Anda di halaman 1dari 2

Untukmu yang dulu benci melihat punggungku

Masihkah kamu benci melihat punggungku? Dulu kamu begitu membencinya. Tak
peduli dimanapun, kapanpun. Bagimu, melihat punggungku seperti seolah aku akan
meninggalkanmu. Dan kamu takut itu. Tapi itu dulu.
Dulu, ketika aku pulang dari rumahmu dan baru berapa meter aku menjauh kamu
sudah mengirim pesan singkat berisi kesedihanmu melihat punggungku, kamu tak
rela kutinggalkan.
Dulu, ketika kamu mengantarku ke stasiun untuk pergi beberapa hari dan kamu
memilih pulang sebelum kereta datang, karena bagimu melihatku berjalan
meninggalkanmu adalah problema. aku ingin kamu selalu di dekatku katamu,
dulu
Dulu, punggungku yang menjauhimu menjadi symbol aku meninggalkanmu dan
kamu sangat membencinya. Tak peduli sekedar aku pulang dari rumahmu, aku pergi
ke luar kota, bahkan jika kamu tahu besoknya kita akan bertemu lagi, kamu tetap
benci melihat punggungku menjauhimu.

Kamu benci punggungku, dulu


Kamu tak pernah rela aku meninggalkanmu, dulu, Adaku menjadi kebutuhan
primermu, dulu. Aku pangeranmu, dulu.
sifatmu sangatlah manis! Aku menyukainya, itupun dulu
Aku saying kamu lebih dari kamu saying aku. Katamu dulu

Karena sekarang segala sesuatu berubah. Justru punggungku yang kamu harapkan
untuk lihat.
Mungkin kamupun berdoa aku jadi tanah liat. Hingga yang tersisa hanyalah
meratap.

Kita tahu kita akan berpisah di simpang jalan depan. Kita tahu bahwa jalan kita
akan berbeda. Kamu yang memakai mukena ketika beribadah dan aku yang
sembahyang pakai sepatu pantofel.
Tapi kukira berbeda jalan bukan berarti berbeda tujuan. Beda jalan bukan berarti
berlawanan arah. Kukira akhirnya aku akan melihatmu di ujung jalan dengan cukup
menengok saja, tanpa perlu menoleh belakang bahkan membalikkan badan!
Aku kira kita bisa bercakap dan bercanda meskipun terpisah marka jalan yang
bertuliskan batas suci diantara kita.

Nyatanya sekarang aku tak diperbolehkan menyedihi punggungmu. Kamu


memeintaku berbalik arah dan melarangku menoleh. Karena kamu sedang
menggandeng tangan orang lain.
Hilang kemanakah rasa bencimu terhadap punggungku? Aku kangen kebencianmu
itu. Atau arti dari bencimu pada punggungku adalah kamu berharap akulah yang
harus lihat punggungmu menjauhiku? Jika memang itu, maka bersyukurlah karena
doamu terkabulkan.
Aku kagum pada pertunjukan sulapmu. Yang mampu merubah cinta menjadi
sekedar poof dalam satu kedipan mata. Aku sampai tersenyum saat mataku
berkaca demi meelihat sulapmu itu. Otakku pun berceramah, mencoba menjadi
pencerah, menunjukanku bahwa trikmu itu parah, mendakwaku meluapkan amarah
dan sumpah! Aku menyerah.
Karena setahuku cinta itu 1 sekaligus x = akar minus satu, riil sekaligus imajiner.
Cinta itu bukan 12 per 0, yang tak berdifinisi. cinta itu 1 3 7 13, bilangan prima yang
harusnya hanya habis dibagi aku dan kamu. Cinta itu ketika kamu menghitung 1 2 3
seterusnya hingga kamu menyadari yang sedang kamu coba lakukan adalah
mengejar sesuatu yang bernama tak terhingga. Cinta Tak bisa dibunuh, pun
bunuh diri.
Jadi ketika kamu menggengam cinta dan dalam hitungan poof kamu membuatnya
poof, maka aku tahu kalau dari awal kamu tak memegang cinta. Kau hanya
memegang suatu benda padat dengan kalor jenis rendah, yang kau make up I
seperti cinta, yang siap menyublim pada suhu kamar ketika kamu berkata poof.
Dan itu bukan cinta! Setidaknya Aku tak percaya pada cinta dengan kalor jenis
seperti itu. Cinta yang benar akan tahan panas maupun dingin.
Belum sempat aku berhenti kagum pada sulapmu melenyapkan cinta itu dari indra
penglihatanku, kau telah membuat gas cinta itu berionisasi. Berubah menjadi
plasma. Dan sekarang, aku sama sekali tak bisa merasakan cinta itu dengan semua
indraku.
Kamu memang pesulap ulung, cinta
Untuk kamu yang dulu sangat benci melihat punggungku menjauhimu.
Inilah yang aku lakukan. Aku akan menuruti permintaanmu untuk berbalik badan.
Aku akan menunjukkan dan menjauhkan punggungku dari hadapanmu. Dan kamu
pun silakan berbuat demikian. Hingga kita berjalan bertolak punggung.
Selamat jalan. Sampaikan salamku pada punggung baru yang kau benci. Dan jika
suatu saat kamu lelah, sedang beristirahat, cobalah berpaling. Kamu akan melihat
punggungku lagi. Mungkin sudah akan ada kepala lain yang sedang bersandar di
pundak punggungku. Tapi cobalah perhatikan dengan seksama punggungku itu. Ada
tertulis kecil disana : aku masih saying kamu. Dan kamu akan tersenyum getir demi
membenci punggungku, sekali lagi.

Anda mungkin juga menyukai