Anda di halaman 1dari 8

BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka


Sebagaimana kita ketahui dalam Al-Quran manusia dipanggil dengan beberapa istilah,
antara lain al-insaan, al-naas, al-abd, dan bani adam dan sebagainya. Al-insaan berarti suka,
senang, jinak, ramah, atau makhluk yang sering lupa. Al-naas berarti manusia (jama). Al-abd
berarti manusia sebagai hamba Allah. Bani adam berarti anak-anak Adam karena berasal dari
keturunan nabi Adam.Namun dalam Al-Quran dan Al-Sunnah disebutkan bahwa manusia
adalah makhluk yang paling mulia dan memiliki berbagai potensi serta memperoleh petunjuk
kebenaran dalam menjalani kehidupan di dunia dan akhirat. Dalam Al-Quran kata alam
seakar dengan kata ilm (pengetahuan) dan alamah (tanda).Persinggungan kata alam dengan
ilm (pengetahuan) ini menjelaskan bahwa kemanfaatan yangterkandung dalam alam baru bisa
diperoleh bila manusia mempunyai ilmu dan teknologi. Demikian pula persinggungan kata
alam dengan alamah (tanda) yang menekankan bahwa alamsemesta menjadi ayat-ayat (tandatanda) sumber pelajaran dan ajaran bagi manusia. Manusia adalah puncak ciptaan Allah,
maka seluruh alam berada dalam martabat yang lebih rendah dari pada manusia, alam itu
sendiri adalah untuk dapat dimanfaatkan oleh manusia, manusia harus menjadikan alam itu
sebagai objek kajian.
2.2 Pembahasan
Jika berbicara tentang alam dan manusia sangat berhubungan erat karena siapa yang
dengan bersungguh-sungguh melakukan penelitian terhadap alam dengan sikap apresiasi
terhadap alam itu sendiri akan mengantarkannya kepada kenyataan bahwa alam sebagai
tanda-tanda adanya Allah SWT. Konsep alam atau yang disebut juga pandangan dunia
merupakan persoalan penting yang harus diketahui oleh seorang muslim karena dengan
memahami alam tersebut seseorang akan mampu menangkap keseluruhan ajaran agama
dimana alam tersebut sebagai tanda sebagai eksistensi Allah SWT. Bahkan dalam pandangan
logika (seperti yang dijelaskan oleh filsafatagama), adanya alam membuktikan adanya Allah.
Eksistensi Allah sebagai pencipta baru mendapat konfirmasi bila ciptaan-Nya ada, yakni alam
semesta ini, dan begitupun sebaliknya.Oleh karena itu dalam pandangan islam, alam adalah
eksistendi yang haqq yaitu sesuatu yang benar, yang sungguh-sungguh ada, nyata dan baik.

2.2.1

Alam Sebagai sumber Penghidupan

Yang dimaksud dengan sumber penghidupan manusia adalah: apa yang menjadi
sandaran kehidupannya. Termasuk di dalamnya dimensi waktu dan tempat yang menjadi
pokok kehidupannya. Seperti makan dan minuman, dan hal-hal lainnya yang menjadi
kebutuhan hidup. Oleh karena itu, dalam Al Quran difirmankan:
"Dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan." [An Naba: 11]. Artinya, tempat untuk
mencari penghidupan. Dalam Al Quran juga disebutkan:

"Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan
bagimu di muka bumi itu (sumber) penghidupan." [Al A'raaf: 10].
kata-kata ma'asy dan ma'iisyah itu maksudnya adalah: apa yang menjadi penopang kehidupan
manusia. [Lisan al Arab, dan Qamus al Musthalahat al Iqtishadiah fi al Hadharah al
Islamiah].Untuk memahami pandangan Islam tentang keamanan manusia atas
penghidupannya dan kebutuhan-kebutuhan hidupanya, kita harus memahami dahulu
pemahaman tentang pemberian kedaulatan kekhalifahan oleh Allah SWT kepada manusia
untuk membangun bumi ini. Karena sikap Islam tentang hubungan antara manusia, kekayaan,
dan harta, serta hak-haknya untuk mendapatkan nikmat dan kekayaan yang diciptakan oleh
Allah SWT, yang disebarkan dalam alam ini, merupakan sikap Islam yang dibangun di atas
filsafat kekhalifahan dan istikhlaf ini.Kata "istikhlaf" --dalam bahasa Arab-- adalah bentuk
mashdar. Maknanya adalah: menjadikan khalifah (pengganti), yang menggantikan dan
menjalankan peran yang diamanatkan dalam kerangka istikhlaf itu.
Ketika Allah SWT hendak menciptakan Adam a.s., Allah memberitahukan kepada
malaikat-malaikat-Nya bahwa Dia akan menjadikannya sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Yang bertugas untuk mengemban amanat ilmu, berusaha, menanggung beban dan
responsibilitas, serta membangun bumi itu. Allah SWT berfirman kepada para malaikat
--seperti tertulis dalam Al Quran--:

"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui." [Al Baqarah: 30].
Pemberian amanat kekhalifahan ini, yang dikehendaki oleh Allah SWT, kepada manusia di
muka bumi, adalah ungkapan yang paling tepat dan paling cocok untuk menjelaskan tentang
kedudukan manusia dalam wujud ini, tentang risalah manusia dalam kehidupan dunia ini, dan
tentang tugas Tuhan yang diemban manusia dalam perjalanannya di muka bumi ini.Seseorang
yang memberikan suatu tugas perwakilan kepada orang lain untuk menjalankan sesuatu hal,
tentulah ia perlu memberikan batasan tentang tugasnya itu, batasan wewenang yang ia
emban, dan prinsip-prinsip utama yang harus diperhatikan sebagai batasan kebebasannya

dalam menjalankan tugas itu. Tugas kekhalifahan atau perwakilan yang diemban itu hanya
bersifat perantara, tidak mencapai tingkat sang pemberi wewenang. Juga tidak sampai
merendah hingga pada tingkatan seseorang yang tidak mempunyai kewenangan sama sekali
dalam tugasnya itu.Dengan pengertian kekhalifahan seperti inilah Islam melihat kedudukan
manusia dalam wujud ini. Yaitu sebagai makhluk yang mengemban tugas kekhalifahan, yang
mendapatkan wewenang untuk membangun bumi ini, dan yang mempunyai kehendak bebas
untuk mengambil tindakan dalam batasan kewenangannya itu. Karena dengan sifat kebebasan
yang beraturan itulah manusia dapat mengemban tugas membangun dunia ini. Namun
demikian, kehendak bebas dan inisiatifnya itu harus tunduk dengan aturan-aturan dan
batasan-batasan kewenangan tugas kekhalifahan atau syari'ah Ilahiah itu. Yang menjadi
rambu-rambu, aturan, batasan dan skup operasional tugas perwakilan dan amanah
kekhalifahan itu.
Makna istikhlaf dan kedudukan khalifah (manusia) ini yang menjadi ciri filsafat
pandangan Islam terhadap kedudukan manusia di alam semesta ini (yaitu sebagai pengemban
tugas kekhalifahan dari Sang Pencipta semesta alam) adalah makna yang tidak dapat dicapai
oleh filsafat-filsafat materialis dan peradaban-peradaban yang dibangun di atasnya. Karena
mereka menuhankan manusia, dan menjadikan para pahlawan mereka sebagai tuhan-tuhan.
Atau mereka memanusiakan Tuhan, dan berpendapat bahwa Tuhan telah merasuk dan telah
berfusi dalam diri manusia.

2.2.2

Manusia Sebagai Penggerak Ekonomi

Sistem Ekonomi Islam adalah sistem perekonomian dimana ilmu dan sistemnya
merupakan kumpulan dari aktivitas-aktivitas ekonomi yang telah Rasulullah SAW beserta
Khulafa Ar-Rasyidun lakukan atau kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil dalam
memimpin Islam. Kebijakan-kebijakan itu bersumber dari Rasulullah SAW sebagai khalifah
pertama dan tentu saja bersumber dari nilai-nilai Al-Quran melalui wahyu yang diturunkan
kepadanya. Jadi, dapat dikatakan ekonomi Islam ada sejak zaman Rasululllah SAW. Ilmu dan
sistem ekonomi Islam yang murni ada semasa Khalifah Rasulullah. Ilmu dan sistem ekonomi
yang murni ini mulai terdapat penyimpangan-penyimpangan pada saat masa pimpinan setelah
Khulafa Ar-Rasyidun, tepatnya semasa pemerintahan Bani Umayyah dan Abbasiyyah.
Semasa pemerintahan itu praktik nepotisme mulai terjadi. Kerabat-kerabat dengan mudahnya
menduduki jabatan penting dalam pemerintahan dan mereka berkuasa atas harta rakyat dan
pemutusan kebijakan.Jika dihubungkan dengan ilmu sosiologi, maka pembahasannya akan
menjadi Sosiologi Ekonomi Islam yang artinya bahwa penerapan-penerapan sistem ekonomi
Islam disandingkan dengan nilai-nilai sosial yang ada di dalam masyarakat sebagaimana arti
dari socius: masyarakat dan logos: logika atau ilmu.
Tokoh pertama kali yang mengaitkan masalah ekonomi dengan nilai-nilai sosial di
masyarakat adalah Ibnu Khaldun. Ia dapat dikatakan sebagai Bapak Sosiolog yang
terlupakan. Karya pertamanya adalah buku Muqadimmah. Ia memaparkan teori ekonomi
dengan nilai-nilai sosial secara terperinci. Salah satu teorinya adalah spesialisasi dalam kerja.
Ia memaparkan bahwa faktor utama dalam proses perekonomian adalah tenaga manusia.
Manusia sebagai penggerak utama suatu perekonomian. Mengingat juga bahwa manusia
sebagai khalifah Allah SWT dalam mengatur segala permasalahan di dunia
(QS. Al-Baqarah: 30).

Dalam hal produksi misalnya, memang diperlukan sumber-sumber alam dan sumber
penunjang seperti mesin, tetapi satu faktor yang dapat membuat sumber-sumber tersebut
menghasilkan sesuatu yang baru dan bermanfaat adalah tenaga manusia sendiri. Meskipun
adanya mesin yang dapat menggantikan peran manusia dalam berproduksi, tetaplah manusia
dikatakan sebagai faktor utama dalam berproduksi karena manusia juga yang menciptakan
mesin itu. Dalam hal distribusi hasil produksi, tenaga dan pemikiran manusialah yang dapat
menjadikan barang-barang hasil produksi tersebut dapat turun ke masyarakat dan manusia
juga yang bertanggung jawab pada pemerataan distribusi dalam masyarakat. Di sinilah letak
pemikiran Ibnu Khaldun yang mengaitkan ilmu ekonomi Islam dengan ilmu sosiologi.
Mengapa teori tersebut dikatakan sebagai prinsip dasar ekonomi Islam? Karena jelas bahwa
teori tersebut adalah teori dari Al-Quran. Teori ekonomi kapitalis dan sosialis menggunakan
sektor moneter dan sektor alam sebagai penggerak utama perekonomian, sedangkan ekonomi
Islam menggunakan fitrah manusia sebagai faktor utama penggerak ekonomi.
Nilai sosiologi dalam perekonomian diperlukan. Dalam proses produksi, produsen akan
memikirkan jenis-jenis barang yang sedang diminati masyarakat dan menciptakan produkproduk baru lainnya yang menjadi kebutuhan masyarakat. Namun barang-barang yang akan
diproduksi tersebut harus sesuai dengan budaya dan nilai-nilai di masyarakat karena barang
yang diproduksi akan mempengaruhi perubahan kebudayaan (life style) di suatu wilayah.
Selain itu juga, akan mempengaruhi tingkat konsumsinya. Dalam proses pendistribusian,
manusia harus memperhatikan sasaran mana saja yang perlu didistribusikan suatu produk
tertentu. Prinsip pemerataan dan keadilan yang digunakan dalam proses distribusi.
Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa dalam proses produksi diperlukan pembagian kerja
untuk meningkatkan produktivitas. Prinsip ini diterima karena dengan adanya pembagian
kerja dalam produksi barang sesuai dengan keahlian masing-masing akan tercipta produk
yang berkualitas tinggi. Oleh karena itu, dalam proses produksi suatu barang diperlukan
banyak tenaga manusia yang mempunyai keahlian tertentu, bukannya dimonopoli oleh satu
pihak. Jika suatu produk dikerjakan oleh banyak tenaga ahli, maka akan terproduksi barangbarang dalam jumlah yang dapat memenuhi kebutuhan sejumlah si pekerja itu sendiri, bahkan
melimpah berkali lipat. Kelebihan hasil produksi tersebut dapat diperdagangkan ke
masyarakat dalam dan luar negeri dan menghasilkan laba. Apabila barang berkualitas
dihasilkan, permintaan akan meningkat. Permintaan meningkat artinya laba yang diterima
juga meningkat. Dengan begitu GPD akan meningkat dengan diikuti meningkatnya
kesejahteraan masyarakat karena produk yang dihasilkan mempunyai kualitas yang baik
tanpa harus mendzolimi pembeli. Jadi, dapat dikatakan bahwa terbentuknya suatu barang
memerlukan banyak tenaga untuk mengerjakannya (disebut organisasi sosial). Dengan
diperlukannya tenaga manusia yang banyak, maka hal ini sebenarnya sebagai upaya juga
untuk mengurangi pengangguran. Hal ini akan berkaitan dengan pembentukan harga. Harga
dibentuk oleh tingkat penawaran dan permintaan. Suatu harga terbentuk berdasarkan jumlah
tenaga kerja yang membentuknya atau berdasarkan sektor riil yang terjadi. Dengan prinsip
itulah, harga tidak akan terbentuk semena-mena.

Itulah, prinsip dasar ekonomi Islam yang akan menjadikan kemajuan ekonomi yang
sesungguhnya dimana kenaikan GDP diikuti dengan kenaikan kesejahteraan umat.
2.2.3

Pengolahan Sumber Daya Alam

Dalam pandangan Islam, hutan dan barang tambang adalah milik umum yang harus
dikelola hanya oleh negara dimana hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk
barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer semisal pendidikan, kesehatan dan
fasilitas umum. Paradigma pengelolaan sumberdaya alam milik umum yang berbasis swasta
atau (corporate based management) harus dirubah menjadi pengelolaan kepemilikan umum
oleh negara (state based management) dengan tetap berorientasi kelestarian sumber daya
(sustainable resources principle).Pendapat bahwa sumber daya alam milik umum harus
dikelola oleh negara untuk hasilnya diberikan kepada rakyat dikemukakan oleh An-Nabhani
berdasarkan pada hadits riwayat Imam At-Tirmidzi dari Abyadh bin Hamal. Dalam hadits
tersebut, Abyad diceritakan telah meminta kepada Rasul untuk dapat mengelola sebuah
tambang garam. Rasul meluluskan permintaan itu, tapi segera diingatkan oleh seorang
shahabat,
Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya
engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (mau al-iddu) Rasulullah
kemudian bersabda: Tariklah tambang tersebut darinya.

Mau al-iddu adalah air yang karena jumlahnya sangat banyak digambarkan mengalir
terus menerus. Hadist tersebut menyerupakan tambang garam yang kandungannya sangat
banyak dengan air yang mengalir. Bahwa semula Rasullah SAW memberikan tambang
garam kepada Abyadh menunjukkan kebolehan memberikan tambang garam atau tambang
yang lain kepada seseorang. Tapi ketika kemudian Rasul mengetahui bahwa tambang
tersebut merupakan tambang yang cukup besar, digambarkan bagaikan air yang terus
mengalir, maka Rasul mencabut pemberian itu, karena dengan kandungannya yang sangat
besar itu tambang tersebut dikategorikan milik umum. Dan semua milik umum tidak boleh
dikuasai oleh individu.Yang menjadi fokus dalam hadits tersebut tentu saja bukan garam,
melainkan tambangnya. Terbukti, ketika Rasul mengetahui bahwa tambang garam itu
jumlahnya sangat banyak, ia menarik kembali pemberian itu. An-Nabhani mengutip
ungkapan Abu Ubaid yang mengatakan:
Adapun pemberian Nabi SAW kepada Abyadh bin Hambal terhadap tambang garam yang
terdapat di daerah Marab, kemudian beliau mengambilnya kembali dari tangan Abyadh,
sesungguhnya beliau mencabutnya semata karena menurut beliau tambang tersebut
merupakan tanah mati yang dihidupkan oleh Abyadh lalu dia mengelolanya. Ketika Nabi
SAW mengetahui bahwa tambang tersebut (laksana) air yang mengalir, yang mana air
tersebut merupakan benda yang tidak pernah habis, seperti mata air dan air bor, maka
beliau mencabutnya kembali, karena sunnah Rasulullah SAW dalam masalah padang, api
dan air menyatakan bahwa semua manusia berserikat dalam masalah tersebut, maka beliau
melarang bagi seseorang untuk memilikinya, sementara yang lain tidak dapat memilikinya.
Penarikan kembali pemberian Rasul kepada Abyadh adalah illat dari larangan sesuatu
yang menjadi milik umum termasuk dalam hal ini barang tambang yang kandungannya
sangat banyak untuk dimiliki individu. Dalam hadits dari Amru bin Qais lebih jelas lagi

disebutkan bahwa yang dimaksud dengan garam di sini adalah tambang garam atau
madanul milhi (tambang garam). Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud,
bahwa Rasulullah telah memberikan tambang kepada Bilal bin Harits Al Muzni dari
kabilahnya, serta hadits yang diriwayatkan oleh Abu Ubaid dalam kitab Al Amwal dari Abi
Ikrimah yang mengatakan: Rasulullah saw.memberikan sebidang tanah ini kepada Bilal
dari tempat ini hingga sekian, berikut kandungan buminya, baik berupa gunung atau
tambang, sebenarnya tidak bertentangan dengan hadits Abyadh ini. Hadits di atas
mengandung pengertian bahwa tambang yang diberikan oleh Rasulullah kepada Bilal
kandungannya terbatas, sehingga boleh diberikan. Sebagaimana Rasulullah pertama kalinya
memberikan tambang garam tersebut kepada Abyadh. Tapi kebolehan pemberian barang
tambang ini tidak boleh diartikan secara mutlak, sebab jika diartikan demikian tentu
bertentangan dengan pencabutan Rasul setelah diketahui bahwa tambang itu kandungannya
besar bagaikan air yang terus mengalir. Jadi jelaslah bahwa kandungan tambang yang
diberikan Rasulullah tersebut bersifat terbatas.
Menurut konsep kepemilikan dalam sistem ekonomi Islam, tambang yang jumlahnya
sangat besar baik yang nampak sehingga bisa didapat tanpa harus susah payah seperti
garam, batubara, dan sebagainya; ataupun tambang yang berada di dalam perut bumi yang
tidak bisa diperoleh kecuali dengan usaha keras seperti tambang emas, perak, besi, tembaga,
timah dan sejenisnya termasuk milik umum. Baik berbentuk padat, semisal kristal ataupun
berbentuk cair, semisal minyak, semuanya adalah tambang yang termasuk dalam pengertian
hadits di atas.
Sedangkan benda-benda yang sifat pembentukannya mencegah untuk hanya dimiliki oleh
pribadi, benda tersebut termasuk milik umum. Meski termasuk dalam kelompok pertama,
karena merupakan fasilitas umum, benda-benda tersebut berbeda dengan kelompok yang
pertama dari segi sifatnya, maka benda tersebut tidak bisa dimiliki oleh individu. Berbeda
dengan kelompok pertama, yang memang boleh dimiliki oleh individu. Air misalnya,
mungkin saja dimiliki oleh individu, tapi bila suatu komunitas membutuhkannya, individu
tidak boleh memilikina. Berbeda dengan jalan, sebab jalan memang tidak mungkin dimiliki
oleh individu.
Oleh karena itu, sebenarnya pembagian ini - meskipun dalilnya bisa diberlakukan illat
syariyah, yaitu keberadaannya sebagai kepentingan umum - esensi faktanya menunjukkan
bahwa benda-benda tersebut merupakan milik umum (collective property). Seperti jalan,
sungai, laut, dana, tanah-tanah umum, teluk, selat dan sebagainya. Yang juga bisa disetarakan
dengan hal-hal tadi adalah masjid, sekolah milik negara, rumah sakit negara, lapangan,
tempat-tempat penampungan dan sebagainya.
Al-Assal & Karim (1999: 72-73) mengutip pendapat Ibnu Qudamah dalam Kitabnya AlMughni mengatakan:
Barang-barang tambang yang oleh manusia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya,
seperti halnya garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat), petroleum, intan dan lainlain, tidak boleh dipertahankan (hak kepemilikan individualnya) selain oleh seluruh kaum
muslimin, sebab hal itu akan merugikan mereka.
Maksud dari pendapat Ibnu Qudamah adalah bahwa barang-barang tambang adalah milik
orang banyak meskipun diperoleh dari tanah hak milik khusus. Maka barang siapa

menemukan barang tambang atau petroleum pada tanah miliknya tidak halal baginya untuk
memilikinya dan harus diberikan kepada negara untuk mengelolanya.
a. Pemasukan Negara
Dengan memahami ketentuan syariat Islam terhadap status sumber daya alam dan
bagaimana sistem pengelolaannya bisa didapat dua keuntungan sekaligus, yakni didapatnya
sumber pemasukan bagi anggaran belanja negara yang cukup besar untuk mencukupi
berbagai kebutuhan negara dan dengan demikian diharapkan mampu melepaskan diri dari
ketergantungan terhadap utang luar negeri bagi pembiayaan pembangunan negara.
Dalam sistem ekonomi Islam, menurut An-Nabhani (1990), negara mempunyai sumbersumber pemasukan tertentu yang telah ditetapkan oleh syariat melalui Baitul Mal. Baitul Mal
adalah kas negara untuk mengatur pemasukan dan pengeluaran harta yang dikelola oleh
negara. Mekanisme pemasukan maupun pengeluarannya semua ditentukan oleh syariat
Islam. Sektor-sektor pemasukan dan pengeluarannya Kas Baitul Mal, adalah:
1. Sektor kepemilikan individu
Pemasukan dari sektor kepemilikan individu ini berupa zakat, infaq dan shadaqah.
Untuk zakat, karena kekhususannya, harus masuk kas khusus dan tidak boleh dicampur
dengan pemasukan dari sektor yang lain. Dalam pengeluarannya, khalifah (kepala negara
dalam pemerintahan Islam) harus mengkhususkan dana zakat hanya untuk delapan pihak,
sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Al-Quran (At-Taubah: 60), yaitu: 1). Faqir, 2).
Miskin, 3). Amil zakat, 4). Muallaf, 5) Memerdekakan budak, 6) Gharimin (terlilit hutang),
7). Jihad fi sabilillah, 8). Ibnu sabil (yang kehabisan bekal dalam perjalanannya). Sementara,
infaq dan shadaqah pendistribusiannya diserahkan kepada ijtihad khalifah yang semuanya
ditujukan untuk kemashlahatan ummat.
2. Sektor kepemilikan umum
Tercakup dalam sektor ini adalah segala milik umum baik berupa hasil tambang,
minyak, gas, listrik, hasil hutan dsb. Pemasukan dari sektor ini dapat digunakan untuk
kepentingan:
1. Biaya eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam, mulai dari biaya tenaga kerja,
pembangunan infrastruktur, penyediaan perlengkapan, dan segala hal yang
berhubungan dengan dua kegiatan pengelolaan sumber daya alam di atas.
2. Membagikan hasilnya secara langsung kepada masyarakat yang memang sebagai
pemilik sumberdaya alam itu berhak untuk mendapatkan hasilnya. Khalifah boleh
membagikannya dalam bentuk benda yang memang diperlukan, seperti air, gas,
minyak, listrik secara gratis; atau dalam bentuk uang hasil penjualan.
3. Sebagian dari kepemilikan umum ini dapat dialokasikan untuk biaya dakwah dan
jihad.
3.

Sektor kepemilikan negara

Sumber-sumber pemasukan dari sektor ini meliputi fai, ghanimah, kharaj, seperlima rikaz,
10% dari tanah usyriyah, jizyah, waris yang tidak habis dibagi dan harta orang murtad.
Untuk pengeluarannya diserahkan pada ijtihad khalifah untuk kepentingan negara dan
kemashlahatan ummat.

b. Khatimah
Jelas sekali, pemerintah harus memanfaatkan seoptimal mungkin sumber dayaalam
negeri ini yang sesungguhnya sangat melimpah itu. Harus ada strategi baru dalam
memanfaatkan sumberdaya itu. Sudah saatnya, misalnya hanya BUMN yang berhubungan
dengan hutan saja yang mengelola hutan-hutan yang ada di negeri ini. Demikian juga dengan
sumberdaya lain. Eksplorasi emas oleh PT Freeport merupakan kesalahan besar. Sejak tahun
1973 konon lebih dari Rp 500 triliun hasil emas melayang ke luar negeri. Memang
pemerintah mendapatkan pajak dan sebagainya. Tapi pasti angkanya jauh lebih kecil dari
hasilnya itu sendiri. Andai itu sepenuhnya dikelola oleh negara, dana yang tidak sedikit itu
tentu bisa diselamatkan untuk kesejahteraan rakyat. Begitu juga dengan barang tambang lain.
Pemanfaatan seoptimal mungkin sumberdaya alam itu hanya mungkin bila BUMN yang
menangani semua kekayaan milik umum itu dikelola secara profesional dan amanah. Sudah
menjadi rahasia umum betapa di BUMN-BUMN itu selama ini terjadi inefisiensi luar biasa
akibat praktek-praktek kolusi dan korupsi. Akibatnya, bukan hanya dana itu tidak sampai ke
tangan rakyat, BUMN itu juga mengalami kerugian. Bagaimana mungkin PLN misalnya,
yang menjadi perusahaan tunggal dalam pengelolaan listrik, bisa merugi? Padahal tidak ada
satupun rakyat yang tidak menggunakan listrik. Juga tidak ada perusahaan lain yang menjadi
saingan PLN. Itu semua terjadi karena mismanajemen dan korupsi. Dengan efisiensi, dana
yang diperoleh bisa digunakan untuk kesejahteraan rakyat, dan BUMN itu juga bisa berjalan
dengan baik. Rakyatnya makmur sejahtera, negara tidak perlu berhutang ke sana kemari.
Insya Allah.

Anda mungkin juga menyukai