Masihkah kamu benci melihat punggungku? Dulu kamu begitu membencinya. Tak
peduli dimanapun, kapanpun. Bagimu, melihat punggungku seperti seolah aku akan
meninggalkanmu. Dan kamu takut itu. Tapi itu dulu.
Dulu, ketika aku pulang dari rumahmu dan baru berapa meter aku menjauh kamu
sudah mengirim pesan singkat berisi kesedihanmu melihat punggungku, kamu tak
rela kutinggalkan.
Dulu, ketika kamu mengantarku ke stasiun untuk pergi beberapa hari dan kamu
memilih pulang sebelum kereta datang, karena bagimu melihatku berjalan
meninggalkanmu adalah problema. aku ingin kamu selalu di dekatku katamu,
dulu
Dulu, punggungku yang menjauhimu menjadi symbol aku meninggalkanmu dan
kamu sangat membencinya. Tak peduli sekedar aku pulang dari rumahmu, aku pergi
ke luar kota, bahkan jika kamu tahu besoknya kita akan bertemu lagi, kamu tetap
benci melihat punggungku menjauhimu.
Karena sekarang segala sesuatu berubah. Justru punggungku yang kamu harapkan
untuk lihat.
Mungkin kamupun berdoa aku jadi tanah liat. Hingga yang tersisa hanyalah
meratap.
Kita tahu kita akan berpisah di simpang jalan depan. Kita tahu bahwa jalan kita
akan berbeda. Kamu yang memakai mukena ketika beribadah dan aku yang
sembahyang pakai sepatu pantofel.
Tapi kukira berbeda jalan bukan berarti berbeda tujuan. Beda jalan bukan berarti
berlawanan arah. Kukira akhirnya aku akan melihatmu di ujung jalan dengan cukup
menengok saja, tanpa perlu menoleh belakang bahkan membalikkan badan!
Aku kira kita bisa bercakap dan bercanda meskipun terpisah marka jalan yang
bertuliskan batas suci diantara kita.