu akhirnya dipecahkan oleh panah sakti Cindua Mato. Ketika
Imbang Jayo sibuk memperkuat pasukannya Bundo Kanduang dan Dang
Tuanku meminta Cindua Mato mengungsi ke Inderapura, negeri di rantau
Barat, dan dengan demikian tidak ada alasan lagi buat Imbang Jayo
memerangi Pagaruyung.
Geram karena gagal membalas dendam, Imbang Jayo lalu protes pada
Rajo Nan Duo Selo. Pada pertemuan yang dipimpin oleh kedua raja
tersebut, dan dihadiri oleh keempat menteri, Imbang Jayo mendakwa
bahwa seorang anggota keluarga kerajaan telah mempermalukan dirinya,
sebuah pelanggaran yang tak termaafkan. Namun raja-raja tersebut
bertanya: siapa yang memulai penghinaan tersebut, apa bukti dakwaan
Imbang Jayo? Tuduhan terhadap anggota kerajaan tanpa bukti cukup
bukan soal main-main. Kedua raja akhirnya memutuskan Imbang Jayo
dihukum mati.
Begitu mengetahui anaknya disuruh bunuh oleh Rajo Duo Selo, ayah
Imbang Jayo, Tiang Bungkuak, bersiap-siap membalas dendam. Cindua
Mato kembali dari Inderapura, dan Dang Tuanku memerintahkannya
melawan Tiang Bungkuak. Namun bila Cindua Mato gagal membunuhnya,
dia harus bersedia menjadi hamba Tiang Bungkuak, agar Istana
Pagaruyung terlepas dari ancaman.
Pada suatu malam, saat menunggu serangan Tiang Bungkuak, Dang
Tuanku bermimpi bertemu seorang malaikat dari langit yang berkata dia,
Bundo Kanduang dan Puti Bungsu sudah waktunya meninggalkan dunia
yang penuh dosa ini. Pagi harinya Dang Tuanku mengisahkan mimpinya
pada Bundo Kanduang dan Basa Ampek Balai. Mengetahui waktu mereka
sudah dekat, mereka mengangkat Cindua Mato sebagai Raja Muda.

Cindua Mato menunggu Tiang Bungkuak di luar Pagaruyung, namun


dalam duel yang berlangsung dia tak mampu membunuh Tiang
Bungkuak. Cindua Mato lalu menyerah pada kesatria tua itu, dan
mengikutinya ke Sungai Ngiang sebagai budak. Pada saat yang sama
sebuah kapal terlihat melayang di udara membawa Dang Tuanku dan
anggota keluarga kerajaan lainnya ke langit.
Suatu hari, ketika Tiang Bungkuak sedang tidur siang, Cindua Mato
membaca jampi-jampi dan berhasil mengungkap rahasia kekebalan Tiang
Bungkuak dari mulutnya sendiri. Ternyata Tiang Bungkuak hanya dapat
dibunuh menggunakan keris bungkuk (karih bungkuak) yang
disembunyikan di bawah tiang utama rumahnya. Cindua Mato mencuri
keris itu lalu memancing Tiang Bungkuak agar berkelahi dengannya.
Dalam duel tersebut Cindua Mato berhasil membunuh Tiang Bungkuak
dengan keris curiannya.
Setelah kematian Tiang Bungkuak para bangsawan Sungai Ngiang
mengangkat Cindua Mato menjadi raja. Kemudian dia juga diangkat
sebagai raja Sikalawi, setelah Rajo Mudo turun tahta. Cindua Mato
menikahi adik Puti Bungsu, Puti Reno Bulan. Dari hasil pernikahannya ini
Cindua Mato memperoleh anak perempuan dan laki-laki yang diberi nama
Sutan Lembang Alam.
Setelah beberapa lama menghabiskan waktu di Rantau Timur, Cindua
Mato kembali ke Pagaruyung, untuk memerintah sebagai Raja
Minangkabau. Dari perkimpoiannya dengan Puti Lenggo Geni ia
mendapatkan anak bernama Sutan Lenggang Alam.

Mandangin
Cerita dari Kalimantan Tengah

Di sebuah tempat di daerah Tumbang Manjul tepatnya kurang lebih 43


kilo meter dari Desa Tumbang judul Manjul terdapat mitos tentang sebuah
kerajaan makhluk baik.
Konon diceritakan bahwa di Sungai Mandaham desa Tumbang Manjul
terdapat gaib yaitu Perek Rango yang dikuasai oleh titisan dari dewa
angin.
Pada jaman dahulu sebuah hutan belantara yang tak jauh dari muara
Sungai Mandaham hiduplah sepasang suami istri yaitu nyai Rangkas dan
Sangkajang.
Nyai Rangkas adalah keturunan dari makhluk gaib yang tinggal di
kawasan Bukit Kejayah namun karena ia jatuh cinta dan kimpoi dengan
Sakajang keturunan manusia biasa maka ia diusir dari Kerajaan Kejayah.
Demi suami tercintanya Sakajang Nyai Rangkas rela meninggalkan
keluarganya hingga akhirnya mereka tinggal di hutan dekat muara Sungai
Mandaham. Karena saling mencintai hidup pasangan suami istri itu sangat

rukun bahagia. Dalam kebersamaan mereka selalu saling membantu dan


saling melengkapi kekurangan satu sama lainnya.
Setelah sekian lama bersama akhirnya mereka menyadari bahwa ada
yang kurang dari kebahagiaan yang telah mereka nikmati selama ini,
karena sudah sekian lama mereka hidup bersama namun pasangan suami
istri itu belum juga dikaruniai keturunan. Untuk memperoleh keturunan
pasangan suami istri itu rela melakukan apa saja, sudah berbagai macam
ramuan mereka gunakan namun belum juga dikarunia seorang anak
sampai pada suatu malam Nyai Rangkas bermimpi ia akan mendapatkan
keturunan yang dititiskan oleh dewa angin namun untuk memperolehnya
ia harus melakukan pada malam bulan purnama, dan ritual pertapaan itu
dilakukan di sebuah batu besar di tepi Sungai Mendahan sebelah hulu.
Malam berganti fajar Nyai Rangkas terjaga dari mimpi. Kemudian ia
bangun dan keluar dari gubugnya untuk melihat keadaan sekeliling rumah
mereka kemudian ia masuk kembali dan duduk di samping suaminya
sambil memikirkan mimpinya mendapat keturunan. Tak lama kemudian
suaminya bangun dan iapun menghampiri suaminya untuk menceritakan
perihal tentang mimpinya itu kepada sang suami tercinta, dan sang suami
pun mendengarkan dengan baik cerita istrinya. Namun setelah
mendengar cerita dan istrinya, Sakajang merasa resah dan kebingungan
menentukan sikap. Di satu sisi ia ingin sekali melihat istrinya bahagia
dengan mendapatkan keturunan yang dititiskan oleh dewa angin namun
di sisi lain ia tidak tega jika harus membiarkan istrinya sendiri di hutan
selama sembilan hari sembilan malam dan hatinyapun tidak ingin
berpisah dengan istri tercintanya. Walaupun hanya dalam waktu sebentar.
Sebaliknya Nyai Rangkas ingin sekali melaksanakan ritual pertapaan
seperti yang ditunjukkan dalam mimpinya, ia merasa sangat yakin kalau
ia menjalankan pertapaan tersebut.
Namun sayang suami Nyai Rangkas tidak mengijinkannya untuk pergi
bertapa meski ia sudah berkai-kali memohon agar suaminya memberikan
ijin sampai pada suatu malam dimana pada malam itu merupakan bulan
purnama yang telah ditunggu-tunggu oleh Nyai Rangkas, ia pergi diamdiam dari sisi suaminya yang sedang tidur lelap. Dengan langkah
mengendap-endap Nyai Rangkas pergi keluar meninggalkan suaminya
menuju hutan dengan menyusuri tepi sungai Mandahan dan untuk
mencari batu besar sebagai tempat melakukan ritual pertapaan seperti
yang ditunjukkan dalam mimpinya. Karena pada malam itu cahaya bulan
terang sekali sehingga Nyai Rangkas tidak mengalami banyak kesulitan

dalam perjalanan, sampai akhirnya ia menemukan batu besar seperti


yang ada dalam mimpinya.
Setibanya ditempa tujuan Nyai Rangkas mengelilingi batu besar tersebut
untuk mencari jalan naik menoleh ke kiri dan tekanan serta sesekali
membalikkan badan untuk melihat keadaan di sekitarnya. Sesaat ia
tempat kebingungan tiba-tiba terdengar suara seruan Nyai Rangkas jika
kau ingin mendapatkan seorang anak dari titisanku maka lakukanlah
ritual pertapaan ditengah batu besar itu selama sembilan hari sembilan
malam dengan posisi duduk menghadap arah matahari terbit.
Mendengar suara seruan itu Nyai Rangkas merasa semakin yakin dengan
firasat mimpinya, hingga akhirnya iapun duduk ditengh batu besar
tersebut dengan posisi menghadap arah matahari terbit.
Dengan penuh keyakinan Nyai Rangkas melakukan ritual pertapannya,
sementara sama suami yang ia tinggalkan panik dan bingung karena
melihat isterinya tidak ada di rumah. Ketika hari mulai terang ia mencari
isterinya di sekiling rumah tempat mereka tinggal seraya memanggil
Nya, dimana kamu ! Nyai .. pulanglah ! sang suami terus memanggil
nama isterinya sampai matahari hampir terbenam namun ia tak juga
menemukan isteri tercinta. Karena hari sudah mulai gelap ia pun kembali
pulang ke rumah meski ia sangat khawatir sekali dengan keadaan
isterinya.
Malam sudah semakin larut namun Sakajang pun tak mampu
memejamkan mata karena memikirkan kemana perginya sang isteri.
Ketika melamunkan nasibnya yang sudah ditinggalkan sang isteri tercinta
tiba-tiba sekarang teringat akan mimpi isterinya dan keringinannya untuk
pergi bertapa mencari keturunan..
Semalaman Sakajang tak bisa tidur dan pagi-pagi ia pergi ke hutan untuk
mencari isterinya. Ia menelusuri hutan tepi sungai mandahan namun
anehnya ia tidak menemukan tempat seperti yang diceritakan istrinya,
meski demikian ia tetap tidak putus asa sampai akhirnya ia berjalan di
sebuah rawa dan bertemu dengan seekor serigala yang sangat buas.
Meski demikian Sakajang tetap tegar menghadapinya. Langkah demi
langkah serigala buas itu mendekati Sekajang dengan cakar dan
taringnya yang panjang seolah-olah siap menerkam hingga akhirnya
terjadi perkelahian antara Sekajang dan serigala buas itu. Mereka saling
bergelut di tanah rawa yang berlumpur .

Dalam perkelahian itu Sakajang terluka dan jatuh terkapar di atas lumpur
sehingga dengan mudah serigala buas itu menerkamnya kembali dan
menancapkan taringnya pada bagian tubuh Sakajang hingga akhirnya
tewas dan menjadi santapan serigala yang kelaparan tadi. Alangkah
malangnya nasib Sakajang, bertujuan pergi mencari istri tercinta namun
di perjalanan menjadi mangsa serigala buas.
Hari demi hari berlalu, ritual pertapaan telah dilakukan oleh Nyai Rangkas
dengan sempurna, dan ketika ritual itu selesai tiba-tiba angin bertiup
dengan sangat kencang, langit tampak bercahaya kemudian terdengar
kembali seruan Nyai Rangkas sekarang kamu telah mendapatkan yang
kamu inginkan, tugas kamu adalah memelihara titisanku itu dengan baik
karena suatu saat ia akan menjadi pembawa kedamaian bagi sebuah
kerajaan yang sedang dalam kekacauan!
Mendengar suara seruan tersebut Nyai Rangkas merasa semakin yakin
kalau ia telah mengandung seorang anak yang dititiskan oleh dewa angin.
Karena ritual pertapaan telah selesai maka Nyai Rangkas pun turun dan
meninggalkan batu besar itu dengan hati yang berbunga-bunga. Ia
kembali menyusuri tepi sungai dan pulang ke rumah dengan harapan
memberikan kejutan untuk suami tercintanya.
Setibanya di rumah Nyai Rangkas melihat keadaan rumah sepi, senyap
dan berantakan kemudian ia memanggil-manggil suaminya. Abang
abang abang ada dimana ? saya ada berita gembira untuk abang !
setelah beberapa kali memanggil suaminya Nyai Rangkas tak jua
mendengarkan jawaban dari suaminya. Hingga kemudian Nyai Rangkas
keluar dan mencari suaminya di sekitar halaman rumah mereka. Karena
suaminya tak ditemukan Nyai Rangkaspun pulang kembali ke rumah.
Awalnya ia berpikir kalau suaminya hanya pergi sebentar ke hutan untuk
mencari makanan atau berburu. Hari demi hari berlalu, sang suami yang
dinanti tak jua datang sementara perut Nyai Rangkas semakin membesar
dan harapan berkumpul kembali dengan sang suami tercinta sirna, dan
perlahan-lahan merasa kesepian dan kehilangan suaminya Nyai Rangkas
memutuskan untuk pergi ke hutan untuk mencari suaminya.
Ketika matahari terbit Nyai Rangkas pun berangkat kehutan untuk
mencari suaminya dengan membawa bekal seadanya ia bertekad tidak
akan pulang tanpa suaminya. Dalam perjalanan menyusuri hutan ia
melewati rawa-rawa tempat suaminya tewas diterkam serigala. Saat ia
melihat keatas tiba-tiba ada seekor burung hitam menjatuhkan
kotorannya iapun merasa kejadian itu pertanda bahwa hal buruk telah

terjadi dan seketika pula perasaannya Nyari Rangkas jalan dan tanpa
sengaja kakinya tersandung kayu sehingga ia pun terjatuh, dan tanpa
sengaja pula tangan Nyai Rangkas tertuju pada sebuah gelang dari batu
yang tergeletak di atas tanah, dimana di sekitar gelang tersebut juga
terdapat tulang-tulang bangkai manusia. Melihat gelang tersebut Nyai
Rangkas berkata dalam hati Gelang ini adalah milik suamiku, oh dewa
apakah yang terjadi pada suamiku dan kemudian ia berteriak kencang
memanggil-manggil suaminya sekarang . Suamiku dimana kamu
sekarang !!! karena tak kuasa menahan rasa sedih tubuh Nyai Rangkas
gemetar kemudian pingsan.
Tidak tahu datang dari arah mana tiba-tiba datang seorang nenek
menghampiri dan membawa Nyai Rangkas ke sebuah Gua. Yang mana
gua tersebut tak jauh dari tempat Nyai Rangkas bertapa untuk memohon
diberikan seorang anak. Saat sadar Nyai Rangkas merasa heran dan ia
tidak tahu dirinya berada dimana. Lalu ia duduk, sambil memperhatikan
keadaan sekelilingnya. Tiba-tiba datang seorang nenek tua membawa
segelas air untuk Nyai Rangkas seraya mengatakan sebaliknya Nyai
minum air ini dulu agar badan Nyai lebih segar, dan Nyai jangan teralu
banyak bergerak karena badan Nyai masih lemah Nyai Rangkas pun
menjawab Tapi saya sekarang ada dimana ne dan siap nenek sebenarnya
? dari mana nenek mengetahui nama saya nenek tua itupun menjawab
nenek ditugaskan oleh dewa angin untuk menjaga Nyai dan anak yang
ada dalam kandungan Nyai.
Nyai rangkas masih bingung dengan kejadian-kejadian yang menimpanya
sesaat ia tercengang dan teringat akan suaminya, ia merasa menyesal
telah meninggalkan suaminya waktu itu. saat Nyai Rangkas merenungi
nasibnya, nenek tua itu datang kembali menghampirinya membawa
makanan untuk Nyai Rangkas. Kemudian nenek itu mengatakan
sudahlah Nyai, jangan terlalu sedih kau memikirkan kepergian suamimu,
karena itu sudah menjadi takdirnya Nyai Rangkas menjawab Tapi ne
saya sangat mencintainya! Saya tak mampu hidup tanpanya. Nenek tua
itu menjawab lagi nenek mengerti dengan perasaan nyai! Tapi yang
harus Nyai lakukan sekarang adalah memikirkan keadaan anak yang ada
dalam kandungan Nyai..
Hari terus berganti, Nyai Rangkas terus menjalani hidupnya di gua
bersama nenek tua yang diutus oleh dewa angin untuk menjaga ia dan
bayinya. Hingga akhirnya Nyai Rangkas melahirkan seorang anak laki-laki
yang mana anak tersebut ia beri nama Mandangin. Bersama nenek tua itu

Nyai rangkas merawat dan menjaga Mandangin hingga Mandangin


tumbuh menjadi seorang anak yang tampan dan baik hati.
Seiring dengan berjalannya waktu Mandangin tumbuh dewasa. Ia
tampan, kuat, dan baik hati serta suka menolong siapa saja yang
membutuhkan pertolongannya, selain itu ia juga sangat berbakti kepada
ibunya. Meski memiliki banyak kelebihan mandangin tidak pernah
menyombongkan diri dan ia juga tidak pernah mengeluh tidak pernah
dalam keadaan serba kekurangan dan tanpa seorang ayah.
Sampai pada suatu hari ketika ia berburu di hutan ia melihat ada sebuah
batu besar dan ia merasakan melepas rasa penasarannya mandangin naik
keatas batu besar itu. tiba-tiba ia mendengar suara seruan yang ia pun
tak tahu suara tersebut datang darimana Mandangin jika kau ingin
mendapatkan kekuatan dan kesaktian, lakukanlah pertapaan di atas batu
itu selama satu purnama, Seketika suara itu menghilang, Mandangin
tercengang sesaat kemudian ia pergi meninggalkan batu besar itu dan
pulang kembali ke gua dengan membawa hasil buruannya.
Namun sepulangnya dari batu besar itu mandangin tidak berbicara satu
katapun kepada ibunya. Wajah dan perilakunya tampak seperti orang
kebingungan. Melihat kelakuan Mandangin yang tidak sama seperti harihari biasanya Nyai Rangkas mengampiri Mandangin dan bertanya ada
apakah gerangan yang terjadi denganmu anakku ? sepertinya kamu
sedang bingung.
Mendengar pertanyaan ibunya Mandanginpun menceritakan tentang
kejadian yang ia alami saat pergi berburu. Mendengar cerita anaknya Nyai
Rangkas terdiam. Ia bertanya dalam hati apakah suara itu adalah suara
dewa angin. Tapi ia mencoba mengalihkan perhatian anaknya dengan
mengatakan mungkin itu hanya halusinasimu saja anakku Mandangin
menjawab mungkin juga ibu! ia mengiyakan perkataan ibunya meski ia
merasa yakin kejadian itu nyata.
Malam semakin larut dan ke adaan sunyi senyap Nyai Rangkas tak bisa
tidur karena ia terus memikirkan tentang cerita anaknya. Melihat Nyai
Rangkas tidak bisa tidur nenek Kiap menghampirinya dan bertanya
apakah gerangan yang kau pikirkan Nyai ? sampai-sampai kau tak bisa
tidur mendengar pertanyaan nenek Kiap Nyai Rangkas langsung
menceritakan kejadian yang dialami oleh Mandangin ketika pergi berburu.

Mendengar cerita itu nenek Kiap berkata kepada Nyai Rangkas Nyai
mungkin sekarang sudah waktunya Nyai membiarkan Mandangin untuk
pergi mengembara dan menjalankan takdirnya sebagai pembela
kebenaran. Kemudian Nyai Rangkas bertanya pada nenek Kiap. Lalu apa
yang harus saya lakukan untuk Mandangin Ne nenek Kiap menjawab
Besok pagi kau siapkan bekal untuk Mandangin dan kau suruh dia pergi
mengembara untuk menegakkan kebenaran. Namun sebelum pergi suruh
dia bertapa terlebih dahulu selama satu purnama di batu besar seperti
yang telah diserukan oleh dewa angin kepadanya.
Malam berganti pagi Nyai Rangkas sibuk menyiapkan bekal untuk
Mandangin pergi mengembara. Ketik matahari naik dari ufuk timur Nyai
Rangkas menghampiri Mandangin yang baru saja selesai makan. Ia
berkata wahai anakku sekarang kau sudah menjalankan takdirmu.
Namun sebelu kau pergi mengembara kau pergi lakukanlah ritual
pertapaan seperti yang telah diserukan oleh dewa angin kepadamu agar
kamu mendapatkan kesaktian sebagai bekal melindungi diri dan membela
kebenaran. Mandangin menjawab Tapi bagaimana dengan ibu? Saya
tidak tega meninggalkan ibu di sini!. Mendengar pertanyaan anaknya
dengan berat hati Nyai Rangkas mengatakan sudahlah anakku, jangan
kau pikirkan keadaan ibu suatu saat kau pasti akan bertemu lagi dengan
ibu!.
Dengan berat hati pagi itu Nyai Rangkas melepaskan kepergian anaknya
tercinta dan mandangin pun pergi meninggalkan gua yang menjadi
tempat berteduh selama dalam asuhan ibunya. Dalam perjalanannya
menyusuri hutan menuju tempat pertapan tanpa sengaja ia melihat
seorang perempuan cantik turun mandi di sungai Mandahan. Walaupun
demikian Mandangin tetap berjalan menuju tempat pertapaan setibanya
di atas batu besar ia langsung melakukan pertapaan. Hari demi hari
berlalu hingga satu purnama pun terlewati. Ketika ritual pertapaan selesai
tiba-tiba terdengar suara petir seolah-olah memecah bumi kemudian
diiringi dengan angin yang bertiup sangat kencang dan dahsyat pertanda
kesaktian telah diperoleh Mandangin.
Sebelum Mandangin meninggalkan pertapaan terdengar suara seruan
Hai Mandangin hari ini telah aku turunkan kesaktianku padamu,
gunakanlah kesaktian itu untuk membela kebenaran. Sesaat setelah
suara seruan hilang Mandangin pergi dan meninggalkan tempat pertapan
dan memulai perjalanannya untuk mengembara. Ia terus berjalan
menyusuri hutan tepi sungai Mandahan hingga akhirnya ia masuk ke

sebuah kampung yang bernama Perek Rango. Kampung itu dikuasai oleh
seorang penguasa yang bernama Tuman ia sangat jahat dan kejam serta
suka menindas lain.
Di kampung itu tidak ada lagi kedamaian semua penduduk tampak
ketakutan ketika melihat Tuman dan gerombolannya. Meski demikian
Mandangin tetap berjalan menyusri kampung untuk mencari tempat
peristirahatan. Ketika sedang duduk melepas lelah di sebuah pondok
kecil, tiba-tiba mandangin melihat seorang gadis berjalan melintasi di
hadapannya. Yang mana perempuan itu adalah istri dari Tuman sang
penguasa yang kejam. Sesat Mandangin tercengang dan merasa wajah
perempuan itu tak asing lagi. Dan ternyata perempuan itu adalah orang
yang ia lihat turun mandi di Sungai Mandahan ketika ia hendak pergi
bertapa
Angin bertiup sepoi-sepoi udara menjadi semakin sejuk menambah
kenikmatan suasana pada sore itu. belum puas melihat suasana tiba-tiba
datang gerombolan Tuman yang tampak beringas dan kejam dengan
menyeret beberapa warga dan menggotong tiga orang perempuan desa.
Meski sampbil teriak mereka tampak tak berdaya melawan kekuasaan
gerombolan tersebut. Melihat keadaan itu Mandangin langsung berdiri dan
menghampiri gerombolan itu seraya mengatakan salah seorang dari
gerombolan itu menjawab Siapa kamu berani-beraninya kamu
menantang kami! Mandangin menjawab aku adalah Mandangin dan aku
tidak suka melihat ketidakadilan.
Mendengar perkataan Mandangin para gerombolan itu marah dan
menghadang Mandangin dengan mandau. Namun Mandangin tidak takut
meski ia punya senjata hingga akhirnya perkelahianpun terjadi.
Mandangin menghantam gerombolan itu dengan jurus-jurusnya hingga
sebagian jatuh terkapar dan terluka karena merasa tak mampu melawan
mandangin gerombolan itu pergi dan melaporkan kejadian itu kepada
penguasa kampung yaitu si Tuman.
Mendengar cerita itu Tuman marah dan mengambil senjata pusakanya
kemudian mencari Mandangin yang berani menantang kekuasaannya
dengan diikuti oleh beberapa gerombolannya. Sampai akhirnya ia
menemukan Mandangin di sebuah rumah makan.
Tanpa basa-basi Tuman langsung menghadang Mandangin dengan senjata
pusakanya. Namun Mandangin tidak menanggapinya hingga akhirnya

Tuman memukulnya dan iapun menghela untuk membela diri. Dengan


beringas Tuman terus memukul Mandangin. Karena sudah tidak tahan
dengan perlakuan Toman Mandangin melakukan perlawanan dan
perkalahian terjadi dengan sangat sengit.
Mereka saling adu kekuatan sihir hingga akhirnya Tuman kehabisan
energi karena terkena pukulan maut Mandangin. Ketika Tuman tak
berdaya tiba-tiba datang seorang perempuan menikamnya dari belakang
dengan menggunakan sebuah belati. Dan ternyata perempuan itu adalah
korban keserakahan dan nafsu birahi Tuman. Saat melihat wajah
perempuan itu Mandangin teringat kembali dengan perempuan yang ia
lihat turun mandi di Sungai Mandahan. Namun ia tetap tak
menyapanya. Ia hanya mampu memandang dari kejauhan.
Melihat Tuman sudah mati masyarakat beramai-ramai menghampiri
Mandangin, mereka mengucapkan terimakasih karena Mandangin mampu
mengalahkan Toman dan membebaskan mereka dari cengkraman dan
kekuasaan sebagai ucapan terimakasih masyarakat bersepakat
mengangkat Mandangin untuk menjadi pemimpin dan pelindung mereka
dari kejahatan.
Karena sebagian besar masyarakat penghuni wilayah Perek Ranggo
memintanya memintanya memimpin daerah itu maka Mandangin tak
mampu menolaknya hingga akhirnya ia menjadi pemimpin wilayah Perek
Rango yang arif dan bijaksana sesuai dengan harapan ibunya tercinta.
Semenjak dipimpin oleh Mandangin daerah Perek Rango menjadi daerah
yang aman dan penuh kedamaian yang semua itu dapat dilihat dari
wajah-wajah penduduk yang memancarkan keceriaan dan kebahagiaan.
Setiap hari Mandangin selalu teringat dengan wajah perempuan cantik
yang ia lihat turun mandi di Sungai Mandahan. Untuk menghapus rasa
penasarannya terhadap perempuan itu ia datang ke rumah perempuan itu
dan mengambil perempuan itu untuk menjadi isterinya. Karena
Mandangin, adalah seorang pria yang tampan dan bijaksana sehingga tak
ada perempuan yang mampu menolak lamarannya.
Akhirnya Mandangin dan perempuan itu menikah dan membina rumah
tangga yang bahagia bersama keturunannya.
Daerah Perek Rango selalu dikuasai oleh keturunan Mandangin secara
turun temurun dan daerah itu selalu dalam keadaan damai hingga
sekarang.

Konon katanya jika kita ingin melihat daerah itu harus melakukan
pertapaan di sebuah batu besar tempat pertapaan Nyai Rangkas dan
Mandangin.***
Isen Mulang Petehku

Buaya Perompak
Cerita dari Lampung
Buaya Perompak adalah seekor buaya jadi-jadian yang dulu pernah
menghuni Sungai Tulang Bawang, Provinsi Lampung, Indonesia. Buaya
jadi-jadian ini terkenal sangat ganas. Konon, sudah banyak manusia yang
menjadi korban keganasan buaya itu. Pada suatu hari, seorang gadis
rupawan yang bernama Aminah tiba-tiba hilang saat sedang mencuci di
tepi Sungai Tulang Bawang. Benarkah Buaya itu yang menculik Aminah?
Lalu bagaimana dengan nasib Aminah selanjutnya? Ikuti kisahnya dalam
cerita Buaya Perompak berikut ini!
Alkisah, Sungai Tulang Bawang sangat terkenal dengan keganasan
buayanya. Setiap nelayan yang melewati sungai itu harus selalu berhatihati. Begitupula penduduk yang sering mandi dan mencuci di tepi sungai

itu. Menurut cerita, sudah banyak manusia yang hilang begitu saja tanpa
meninggalkan jejak sama sekali.
Pada suatu hari, kejadian yang mengerikan itu terulang kembali. Seorang
gadis cantik yang bernama Aminah tiba-tiba hilang saat sedang mencuci
di tepi sungai itu. Anehnya, walaupun warga sudah berhari-hari
mencarinya dengan menyusuri tepi sungai, tapi tidak juga
menemukannya. Gadis itu hilang tanpa meninggalkan jejak sedikit pun.
Sepertinya ia sirna bagaikan ditelan bumi. Warga pun berhenti melakukan
pencarian, karena menganggap bahwa Aminah telah mati dimakan buaya.
Sementara itu, di sebuah tempat di dasar sungai tampak seorang gadis
tergolek lemas. Ia adalah si Aminah. Ia baru saja tersadar dari
pingsannya.
Ayah, Ibu, aku ada di mana? gumam Aminah setengah sadar memanggil
kedua orangtuanya.
Dengan sekuat tenaga, Aminah bangkit dari tidurnya. Betapa terkejutnya
ia ketika menyadari bahwa dirinya berada dalam sebuah gua. Yang lebih
mengejutkannya lagi, ketika ia melihat dinding-dinding gua itu dipenuhi
oleh harta benda yang tak ternilai harganya. Ada permata, emas, intan,
maupun pakaian indah-indah yang memancarkan sinar berkilauan diterpa
cahaya obor yang menempel di dinding-dinding gua.
Wah, sungguh banyak perhiasan di tempat ini. Tapi, milik siapa ya?
tanya Aminah dalam hati.
Baru saja Aminah mengungkapkan rasa kagumnya, tiba-tiba terdengar
sebuah suara lelaki menggema.
Hai, Gadis rupawan! Tidak usah takut. Benda-benda ini adalah milikku.
Alangkah terkejutnya Aminah, tak jauh dari tempatnya duduk terlihat
samar-samar seekor buaya besar merangkak di sudut gua.
Anda siapa? Wujud anda buaya, tapi kenapa bisa berbicara seperti
manusia? tanya Aminah dengan perasaan takut.
Tenang, Gadis cantik! Wujudku memang buaya, tapi sebenarnya aku
adalah manusia seperti kamu. Wujudku dapat berubah menjadi manusia
ketika purnama tiba., kata Buaya itu.

Kenapa wujudmu berubah menjadi buaya? tanya Aminah ingin tahu.


Dulu, aku terkena kutukan karena perbuatanku yang sangat jahat.
Namaku dulu adalah Somad, perampok ulung di Sungai Tulang Bawang.
Aku selalu merampas harta benda setiap saudagar yang berlayar di
sungai ini. Semua hasil rampokanku kusimpan dalam gua ini, jelas Buaya
itu.
Lalu, bagaimana jika Anda lapar? Dari mana Anda memperoleh
makanan? tanya Aminah.
Kalau aku butuh makanan, harta itu aku jual sedikit di pasar desa di tepi
Sungai Tulang Bawang saat bulan purnama tiba. Tidak seorang penduduk
pun yang tahu bahwa aku adalah buaya jadi-jadian. Mereka juga tidak
tahu kalau aku telah membangun terowongan di balik gua ini.
Terowongan itu menghubungkan gua ini dengan desa tersebut, ungkap
Buaya itu.
Tanpa disadarinya, Buaya Perompak itu telah membuka rahasia gua
tempat kediamannya. Hal itu tidak disia-siakan oleh Aminah. Secara
seksama, ia telah menyimak dan selalu akan mengingat semua
keterangan yang berharga itu, agar suatu saat kelak ia bisa melarikan diri
dari gua itu.
Hai, Gadis Cantik! Siapa namamu? tanya Buaya itu.
Namaku Aminah. Aku tinggal di sebuah dusun di tepi Sungai Tulang
Bawang, jawab Aminah.
Wahai, Buaya! Bolehkah aku bertanya kepadamu? tanya Aminah
Ada apa gerangan, Aminah? Katakanlah! jawab Buaya itu.
Mengapa Anda menculikku dan tidak memakanku sekalian? tanya
Aminah heran.
Ketahuilah, Aminah! Aku membawamu ke tempat ini dan tidak
memangsamu, karena aku suka kepadamu. Kamu adalah gadis cantik nan
rupawan dan lemah lembut. Maukah Engkau tinggal bersamaku di dalam
gua ini? tanya Buaya itu.
Mendengar pertanyaan buaya itu, Aminah jadi gugup. Sejenak, ia terdiam
dan termenung.

Ma maaf, Buaya! Aku tidak bisa tinggal bersamamu. Orangtuaku pasti


akan mencariku, jawab Aminah menolak.
Agar Aminah mau tinggal bersamanya, buaya itu berjanji akan
memberinya hadiah perhiasan.
Jika Engkau bersedia tinggal bersamaku, aku akan memberikan semua
harta benda yang ada di dalam gua ini. Akan tetapi, jika kamu menolak,
maka aku akan memangsamu, ancam Buaya itu.
Aminah terkejut mendengar ancaman Buaya itu. Namun, hal itu tidak
membuatnya putus asa. Sejenak ia berpikir mencari jalan agar dirinya
bisa selamat dari terkaman Buaya itu.
Baiklah, Buaya! Aku bersedia untuk tinggal bersamamu di sini, jawab
Aminah setuju.
Rupanya, Aminah menerima permintaan Buaya itu agar terhindar dari
acamana Buaya itu, di samping sambil menunggu waktu yang tepat agar
bisa melarikan diri dari gua itu.
Akhirnya, Aminah pun tinggal bersama Buaya Perompak itu di dalam gua.
Setiap hari Buaya itu memberinya perhiasan yang indah dan mewah.
Tubuhnya yang molek ditutupi oleh pakaian yang terbuat dari kain sutra.
Tangan dan lehernya dipenuhi oleh perhiasan emas yang berpermata
intan.
Pada suatu hari, Buaya Perompak itu sedikit lengah. Ia tertidur pulas dan
meninggalkan pintu gua dalam keadaan terbuka. Melihat keadaan itu,
Aminah pun tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan.
Wah, ini kesempatan baik untuk keluar dari sini, kata Aminah dalam
hati.
Untungnya Aminah sempat merekam dalam pikirannya tentang cerita
Buaya itu bahwa ada sebuah terowongan yang menghubungkan gua itu
dengan sebuah desa di tepi Sungai Tulang Bawang. Dengan sangat hatihati, Aminah pun keluar sambil berjingkat-jingkat. Ia sudah tidak sempat
berpikir untuk membawa harta benda milik sang Buaya, kecuali pakaian
dan perhiasan yang masih melekat di tubuhnya.
Setelah beberapa saat mencari, Aminah pun menemukan sebuah
terowongan yang sempit di balik gua itu dan segera menelusurinya. Tidak

lama kemudian, tak jauh dari depannya terlihat sinar matahari memancar
masuk ke dalam terowongan. Hal itu menandakan bahwa sebentar lagi ia
akan sampai di mulut terowongan. Dengan perasaan was-was, ia terus
menelusuri terowongan itu dan sesekali menoleh ke belakang, karena
khawatir Buaya Perompak itu terbangun dan membututinya. Ketika ia
sampai di mulut terowongan, terlihatlah di depannya sebuah hutan lebat.
Alangkah senangnya hati Aminah, karena selamat dari ancaman Buaya
Perompak itu.
Terima kasih Tuhan, aku telah selamat dari ancaman Buaya Perompak
itu, Aminah berucap syukur.
Setelah itu, Aminah segera menyusuri hutan yang lebat itu. Setelah
beberapa jauh berjalan, ia bertemu dengan seorang penduduk desa yang
sedang mencari rotan.
Hai, Anak Gadis! Kamu siapa? Kenapa berada di tengah hutan ini
seorang diri? tanya penduduk desa itu.
Aku Aminah, Tuan! jawab Aminah.
Setelah itu, Aminah pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya
hingga ia berada di hutan itu. Oleh karena merasa iba, penduduk desa itu
pun mengantar Aminah pulang ke kampung halamannya. Sesampai di
rumahnya, Aminah pun memberikan penduduk desa itu hadiah sebagian
perhiasan yang melekat di tubuhnya sebagai ucapan terima kasih.
Akhirnya, Aminah pun selamat kembali ke kampung halamannya. Seluruh
penduduk di kampungnya menyambutnya dengan gembira. Ia pun
menceritakan semua kejadian yang telah menimpanya kepada kedua
orangtuanya dan seluruh warga di kampungnya. Sejak itu, warga pun
semakin berhati-hati untuk mandi dan mencuci di tepi Sungai Tulang
Bawang.
Demikian cerita Buaya Perompak dari darah Tulang Bawang, Lampung,
Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori dongeng yang mengandung
pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan
sehari-hari. Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari
cerita di atas yaitu, keutamaan sifat tidak mudah putus asa dan
keburukan sifat suka merampas hak milik orang lain.

Pertama, keutamaan sifat tidak mudah putus asa. Sifat ini ditunjukkan
oleh sikap dan perilaku Aminah yang tidak mudah putus asa menghadapi
ancaman Buaya Perompak. Dengan kecerdikannya, ia pun berhasil
mengelabui Buaya Perompak itu dan berhasil menyelamatkan diri. Dari
hal ini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa sifat tidak mudah putus asa
dapat melahirkan pikiran-pikiran yang jernih.
Kedua, keburukan sifat suka merampas hak milik orang lain. Sifat ini
ditunjukkan oleh sikap dan perilaku Somad (perompak) yang senantiasa
merampas harta benda setiap penduduk yang melewati Sungai Tulang
Bawang. Akibat perbuatan jahatnya tersebut, ia pun terkena kutukan
menjadi seekor buaya. Dalam kehidupan orang Melayu, merampas hak
milik orang lain merupakan perbuatan keji dan sangat dipantangkan.
Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
siapa merampas hak milik orang,
azabnya keras bukan kepalang
siapa mengambil hak milik orang,
Tuhan murka orang pun perang

Asal Mula Nama Palembang


Pada zaman dahulu, daerah Sumatra Selatan dan sebagian Provinsi Jambi
berupa hutan belantara yang unik dan indah. Puluhan sungai besar dan
kecil yang berasal dari Bukit Barisan, pegunungan sekitar Gunung Dempo,
dan Danau Ranau mengalir di wilayah itu. Maka, wilayah itu dikenal
dengan nama Ba*tanghari Sembilan. Sungai besar yang mengalir di

wilayah itu di antaranya Sungai Komering, Sungai Lematang, Sungai


Ogan, Sungai Rawas, dan beberapa sungai yang bermuara di Sungai Musi.
Ada dua Sungai Musi yang bermuara di laut di daerah yang berdekatan,
yaitu Sungai Musi yang melalui Palembang dan Sungai Musi Banyuasin
agak di sebelah utara.
Karena banyak sungai besar, dataran rendah yang melingkar dari daerah
Jambi, Sumatra Selatan, sampai Provinsi Lampung merupakan daerah
yang banyak mempunyai danau kecil. Asal mula danau-danau kecil itu
adalah rawa yang digenangi air laut saat pasang. Sedangkan kota
Palembang yang dikenal sekarang menurut sejarah adalah sebuah pulau
di Sungai Melayu. Pulau kecil itu berupa bukit yang diberi nama Bukit
Seguntang Mahameru.
Keunikan tempat itu selain hutan rimbanya yang lebat dan banyaknya
danau-danau kecil, dan aneka bunga yang tumbuh subur, sepanjang
wilayah itu dihuni oleh seorang dewi bersama dayang-dayangnya. Dewi
itu disebut Putri Kahyangan. Sebenarnya, dia bernama Putri Ayu Sundari.
Dewi dan dayang-dayangnya itu mendiami hutan rimba raya, lereng, dan
puncak Bukit Barisan serta kepulauan yang sekarang dikenal dengan
Malaysia. Mereka gemar datang ke daerah Batanghari Sembilan untuk
bercengkerama dan mandi di danau, sungai yang jernih, atau pantai yang
luas, landai, dan panjang.
Karena banyaknya sungai yang bermuara ke laut, maka pada zaman itu
para pelayar mudah masuk melalui sungai-sungai itu sampai ke dalam,
bahkan sampai ke kaki pegunungan, yang ternyata daerah itu subur dan
makmur. Maka terjadilah komunikasi antara para pedagang termasuk
pedagang dari Cina dengan penduduk setempat. Daerah itu menjadi
ramai oleh perdagangan antara penduduk setempat dengan pedagang.
Akibatnya, dewi-dewi dari kahyangan merasa terganggu dan mencari
tempat lain.
Sementara itu, orang-orang banyak datang di sekitar Sungai Musi untuk
membuat rumah di sana. Karena Sumatra Selatan merupakan dataran
rendah yang berawa, maka penduduknya membuat rumah yang disebut
dengan rakit.
Saat itu Bukit Seguntang Mahameru menjadi pusat perhatian manusia
karena tanahnya yang subur dan aneka bunga tubuh di daerah itu. Sungai
Melayu tempat Bukit Seguntang Mahameru berada juga menjadi terkenal.

Oleh karena itu, orang yang telah bermukim di Sungai Melayu, terutama
penduduk kota Palembang, sekarang menamakan diri sebagai penduduk
Sungai Melayu, yang kemudian berubah menjadi pen*duduk Melayu.
Menurut bahasa Melayu tua, kata lembang berarti dataran rendah yang
banyak digenangi air, kadang tenggelam kadang kering. Jadi, penduduk
dataran tinggi yang hendak ke Palembang sering me*ngatakan akan ke
Lembang. Begitu juga para pendatang yang masuk ke Sungai Musi
mengatakan akan ke Lembang.
Alkisah ketika Putri Ayu Sundari dan pengiringnya masih berada di Bukit
Seguntang Mahameru, ada sebuah kapal yang mengalami kecelakaan di
pantai Sumatra Selatan. Tiga orang kakak beradik itu ada*lah putra raja
Iskandar Zulkarnain. Mereka selamat dari kecelakaan dan terdampar di
Bukit Seguntang Mahameru.
Mereka disambut Putri Ayu Sundari. Putra tertua Raja Iskandar
Zulkarnain, Sang Sapurba kemudian menikah dengan Putri Ayu Sundari
dan kedua saudaranya menikah dengan keluarga putri itu.
Karena Bukit Seguntang Mahameru berdiam di Sungai Melayu, maka
Sang Sapurba dan istrinya mengaku sebagai orang Melayu. Anak cucu
mereka kemudian berkembang dan ikut kegiatan di daerah Lembang.
Nama Lembang semakin terkenal. Kemudian ketika orang hendak ke
Lembang selalu mengatakan akan ke Palembang. Kata pa dalam bahasa
Melayu tua menunjukkan daerah atau lokasi. Pertumbuhan ekonomi
semakin ramai. Sungai Musi dan Sungai Musi Banyuasin menjadi jalur
per*dagangan kuat terkenal sampai ke negara lain. Nama Lembang pun
berubah menjadi Palembang

La Dana dan Kerbaunya


Cerita dari Tana Toraja, Sulawesi Selatan
La Dana adalah seorang anak petani dari Toraja. Ia sangat terkenal akan
kecerdikannya. Kadangkala kecerdikan itu ia gunakan untuk memperdaya
orang. Sehingga kecerdikan itu menjadi kelicikan.

Pada suatu hari ia bersama temannya diundang untuk menghadiri pesta


kematian. Sudah menjadi kebiasaan di tanah toraja bahwa setiap tamu
akan mendapat daging kerbau. La Dana diberi bagian kaki belakang dari
kerbau. Sedangkan kawannya menerima hampir seluruh bagian kerbau
itu kecuali bagian kaki belakang.
Lalu La Dana mengusulkan pada temannya untuk menggabungkan
daging-daging bagian itu dan menukarkannya dengan seekor kerbau
hidup. Alasannya adalah mereka dapat memelihara hewan itu sampai
gemuk sebelum disembelih. Mereka beruntung karena usulan tersebut
diterima oleh tuan rumah.
Seminggu setelah itu La Dana mulai tidak sabar menunggu agar
kerbaunya gemuk. Pada suatu hari ia mendatangi rumah temannya,
dimana kerbau itu berada, dan berkata Mari kita potong hewan ini, saya
sudah ingin makan dagingnya. Temannya menjawab, Tunggulah sampai
hewan itu agak gemuk. Lalu La Dana mengusulkan, Sebaiknya kita
potong saja bagian saya, dan kamu bisa memelihara hewan itu
selanjutnya. Kawannya berpikir, kalau kaki belakang kerbau itu dipotong
maka ia akan mati. Lalu kawannya membujuk La Dana agar ia
mengurungkan niatnya. Ia menjanjikan La Dana untuk memberinya kaki
depan dari kerbau itu.
Seminggu setelah itu La Dana datang lagi dan kembali meminta agar
bagiannya dipotong. Sekali lagi kawannya membujuk. Ia dijanjikan bagian
badan kerbau itu asal La Dana mau menunda maksudnya. Baru beberapa
hari berselang La Dana sudah kembali kerumah temannya. Ia kembali
meminta agar hewan itu dipotong.
Kali ini kawannya sudah tidak sabar, dengan marah ia pun berkata,
Kenapa kamu tidak ambil saja kerbau ini sekalian! Dan jangan datang
lagi untuk mengganggu saya. La dana pun pulang dengan gembiranya
sambil membawa seekor kerbau gemuk.

Bawang Merah dan Bawang Putih


Jaman dahulu kala di sebuah desa tinggal sebuah keluarga yang terdiri
dari Ayah, Ibu dan seorang gadis remaja yang cantik bernama bawang
putih. Mereka adalah keluarga yang bahagia. Meski ayah bawang putih
hanya pedagang biasa, namun mereka hidup rukun dan damai. Namun

suatu hari ibu bawang putih sakit keras dan akhirnya meninggal dunia.
Bawang putih sangat berduka demikian pula ayahnya.
Di desa itu tinggal pula seorang janda yang memiliki anak bernama
Bawang Merah. Semenjak ibu Bawang putih meninggal, ibu Bawang
merah sering berkunjung ke rumah Bawang putih. Dia sering
membawakan makanan, membantu bawang putih membereskan rumah
atau hanya menemani Bawang Putih dan ayahnya mengobrol. Akhirnya
ayah Bawang putih berpikir bahwa mungkin lebih baik kalau ia menikah
saja dengan ibu Bawang merah, supaya Bawang putih tidak kesepian lagi.
Dengan pertimbangan dari bawang putih, maka ayah Bawang putih
menikah dengan ibu bawang merah. Awalnya ibu bawang merah dan
bawang merah sangat baik kepada bawang putih. Namun lama kelamaan
sifat asli mereka mulai kelihatan. Mereka kerap memarahi bawang putih
dan memberinya pekerjaan berat jika ayah Bawang Putih sedang pergi
berdagang. Bawang putih harus mengerjakan semua pekerjaan rumah,
sementara Bawang merah dan ibunya hanya duduk-duduk saja. Tentu
saja ayah Bawang putih tidak mengetahuinya, karena Bawang putih tidak
pernah menceritakannya.
Suatu hari ayah Bawang putih jatuh sakit dan kemudian meninggal dunia.
Sejak saat itu Bawang merah dan ibunya semakin berkuasa dan semenamena terhadap Bawang putih. Bawang putih hampir tidak pernah
beristirahat. Dia sudah harus bangun sebelum subuh, untuk
mempersiapkan air mandi dan sarapan bagi Bawang merah dan ibunya.
Kemudian dia harus memberi makan ternak, menyirami kebun dan
mencuci baju ke sungai. Lalu dia masih harus menyetrika, membereskan
rumah, dan masih banyak pekerjaan lainnya. Namun Bawang putih selalu
melakukan pekerjaannya dengan gembira, karena dia berharap suatu
saat ibu tirinya akan mencintainya seperti anak kandungnya sendiri.
Pagi ini seperti biasa Bawang putih membawa bakul berisi pakaian yang
akan dicucinya di sungai. Dengan bernyanyi kecil dia menyusuri jalan
setapak di pinggir hutan kecil yang biasa dilaluinya. Hari itu cuaca sangat
cerah. Bawang putih segera mencuci semua pakaian kotor yang
dibawanya. Saking terlalu asyiknya, Bawang putih tidak menyadari
bahwasalah satu baju telah hanyut terbawa arus. Celakanya baju yang
hanyut adalah baju kesayangan ibu tirinya. Ketika menyadari hal itu, baju
ibu tirinya telah hanyut terlalu jauh. Bawang putih mencoba menyusuri
sungai untuk mencarinya, namun tidak berhasil menemukannya. Dengan
putus asa dia kembali ke rumah dan menceritakannya kepada ibunya.

Dasar ceroboh! bentak ibu tirinya. Aku tidak mau tahu, pokoknya kamu
harus mencari baju itu! Dan jangan berani pulang ke rumah kalau kau
belum menemukannya. Mengerti?
Bawang putih terpaksa menuruti keinginan ibun tirinya. Dia segera
menyusuri sungai tempatnya mencuci tadi. Mataharisudah mulai
meninggi, namun Bawang putih belum juga menemukan baju ibunya. Dia
memasang matanya, dengan teliti diperiksanya setiap juluran akar yang
menjorok ke sungai, siapa tahu baju ibunya tersangkut disana. Setelah
jauh melangkah dan matahari sudah condong ke barat, Bawang putih
melihat seorang penggembala yang sedang memandikan kerbaunya.
Maka Bawang putih bertanya: Wahai paman yang baik, apakah paman
melihat baju merah yang hanyut lewat sini? Karena saya harus
menemukan dan membawanya pulang. Ya tadi saya lihat nak. Kalau
kamu mengejarnya cepat-cepat, mungkin kau bisa mengejarnya, kata
paman itu.
Baiklah paman, terima kasih! kata Bawang putih dan segera berlari
kembali menyusuri. Hari sudah mulai gelap, Bawang putih sudah mulai
putus asa. Sebentar lagi malam akan tiba, dan Bawang putih. Dari
kejauhan tampak cahaya lampu yang berasal dari sebuah gubuk di tepi
sungai. Bawang putih segera menghampiri rumah itu dan mengetuknya.
Permisi! kata Bawang putih. Seorang perempuan tua membuka pintu.
Siapa kamu nak? tanya nenek itu.
Saya Bawang putih nek. Tadi saya sedang mencari baju ibu saya yang
hanyut. Dan sekarang kemalaman. Bolehkah saya tinggal di sini malam
ini? tanya Bawang putih.
Boleh nak. Apakah baju yang kau cari berwarna merah? tanya nenek.
Ya nek. Apanenek menemukannya? tanya Bawang putih.
Ya. Tadi baju itu tersangkut di depan rumahku. Sayang, padahal aku
menyukai baju itu, kata nenek. Baiklah aku akan mengembalikannya,
tapi kau harus menemaniku dulu disini selama seminggu. Sudah lama aku
tidak mengobrol dengan siapapun, bagaimana? pinta nenek.Bawang
putih berpikir sejenak. Nenek itu kelihatan kesepian. Bawang putih pun
merasa iba. Baiklah nek, saya akan menemani nenek selama seminggu,
asal nenek tidak bosan saja denganku, kata Bawang putih dengan
tersenyum.
Selama seminggu Bawang putih tinggal dengan nenek tersebut. Setiap
hari Bawang putih membantu mengerjakan pekerjaan rumah nenek.

Tentu saja nenek itu merasa senang. Hingga akhirnya genap sudah
seminggu, nenek pun memanggil bawang putih.
Nak, sudah seminggu kau tinggal di sini. Dan aku senang karena kau
anak yang rajin dan berbakti. Untuk itu sesuai janjiku kau boleh
membawa baju ibumu pulang. Dan satu lagi, kau boleh memilih satu dari
dua labu kuning ini sebagai hadiah! kata nenek.
Mulanya Bawang putih menolak diberi hadiah tapi nenek tetap
memaksanya. Akhirnya Bawang putih memilih labu yang paling kecil.
Saya takut tidak kuat membawa yang besar, katanya. Nenek pun
tersenyum dan mengantarkan Bawang putih hingga depan rumah.
Sesampainya di rumah, Bawang putih menyerahkan baju merah milik ibu
tirinya sementara dia pergi ke dapur untuk membelah labu kuningnya.
Alangkah terkejutnya bawang putih ketika labu itu terbelah, didalamnya
ternyata berisi emas permata yang sangat banyak. Dia berteriak saking
gembiranya dan memberitahukan hal ajaib ini ke ibu tirinya dan bawang
merah yang dengan serakah langsun merebut emas dan permata
tersebut. Mereka memaksa bawang putih untuk menceritakan bagaimana
dia bisa mendapatkan hadiah tersebut. Bawang putih pun menceritakan
dengan sejujurnya.
Mendengar cerita bawang putih, bawang merah dan ibunya berencana
untuk melakukan hal yang sama tapi kali ini bawang merah yang akan
melakukannya. Singkat kata akhirnya bawang merah sampai di rumah
nenek tua di pinggir sungai tersebut. Seperti bawang putih, bawang
merah pun diminta untuk menemaninya selama seminggu. Tidak seperti
bawang putih yang rajin, selama seminggu itu bawang merah hanya
bermalas-malasan. Kalaupun ada yang dikerjakan maka hasilnya tidak
pernah bagus karena selalu dikerjakan dengan asal-asalan. Akhirnya
setelah seminggu nenek itu membolehkan bawang merah untuk pergi.
Bukankah seharusnya nenek memberiku labu sebagai hadiah karena
menemanimu selama seminggu? tanya bawang merah. Nenek itu
terpaksa menyuruh bawang merah memilih salah satu dari dua labu yang
ditawarkan. Dengan cepat bawang merah mengambil labu yang besar dan
tanpa mengucapkan terima kasih dia melenggang pergi.
Sesampainya di rumah bawang merah segera menemui ibunya dan
dengan gembira memperlihatkan labu yang dibawanya. Karena takut
bawang putih akan meminta bagian, mereka menyuruh bawang putih
untuk pergi ke sungai. Lalu dengan tidak sabar mereka membelah labu
tersebut. Tapi ternyata bukan emas permata yang keluar dari labu

tersebut, melainkan binatang-binatang berbisa seperti ular, kalajengking,


dan lain-lain. Binatang-binatang itu langsung menyerang bawang merah
dan ibunya hingga tewas. Itulah balasan bagi orang yang serakah.

SANGKURIANG
Pada jaman dahulu, tersebutlah kisah seorang puteri raja di
Jawa Barat bernama Dayang Sumbi.Ia mempunyai seorang anak laki-laki
yang diberi nama Sangkuriang. Anak tersebut sangat gemar berburu. Ia

berburu dengan ditemani oleh Tumang, anjing kesayangan istana.


Sangkuriang tidak tahu, bahwa anjing itu adalah titisan dewa dan juga
bapaknya.
Pada suatu hari Tumang tidak mau mengikuti perintahnya untuk mengejar
hewan buruan. Maka anjing tersebut diusirnya ke dalam hutan.Ketika
kembali ke istana, Sangkuriang menceritakan kejadian itu pada ibunya.
Bukan main marahnya Dayang Sumbi begitu mendengar cerita itu. Tanpa
sengaja ia memukul kepala Sangkuriang dengan sendok nasi yang
dipegangnya. Sangkuriang terluka. Ia sangat kecewa dan pergi
mengembara.Setelah kejadian itu, Dayang Sumbi sangat menyesali
dirinya. Ia selalu berdoa dan sangat tekun bertapa. Pada suatu ketika,
para dewa memberinya sebuah hadiah. Ia akan selamanya muda dan
memiliki kecantikan abadi.
Setelah bertahun-tahun mengembara, Sangkuriang akhirnya berniat
untuk kembali ke tanah airnya. Sesampainya disana, kerajaan itu sudah
berubah total. Disana dijumpainya seorang gadis jelita, yang tak lain
adalah Dayang Sumbi. Terpesona oleh kecantikan wanita tersebut maka,
Sangkuriang melamarnya. Oleh karena pemuda itu sangat tampan,
Dayang Sumbi pun sangat terpesona padanya. Pada suatu hari
Sangkuriang minta pamit untuk berburu. Ia minta tolong Dayang Sumbi
untuk merapikan ikat kepalanya. Alangkah terkejutnya Dayang Sumbi
demi melihat bekas luka di kepala calon suaminya. Luka itu persis seperti
luka anaknya yang telah pergi merantau. Setelah lama diperhatikannya,
ternyata wajah pemuda itu sangat mirip dengan wajah anaknya. Ia
menjadi sangat ketakutan.Maka kemudian ia mencari daya upaya untuk
menggagalkan proses peminangan itu. Ia mengajukan dua buah syarat.
Pertama, ia meminta pemuda itu untuk membendung sungai Citarum.
Dan kedua, ia minta Sangkuriang untuk membuat sebuah sampan besar
untuk menyeberang sungai itu. Kedua syarat itu harus sudah dipenuhi
sebelum fajar menyingsing.
Malam itu Sangkuriang melakukan tapa. Dengan kesaktiannya ia
mengerahkan mahluk-mahluk gaib untuk membantu menyelesaikan
pekerjaan itu. Dayang Sumbi pun diam-diam mengintip pekerjaan
tersebut. Begitu pekerjaan itu hampir selesai, Dayang Sumbi
memerintahkan pasukannya untuk menggelar kain sutra merah di sebelah
timur kota.Ketika menyaksikan warna memerah di timur kota,
Sangkuriang mengira hari sudah menjelang pagi. Ia pun menghentikan
pekerjaannya. Ia sangat marah oleh karena itu berarti ia tidak dapat
memenuhi syarat yang diminta Dayang Sumbi.Dengan kekuatannya, ia
menjebol bendungan yang dibuatnya. Terjadilah banjir besar melanda
seluruh kota. Ia pun kemudian menendang sampan besar yang
dibuatnya. Sampan itu melayang dan jatuh menjadi sebuah gunung yang
bernama "Tangkuban Perahu."

Anda mungkin juga menyukai