Anda di halaman 1dari 36

1

I.

Judul Penelitian :
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Upaya Pencegahan Penularan
Tuberkulosis Paru pada Keluarga di Wilayah Kerja Puskesmas Turikale
Kabupaten Maros

II.

Ruang Lingkup Penelitian :


A. Ruang lingkup materi
Materi pada penelitian ini adalah Ilmu Kesehatan Masyarakat.
B. Ruang lingkup responden
Responden pada penelitian ini adalah penderita TB Paru Baru di wilayah
Puskesmas Turikale Tahun 2014
C. Ruang Lingkup Tempat
Tempat penelitian ini dilakukan di rumah penderita

TB Paru Baru di

Puskesmas Turikale
D. Ruang Lingkup Data
Data yang digunakan untuk penelitian ini adalah data Puskesmas Turikale
dari bulan Januari Desember 2014.
III. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Tuberculosis (TB) paru masih menjadi masalah utama dari
beberapa masalah kesehatan di dunia. World Health Organization (WHO)
mengemukakan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian
tertinggi kedua dari jenis penyakit menular di seluruh dunia, setelah

penyakit Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Secara global


pada tahun 2011, ditemukan hampir 9 juta kasus TB baru dengan 1,4 juta
yang mengalami kematian. Insiden kasus TB 8,7 juta atau setara dengan
125 kasus per 100.000 penduduk di dunia dan 59% diantaranya terjadi di
Asia (Depkes RI, 2007) .
Indonesia menempati posisi keempat negara dengan kasus TB
terbanyak. Total seluruh kasus TB di Indonesia pada tahun 2012 sebanyak
331.424 kasus, yang terdiri dari 202.319 adalah kasus TB baru Basil Tahan
Asam (BTA) positif, 104.866 kasus TB BTA negatif, 15.697 kasus TB
Extra Paru, 5.942 kasus TB Kambuh, dan 2.600 kasus pengobatan ulang
diluar kasus kambuh (World Health Organization, 2013). Keseluruhan
kasus TB yang terjadi di Indonesia ternyata 1,5 kali lebih banyak dialami
oleh laki-laki dibandingkan dengan perempuan (Depkes RI, 2010).
Total estimasi insidens (kasus Baru) TB di Indonesia yang dilapor
kan oleh WHO dalam

Global report 2011 adalah 450.000 pertahun

sedangkan prevalensinya sekitar 690.000

pertahun. Sejak tahun 2010

WHO tidak lagi menyebutkan ranking negara, tetapi Indonesia memang


masih termasuk 10 besar negara TB dengan beban permasalahan TB
terbesar.

Sebetulnya insidens sudah menunjukkan

kecenderungan

penurunan walaupun masih sangat lambat. Sepertiga dari populasi dunia


sudah tertular dengan tuberkulosis paru dimana sebagian besar penderita

tuberkulosis

paru adalah usia produktif

yakni usia 15 - 55 tahun.

(Widiarini, 2013)
Di Sulawesi Selatan sendiri kasus tuberkulosis paru masih tinggi.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi-Selatan pada tahun
2011 penderita penyakit menular ini mencapai 8.939 kasus. Angka ini
meningkat signifikan dibanding tahun sebelumnya yang hanya 7.783 kasus.
( Dinkes Sulsel.2012).
Jumlah penderita TB Paru Klinis di Kabupaten Maros pada tahun
2011 yang berobat ke puskesmas adalah 40 orang. Jumlah TB Paru BTA
(+) sebanyak 240 orang.Kasus TB Paru di Kabupaten Maros terbanyak
adalah di wilayah kerja Puskesmas Turikale sebanyak 67 penderita. Data
hasil kegiatan program P2 TB Kabupaten Maros dari tahun 2007 s/d 2011
menunjukkan peningkatan jumlah BTA (+) setiap tahun yakni 176 kasus
pada tahun 2007, 209 kasus pada tahun 2008, 213 kasus pada tahun 2009,
217 kasus pada tahun 2010, dan 240 kasus pada tahun 2011. Sementara itu
jumlah pasien yang berobat sampai dinyatakan sembuh fluktuatif setiap
tahun. Dari tahun 2007 s/d tahun 2010 terjadi penurunan jumlah pasien
sembuh. Pada tahun 2007, 83 % dari penderita dinyatakan sembuh,
menurun menjadi 33 % pada tahun 2008, 28 % pada tahun 2009, 23 %
pada tahun 2010 kemudian meningkat menjadi 82 % pada tahun 2011
(Dinkes Maros, 2012).

Tuberculosis pulmonal atau biasa disebut tuberculosis paru (TB


Paru) merupakan penyakit menular yang menyebar melalui batuk dan
dahak. Penyakit TB paru disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis.
Sumber penularan berasal dari pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan
basil tahan asam (BTA) positif pada saat batuk dan bersin. Penyebarkan
kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei), sekali batuk
menghasilkan 3000 percikan dahak. Kuman yang menyebar diudara
kemudian terhirup ke dalam paru orang sehat sehingga dapat terkena
infeksi (Media,2011)
Penularan

biasa

terjadi

dalam

ruangan

dimana

bakteri

mycobacterium tuberculosis dapat bertahan beberapa jam di suhu ruangan


dan bertahan selama 3 6 bulan ditempat yang gelap dan lembab. Ventilasi
dapat mengurangi jumlah kuman, sedangkan sinar matahari langsung dapat
membunuh kuman.2 Risiko tertular berhubungan erat dengan lama dan
kualitas tingkat pajanan kuman TB paru. Pasien TB paru BTA positif
memiliki risiko menularkan daripada pasien TB paru BTA negatif kepada
orang terdekat.2 Setiap satu BTA positif dapat menularkan 10 15 orang
lainnya. Risiko penularan TB paru di Indonesia antara 1 3% per 1000
penduduk setiap tahunnya. Sehingga dari 100 penduduk terdapat 1- 3 orang
terinfeksi TB paru BTA positif (Astuti dan Arianto,2010)
Faktor yang paling mempengaruhi TB paru adalah daya tahan tubuh
yang rendah dan gizi yang buruk. Faktor risiko adalah semua variabel yang

berperan munculnya suatu kejadian penyakit. Selain daya tahan tubuh,


faktor lingkungan dan kependudukan juga dapat mempengaruhi terjadinya
TB Paru (Fahreza,dkk,2012).
Dalam

strategi

Directly

Observed

Treatment

Shortcourse

Chemotherapy (DOTS) fokus utama strategi ini adalah penemuan dan


penyembuhan pasien TB tipe yang menular seperti TB paru. Dengan
strategi ini diharapkan dapat menurunkan insidens TB di masyarakat.
Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam
upaya pencegahan penularan TB. Namun selain dengan strategi DOTS
untuk mencegah penularan TB paru juga harus memperhatikan faktor
faktor lain yang mempengaruhi terjadinya faktor risiko TB paru seperti :
faktor lingkungan (kepadatan, lantai rumah, ventilasi, pencahayaan,
kelembapan, ketinggian) dan kependudukanseperti jenis kelamin, umur,
status gizi, dan kondisi sosial ekonomi (Widiarini, 2013)
Faktor perilaku juga dapat mempengaruhi terjadinya penularan
dilihat dari proses penularan TB paru yang melalui udara pada saat batuk,
bersin, atau bicara. Beberapa perilaku yang sering diabaikan oleh pasien
adalah pentingnya menggunakan masker mulut, membiasakan menutup
mulut saat batuk dan tidak meludah disembarangan tempat.1 Hal itu perlu
diterapkan oleh pasien TB paru agar tidak terjadi penularan kontak. Selain
itu penangangan di lingkungan keluarga yang tidak tepat menyebabkan

masih tingginya penularan penyakit TB paru dilingkungan keluarga


(Manalu,2010)
Masih

tingginya

kasus

TB

paru

menyebabkan

semakin

meningkatnya risiko penularan TB paru secara luas. Oleh karena itu


didalam menangani pasien TB paru jika ditemukan pasien dengan hasil
BTA positif maka dalam satu keluarga atau semua kontak pasien dan yang
serumah dengan pasien TB paru harus melakukan pemeriksaan dahak
mikroskopis untuk melihat adakah terjadinya penularan TB paru didalam
lingkungan rumah. Terjadinya penularan pada keluarga pasien tergantung
pada beberapa faktor. Maka dipandang perlu untuk melakukan penelitian
tentang faktor yang berhubungan dengan pencegahan penularan TB paru
dalam keluarga.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dan latar belakang tersebut di atas dapat
dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: faktor apa saja yang
berhubungan dengan upaya pencegahan penularan tuberkulosis paru pada
keluarga di wilayah kerja Puskesmas Turikale Kabupten Maros.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan upaya
pencegahan penularan tuberkulosis paru pada keluarga di Wilayah Kerja
Puskesmas Turikale Kabupten Maros.

Tujuan Khusus
1.

Menganalisis hubungan antara pengetahuan pasien tentang TB paru


dengan penularan TB paru dalam keluarga.

2.

Menganalisis hubungan antara pengetahuan kontak pasien tentang TB


paru dengan penularan TB paru dalam keluarga.

3.

Menganalisis hubungan antara sikap pasien tentang TB paru dengan


penularan TB paru dalam keluarga.

4.

Menganalisis hubungan antara sikap kontak pasien tentang TB paru


dengan penularan TB paru dalam keluarga.

5.

Menganalisis hubungan antara perilaku pasien tentang cara mencegah


penularan TB paru dalam keluarga dengan penularan TB paru dalam
keluarga.

6.

Menganalisis hubungan antara perilaku kontak pasien tentang cara


mencegah tertular TB paru dalam keluarga dengan penularan TB paru
dalam keluarga.

7.

Menganalisis hubungan antara kejadian penularan TB paru dalam


keluarga dari pasien kepada kontak pasien di Puskesmas Turikale
Kabupaten Maros

D. Manfaat Penelitian
1.

Sebagai masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Maros


memberi

penyuluhan

tentang

penularan

Tuberkulosis paru, khususnya bagian P2M.

dan

untuk

penanggulangan

2.

Penelitian ini memberikan informasi kepada seluruh Petugas


Kesehatan tentang pencegahan penularan Tuberkulosis paru.

3.

Penelitian ini bermanfaat bagi Penderita TB Paru Positif dalam upaya


tindakan pencegahan penularan Tuberkulosis paru.

4.

Penelitian ini bermanfaat bagi peneliti dalam menambah wawasan dan


menjadi rujukan untuk penelitian selanjutnya.

IV.

Tinjauan Pustaka
A. Tinjauan tentang Masalah Penelitian
1.

Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis

adalah

penyakit

menular

langsung

yang

disebabkan oleh kuman TB Paru (Mycobacterium TB Paru). Sebagian


besar kuman TB Paru menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai
organ tubuh lainnya. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat
khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu
disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TBC cepat
mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup
beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh
kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama beberapa tahun
(Depkes RI, 2008).
2.

Epidemiologi Tuberkulosis
Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
penting di dunia ini. Pada tahun 1993 World Health Organization

(WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency.


Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus
baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA
(Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi
kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus
TB terjadi di Asia Tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia,
namun bila dilihat dari jumlah pendduduk terdapat 182 kasus per
100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia
Tenggara yaitu 350 per 100.000 penduduk (Depkes RI,2007)
Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari
dan 2 - 3 juta setiap tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan
bahwa jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara
yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000
penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per
100.000 penduduk, dimana prevalensi HIV yang cukup tinggi
mengakibatkan

peningkatan

cepat

kasus

TB

yang

muncul

(Widiarni,2013)
Pada tahun 1995, diperkirakan setiap tahun terjadi sekitar 9 juta
penderita baru TB Paru dengan kematian 3 juta orang (WHO,
Treatment of TB Paru, Guidelines for National Programmes, 1997). Di
negara-negara berkembang kematian TB Paru merupakan 25% dari
seluruh kematian, yang sebenarnya dapat dicegah. Diperkirakan 95%

10

penderita TB Paru berada di negara berkembang, 75% penderita TB


Paru adalah kelompok usia produktif yaitu 15-50 tahun (Depkes RI,
2007).
Penelitian Heryanto ,dkk (2001) di Kabupaten Bandung
menemukan Karakteristik kasus kematian penderita TB paru hampir
tersebar pada semua kelompok umur, paling banyak pada kelompok
usia 20-49 tahun (58,3%) yang merupakan usia produktif dan usia
angkatan kerja. Proporsi menurut jenis kelamin, laki-laki (54,5%). dan
perempuan (45,5%). Sebagian besar tidak bekerja (34,9%) dan
berpendidikan rendah (tidak sekolah, tidak tamat SD, dan tamat SD)
sebesar 62,9% .
3.

Kuman dan Cara Penularan Tuberkulosis


Kuman, Mycobacterium tuberculosis sebagai kuman penyebab
Tuberkulosis Para ditemukan pertama kali oleh Robert Koch pada
tahun 1882, adalah suatu basil yang bersifat tahan asam pada
pewarnaan sehingga disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA).
Mycobacterium

tuberculosis

berbentuk

batang

bersifat

aerob,

panjangnya 1 - 4 mikron, lebarnya antara 0,3 sampai 0,6 mikron.


Kuman akan tumbuh optimal pada suhu sekitar 37C yang memang
kebetulan sesuai dengan tubuh manusia, basil tuberkulosis tahan hidup
berbulan-bulan pada suhu kamar dan dalam ruangan yang gelap dan
lembab, dan cepat mati terkena sinar matahari langsung (sinar

11

ultraviolet), dalam jaringan tubuh kuman ini bersifat dormant (tertidur


lama) selama beberapa tahun dan dapat kembali aktif jika mekanisme
pertahanan tubuh lemah (Alsagaff, 2005).
Kuman TB Paru bersifat aerob dan lambat tumbuh (Holt,
1994). Suhu optimum pertumbuhannya 37-38oC. Kuman TB Paru
cepat mati pada paparan sinar matahari langsung tapi dapat bertahan
beberapa jam pada tempat yang gelap dan lembab serta dapat bertahan
hidup 8-10 hari pada sputum kering yang melekat pada debu (Depkes
RI, 2007).
Sumber infeksi yang terpenting adalah dahak penderita TB
Paru Positif. Penularan terjadi melalui percikan dahak (droplet
Infection) saat penderita batuk, berbicara atau meludah (Crotton, 1998).
Kuman TB Paru dari percikan tersebut melayang di udara, jika terhirup
oleh orang lain akan masuk kedalam sistem respirasi dan selanjutnya
dapat menyebabkan penyakit pada penderita yang menghirupnya.
Dengan demikian penyakit ini sangat erat kaitanya dengan lingkungan.
Penyakit TB Paru dapat terjadi akibat dari komponen
lingkungan yang tidak seimbang (pencemaran udara). Masalah
pencemaran udara di permukaan bumi sudah ada sejak zaman
pembentukan bumi itu sendiri. Namun dampak bagi kesehatan
manusia, tentu dimulai sejak manusia pertama itu terbentuk. Udara
adalah salah satu media transmisi penularan TB Paru dimana manusia

12

memerlukan oksigen untuk kehidupan. Jadi jika seorang penderita TB


Paru positif membuang dahak di sembarang tempat, maka kuman TB
dalam jumlah besar berada di udara ( Achmadi, 2011).
Kuman TB Paru dapat menginfeksi berbagai bagian tubuh dan
lebih memilih bagian tubuh dengan kadar oksigen tinggi. Paru-paru
merupakan tempat predileksi utama kuman TB Paru. Gambaran TB
Paru pada paru yang dapat di jumpai adalah kavitasi, fibrosis,
pneumonia progresif dan TB Paru endobronkhial. Sedangkan bagian
tubuh ekstra paru yang sering terkena TB Paru adalah pleura, kelenjar
getah

bening,

susunan

saraf

pusat,

abdomen

dan

tulang

(Depkes,RI,2007).
Kemungkinan suatu infeksi berkembang menjadi penyakit,
tergantung pada konsentrasi kuman yang terhirup dan daya tahan
tubuh Sumber penularan adalah pasien TB Paru BTA positif. Pada
waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat
menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan
terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu
yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara
sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat
bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan
lembab(Depkes RI, 2007).

13

Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya


kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan
hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. Faktor yang
memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh
konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara
tersebut. Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan
percikan dahak (Manalu,2010).
Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan
risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif.
Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of
Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko
Terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10
(sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. ARTI
di Indonesia bervariasi antara 1-3%. Infeksi TB dibuktikan dengan
perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif.
4.

Diagnosa TBC (Tuberkulosis) Paru


Diagnosa penyakit TBC Paru dapat dilakukan dengan cara :
a. Pemeriksaan Dahak Mikroskopis
Penemuan basil tahan asam (BTA) merupakan suatu alat
penentu yang arnat penting dalam diagnosis Tuberkulosis Paru.
Diagnosis TB Paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan
ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis.

14

Hasil pemeriksaan dinyatakan apabila sedikitnya dua dari tiga


spesimen hasilnya positif (Depkes RI, 2007).
Tujuan pemeriksaan dahak adalah untuk menegakkan
diagnosis dan menentukan klasifikasi/tipe penyakit, menilai
kemajuan pengobatan dan untuk menentukan tingkat penularan.
Pemeriksaan dilakukan pada penderita Tuberkulosis Paru dan
suspek Tuberkulosis. Pengambilan spesimen dahak yaitu : (Depkes
RI, 2007)
1) S (Sewaktu) : dahak dikumpulkan pada saat suspek datang
berkunjung pertarma kali. Pada saat pulang, suspek membawa
sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak hari kedua.
2) P (Pagi) : dahak dikumpulkan dirumah pada pagi hari kedua,
segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri
kepada petugas di UPK (Unit Pelayanan Kesehatan).
3) S (Sewaktu) : dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua saat
menyerahkan dahak pagi.
Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, Tuberkulosis Paru dibagi:
1) Tuberkulosis Paru BTA Positif
a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya
BTA Positif.

15

b) Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA Positif dan foto


rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif
2) Tuberkulosis Paru BTA Negatif
Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
Negatif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran
tuberkulosis aktif ditentukan oleh dokter, selanjutnya dibagi
menjadi bentuk berat dan ringan tergantung pada gambaran
luas kerusakan paru pada foto rontgen dan melihat kepada
keadaan penderita yang buruk. Penentuan klasifikasi penyakit
dan tipe penderita penting dilakukan untuk menetapkan paduan
OAT yang sesuai dan dilakukan sebelum pengobatan dimulai.
b. Pemeriksaan Foto Toraks
Tidak dibenarkan mendiagnosa penyakit TB Paru hanya
dengan berdasarkan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu
memberikan gambaran yang khas pada TB Paru. Indikasi
pemeriksaan foto toraks adalah sebagai berikut :
1) Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
2) Mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan
penanganan khusus (Dinkes Sulsel,2012).
5.

Gejala TBC (Tuberkulosis) Paru


Gambaran klinik Tuberkulosis paru oleh Faisal, 1992 digambarkan

sebagai berikut :

16

a.

Batuk
Batuk terus-menerus dan berdahak selama 3 (tiga) minggu
atau, lebih. Batuk baru timbul apabila proses penyakit telah
melibatkan bronkus dan terjadi iritasi. Akibat adanya peradangan
pada bronkus, batuk akan menjadi produktif yang berguna untuk
membuang produk-produk ekskresi peradangan.

b.

Dahak
Dahak awalnya bersifat mukoid dan keluar dalam jumlah
sedikit, kemudian berubah menjadi mukopurulen/kuning atau
kuning hijau sampai purulen dan kemudian dapat bercampur
dengan darah.

c.

Batuk darah
Darah yang dikeluarkan penderita mungkin berupa garis
atau bercak-bercak darah, gumpalan-gumpalan darah atau darah
segar dalam jumlah yang sangat banyak. Kehilangan darah yang
banyak kadang akan mengakibatkan kematian yang cepat.

d.

Sesak Nafas
Gejala ini ditemukan pada penyakit yang lanjut dengan
kerusakan paru yang cukup luas atau pengumpulan cairan di
rongga pleura sebagai komplikasi tuberkulosis paru.

e.

Nyeri Dada

17

Nyeri kadang berupa, nyeri menetap yang ringan. Kadangkadang lebih sakit sewaktu menarik nafas dalam. Bisa juga
disebabkan regangan otot karena batuk.
6.

Tipe Penderita TBC (Tuberculosis) Paru


Menurut Depkes RI tahun 2007, tipe penderita ditentukan berdasarkan
riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita yaitu :
a.

Kasus Baru
Adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT
atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis
harian).

b.

Kambuh (Relaps)
Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh,
kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak
BTA positif

c.

Pindahan (Transfer In)


Adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di
suatu kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten
tersebut. Penderita pindahan tersebut harus membawa Surat
rujukan/pindah (Form TB. 09).

d.

Setelah Lalai (Pengobatan setelah default/drop out)

18

Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1


bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali
berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA positif
e.

Lain-lain
1) Gagal ; adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif
atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke 5 (satu bulan
sebelum akhir pengobatan) atau lebih.
2) Kasus Kroni ; adalah penderita dengan hasil pemeriksaan
masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2

7. Riwayat Terjadinya Tuberkulosis.

a.

Infeksi Primer
Tuberkulosis paru primer adalah peradangan paru yang
disebabkan oleh basil tuberkulosis pada tubuh penderita yang
belum pemah mempunyai kekebalan yang spesifik terhadap basil
tersebut. Terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan
kuman TBC. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya,
sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus
dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap disana
(Depkes RI, 2007)
Kelanjutan dari infeksi primer tergantung dari banyaknya
kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh

19

(imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh


tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman tuberkulosis.
Meskipun demikian, ada beberapa, kuman akan menetap sebagai
kuman persisten atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan
tubuh

tidak mampu menghentikan perkembangan kuman,

akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi


penderita tuberkulosis. Masa inkubasi, yaitu waktu yang
diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit diperkirakan
sekitar 6 bulan (Depkes RI, 2007).
b.

Tuberkulosis Pasca Primer (Post Primary TBC)


Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah
beberapa bulan atau tahun sesudah tuberkulosis primer. Infeksi
dapat berasal dari luar (eksogen) yaitu infeksi ulang pada tubuh
yang pernah menderita tuberkulosis, infeksi dari dalam (endogeny
yaitu infeksi berasal dari basil yang sudah ada dalam tubuh,
merupakan proses lama yang pada mulanya, tenang dan oleh suatu
keadaan menjadi aktif kembali, misalnya karena daya, tahan tubuh
yang menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk
(Depkes RI, 2007).

8.

Faktor Determinan Penyakit Tuberkulosis


a. Host

20

1) Umur Sebagian besar

masuknya TB pada

anak tidak

menimbulkan penyakit tetapi tetap tinggal dalam paru sampai


anak menjadi dewasa. Pada negara berkembang cenderung
terjadi pada kelompok umur produktif (15-50 tahun), hal ini
disebabkan karena orang pada usia produktif mempunyai
mobilitas

yang

tinggi

sehingga

untuk

terpapar

kuman

Tuberkulosis lebih besar (Crofton, 2002).


2) Jenis Kelamin Beberapa penelitian menunjukkan bahwa lakilaki lebih cenderung terkena TB Paru dibandingkan perempuan.
Hal ini terjadi karena laki-laki memiliki mobilitas yang tinggi,
selain itu adanya kebiasaan merokok dan mengkonsumsi alkohol
dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah terkena TB
Paru (Crofton, 2002).
3) Nutrisi dan Sosial Ekonomi

Keadaan malnutrisi akan

mempermudah terjadinya penyakit TB Paru Keadaan ini


merupakan faktor penting yang berpengaruh di negara miskin,
baik pada orang dewasa maupun anak-anak (Crofton, 2002).
4) Faktor Toksik Kebiasaan merokok dan minum alkohol dapat
menurunkan sistem pertahanan tubuh, selain itu obat-obatan
kortikosteroid dan imunosupresan juga dapat menurunkan
kekebalan tubuh (Crofton, 2002).

21

5) Penyakit lain Pada beberapa negara, infeksi HIV/AIDS Sering


ditemukan bersamaan dengan penyakit Tuberkulosis. Hal ini
disebabkan karena rusaknya sistem pertahanan tubuh (Crofton,
2002).
b. Agent
Tuberkulosis

Paru

disebabkan

oleh

basil

mycobacterium

tuberculosis. Untuk dapat mempengaruhi seseorang menjadi sakit


tergantung dari :
1) Jumlah basil sebagai penyebab infeksi yang mencukupi
2) Virulensi yang tinggi dari basil Tuberkulosis.
c. Lingkungan
Lingkungan yang buruk, misalnya pemukiman yang padat dan
kumuh, rumah yang lembab, gelap dan kamar tanpa ventilasi serta
Lingkungan kerja yang jelek akan mempermudah penularan infeksi
TB Paru.
9.

Pengobatan Tuberkulosis Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk


menyembuhkan

penderita,

mencegah

kematian,

mencegah

kekambuhan dan menurunkan tingkat penularan. Adapun jenis dan


Dosis OAT adalah sebagai berikut:
a. Isoniasid (H) Dikenal dengan INH, bersifat baktearisid, dapat
membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama
pengobatan. Obat ini sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan

22

metabolic akti, yaitu kuman yang sedang berkembang. Dosis harian


yang dianjurkan 5 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan
intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB.
b. Rifampisin (R) Bersifat baktearisid, dapat membunuh kuman semi
dormant (persister) yang tidak dapat dibunuh oleh Isoniasid. Dosis
10 mg/kg BB diberikan sama untuk pengobatan harian maupun
intermitten 3 kali seminggu.
c. Pirasinamid (Z)
Bersifat bakteriasid. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg
BB sedangkan untuk pengobatan intermitten 3 kali seminggu
digunakan dosis yang sama Penderitaberumur sampai 60 tahun
dosisnya 0,75 gr/hari, sedangkan untuk berumur 60 tahun atau lebih
diberikan 0,50 gr/hari.
d. Etambutol (E)
Bersifat sebagai bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan
25 mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan intermitten 3 kali
seminggu digunakan dosis 30 mg/kg BB. Obat TBC diberikan
dalam bentuk kombinasi dari bebrapa jenis, dalam jumlah cukup
dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman (termasuk
kuman persisten) dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan dosis
tahap lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal, sebaiknya pada saat
perut kosong. Apabila paduan obat yang digunakan tidak adekuat

23

(jenis, dosis dan jangka waktu pengobatan), kuman TBC akan


berkembang menjadi kuman kebal obat (resisten). Untuk menjamin
kepatuhan penderita menelan obat, pengobatan perlu dilakukan
dengan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed
Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
Pengobatan TBC diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap
intensif dan lanjutan. Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat
obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya
kekebalan terhadap semua OAT, terutama rifampisin. Bila
pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2
minggu. Sebagian besar penderita TBC BTA positif menjadi BTA
negatif (konversi) pada akhir pengobatan intensif. Pada tahap
lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama (Depkes RI, 2000).
B. Tinjauan Tentang Veriabel yang Diteliti
1.

Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah
orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu.24
Sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia, pengetahuan
adalah segala sesuatu yang diketahui berkenaan dengan sesuatu hal.26

24

Pengetahuan tentang kesehataan mencakup apa yang diketahui oleh


seseorang terhadap cara cara memelihara kesehatan seperti :
a. Pengetahuan penyakit menular dan penyakit tidak menular
b. Pengetahuan tentang faktor yang terkait dan mempengaruhi
kesehatan
c. Pengetahuan tentang fasilitas pelayanan kesehatan.
Tingkat pengetahuan kesehatan dapat mempengaruhi seseorang
dalam memeliharah kesehatannya dari penyakit.25 hal tersebut terbukti
dari hasil penelitian yang dilakukan di puskesmas bendosari
menyatakan, ada hubungan yang sangat kuat antara pengetahuan dan
pencegahan penularan TB paru. Pengetahuan merupakan domain yang
sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Pengetahuan
tentang TB paru yang rendah berisiko 23,021 kali lebih besar
mempengaruhi terjadinya TB paru dan kegagalan pengobatan TB paru.
2.

Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari
seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak
dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsir terlebih dahulu dari
perilaku tertutup. Sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk
bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap
belum merupakan presdiposisi tindakan suatu perilaku. Sikap
merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek dilingkungan

25

tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek. Sikap terhadap


kesehatan adalah pendapat atau penilaian seseorang terhadap hal hal
yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan. Pemegang peranan
terbesar dalam penentuan sikap adalah pengetahuan, pikiran,
keyakinan, dan emosi. Pengetahuan akan membuat pasien TB paru
untuk mencegah penularan dilingkungan keluarganya. Komponen
emosi dan keyakinan ikut serta mempengaruhi pasien untuk
memproteksi diri untuk mencegah penularan di keluarganya.
3.

Perilaku
Dalam kamus besar bahasa Indonesia perilaku merupakan
tanggapan

atau

reaksi

individu

terhadap

rangsangan

atau

lingkungan.26 Perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang


terhadap stimulus.25 Berkaitan dengan perilaku terpenting dalam
penularan TB paru adalah perilaku isolasi dahak, isolasi dahak adalah
tindakan yang dilakukan untuk mencegah penyebaran kuman TB paru.
Perilaku pencegahan penyebaran TB paru meliputi :
a.

Membuang dahak tidak sembarangan

b.

Menutup hidung dan mulut saat batuk dan bersin

c.

Menjaga jarak dalam berbicara

d.

Mengupayakan kondisi rumah tidak lembab dan gelap.

26

Selain perilaku isolasi dahak tersebut, hal terpenting bagi


pasien adalah kesembuhan pasien TB dengan teratur minum obat ant
tuberkulosis.
V. Kerangka Konsep
A. Pola Pikir Variabel yang Diteliti
Jumlah kuman TB paru
BTA +
Faktor risiko lingkungan :
a. Ventilasi
b. Kepadatan hunian
c. Lantai rumah
d. Pencahayaan
e. Kelembapan rumah

Penularan TB
Paru Dalam
Keluarga

Faktor perilaku kesehatan


a. Pengetahuan
b. Sikap
c. Perilaku (Tindakan
atau praktik)

Sumber : Modifikasi Skinner,1938 dan Depkes,2011


Keterangan :
Variable yang diteliti
Variable yang tidak diteliti

27

B. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif


1.

Definisi Operasional Pengetahuan


Pengetahuan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jawaban
responden mengenai pemahaman dalam keluarga tentang pencegahan
penularan TBC paru.
Kriteria Objektif, dengan skala ordinal:
a. Dikatakan baik bila jawaban benar 76-100%
b. Dikatakan cukup apabila jawaban benar 56-75%
c. Dikatakan kurang apabila jawaban benar <56%

2.

Definisi Operasional Sikap


Sikap yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jawaban
responden berupa respon yang dilakukan keluarga terhadap pencegahan
penularan penyakit TBC paru
Kriteria Objektif, dengan skala ordinal:

3.

a.

Dikatakan positif bila jawaban benar 50%

b.

Dikatakan negative bila jawaban benar < 50%

Definisi Operasional Tindakan


Tindakan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jawaban
responden mengenai perlakuan keluarga untuk melakukan pencegahan
penularan penyakit TBC paru di rumah
Kriteria Objektif, dengan skala ordinal:
a.

Dikatakan baik bila jawaban benar 76-100%

28

4.

b.

Dikatakan cukup apabila jawaban benar 56-75%

c.

Dikatakan kurang apabila jawaban benar <56%

Definisi Operasional Pencegahan Kejadian Penularan TB Paru


Pencegahan Kejadian Penularan TB paru yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah jawaban temuan peneliti mengenai kegiatan yang
merupakan usaha yang dilakukan keluarga untuk menghindari
tertularnya penyakit TBC paru ketika menunggui keluarganya yang
sedang dirawat
Kriteria Objektif, dengan skala ordinal:
a.

Dikatakan baik bila jawaban benar 76-100%

b.

Dikatakan cukup apabila jawaban benar 56-75%

c.

Dikatakan kurang apabila jawaban benar <56%

C. Hipotesis Penelitian
Rumusan hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut :
1.

Ada hubungan pengetahuan pasien tentang TB Paru dengan penularan


TB paru dalam keluarga di wilayah kerja Puskesmas Turikale
Kabupaten Maros

2.

Ada hubungan pengetahuan kontak tentang tentang TB paru dengan


penularan TB paru dalam keluarga di wilayah kerja Puskesmas Turikale
Kabupaten Maros

3.

Ada hubungan sikap pasien tentang TB Paru dengan penularan TB


dalam keluarga di wilayah kerja Puskesmas Turikale Kabupaten Maros

29

4.

Ada hubungan sikap kontak tentang TB paru dengan penularan TB


dalam keluarga di kelurahan Bandarharjo

5.

Ada hubungan perilaku pasien tentang cara mencegah penularan TB


paru dengan penularan TB dalam keluarga di wilayah kerja Puskesmas
Turikale Kabupaten Maros

6.

Ada hubungan perilaku kontak tentang cara mencegah tertular TB paru


dengan penularan TB dalam keluarga di wilayah kerja Puskesmas
Turikale Kabupaten Maros

VI. METODE PENELITIAN


B. Jenis Penelitian
Dilihat dari cara pengumpulan dan pengolahan datanya maka
penelitian dan pembahasan ini merupakan penelitian dengan desain Cross
Sectional.
C. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di semua rumah kontak penderita
TB Paru yang salah satu penghuninya terdaftar dan berobat ke Puskesmas
Turikale Kabupaten Maros.
D. Populasi dan Sampel
1.

Populasi
Keseluruhan keluarga yang mempunyai anggota keluarga yang
sakit / menderita Tuberkulosis Paru di wilayah kerja Puskesmas
Turikale Kabupaten Maros

30

2.

Sampel dan Sampling


Teknik sampling menggunakan purposive sampling dan rumus
besar sampel populasi < 1000 (Nursalam,20003):
n

N
1 + N (d)2

Keterangan :

3.

: jumlah sample

: jumlah populasi

: tingkat signifikansi (p)

Kriteria Sample :
a. Kriteria Inklusif
1) Masing-masing satu orang anggota keluarganya di diagnosis TBC
2) Usia minimal 20 tahun
3) Pendidikan minimal SLTP
4) Bersedia menjadi responden penelitian
b. Kriteria Eksklusif
1) Tidak tinggal serumah dengan penderita
2) Tidak mengerti cara penularan TB paru

31

F. Pengumpulan Data
1.

Instrumen
Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
terdiri dari :
a.

Data Demografi Reponden meliputi Umur dan Jenis Kelamin


responden

b.

Kuisioner mengenai pengetahuan tentang TBC Paru berisi 10


pertanyaan yang terdiri dari 2 pilihan jawaban yaitu benar atau
salah dengan kriteria pemberian nilai 1 (satu) untuk jawaban benar
dan nilai 0 (nol) untuk jawaban salah. Untuk perhitungan objektif
diukur dengan menggunakan rumus:
P=F/N x 100%
Dimana

P : Prosentasi
F : Jumlah jawaban yang benar
N : Jumlah skor maksimal, jika pertanyaan dijawab

benar (Arikunto, 1998)


Setelah

prosentasi

diinterprestasikan dengan

diketahui

Kriteria Baik

kemudian

hasilnya

: 76 % -100 %, Cukup

: 56 % - 75 %, Kurang : kurang dari 56 % (Arikunto, 1998).


c.

Kuisioner mengenai sikap terhadap pencegahan penularan TB Paru.


Peneliti menggunakan skala Likert yang dikembangkan oleh
Ransis Likert untuk mengetahui tingkat loyalitas pelanggan IM3

32

dengan menentukan skor pada

setiap pertanyaan. Skala likert

merupakan skala yang dipakai untuk mengukur sikap, pendapat,


dan persepsi seseorang/sekelompok orang tentang fenomena osial
(Sugiyono, 2001). Skala ini banyak digunakan karena mudah
dibuat, bebas memasukkan pernyataan yang relevan, realibilitas
yang tinggi dan aplikatif pada berbagai aplikasi.
Penelitian ini mengunakan sejumlah statementdengan skala
4 yang menunjukkan setuju atau tidak setuju terhadap statement
tersebut. Untuk jawaban pertanyaan positif
4 : Bila pilihan jawaban responden : sangat setuju
3 : Bila pilihan jawaban responden : setuju
2 : Bila pilihan jawaban responden : tidak setuju
1 : Bila pilihan jawaban responden : sangat tidak setuju
d.

Kuisioner mengenai tindakan pencegahan TBC Paru berisi 10


pertanyaan yang terdiri dari 2 pilihan jawaban yaitu benar atau
salah dengan kriteria pemberian nilai 1 (satu) untuk jawaban benar
dan nilai 0 (nol) untuk jawaban salah. Untuk perhitungan objektif
diukur dengan menggunakan rumus: P=F/N x 100%
Dimana
P : Prosentasi
F : Jumlah jawaban yang benar

33

N : Jumlah skor maksimal, jika pertanyaan dijawab benar


(Arikunto, 1998)
Setelah prosentasi diketahui kemudian hasilnya diinterprestasikan
dengan

Kriteria Baik

: 76 % -100 %, Cukup : 56 % - 75 %,

Kurang : kurang dari 56 % (Arikunto, 1998) .


e.

Lembar Observasi pencegahan TBC Paru berisi 10 item penilaian


pertanyaan yang terdiri dari 2 pilihan penilaian yaitu Ya atau Tidak
dengan kriteria pemberian nilai 1 (satu) untuk jawaban benar dan
nilai 0 (nol) untuk jawaban salah. Untuk perhitungan objektif
diukur dengan menggunakan rumus: P=F/N x 100%
Dimana
P : Prosentasi
F : Jumlah jawaban yang benar
N : Jumlah skor maksimal, jika pertanyaan dijawab benar
(Arikunto, 1998)
Setelah

prosentasi

diinterprestasika dengan

diketahui

Kriteria Baik

kemudian

hasilnya

: 76 % -100 %, Cukup :

56 % - 75 %, Kurang : kurang dari 56 % (Arikunto, 1998) .


2.

Prosedur Pengumpulan Data


Peneliti akan mendatangi keluarga yang sedang menunggui/
menjaga anggota keluarganya yang dirawat karena TBC Paru di ruang
perawatan penyakit dalam RSUD DR.Sam Ratulnagi Tondano. Setelah

34

diidentifikasi dan keluarga bersedia menjadi responden maka diberikan


kuesioner. Setelah responden mengisi kuesioner selanjutnya peneliti
melakukan pengamatan/ observasi terhadap kegiatan responden yang
berkaitan dengan pencegahan penyakit TB Paru.
E. Pengolahan Data
Setelah data lembaran observasi terkumpul, akan diperiksa kembali
untuk mengetahui kelengkapan isi,kemudian ditabulasi,dikelompokkan
berdasarkan variabel yang diteliti hasil yang ada diberi skor sesuai yang
sudah ditetapkan kemudian diberi kode ( koding ) . Setelah itu data akan
diinput dan akan diolah dengan software computer SPSS ( statistical product
and service solution ) versi 13.0 (Triton, 2006 )
F. Analisis Data
1.

Analisis Univariat
Analisis univariat digunakan untuk mendeskripsikan tiap-tiap
variabel yaitu variabel umur, jenis kelamin, pendidikan, status gizi,
kepadatan penghuni, status sosial-ekonomi, kebiasaan merokok, sumber
penular, pengetahuan

penderita, sikap penderita, keteraturan minum

obat,dan dukungan keluarga, yang disajikan dalam bentuk tabel dan


grafik untuk memberikan gambaran umum hasil

penelitian tentang

beberapa faktor yang berhubungan dengan upaya pencegahan penularan


Tb paru pada keluarga di Puskesmas Turikale.

35

2.

Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga
berhubungan atau berkorelasi (Soekidjo,2005:102).
a.

Analisis Chi Square Analisis dalam penelitian ini menggunakan


chi square yang digunakan pada data berskala nominal dan ordinal
untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara 2 variabel bebas
dan variabel terikat. Penghitungan

Confidence Interval (CI)

digunakan taraf kepercayaan 95% (Sugiyono, 2007:352).

b.

Perhitungan

Odds Ratio Untuk mengetahui besar faktor risiko

digunakan analisis OR dengan menggunakan tabel 2x2 sebagai


berikut:

Kasus
Faktor
Risiko

Ya
Tidak
Jumlah

a
b
a +c

c
d
a+b

Kasus
a+b
c+d
a+b+c+d

Susunan hasil pengamatan dalam tabel 2x2 dilakukan


sebagai berikut :
Sel a : kasus yang mengalami pajanan
Sel b : kontrol yang mengalami pajanan
Sel c : kasus yang tidak mengalami pajanan
Sel d : kontrol yang tidak mengalami pajanan
Rumus menghitung OR :

36

OR = odds pada kelompok kasus : odds pada kelompok kontrol


= ad/bc
Interpretasi nilai OR dan 95% Cl
1.

OR > 1 berarti variabel diduga merupakan faktor risiko untuk


timbulnya penyakit tertentu.

2.

OR < 1 berarti variabel yang diduga merupakan faktor protektif,


dengan kata lain faktor yang diteliti tersebut mengurangi
kejadian penyakit.

OR = 1 berarti variabel yang diduga sebagai faktor risiko tersebut


tidak ada pengaruhnya untuk terjadi efek, atau dengan kata lain
bersifat netral. Dasar pengambilan keputusan yang dipakai adalah
berdasarkan probabilitas. Jika probabilitas < 0,05, maka Ho tersebut
ditolak. Ini berarti kedua variabel Ada Hubungan. Akan tetapi jika
Ho diterima, yaitu probabilitas > 0,05, ini berarti kedua variabel tidak
ada hubungan (Sudigdo, 2002:102).
G. Penyajian Data
Penyajian data dilakukan dengan teknik kualitatif interpretatif yang
dilakukan dengan reduksi data lalu dilakukan penarikan kesimpulan dari
hasil reduksi data tersebut.

Anda mungkin juga menyukai